Jumat, 28 Januari 2011

, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 3)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Minerva McGonagall
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)


>>
CHAPTER III


Lucy tidak bisa mempercayai pendengarannya. "Apa?"


Draco mengulangi kalimatnya. "Iya, akan kujelaskan semuanya."


"Baiklah," Lucy melipat kedua tangannya di depan dada. "Dari awal."


"Berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapapun," ujar Draco, dia terlihat sungguh-sungguh.


Lucy mengangkat alisnya. "Oke, aku berjanji."


Draco menghela napas panjang. "Semuanya berawal sejak malam itu..."


Dan dari mulut Draco mengalirlah semua cerita itu; mulai dari pertemuan Pelahap Maut dengan Pangeran Kegelapan, rencana mereka, tugas yang diberikan Pangeran Kegelapan kepada dirinya, tugas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh siapapun.


Tanpa sadar Lucy telah melepaskan lipatan tangannya. "Apa?"


Draco telah selesai bercerita. "Yeah. Begitulah. Apa ini sudah menjelaskan segalanya?"


Lucy masih ternganga. "Kau... ditugaskan untuk..."


Dia tidak meneruskannya. Draco juga tidak berminat meneruskannya.


"Aku yakin kali ini akan berhasil," gumam Draco, lebih kepada dirinya sendiri daripada Lucy yang serius mendengarkan. "Aku yakin, pasti akan berhasil. Tinggal sedikit lagi... dan aku akan menyelamatkan keluargaku... Ayah dan Ibu..."


"Tidak sadarkah kau?" ujar Lucy getir. Air matanya menggenang. "Apa yang kau lakukan, menyanggupi tugas mustahil seperti itu?"


"Ayah dan Ibuku juga dalam bahaya kalau aku tidak melakukannya!" bantah Draco. "Dengan melakukan tugas dari Pangeran Kegelapan, Ayah dan Ibuku bisa bebas dari ancaman Pangeran Kegelapan."


"Tapi, Draco..." kali ini Lucy benar-benar menangis. "Orang yang kau bicarakan ini, orang yang kita bicarakan ini, bukan orang sembarangan! Penyihir besar! Bahkan aku pun tak yakin Pangeran Kegelapan berani melawannya! Sedangkan kau, Draco? Kau baru saja kelas 6 di Hogwarts! Kau bukan tandingannya... apa yang akan kau rencanakan untuk melakukan tugas itu? Hal-hal berbahaya lagi? Sudah cukup aku melihatmu pucat sepanjang tahun ini, Draco, bahkan kekhawatiranmu karena rencanamu gagal, dan banyak orang-orang tak bersalah yang salah sasaran..."


"Itu karena aku kurang teliti! Dan itu hanya sebagian kecil dari rencanaku, ada satu rencana besar yang sedang kususun, dan pasti kali ini akan berhasil..."


Lucy terisak kecil. "Oh, Draco," gumamnya miris, "aku, aku..."


"Jangan menangis," ujar Draco geram. "Aku tak pernah cukup berharga untuk ditangisi."


Lucy menghambur ke pelukan Draco, yang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.


"Ngng," gumam Draco. "Sudahlah."


Dan Draco, yang sebenarnya sudah terbiasa dengan sikap manja Pansy, kali ini bingung bagaimana cara menghadapi seorang gadis yang terisak di pelukannya.


"Aku, aku, aku..." isak Lucy, "aku mencemaskanmu, Draco..."


"Aku tahu," kata Draco, meski dia tidak benar-benar tahu. "Aku tahu."


Lucy tidak bicara, dia hanya terus menangis tak terkendali.


"Hei," kata Draco bimbang. "Aku... minta maaf karena sudah menceritakannya padamu."


"Aku sendiri pun bingung kenapa aku menangis mendengarnya," kata Lucy. "Aku terus-terusan melihatmu pucat, cemas, terlihat putus asa, bingung, dan melihatmu begitu aku juga jadi cemas... belum lagi dengan tugas-tugas OWL-ku yang semakin banyak... aku bingung..."


Draco membalas pelukan Lucy setelah selama ini Lucy yang merangkulnya, membasahi jubahnya dengan air mata. Lucy tersentak dan nyaris meleleh. Ia akhirnya melepaskan Draco, setelah Draco mengusap rambutnya sekilas.


"Maaf telah membuatmu bingung," gumam Draco, menunduk menatap lantai.


Lucy mengusap matanya. Lalu tertawa dengan mata dan hidung merah. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya memendam perasaan ini," kata Lucy.


"Maafkan aku," kata Draco lagi.


"Tidak, aku yang minta maaf," ujar Lucy serius. "Aku yang telah begitu bodoh memintamu menceritakannya padaku, padahal kau sudah bersumpah tidak akan menceritakannya pada siapapun, bahkan Profesor Snape..."


Draco mengangkat bahunya. "Kau sudah tahu terlalu banyak," senyumnya.


"Kau tidak akan terkena masalah hanya karena menceritakannya padaku, kan? Bahkan Crabbe dan Goyle tampaknya tak tahu apa yang kau lakukan..." kata Lucy tak yakin.


"Tidak, tenang saja," ujar Draco tak acuh. "Sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kalau aku tidak bisa melakukan tugas ini."


"Memangnya apa... hukuman yang akan dia berikan?" tanya Lucy, mengira-ngira.


Draco, yang entah kenapa dalam hatinya terbersit keinginan untuk tidak membuat Lucy menangis dan cemas lagi, hanya menggeleng singkat dan tersenyum misterius. Ia suka efek dramatis yang ditimbulkannya ketika dirinya memandang ke langit di luar Kandang Burung Hantu dan membiarkan Lucy menebak-nebak sendiri, meskipun Draco tahu bahwa tak ada satu pun dari tebakan Lucy yang benar-benar tepat.


* * *


"Kau tidak ditanyai Pansy?" tanya Lucy. "Tentang kepergianmu kesini malam-malam begini?"


Mereka bertemu lagi malam harinya, kali ini di Kamar Kebutuhan. Draco memang sudah mengabari Lucy tentang benda yang sedang berusaha diperbaikinya di ruangan besar itu. Lucy datang terlebih dahulu, menghindari kemungkinan Draco datang bersama dua kroninya yang tinggi gede itu. Tetapi rupanya Draco datang sendiri.


"Dia sedang ada pelajaran tambahan dengan Profesor Sprout," jawab Draco asal, tak bisa memikirkan alasan lain yang lebih logis. Tetapi tampaknya Lucy tidak mengindahkannya. Lucy sudah senang sekali bisa berdua saja dengan Draco hingga tak bisa memikirkan apapun.


Tentu saja, jiwa Ravenclaw-nya masih tersentak jika ingat akan OWL yang akan datang sebentar lagi. Oleh karena itu ia membawa serta buku-buku miliknya.


"Kau tidak berniat belajar disini kan," kata Draco, merapalkan mantra-mantra tertentu di depan sebuah lemari besar.


"Ya," kata Lucy serius. Dia sudah menyalakan beberapa lilin untuk membantunya membaca buku setebal lima senti di hadapannya. Tak lupa dengan perkamen panjang menjuntai ke lantai. "Aku harus mulai mengerjakan tugas Sejarah Sihir-nya Profesor Binns. Panjangnya minimal satu setengah meter, ya ampun..."


Draco mengangkat alis. "Kau mengingatkanku pada masa-masa itu," cengirnya, masih sibuk dengan lemarinya.


"Kau pasti santai menghadapinya," gumam Lucy sengau.


"Tidak juga," kata Draco, tetapi tidak bercerita lebih jauh.


Kemudian suasana hening. Lucy menguap. Ia mengucek matanya, lalu mendongak. Baru sadar bahwa sedari tadi Draco mengawasinya bekerja dengan duduk di kursi di depannya.


Jantung Lucy mendadak berdebar kencang. "Ada apa?" tanyanya.


"Kau tahu, kurasa aku juga melihatmu sekilas ketika aku dibawa ke rumah sakit..." kata Draco.


"Hah?"


Lagi-lagi Lucy berusaha mengutak-atik memorinya.


"Oh, waktu itu... yeah, kau tidak tahu bagaimana cemasnya aku ketika kau dibawa keluar toilet oleh Profesor Snape..."


"Kau mendengar pertempuran waktu itu, ya?"


"Well, em," kata Lucy gugup. "Ya. Waktu Katie Bell kembali dari rumah sakit. Kau tampak gelisah dan segera keluar dari Aula Besar... diikuti Harry... dan seperti kejadian di pesta Profesor Slughorn, aku mengikutinya dan dirimu..."


Draco menunggu, memandang mata Lucy.


"Karena kau terlihat... takut..." tambah Lucy kemudian, tak berani menatap mata Draco. "Maaf, aku telah begitu banyak merepotkanmu."


"Waktu itu kau menangis, kan?" tanya Draco.


"Menurutmu bagaimana perasaanku melihatmu dipapah Profesor Snape keluar toilet dengan tubuh bersimbah darah begitu? Kau yang pucat, lemas..." sahut Lucy miris, seketika pikirannya terbawa ke memori mengerikan itu. "Dan sebelumnya aku mendengar Mrytle Merana berteriak ada pembunuhan di toilet..."


Draco mencerna seluruh kalimat Lucy, mengimajinasikannya. Dia memang benar-benar ingat sosok gadis yang diusir keluar dari rumah sakit oleh Madam Pomfrey. Gadis berambut merah kecoklatan yang berlinangan air mata.


Gadis yang ternyata dia sukai.


Kenapa baru sekarang dia sadar? Draco menertawakan dirinya, dalam hati, lagi. Bahkan sejak melihat Lucy Rothbelle di pesta Slughorn, Draco sudah tahu bahwa Lucy berbeda. Entah apa yang membedakan Lucy dengan gadis lain, Draco tidak tahu. Draco hanya tahu bahwa dia agak sedikit perhatian pada Lucy.


Hanya saja Draco tidak tahu bahwa sedikit perhatian yang dia maksud itu berpengaruh sangat besar pada Lucy.


Lucy menyadari bahwa sedari tadi Draco memandangnya. "Ada apa lagi?" tanya Lucy tersenyum. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"


"Tidak ada apa-apa," kata Draco, tersenyum.


Tetapi dalam temaramnya cahaya lilin, bunyi goresan pena-bulu Lucy diatas perkamennya, dan gumaman-gumaman Draco merapalkan mantra, mereka berdua tahu bahwa mereka sedang saling memikirkan satu sama lain.


* * *






R.A.
17 Januari 2011
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 3)
, , , ,

About Lucy's Love Story

Salam, Pembaca!


Tulisan ini saya buat dalam rangka penulisan fanfiction (baru) saya - Harry Potter's Fandom - 'Lucy's Love Story'. Terdengar menyedihkan, yeah, saya benar-benar tidak bisa membuat judul yang eye-catching dan menarik hati.


Well, 'Lucy's Love Story' terbuat secara tidak sengaja, tidak ada rencana apapun sebelumnya - tidak seperti tulisan-tulisan saya yang lain, yang saya rencanakan tiga atau empat bulan tetapi tak pernah berkembang di laptop - saya hanya berpikiran selintas dan langsung mengetik ide saya itu di laptop - benar-benar langsung, mengalir begitu saja, tanpa proses editing, karena saya ingin melihat respon pembaca, tidak lain dan tidak bukan, teman-teman saya, tentunya.


Sebenarnya saya kepikiran setelah membaca ulang tulisan saya bertahun-tahun lalu (ehm, dua tahun lalu), yakni surat Lucy untuk Draco, yang saya tulis dengan judul 'Surat dalam Secarik Perkamen' yang ada sekuelnya juga. Yang, seperti anda ketahui, terinspirasi dari kecintaan saya sepenuh hati kepada Draco Malfoy, perasaan yang terus berkembang sejak saya lahir - maksud saya sejak Draco muncul di Prisoner of Azkaban. Oke, saya menyukai Draco setengah mati setelah Half-Blood Prince, dan ketika Tom Felton memenangkan MTV Movie Award as The Best Villain for his character as Draco, saya menjerit kesenangan.


Tulisan di atas hanyalah sedikit kefanatikan seorang fan.


Back to the topic, setelah saya membaca surat-surat itu, saya jadi kepikiran untuk menulis ceritanya, dalam kasus ini, fanfictionnya, di satu sisi karena saya memang kangen pada serial ini, dan semakin rindu setelah menonton Deathly Hallows Part I, yang membuat saya dilanda kepuasan yang mendalam. Film Harry Potter tak pernah sekeren ini, saya pikir. Dan Ronald Weasley pun mengalihkan perhatian saya (lagi!) dan seluruh anak-anak laki-laki keluarga Weasley lainnya - saya tidak mungkin memperhatikan Ginny, kan, yah, saya tahu dia cantik dan memesona, tetapi, yah, saya juga perempuan. As for Bill Weasley, imagenya tidak terlalu jauh dari yang saya imajinasikan setelah membaca novelnya, cool, ganteng, berambut gondrong. Dan terima kasih banyak untuk Fred dan George Weasley yang semakin dewasa. Dewasa. Uyeah.


Kembali ke tema semula, please.


Tentang fanfiction berbentuk surat itu. Saya memposisikan diri saya sebagai Lucy. Kebiasaan saya sebagai penulis pemula. Mentransformasikan dirinya kedalam suatu karakter dalam cerita dan kemudian memasukkan karakter-karakter pendukung yang biasanya tipe yang sempurna. Well, Draco memang tidak sempurna. Dia tokoh antagonis. Tetapi, saya mencintainya. Saya mencintai Tom Felton sebagai Draco Malfoy. Seperti saya mencintai Garrett Hedlund sebagai Sam Flynn dalam TRON: Legacy. Skip that last one, dan inilah alasan saya memasukkan karakter semacam saya sendiri dalam fanfiction saya. Ehm, pathetic.


Dan kemudian mendadak ide saya berkembang! Saya memutuskan untuk menulis cerita Lucy bertemu Draco setelah Draco keluar dari rumah sakit karena pertengkarannya dengan Harry di toilet laki-laki. Entah kenapa saya memutuskan juga untuk membuat fanfiction yang singkat. Saya hanya tidak ingin menggantung (lagi) sebuah cerita yang saya tulis.


Rentang waktu yang rencananya akan saya gunakan dalam fandom Harry Potter kali ini adalah antara surat 1 dan surat 2, sejak Draco keluar dari rumah sakit sampai Draco bersorak karena Lemari Pelenyap dalam Kamar Kebutuhan selesai diperbaiki. Itu rencana saya. Mungkin Tuhan punya rencana lain? Entahlah. Dan bahkan ketika tulisan ini diterbitkan, saya masih mempunyai beberapa rencana untuk mengembangkan fanfiction saya kali ini. Hanya, saya akan memegang teguh rencana awal saya: tidak akan membuat fanfiction yang terlalu panjang. Fanfiction saya yang lama, tentang bulutangkis dan kawan-kawannya, 'Rhapsody in Pelatnas', harus gantung di chapter __ karena saya kehabisan ide. Apakah saya yang tidak terlalu aware lagi atau bagaimana, saya tidak mengerti. Saya tidak ingin terjadi hal yang sama pada 'Lucy's Love Story'.


Yah, begitulah, saya harap anda tidak keberatan menunggu lama kelanjutan fandom Lucy's Love Story ini. Saya juga berharap sepenuh hati bisa menyelesaikan cerita kali ini.


Kesimpulan tulisan ini: writer's block adalah musuh utama penulis.


R.A.
16 Januari 2011
Continue reading About Lucy's Love Story
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 2)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Minerva McGonagall
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)


>>
CHAPTER II


Draco melirik arlojinya. Setengah tujuh. Masih ada setengah jam lagi menuju pertemuannya dengan gadis itu di Kandang Burung Hantu.


Yang harus dia lakukan sekarang adalah melepaskan diri dari Pansy Parkinson yang menempelnya terus sejak mereka keluar dari Ruang Rekreasi Slytherin. Crabbe dan Goyle tak menghiraukan temannya; mereka sudah menyerbu meja makan Slytherin melihat berbagai makanan terhidang lezat disana.


"Pansy, aku mau ke toilet," gumam Draco.


"Nanti kita sama-sama saja keluarnya," kata Pansy genit, berkedip nakal.


Draco menghela napas panjang. "Pansy, aku cowok."


"Dan aku cewek. Kita tinggal berpisah di ujung koridor kan?"


Draco nyaris kehabisan akal ketika dia melihat Profesor McGonagall berjalan menuju mereka.


"Miss Parkinson? Kau ada tambahan pelajaran hari ini kan?"


Pansy terperanjat. "Tapi ini hari Sabtu! Akhir minggu! Aku akan pergi dengan Draco ke Hogsmeade, membeli Butterbeer, dan..."


Profesor McGonagall menyela. "Aku sama sekali tidak tertarik mendengar agendamu dengan Mr. Malfoy untuk hari ini, Miss Parkinson, yang kutahu adalah kau sudah berjanji dua malam yang lalu untuk mengikuti pelajaran tambahan denganku hari ini. Kalau kau terus-terusan mengubah Mr. Crabbe menjadi ayam, kau jelas membutuhkan bantuan. Jam tujuh, di kantorku. Detensi kalau kau tidak datang."


Pansy mengeluh keras, tidak memelankannya bahkan sebelum Profesor McGonagall menjauh dari mereka. "Aku minta maaf sekali, Draco, rencana kencan kita hari ini batal..."


"Sayang sekali," gumam Draco, tidak terdengar menyesal. Ia mencomot sepotong sandwich dan melahapnya. Matanya tertuju pada meja Ravenclaw, mencari sosok Lucy Rothbelle, yang tidak kelihatan.


Pansy terus-terusan cemberut dan mengeluh keras-keras tentang 'rencana kencan' dan 'akhir minggu' dan 'pelajaran tambahan menyebalkan' sepanjang sarapan, dan Draco, tidak seperti biasanya, hanya menanggapi dengan 'oh', 'yeah', 'itu benar' dan 'hmm' yang paling banyak digunakannya. Pandangannya terkonsentrasi ke meja Ravenclaw, melihat anak-anak Ravenclaw berseliweran, melihat Luna Lovegood membawa setumpuk sandwich keluar Aula Besar, melihat Michael Corner cemburu melihat Ginny Weasley dan Dean Thomas makan dengan mesra, dan, yang paling utama, memikirkan kenapa gadis yang ditemuinya kemarin di perpustakaan tidak terlihat sama sekali.


Sesaat Draco berpikir bahwa kejadian kemarin hanya terjadi dalam mimpinya.


Pikiran konyol, pikir Draco, kemudian di benaknya terlintas tugas dari Pangeran Kegelapan yang mesti dikerjakannya tahun ini, dan hatinya mencelos. Barang di Kamar Kebutuhan belum juga bisa diperbaiki. Draco mengaduh pelan ketika ia bangun dan merasakan sakit di dadanya. Mungkin efek luka akibat pertempurannya dengan Harry kemarin dulu. Ia melihat Harry dan Ron dan Hermione di meja Gryffindor yang terlihat sibuk mendiskusikan sesuatu. Draco tak bisa berpikir apa yang mereka diskusikan - biasanya berkaitan dengan hal-hal berbahaya, yang menyangkut Hogwarts, yang menyangkut Pelahap Maut, yang menyangkut Pangeran Kegelapan, yang menyangkut Dumbledore-


"Sakit, Draco?" tanya Pansy cemas, melihat Draco bangun dengan meringis.


"Tidak."


"Kau tidak bisa berbohong padaku," kata Pansy dengan suara dilembut-lembutkan. "Aku harus pergi sekarang," kata Pansy, mengecup pipi Draco, kemudian berlari ke arah Ruang Bawah Tanah Slytherin untuk mengambil buku-bukunya.


"Kau tidak ikut ke Hogsmeade?" tanya Goyle.


"Tidak, kalian pergilah sana," tolak Draco.


"Apa ini berkaitan dengan 'itu' lagi?" tanya Crabbe.


"Tidak, aku hanya butuh sedikit istirahat... kalian pergi saja... belikan aku Butterbeer..." gumam Draco tak jelas, sementara kepalanya pusing.


"Oke," dan tanpa menunggu jawaban Draco, mereka berdua masuk ke barisan anak-anak yang hendak berkunjung ke Hogsmeade.


Draco dengan cepat berlari ke arah Kandang Burung Hantu.


* * *


Ternyata Lucy belum datang. Jarum jam di arloji Draco menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Lucy tidak telat, kalau begitu. Setidaknya belum.


Dan Draco setia menunggu. Kemudian ia menertawakan dirinya sendiri. Siapa sebenarnya Lucy Rothbelle yang telah menarik perhatiannya sedemikian besar sehingga dia bisa menjadi gadis yang ditunggunya? Draco belum pernah menunggu seorang gadis sebelumnya. Pansy datang begitu saja, tidak diharapkan.


Kemudian terdengar langkah kaki dan suara bersin yang kencang.


Lucy Rothbelle muncul di pintu. "Maaf, aku terlambat."


"Tidak, kau tepat waktu," kata Draco tersenyum. Kemudian matanya menangkap sebuah benda yang dibawa Lucy. "Kau tidak sarapan di Aula?"


"Aku tak bisa bangun dari ranjangku," gumam Lucy, suaranya aneh. "Sepertinya aku kena flu."


"Lalu itu sandwich yang dibawakan Loony - maksudku, Luna Lovegood?" Draco menunjuk dua potong sandwich yang dilapisi tisu yang dibawa Lucy.


"Sudah kuhabiskan satu dalam perjalanan menuju kesini," jelas Lucy. "Dan bagaimana kau tahu Luna yang membawakannya untukku?"


"Aku melihat Luna membawa sandwich-sandwich itu keluar Aula," jawab Draco tak acuh.


Draco melihat wajah Lucy merona merah, entah efek dari kalimatnya barusan atau memang karena sakitnya. "Maafkan aku memintamu datang kesini pagi-pagi begini."


"Tidak apa-apa,"


"Tapi kau sakit."


"Tidak apa-apa."


Lucy bersin.


"Kau benar-benar sakit," kata Draco, dan selintas dirinya merasa kasihan. Dan ia menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Lagi-lagi. Seorang gadis asing yang baru saja ditemuinya, bisa memberitahunya bagaimana merasa kasihan pada seseorang.


"Tidak apa-apa," ulang Lucy untuk ketiga kalinya. "Aku oke."


Draco memandang Lucy sejenak, yang berusaha mengunyah sandwichnya.


Kemudian tak ada yang bicara. Hanya suara burung hantu dan kepakan sayap mereka yang memenuhi udara.


"Bukankah kau datang ke pesta Slughorn dengan anak kelas tujuh itu?" tanya Draco kemudian.


Lucy tersedak. "Siapa? Anak Hufflepuff itu?"


"Ya."


"Kau tahu, tadinya aku sudah ingin mengajakmu," kata Lucy malu. "Tapi kau pasti sudah mengetahuinya dari suratku," tambahnya langsung.


Draco mengangguk. "Jadi, dia hanya bernasib sebagai pilihan terakhir yang tidak mungkin kau tolak?"


Lucy mengangkat alisnya. "Aku... tidak ingin menyebutnya begitu."


Draco meneruskan. "Atau dia hanya beruntung?"


"Aku tidak tahu apa namanya."


"Lalu siapa yang kau tunggu di pintu kantor Slughorn?"


"Hah?"


Butuh waktu yang cukup lama bagi Lucy untuk mencerna pertanyaan Draco. "Kau melihatku di pintu?"


"Tentu saja," kata Draco terbahak. "Kau memakai jubah berwarna ungu muda kan?"


Lucy mengangkat alisnya. "Yeaa."


"Kontras dengan rambutmu," cengir Draco, memandang rambut Lucy yang merah kecoklatan.


"Terima kasih."


"Aku mengawasimu waktu itu," kata Draco tak acuh. Tanpa mengetahui bahwa kalimatnya barusan sudah cukup untuk membuat hati Lucy meleleh lagi.


"Mengawasiku?"


"Ya, karena sebenarnya aku sedang melamun. Kemudian aku melihatmu keluar. Kau tampak bingung dan mencari seseorang. Itu mengalihkan perhatianku."


Satu lagi kalimat yang membuat Lucy melayang ke udara.


"Lalu Harry datang..."


"Harry dan Luna," gumam Lucy pelan. "Aku benar-benar tidak menyangkanya. Kukira Harry akan mengajak Cho, atau siapa, gadis lain yang lebih..."


"...dan kau berkata entah apa pada mereka, dan mereka masuk ke dalam dan kau masih di luar ruangan."


"Dan waktu itulah aku melihatmu sekilas di sisi jendela."


"Yeah, aku menunggu keadaan sepi."


"Untuk kemudian masuk ke kantor Profesor Slughorn - ralat - menyelinap ke dalamnya?" tebak Lucy.


Draco mengangkat alis. "Humm, kau memang anak Ravenclaw."


"Tidak ada hubungannya," kata Lucy tegas.


Draco berdehem.


"Apa yang kau lakukan di dalam sana dengan menyelinap begitu? Aku sudah berniat hendak menyelamatkanmu dengan berkata bahwa kau adalah orang yang kuajak menjadi pasanganku ke pesta Profesor Slughorn, tetapi aku juga memikirkan anak Hufflepuff itu..."


"Itu... bukan urusanmu."


Lucy memandang Draco jengkel. "Asal kau tahu saja, kau sudah membuatku begitu cemas saat itu, dan aku mengikutimu keluar ketika diseret oleh Profesor Snape - mengikutimu setelah Harry, kau tahu..."


"Harry mengikutiku? Tentu saja, dia mungkin saja penasaran sekali, memang itulah sifatnya sejak dulu..."


"...dan aku menangis saat mendengar percakapanmu dengan Profesor Snape."


Draco tertegun. "Itu bukan percakapan."


"Pertengkaran, yeah." Lucy mengusap matanya yang mulai digenangi air mata.


"Dengar, apapun yang kau dengar malam itu, semuanya tidaklah penting..."


"Tidak penting bagaimana? Aku mendengar dengan jelas, Draco, kau berteriak 'akulah yang dipilihnya', nah, kau pikir siapa yang kupikirkan untuk mengganti kata 'nya' yang kau gunakan? Kau juga berkeras tidak mau mengakui tuduhan Profesor Snape tentang kutukan yang mengenai Katie Bell! Sadarkah kau? Bahwa aku berpikir bahwa kaulah yang memberikan kalung kutukan itu pada Katie Bell, bahwa kaulah yang mengirim mead beracun itu pada Ronald Weasley, bahwa aku berpikir tentang dirimu yang pucat selama ini, bahwa aku berpikir ada rencana yang kau dan Profesor Snape tahu, dan sayangnya, gagal, dan bahwa aku berpikir rencana ini berkaitan dengan..."


"Oke," gumam Draco pelan, menghentikan rentetan kalimat Lucy yang diselingi air mata.


Dan Lucy berhenti, terengah.


"Oke," ulang Draco, "aku akan menjelaskan segalanya."


* * *




P.S.
Maaf kalau lanjutannya terlalu lama! Entah kenapa saya terkena writer's block. Disini saya benar-benar mengkhayal sebebas mungkin, (well, as usual) entah apa benar Pansy Parkinson mengikuti pelajaran tambahan Transfigurasi atau apa, tetapi saya tak tahu lagi bagaimana membuat Draco lepas dari Pansy dan bertemu Lucy di Kandang Burung Hantu. Saya hanya ingin mereka berdua, itu saja :) *tanda-tanda egoisme* Seperti biasa, naskah ini dibuat tanpa proses pengeditan yang berarti, as first draft, there are too many mistakes so I can't count on it. Need your suggestions, critics, complaints, anything :)




15 Januari 2011
R.A.
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 2)
, ,

Black Dress and Red Rose - The Symphony of Death

Gaun hitam itu membungkus tubuhnya, indah. Kontras dengan wajahnya yang pucat tak berwarna. Matanya sembab, dan dirinya terlihat lelah. Digenggamnya setangkai bunga mawar merah, merekah. Tetapi ironis.


Gadis yang baru saja kehilangan seseorang yang sangat berharga baginya. Seseorang yang nyaris saja menjadi kekasihnya. Seseorang yang sudah berjanji untuk selalu menjaganya. Seseorang yang selama ini menemani dalam setiap kesendiriannya.


Sedetik, gadis itu pun berpikir. Untuk menyusul dirinya yang telah pergi. Agar bisa bersama, membagi cinta, di akhirat nanti.


Sebab hidup di dunia pun sudah tidak berarti lagi.


Apalah artinya hidup kalau bahkan mentari enggan bersinar untukmu. Pelangi enggan muncul untukmu. Seluruh dunia berbohong padamu. Seluruh dunia meninggalkanmu.


Dan satu-satunya orang yang pernah, dan mau, memberikan harapan untukmu, telah diambil darimu selamanya.


Dan meninggalkanmu sendirian di dunia.


Hidup memang kadang tidak adil.


Gadis itu menatap kosong ke arah peti mati. Memandang, tanpa melihat. Memandang, tetapi membayangkan wajahnya di benaknya. Memandang, dengan mata yang kering. Seakan air matanya sudah terkuras habis. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Menambah efek dramatis - meski tanpa dibuat-buat - dalam keseluruhan penampilannya.


Ia mendapat kehormatan menjadi orang pertama yang meletakkan bunga. Diletakkannya mawar merah itu di depan foto orang yang dicintainya setengah mati. Sesaat gadis itu mengira dirinya akan pingsan ketika melihat wajahnya lagi, meski hanya dalam foto, tetapi ternyata dia bisa menahannya.


Kemudian ia mundur perlahan. Pelan. Meniti langkah ke belakang sembari tetap memandang wajah orang terkasihnya. Tak ingin melepaskannya meski hanya sedetik saja. Matanya berair karena ia menolak berkedip - dia juga salah karena mengira air matanya sudah habis, ternyata tidak. Setitik air jatuh di pipinya. Bukan dirinya yang menangis. Tetapi langit yang menangis.


Sungguh sebuah ironi. Bahkan langit pun menangis untuk orang yang dicintainya - atau menangis untuknya? Ia tak bisa menafsirkan mana yang sesungguhnya sedang terjadi. Entah dirinya tak pernah terlalu berharga untuk dikasihani, atau alam terlalu lelah untuk menangisinya, ia tak tahu.


Tetapi kemudian seseorang berteriak.


"Lihat! Bahkan langit menangisi kepergiannya."


Kemudian dia menangis.


Seketika gadis itu sadar. Atas tangisan langit yang mendadak lebat. Makna hujan yang tiba-tiba itu. Itu menjelaskan segalanya - orang yang dicintainya, juga dicintai oleh semua orang. Bahkan alam.


Ia berharap bisa menghilang saat itu juga dan berada di tempat yang sama dengan orang tercintanya. Ia menghindari tatapan semua orang, bersembunyi di antara barisan orang-orang berbaju hitam. Menyamarkan dirinya. Dan bahkan tak berniat sedikitpun melindungi dirinya dari hujan yang semakin lebat, sementara puluhan orang di sekitarnya mulai membuka payung mereka.


Dan ia membiarkan dirinya terhanyut semakin dalam, mengikuti irama prosesi pemakaman itu. Mendengarkan dirinya membisu, membiarkan tenggorokannya rileks sejenak setelah tangisannya yang berlarut-larut selama dua hari. Dia tak yakin apakah dia masih bisa bersuara atau tidak. Membiarkan orang-orang pengganggu itu menyingkir dari sisinya. Membiarkan dirinya berdua dengan calon kekasihnya yang ada di dalam tanah. Membiarkan hujan membasahinya, gaun hitamnya, dan mawar merahnya.


Gadis itu berlutut. Dielusnya nisan calon kekasihnya.


"Sayang, biarkan aku menemanimu di dalam sana."


Gadis itu tersenyum dengan berat. Masih dielus-elusnya nisan calon kekasihnya.


"Sayang, kau bisa mendengarku? Jawablah jika kau mendengar."


Tidak ada jawaban. Gadis itu tersenyum lagi.


"Sayang, aku mencintaimu."


Sunyi senyap. Gadis itu sudah tidak tersenyum.


"Sayang, aku mencintaimu."


Suara gadis itu bergetar.


"Sayang, ayo pulang."


Hati gadis itu mencelos. Suara yang sama dengan yang didengarnya di rumah sakit sebelum ia melihat sendiri garis lurus pada alat aneh yang terpasang di tubuh calon kekasihnya. Dipalingkannya wajahnya ke arah suara itu.


Seseorang dengan wajah yang benar-benar mirip dengan orang itu.


"Kau tidak mau pulang?"


Gadis itu tidak menjawab.


"Kau tidak ingin pulang?"


"Aku tidak punya tempat untuk pulang."


"Kau bisa pulang ke tempatku."


"Aku bahkan tidak bisa mengingat siapa kau."


"Kau memang tidak mengenalku secara dalam."


"Kau mirip dengannya."


"Aku memang mirip dengannya."


"Kau bukan dirinya."


"Aku memang bukan dirinya."


Gadis itu memalingkan mukanya, kembali menatap batu nisan.


"Tinggalkan aku sendiri."


"Tidak bisa. Aku sudah berjanji padanya."


"Pada siapa? Tuhan? Alam? Dewa? Yang sedang marah padaku?"


"Padanya. Pada calon kekasihmu."


Gadis itu terdiam. Membisu. Mengutak-atik memorinya.


Kemudian ia ingat. Siapa orang ini sebenarnya.


"Mungkinkah... kau...?"


"Syukurlah kau masih bisa ingat."


Laki-laki berkemeja putih itu tersenyum, membantu gadis bergaun hitam itu berdiri, kemudian memeluknya di tengah hujan yang agak reda.


Kali itu, pelangi muncul malu-malu di balik awan.


* * *




Yogyakarta, 10 Januari 2011
R.A.
Continue reading Black Dress and Red Rose - The Symphony of Death
, , ,

Rain's Symphony

Oh, Sayang. Belum cukupkah aku meneteskan gerimis di pangkuanmu. Di bahumu. Di dadamu. Dan saat kau rengkuh aku, kau hanya berkata ‘semua akan baik-baik saja’.


Oh, Sayang. Tak sadarkah aku mengharapkan belaianmu. Tak pedulikah kau pada inginku mendapat pelukanmu. Dan saat kau menatapku, aku ingin kau berkata, ‘karena aku akan selalu ada di sampingmu’.


Haruskah aku meneteskan hujan air mata agar membasahi dunia? Agar dunia tahu bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk kutempuh sendiri?


Mestikah aku meneriakkan derita pada dunia? Agar dunia tahu bahwa kau telah meninggalkanku sendirian?


Dan apa kau masih bisa mengingat janjimu beberapa menit yang lalu?


Ini, jika kau melupakannya, ini, dengan senang hati kuulang, karena dia memang selalu kuulang berkali-kali dalam memoriku.


‘biarpun seluruh dunia meninggalkanmu, biarpun dunia berbohong padamu, biarpun langit menangis untukmu, biarpun pelangi tak pernah bersinar untukmu, biarpun malam selalu datang untukmu, ingatlah, bahwa kau selalu punya satu bintang. Bintang yang memberi harapan. Ingatlah, bahwa bintang itu adalah aku.’


Dan kata-kata itu berpendar-pendar muram sekarang. Dan sinar bintang itu redup sekarang. Dan harapan itu hilang sekarang.


Bahkan belum lima menit berlalu. Tetapi janjimu telah menguap. Seseorang tak bisa menepati janji suci itu lagi. Dan aku tak bisa menyalahkan siapapun.


Sama sekali tak bisa mengeluh bahwa malaikat telah merenggut sesuatu yang berharga bagimu. Bagiku.


Yang membuatmu hidup. Bernafas. Bicara padaku. 


Oh, Sayang, seandainya kau tahu begitu banyak waktu yang kubuang hanya untuk memikirkanmu. Membayangkanmu. 


Oh, Sayang, semestinya kau tahu bahwa aku tak pernah menyesali semua waktu yang kuhabiskan bersamamu. Menjagamu.


Oh, Sayang, seharusnya kau tahu mengapa aku rela menghabiskan malam-malam panjang berada disampingmu. Memandangmu.


Kita memang tidak sempat membagi kasih sayang, yeah. Dan kepedihan atas cintaku yang terlalu dalam itu sudah datang. Datang dan membabi buta.


Dan tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan, Sayang.


* * *


Ketika Yang Kuasa memisahkan dua manusia yang nyaris terikat oleh tali tak kasat mata, seolah mengiringi kepergian satu manusia dan menemani tangis satu manusia, Dia menurunkan tetes-tetes air berharga.


Nyanyian itu masih terdengar. Menetes. Dan terus menetes. Deras. Meski tak ada yang mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.


Nyanyian yang lebih keras juga masih terdengar. Menetes. Dan tetap menetes. Lebat. Tetapi semua mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk terpesona.






Yogyakarta, 8 Januari 2011
R.A.
Continue reading Rain's Symphony