Salam, Pembaca!
Memasuki part 10. Mulai agak capekkah kamu-kamu sekalian? Meluangkan waktu yang terbuang sia-sia karena membaca blog saya untuk meneruskan fanfiction ngasal ini? Maaf.
Anyway, mulai kehabisan ide juga, jadi saya agak mengkhayal bebas banget - dari awal juga saya ngayal, kok! - untuk lanjutan fanfiction ini.
Happy reading! :))
>>
Sonya memandangi Tina dengan gembira. Sejak tadi dia dan kelima senior ceweknya sibuk memprediksikan hasil penembakan Hendra.
"Sonya, kira-kira diterima nggak ya?" tanya Pia berharap.
"Haha nggak tahu juga sih saya Kak," tawa Sonya. "Kayaknya sih..."
"Eh, emangnya Tina bilang apa soal Hendra?" tanya Maria.
"Eng... yang saya tahu sih Kak, Kak Hendra selalu ada kapanpun Tina butuh..." jawab Sonya, ragu dengan jawabannya sendiri.
"Apa Tina suka Hendra?" tanya Vita langsung. "Waah, bagus banget kalau mereka jadian!"
"Saya juga berharap gitu, Kak," senyum Sonya.
Lalu mereka memusatkan perhatian pada kejadian di taman depan asrama cewek itu.
"Apa, Kak?" tanya Tina tak percaya, tepat setelah Hendra mengungkapkan perasaannya.
"Perlu saya ulang sampai berapa kali agar kamu percaya?" tanya Hendra, tersenyum.
"Ah, maksud saya bukan begitu, Kak," ujar Tina gugup. "Kakak... selalu ada waktu aku lagi sedih."
Hendra tersenyum. "Kebetulan."
"Kebetulan yang menyenangkan," tambah Tina.
Hendra mengangguk. "Jadi... maukah kamu...?"
Tina tak mau terdengar terlalu antusias. "Ehm... saya..."
"Saya terima apapun jawaban kamu," tambah Hendra.
Tina mendongak memandang Hendra karena mendengar kalimat barusan. "Kakak..."
Suasana hening yang menyusul begitu sarat makna.
"Ya..." jawab Tina, menunduk malu-malu. "Saya mau..."
Serentak Kido, Frans, Bona, dan Simon berhigh-five (mengacungkan tinju ke udara, red) bersama, lalu merangkul Hendra, memberinya selamat. Sonya menghambur memeluk Tina setelah ikut berteriak senang bersama kelima senior ceweknya.
Hendra terlihat lega.
Simon memandangi Sonya ketika dengan gembira ia merangkul sahabatnya dan mengucapkan selamat. Dia juga menatap Maria ketika gadis itu memberi selamat pada Tina dibarengi senyum manisnya. Sonya mengabaikan kedua hal ini.
"Hebaaat!" sorak Febe. "Kalian kapan nyusul, niih..."
Febe menyindir Simon dan Maria yang sedang mengobrol. Mereka menghentikan pembicaraan, saling lirik, dan entah kenapa, Sonya melihat keduanya salah tingkah. Pemandangan ini agak menyentakkan hatinya. Ia menggenggam erat, di dalam sakunya, sapu tangan milik Simon yang selalu dibawanya kemana-mana.
"Bentar lagi," kata Frans yang berdiri berdampingan dengan Greys. "Ya kan, Mon?"
Tidak ada yang memperhatikan perubahan pada raut wajah Sonya kecuali Hendra.
"Hei... sudah deh," kata Hendra. "Eh... makasih ya..." sambungnya, menatap Tina.
Tina mengangguk. Sonya melepas rangkulannya pada Tina dan membiarkan Tina mengobrol dengan Hendra. Sonya tak tahan lagi dan dia butuh ketenangan, sendirian. Kamarnya rasanya bisa memberikan keduanya.
"Kakak..." panggilnya pada Pia. Senior yang lain tidak melihat karena sedang sibuk bercengkrama dengan Hendra dan Tina.
"Ya?"
"Saya... ke kamar dulu..." gumamnya, mendadak kepalanya terasa sakit. "Pusing..."
"Eh? Eh?" Pia terdengar cemas. "Perlu aku temenin? Nanti kamu pingsan..."
"Nggak apa-apa, Kak..."
Sonya melempar senyum pada Tina sekilas, berharap memberikan pandangan aku-tidak-apa-apa padanya. Sonya sendiri juga berharap dirinya benar-benar tidak apa-apa.
* * *
Sonya bergerak seperti robot yang sudah disetting untuk mengerjakan segala sesuatu. Dia melamun dan bahkan tidak sadar apa yang dilakukannya. Dia baru menoleh ketika Butet muncul dari kamarnya yang dilewati Sonya.
"Ada apa di luar, Sonya?" tanya Butet. "Vita nggak ada di kamar, aku kira..."
Butet memandang Sonya penuh tanya.
Sonya tersenyum. "Itu, Kak... Kak Hendra nembak Tina..."
"Ah, masa?"
"Beneran, Kak... lagi rame di bawah."
"Lihat, ah..." kata Butet, lalu keluar dari kamar dan menguncinya.
Sonya cuma bisa memandangi Butet berlari-lari sepanjang koridor dan menghilang di ujung. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya menuju kamar.
Kenapa perasaan ini mesti muncul sekarang? sesal Sonya. Kenapa justru di saat sahabatku berbahagia? Dan kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang menyukai orang lain?
Tuhan, kenapa Engkau menciptakan seseorang yang bisa kucintai tetapi tidak bisa membalasnya?
Sonya sudah nyaris menangis ketika tiba di depan pintu kamarnya. Ia menghela napas panjang sekali. Kemudian menelepon Randy, bercerita panjang lebar tentang kejadian malam ini. Sambil menangis. Rasa gembiranya untuk Tina bercampur dengan rasa sedihnya untuk Simon.
"Sudahlah..." kata Randy, yang sudah sangat mengantuk, tetapi ditahannya untuk menemani sahabatnya. "Sudah kubilang mereka belum ada ikatan apa-apa. Masih ada kesempatan untukmu. Siapa tahu Kak Simon bisa jadi suka sama kamu."
"Rasa suka nggak bisa dipaksain, Ran..." gumam Sonya.
"Memang, tapi coba lihat Kak Hendra? Dulu katanya dia suka sama Kak Butet. Sekarang suka sama Tina. See? Rasa suka bisa berubah-ubah."
"Tapi..."
"Coba aja dulu," kata Randy, lalu menguap tanpa bisa ditahannya. "Eh, sori."
"Kamu ngantuk, ya?"
"Nggak juga, sih..." tapi bersamaan dengan itu Randy menguap lagi.
"Tidurlah... sori bangunin kamu malam-malam."
"Okee."
"Makasih ya."
"Hama-hama," ucap Randy tak jelas.
Sonya menunggu Randy memutuskan hubungan telepon. Kemudian ia naik ke tempat tidur.
Samar-samar didengarnya keramaian di luar.
"Ayo kita nyanyiii!!" terdengar suara Pia. "Mumpung ada gitar..."
"Tina duluan, yang baru jadian nih," kata Febe senang.
"Mau lagu apa?" tanya Hendra. Tina tersipu malu.
"Saya mau lagunya Vierra... yang judulnya Bintang."
Kemudian Hendra memetik gitarnya mengiringi Tina menyanyi.
Malam yang indah
Kau ada disini
Mengisi kosongku
Dan berkata sayang
Tak pernah ku ragu
Hanya dirinya satu
Tak pernah ku ragu
Cerita cintaku
Oh bintang-bintang
Bawalah aku terbang tinggi
Bersamanya
Karena dia yang aku mau
Bintang-bintang
Kabulkan permohonanku
Tina selesai menyanyi. Terdengar siutan usil dari Bona.
"Cieeee..." sindir Butet yang sudah tiba sejak tadi.
"Ehem..." seru Pia dan Greys berbarengan.
"Prikitiew!" timpal Frans.
"Buat dia, nih, Tin?" tanya Maria. Tina hanya tersenyum dan mengangguk malu. Hendra nyengir, lalu rambutnya diacak-acak Bona, lengannya disikut Simon, dan perutnya ditonjok Kido.
"Ayoo siapa yang mau nyanyi lagiiii?" tanya Pia. "Simon, loe nyanyi dong! Buat Marsel..."
Terdengar siutan riuh dari para senior. Sonya, yang mendengarkan, membayangkan Maria dan Simon salah tingkah.
"Kalian ini..." Maria menegur, tetapi mukanya merah.
"Waaah, muka loe merah, Mar!" kata Febe. Butet dan Vita tertawa.
"Iya deh gue nyanyi," kata Simon akhirnya. "Tapi kali ini bukan untuk Marsel," tambahnya, melihat teman-temannya hendak bersiul lagi.
"Yaaaah!" keluh teman-temannya. Simon nyengir. Maria tertawa.
Simon memetik gitarnya dan begitu mendengar intro-nya, Sonya tahu itu lagu David Archuleta - Desperate.
You're reachin' out
And no one hears your cry
You're freakin' out again
'Cause all your fears remind you
Another dream has come undone
You feel so small and lost
Like you're the only one
You wanna scream,
'Cause you're desperate
You want somebody, just anybody
To lay their hands on your soul tonight
You want a reason to keep believin'
That some day you're gonna see the light
You're in the dark
There's no one left to call
And sleep's you're only friend
But even sleep can't hide you
From all those tears and all the pain
And all the days you wasted pushin' them away
It's your life; it's time you face it
You know the things have gotta change
You can't go back, you find a way
And day by day you start to come alive
You want somebody, just anybody
To bring some peace to your soul tonight
You want a reason to keep believin'
That some day you're gonna see the light
'Cause you're desperate
Desperate
'Cause you're desperate tonight
Oh, desperate
So desperate tonight
Tonight
Entah kenapa mendengar lagu itu membuat Sonya tenang. Sonya juga mengira ada sesuatu di dalam hatinya yang menyuruhnya untuk mempercayai bahwa lagu itu ditujukan untuknya. Liriknya terutama, menusuk hati Sonya.
"Buat siapa, Mon?" tanya Kido. Simon melihat pandangan Kido seolah Kido bertanya 'buat Sonya, ya?'. Simon mengangkat alis.
"Buat adek gue..." gumam Simon. Ia melirik ke gedung asrama putri, lirikan kecil sekali, hingga hanya Kido dan Tina yang melihatnya, dan mereka langsung sadar siapa yang dimaksud Simon.
Sayang sekali Sonya tak bisa melihat lirikan Simon.
Sonya berpura-pura sudah tertidur ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke kamarnya. Tina sudah kembali. Sonya membelakangi pintu kamar agar pemandangan yang dilihat Tina hanyalah punggung Sonya, bukan wajah berlinangan air mata Sonya.
"Sonya?" tanya Tina ketika membuka pintu, suaranya terdengar riang. "Kamu sudah tidur?"
Sonya tidak menjawab. Matanya terpejam.
"Kak Simon kirim salam buat kamu..." ujar Tina, saking senangnya, mengabaikan fakta bahwa mungkin saja Sonya sudah tidur dan tidak mendengar kalimatnya. "Dia memintaku untuk memastikan kamu baik-baik saja. Kata Kak Pia tadi kamu pusing?" Tina menggantung jaketnya. "Yah... kalau kamu sudah tidur... berarti sia-sia saja aku bicara... besok saja deh aku bilang ke kamu."
Cuma dua kalimat yang dicerna Sonya dengan baik. Tanpa ia sadari ada sebuah senyuman tersungging dibibirnya.
* * *
to be continued...
Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.
P.S. Saya juga mau dinyanyiin sama Kak Simon... T.T Fanfiction kali ini banyakan lirik lagunya, makanya panjang, haha.
R.A.
27 Juli 2010 --> hari ini Macau Open GPG dimulaai!! Berjuanglah, para pahlawan bulutangkis Indonesia!! XD
0 komentar:
Posting Komentar