Rabu, 28 Juli 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part X)

Salam, Pembaca!

Memasuki part 10. Mulai agak capekkah kamu-kamu sekalian? Meluangkan waktu yang terbuang sia-sia karena membaca blog saya untuk meneruskan fanfiction ngasal ini? Maaf.
Anyway, mulai kehabisan ide juga, jadi saya agak mengkhayal bebas banget - dari awal juga saya ngayal, kok! - untuk lanjutan fanfiction ini.
Happy reading! :))

>>
Sonya memandangi Tina dengan gembira. Sejak tadi dia dan kelima senior ceweknya sibuk memprediksikan hasil penembakan Hendra.

"Sonya, kira-kira diterima nggak ya?" tanya Pia berharap.

"Haha nggak tahu juga sih saya Kak," tawa Sonya. "Kayaknya sih..."

"Eh, emangnya Tina bilang apa soal Hendra?" tanya Maria.

"Eng... yang saya tahu sih Kak, Kak Hendra selalu ada kapanpun Tina butuh..." jawab Sonya, ragu dengan jawabannya sendiri.

"Apa Tina suka Hendra?" tanya Vita langsung. "Waah, bagus banget kalau mereka jadian!"

"Saya juga berharap gitu, Kak," senyum Sonya.

Lalu mereka memusatkan perhatian pada kejadian di taman depan asrama cewek itu.

"Apa, Kak?" tanya Tina tak percaya, tepat setelah Hendra mengungkapkan perasaannya.

"Perlu saya ulang sampai berapa kali agar kamu percaya?" tanya Hendra, tersenyum.

"Ah, maksud saya bukan begitu, Kak," ujar Tina gugup. "Kakak... selalu ada waktu aku lagi sedih."

Hendra tersenyum. "Kebetulan."

"Kebetulan yang menyenangkan," tambah Tina.

Hendra mengangguk. "Jadi... maukah kamu...?"

Tina tak mau terdengar terlalu antusias. "Ehm... saya..."

"Saya terima apapun jawaban kamu," tambah Hendra.

Tina mendongak memandang Hendra karena mendengar kalimat barusan. "Kakak..."

Suasana hening yang menyusul begitu sarat makna.

"Ya..." jawab Tina, menunduk malu-malu. "Saya mau..."

Serentak Kido, Frans, Bona, dan Simon berhigh-five (mengacungkan tinju ke udara, red) bersama, lalu merangkul Hendra, memberinya selamat. Sonya menghambur memeluk Tina setelah ikut berteriak senang bersama kelima senior ceweknya.

Hendra terlihat lega.

Simon memandangi Sonya ketika dengan gembira ia merangkul sahabatnya dan mengucapkan selamat. Dia juga menatap Maria ketika gadis itu memberi selamat pada Tina dibarengi senyum manisnya. Sonya mengabaikan kedua hal ini.

"Hebaaat!" sorak Febe. "Kalian kapan nyusul, niih..."

Febe menyindir Simon dan Maria yang sedang mengobrol. Mereka menghentikan pembicaraan, saling lirik, dan entah kenapa, Sonya melihat keduanya salah tingkah. Pemandangan ini agak menyentakkan hatinya. Ia menggenggam erat, di dalam sakunya, sapu tangan milik Simon yang selalu dibawanya kemana-mana.

"Bentar lagi," kata Frans yang berdiri berdampingan dengan Greys. "Ya kan, Mon?"

Tidak ada yang memperhatikan perubahan pada raut wajah Sonya kecuali Hendra.

"Hei... sudah deh," kata Hendra. "Eh... makasih ya..." sambungnya, menatap Tina.

Tina mengangguk. Sonya melepas rangkulannya pada Tina dan membiarkan Tina mengobrol dengan Hendra. Sonya tak tahan lagi dan dia butuh ketenangan, sendirian. Kamarnya rasanya bisa memberikan keduanya.

"Kakak..." panggilnya pada Pia. Senior yang lain tidak melihat karena sedang sibuk bercengkrama dengan Hendra dan Tina.

"Ya?"

"Saya... ke kamar dulu..." gumamnya, mendadak kepalanya terasa sakit. "Pusing..."

"Eh? Eh?" Pia terdengar cemas. "Perlu aku temenin? Nanti kamu pingsan..."

"Nggak apa-apa, Kak..."

Sonya melempar senyum pada Tina sekilas, berharap memberikan pandangan aku-tidak-apa-apa padanya. Sonya sendiri juga berharap dirinya benar-benar tidak apa-apa.

* * *

Sonya bergerak seperti robot yang sudah disetting untuk mengerjakan segala sesuatu. Dia melamun dan bahkan tidak sadar apa yang dilakukannya. Dia baru menoleh ketika Butet muncul dari kamarnya yang dilewati Sonya.

"Ada apa di luar, Sonya?" tanya Butet. "Vita nggak ada di kamar, aku kira..."

Butet memandang Sonya penuh tanya.

Sonya tersenyum. "Itu, Kak... Kak Hendra nembak Tina..."

"Ah, masa?"

"Beneran, Kak... lagi rame di bawah."

"Lihat, ah..." kata Butet, lalu keluar dari kamar dan menguncinya.

Sonya cuma bisa memandangi Butet berlari-lari sepanjang koridor dan menghilang di ujung. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya menuju kamar.

Kenapa perasaan ini mesti muncul sekarang? sesal Sonya. Kenapa justru di saat sahabatku berbahagia? Dan kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang menyukai orang lain?

Tuhan, kenapa Engkau menciptakan seseorang yang bisa kucintai tetapi tidak bisa membalasnya?

Sonya sudah nyaris menangis ketika tiba di depan pintu kamarnya. Ia menghela napas panjang sekali. Kemudian menelepon Randy, bercerita panjang lebar tentang kejadian malam ini. Sambil menangis. Rasa gembiranya untuk Tina bercampur dengan rasa sedihnya untuk Simon.

"Sudahlah..." kata Randy, yang sudah sangat mengantuk, tetapi ditahannya untuk menemani sahabatnya. "Sudah kubilang mereka belum ada ikatan apa-apa. Masih ada kesempatan untukmu. Siapa tahu Kak Simon bisa jadi suka sama kamu."

"Rasa suka nggak bisa dipaksain, Ran..." gumam Sonya.

"Memang, tapi coba lihat Kak Hendra? Dulu katanya dia suka sama Kak Butet. Sekarang suka sama Tina. See? Rasa suka bisa berubah-ubah."

"Tapi..."

"Coba aja dulu," kata Randy, lalu menguap tanpa bisa ditahannya. "Eh, sori."

"Kamu ngantuk, ya?"

"Nggak juga, sih..." tapi bersamaan dengan itu Randy menguap lagi.

"Tidurlah... sori bangunin kamu malam-malam."

"Okee."

"Makasih ya."

"Hama-hama," ucap Randy tak jelas.

Sonya menunggu Randy memutuskan hubungan telepon. Kemudian ia naik ke tempat tidur.

Samar-samar didengarnya keramaian di luar.

"Ayo kita nyanyiii!!" terdengar suara Pia. "Mumpung ada gitar..."

"Tina duluan, yang baru jadian nih," kata Febe senang.

"Mau lagu apa?" tanya Hendra. Tina tersipu malu.

"Saya mau lagunya Vierra... yang judulnya Bintang."

Kemudian Hendra memetik gitarnya mengiringi Tina menyanyi.

Malam yang indah
Kau ada disini
Mengisi kosongku
Dan berkata sayang

Tak pernah ku ragu
Hanya dirinya satu
Tak pernah ku ragu
Cerita cintaku

Oh bintang-bintang
Bawalah aku terbang tinggi
Bersamanya
Karena dia yang aku mau

Bintang-bintang
Kabulkan permohonanku

Tina selesai menyanyi. Terdengar siutan usil dari Bona.

"Cieeee..." sindir Butet yang sudah tiba sejak tadi.

"Ehem..." seru Pia dan Greys berbarengan.

"Prikitiew!" timpal Frans.

"Buat dia, nih, Tin?" tanya Maria. Tina hanya tersenyum dan mengangguk malu. Hendra nyengir, lalu rambutnya diacak-acak Bona, lengannya disikut Simon, dan perutnya ditonjok Kido.

"Ayoo siapa yang mau nyanyi lagiiii?" tanya Pia. "Simon, loe nyanyi dong! Buat Marsel..."

Terdengar siutan riuh dari para senior. Sonya, yang mendengarkan, membayangkan Maria dan Simon salah tingkah.

"Kalian ini..." Maria menegur, tetapi mukanya merah.

"Waaah, muka loe merah, Mar!" kata Febe. Butet dan Vita tertawa.

"Iya deh gue nyanyi," kata Simon akhirnya. "Tapi kali ini bukan untuk Marsel," tambahnya, melihat teman-temannya hendak bersiul lagi.

"Yaaaah!" keluh teman-temannya. Simon nyengir. Maria tertawa.

Simon memetik gitarnya dan begitu mendengar intro-nya, Sonya tahu itu lagu David Archuleta - Desperate.

You're reachin' out
And no one hears your cry
You're freakin' out again
'Cause all your fears remind you
Another dream has come undone
You feel so small and lost
Like you're the only one
You wanna scream,
'Cause you're desperate

You want somebody, just anybody
To lay their hands on your soul tonight
You want a reason to keep believin'
That some day you're gonna see the light

You're in the dark
There's no one left to call
And sleep's you're only friend
But even sleep can't hide you
From all those tears and all the pain
And all the days you wasted pushin' them away
It's your life; it's time you face it

You know the things have gotta change
You can't go back, you find a way
And day by day you start to come alive

You want somebody, just anybody
To bring some peace to your soul tonight
You want a reason to keep believin'
That some day you're gonna see the light
'Cause you're desperate
Desperate
'Cause you're desperate tonight
Oh, desperate
So desperate tonight
Tonight

Entah kenapa mendengar lagu itu membuat Sonya tenang. Sonya juga mengira ada sesuatu di dalam hatinya yang menyuruhnya untuk mempercayai bahwa lagu itu ditujukan untuknya. Liriknya terutama, menusuk hati Sonya.

"Buat siapa, Mon?" tanya Kido. Simon melihat pandangan Kido seolah Kido bertanya 'buat Sonya, ya?'. Simon mengangkat alis.

"Buat adek gue..." gumam Simon. Ia melirik ke gedung asrama putri, lirikan kecil sekali, hingga hanya Kido dan Tina yang melihatnya, dan mereka langsung sadar siapa yang dimaksud Simon.

Sayang sekali Sonya tak bisa melihat lirikan Simon.

Sonya berpura-pura sudah tertidur ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke kamarnya. Tina sudah kembali. Sonya membelakangi pintu kamar agar pemandangan yang dilihat Tina hanyalah punggung Sonya, bukan wajah berlinangan air mata Sonya.

"Sonya?" tanya Tina ketika membuka pintu, suaranya terdengar riang. "Kamu sudah tidur?"

Sonya tidak menjawab. Matanya terpejam.

"Kak Simon kirim salam buat kamu..." ujar Tina, saking senangnya, mengabaikan fakta bahwa mungkin saja Sonya sudah tidur dan tidak mendengar kalimatnya. "Dia memintaku untuk memastikan kamu baik-baik saja. Kata Kak Pia tadi kamu pusing?" Tina menggantung jaketnya. "Yah... kalau kamu sudah tidur... berarti sia-sia saja aku bicara... besok saja deh aku bilang ke kamu."

Cuma dua kalimat yang dicerna Sonya dengan baik. Tanpa ia sadari ada sebuah senyuman tersungging dibibirnya.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Saya juga mau dinyanyiin sama Kak Simon... T.T Fanfiction kali ini banyakan lirik lagunya, makanya panjang, haha.

R.A.
27 Juli 2010 --> hari ini Macau Open GPG dimulaai!! Berjuanglah, para pahlawan bulutangkis Indonesia!! XD
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part X)

Senin, 26 Juli 2010

Fourth Chapter

"Kau pulang jam berapa nanti?" tanya Jayden saat dia menurunkanku di depan pintu gerbang tempat lesku.

"Jam satu, kenapa?" tanyaku. "Kita masih bisa nonton Indonesia Open kan."

"Benar. Oh, dan aku tidak mau membawa cemilan lagi. Kau harus masak," kata Jayden memaksa.

"Apa? Kau bercanda. Tidak ada apa-apa di rumah. Kau tahu itu."

"Bohong ah, kau dan Mama tadi belanja banyak kan."

"Itu kan persediaan untuk makanan berat. Bukan cemilan," kataku lagi.

"Tidak adakah yang bisa kau lakukan untuk teman sepermainanmu ini?" tanya Jayden memelas. "Kau tahu, aku sudah entah-berapa lama tidak makan..."

"Sejak zaman Belanda?" kelakarku. Aku sudah hafal sekali candaan Jayden yang seperti ini. "Kalau tidak salah tadi aku membeli beberapa kentang..."

"Naaaah, sip. Kita buat french fries," sahut Jayden, seolah itu menyelesaikan segalanya. “Biar kubawa smoked beef dari kulkas di rumahku. Mama tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan smoked beef itu," ujar Jayden, "jadi Mama bilang aku boleh melakukan apa saja dengannya."

Aku tertawa. "Mama tak tahu apa yang harus dilakukannya?"

Jayden mengangkat bahu. "Mamaku tak bisa masak yang aneh-aneh, kau lupa?"

"Oh, yeah," ujarku, masih tertawa. "Kau punya mayonaise?"

"Punya. Tapi aku tak punya keju."

"Baiklah, aku punya kok. Masih ada setengah sisa donat kemarin."

Jayden membuka mulutnya, tapi dia tak jadi bicara karena seorang gadis baru saja turun dari limo hitam. Azka berseri-seri melihatku. "Hai, Kyra. Dan kau pasti Jayden," katanya, memandang Jayden.

Aku dengan segera mengalihkan pandanganku pada Jayden. Kalau harus menggambarkan ekspresi yang timbul di wajahnya, aku akan memilih terkejut dan senang.

"Halo. Ini pertama kalinya aku melihatmu di luar sekolah, kan? Dan ini juga pertama kalinya kita berkenalan," kata Jayden. Aku kagum padanya – dia berhasil menyembunyikan rasa terkejut sesaatnya dengan cepat. "Jayden. Kau pasti..."

"Azka," ujar Azka, tersenyum. Lalu ia berbalik memandangku. "Oh, Kyra, kau tak akan percaya ini. Aku sudah tak sabar ingin menceritakannya padamuu."

Aku melirik Jayden. "Jadi, Jayden, jam setengah dua kau ke rumahku saja," kataku, agak keras, karena Jayden masih memandangi Azka meskipun dia sudah tidak melihat Jayden lagi. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat, lalu dia membuat sinyal mata padaku, yang kurasa itu berarti kenapa-kau-merusak-pemandanganku ketika Azka sedang melihat ke arah lain. Aku mengirim sinyal mata pada Jayden, yang kuharap berarti sudahlah-lekas-pergi-kami-akan-masuk. Rupanya dia menyadarinya, karena dia berkata, "Baiklah, kau pulang jam satu kan? Belajarlah dengan baik," dia mengacak rambutku ketika Azka menggandeng lenganku – Azka pasti melihat gerakan Jayden tadi, karena alis matanya terangkat, dan dia tersenyum aneh. Jayden terlihat salah tingkah.

"Hati-hatilah di jalan!" teriakku waktu Jayden meluncur menjauhiku. Dia mengacungkan jempolnya.

"Dia lucu, ya?" Azka tersenyum padaku.

"Oh, yeah, dia selalu begitu," ujarku gusar, seraya merapikan rambutku. "Ayo kita masuk kelas."

Azka masih memandangi jalan yang bebas-Jayden. Aku menariknya ke dalam.

"Jadi apa yang mau kau ceritakan?" tanyaku.

Azka terlihat sedang melamun, tetapi dia langsung menoleh mendengar pertanyaanku. "Oh, ya, benar. Mama mengganti uangku yang kubelikan buku samurai kemarin itu."

"Benarkah?" kataku riang. "Wah, kau beruntung sekali."

Azka mengangkat bahunya, tersenyum. "Yeah. Aku menceritakannya waktu makan malam – aku sama sekali tak minta ganti, padahal – dan Mama langsung mengambil uang di dompetnya dan memberikannya padaku."

"Baguslah. Kau tak perlu khawatir akan mati kekurangan makanan minggu ini," candaku. Meskipun secara teknis, yah, Azka tak akan mati kelaparan. Mamanya selalu memastikan perut Azka penuh sebelum ke sekolah.

"Nah, kalau begitu, ayo kita beli biskuit di mini market sebelah," Azka menarikku ke mini market di sebelah tempat lesku.

"Sudah kubilang aku tak punya uang lagi," kataku cemberut. "Mama mewanti-wantiku agar berhemat."

"Oh, ayolah..." pinta Azka manja. Dia tampak berpikir. "Kalau begitu kau masuklah dulu ke dalam. Aku hendak membeli sesuatu."

Dan aku pun masuk ke lobby, sementara Azka pergi ke mini market.
Beberapa anak perempuan teman les kami sedang ngerumpi di sofa. Salah satunya, kulihat, adalah Tiara, teman Azka sejak SMP. Dia juga kebetulan adalah pacar Kiki, teman dekatku juga, yang dulu kami sekelas di kelas sepuluh. Namun entah kenapa akhir-akhir ini dia lebih sering bicara dengan Azka dibandingkan denganku; kira-kira sejak dia pacaran dengan Tiara deh. Mungkin dia bicara tentang Tiara. Mereka sering sekali bertengkar, dan sering sekali mengumbar kemesraan. Aku sampai heran.

Tiara memanggilku. "Kyra. Azka mana?" tanyanya, melihat ke belakangku seolah aku sedang menyembunyikan Azka dari pandangannya.

"Di mini market sebelah..." gumamku, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Tiara. "Sedang membeli sesuatu."

Tiara menaikkan alisnya, lalu mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. "Halo, Sayang? Iya, aku sudah di tempat les. Cepatlah datang." Lalu mukanya berubah merah, dan dia berbisik, yang sayangnya masih bisa terdengar olehku, "love you too."

Aku berpura-pura tidak mendengar percakapan itu dan menguap. Setelah kulirik Tiara dan dia sudah terlihat biasa saat memasukkan ponsel ke saku celananya, aku bertanya. "Pelajaran apa hari ini?"

"Oh, Biologi dan Matematika," jawabnya.

Aku mengeluh keras-keras. "Huh. Tepat seperti yang aku butuhkan. Lebih banyak kebosanan."

Biologi adalah pelajaran yang tidak kusukai – atau kupikir tidak kusukai, karena tampaknya separuh isi kelas menyukai guru Biologi di tempat les kami. Bagiku guru itu membosankan. Cara ngomongnya itu lho, cobalah kau menghitung berapa menit yang dia butuhkan untuk membaca satu kalimat saja. Tapi anak-anak perempuan menyukainya karena dia cakep. Biasanya aku tertidur di belakang kelas kalau guru Biologi masuk.

"Kenapa sih kau tidak suka PakTyo?" tanya Tiara. "Dia kan cakep."

"Aku tidak menyukai suatu pelajaran hanya karena gurunya cakep, Tiara," ujarku.

Saat itu Azka masuk bersama Kiki, yang tampaknya terlibat pembicaraan serius. Tiara langsung melompat berdiri dan memeluk Azka – perhatikan: memeluk Azka, bukan Kiki – lalu berpaling ke arah pacarnya. Aku memejamkan mataku dan sesaat tidak bisa mendengar percakapan mereka.

"Nanti kita makan siang dimana?" tanya Tiara, sepertinya pada Kiki. Aku membuka mataku.

Kiki mengernyitkan dahinya. "Di Sasha’s saja?"

"Bagus," kata Tiara senang. "Kita bisa pesan sup asparagus disana. Enak sekali. Kau mau ikut tidak?" tanyanya pada Azka.

"Er," gumam Azka, dan aku berpura-pura tidak melihat kerlingan matanya padaku. Aku berpura-pura sibuk dengan brosur-brosur di atas meja. Tapi aku bisa mendengar Azka menolak ajakan itu.

Tak lama kemudian Azka duduk di sampingku.

"Kau tidak ikut bersama mereka?" tanyaku, mengacu ke Tiara dan Kiki yang sambil tertawa-tawa menuju ke kelas yang akan kami gunakan untuk belajar nanti.

"Eh, tidak," kata Azka. "Aku makan siang di rumah saja."

Aku perhatikan selama kami les di masa liburan ini, Tiara dan Kiki sering sekali pergi sepulang les untuk makan siang di restoran atau cafe. Atau mereka berjalan-jalan ke mall atau butik. Kadang mereka mengajak Azka untuk pergi bersama mereka. Mereka tak pernah mengajakku. Saat Tiara bicara pada Azka dengan semangat tentang rencana jalan-jalannya bersama Kiki, tak jarang Kiki mencuri-curi pandang padaku, tampak merasa bersalah. Kalau kulihat dari ekspresinya, dia ingin mengajakku, tapi tak punya keberanian untuk mengajakku di depan pacarnya sendiri. Di saat seperti itu aku biasanya menampakkan ekspresi ada-apa-sih? pada Kiki. Kiki biasanya mengerti dan dia mengangguk ke arah Tiara yang sedang berpaling. Aku membulatkan mulutku dan berkata tanpa suara, "tak apa-apa". Dan Kiki membuat anggukan kecil yang kurasa hanya aku yang bisa melihatnya, ditambah bisikan kecil, "maafkan aku!".

"Lagipula, mereka mau pergi ke toko buku yang kemarin kita kunjungi," kata Azka. "Sudahlah. Ini, lihat aku bawa apa..."
Azka membuka bungkusan yang dibawanya. Ada dua buah es krim, sekotak biskuit coklat, sebungkus besar keripik kentang, dan sebotol besar teh hijau.

"Wow. Kau lapar?" tanyaku terkagum-kagum.

Azka mengangguk, lalu nyengir. "Aku cuma makan sedikit pagi tadi. Bubur, kau tahu? Aku tak suka."

"Well, kau kan bisa menyuruh seseorang masak yang lain?"

"Tak ada orang di rumah. Aku bangun telat," tutur Azka. "Pembantuku sedang ke pasar. Di meja hanya ada note dari Mama; hangatkan bubur di microwave, katanya."

"Oh," gumamku. "Tak ada sesuatu di kulkas?" tanyaku.

"Kayaknya ada sosis."

"Oh," gumamku lagi. Aku tak bertanya lebih lanjut.

"Ayo kita makan," ujar Azka senang, membuka es krimnya. "Ini untukmu," katanya, memberiku sebungkus es krim.

"Tak usah," tolakku halus.

"Ayolaaah. Aku tak punya seseorang untuk berbagi di rumah," kata Azka.

Aku nyengir. "Trims," kataku, lalu kami berdua menyantap es krim itu di lobby.

Beberapa orang cowok masuk sambil tertawa tak jelas. Salah satu dari mereka mengenali aku, dan nyengir, lalu mengepalkan tangannya seolah hendak menumbukku. Aku membalas tersenyum, lalu menumbuk kepalan tangannya.

"Lagi pesta nih," sindir David, cowok yang tadi kutumbuk, mengambil kursi di meja informasi, lalu duduk di depanku dan Azka. Fathir menjatuhkan diri di sofa, di sebelahku, menguap lebar-lebar. Arjuna memilih tempat di sebelah Fathir, berusaha tidak mengganggu cewek-cewek yang sedang bergosip ramai di sebelah kanannya. Tak lama kemudian cewek-cewek itu terdiam dan menyadari bahwa Fathir sudah datang. Cowok itu memang punya banyak pengagum rahasia. Cewek-cewek itu lalu berbisik-bisik penuh gairah dan terkikik senang. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas mereka langsung pergi ke kelas sambil mencuri-curi pandang ke arah Fathir, yang tak memedulikan mereka, karena dia sedang bersandar di sofa sambil tidur-tidur ayam. Benar saja, karena tak lama kemudian terdengar dengkurannya dan kepalanya jatuh di bahuku. Aku mendorong kepalanya ke arah bahu Arjuna, yang selalu sibuk dengan komputer sakunya.

Arjuna menoleh ke arahku. "Hei, Kyra, kenapa kau mendorongnya ke arahku?"

"Aku sedang sibuk, Jun."

"Bangunkan dia, kita sebentar lagi masuk."

Aku dan Azka mengeluh keras. Biskuit cokelat yang sedang kami makan masih tersisa banyak; padahal David sudah membantu kami.
Dua orang cowok masuk lagi melalui pintu depan. Itu Nino dan Arkaz. Anak kembar yang sama-sama cakep. Aku mengakui mereka cakep, aku juga mengakui Fathir cakep, tapi perasaanku kepada mereka ya hanya sebagai teman. Aku menyukai mereka sebagai teman. Lagipula Arkaz, seperti yang sudah diketahui semua orang, naksir berat pada Azka. Dia merasa ada takdir yang seharusnya terjadi antara mereka, seperti nama mereka yang mirip. Aku terus-terusan bilang padanya bahwa itu konyol. Arkaz dan Azka, kan beda sekali.

"Hai, Azka sayang..."

"Jangan panggil Azka sayang!" teriakku.

Semua orang tertawa.

Nino melihat kotak biskuit cokelat yang ada di meja. "Minta satu," katanya. Azka mengangguk.

"Hei, Glenn datang!" seru David, melihat dari pintu kaca lobby. Kepala Fathir terkulai ke bahuku lagi saat Arjuna berdiri.

"Oh, ayo kita sambut dia," kata Arjuna senang.

David, Arjuna, Nino, dan Arkaz sudah berbaris seperti pagar bagus di sisi kanan dan kiri pintu masuk.

"Selamat datang, Pak Glenn..." mereka membungkuk saat Glenn masuk – pintunya dibukakan oleh Nino dan Arkaz.

"Anda mau minum apa, Pak? Kopi? Teh? Jus? Atau es krim?" tanya David gembira, menyorongkan nampan yang tidak kelihatan kepada Glenn, yang tampak malu.

"Teman-teman," gumam Glenn. "Kalian tidak perlu..."

"Pak, rencana bulan ini sudah saya susun," aku ikut-ikutan berdiri menyambut Glenn dengan buku les di pelukanku – aku membiarkan Fathir meringkuk di sofa, sementara Azka terkikik. "Dan laporan sudah saya minta Arjuna mengetiknya," kataku, mengangguk kepada Arjuna, yang dengan semangat membuka komputer sakunya.

"Ini, Pak, catatan dan laporan kampanye bulan lalu yang sukses kita laksanakan..." Arjuna menunjukkan layar komputernya, yang kosong. "Untuk kampanye bulan depan, saya rasa..."

"Kalian tidak bisa berhenti, ya?" teriak Glenn kesal. Aku dan Azka tertawa-tawa di sofa. David sampai terbungkuk-bungkuk. Nino dan Arkaz tertawa sambil berhigh-five.

Arjuna menepuk bahu Glenn, kentara sekali menahan tawanya agar tidak tersembur keluar. "Santai, kawan," katanya. "Ini cara kami merayakan kegembiraan teman kami yang ayahnya sukses mengadakan kampanye kemarin..."

Ayah Glenn, yang gemar sekali tertawa itu, baru-baru ini mengajukan diri menjadi bakal calon legislatif. Beliau berhasil menyingkirkan belasan orang lainnya pada seleksi pertama dan bulan lalu beliau menggelar kampanye yang sukses besar. Kini wajah riang ayah Glenn sering kulihat di spanduk-spanduk di sudut-sudut kota, di depan tempat les, juga. Kami sering sekali mengganggu Glenn dan menyindir-nyindirnya; di tempat les, di sekolah, bahkan waktu latihan band.

"Trims," kata Glenn, yang masih cemberut. "Tapi kan tidak begini caranya..."

Aku memandang berkeliling. Selain kami, ada segerombol anak SMA lain di lobby itu. Mereka memandang kami ingin tahu. Dua orang cewek berbisik-bisik seru sambil melihat Fathir yang terlelap di sofa. Aku nyengir.

"Hei, sudahlah," kata Azka, melihat wajah suram Glenn yang memandangi David yang masih tertawa. "Ayo kita masuk."

"Ayo, Azka," Arkaz mengulurkan tangannya, berharap Azka menyambut dan menggandengnya. Azka nyengir, lalu meraih tangan Arkaz, yang langsung ditumbuk bahunya oleh Nino. "Argh," gumam Arkaz, mengusap bahunya. Azka dan aku bertatapan, dan aku bisa melihat dia tersenyum pasrah. Mereka lalu pergi.

"Yuk," Glenn mengajakku.

"Sebentar," aku menoleh ke sofa, mencari tasku, yang sudah tidak ada. "Lho?"

"Mencari ini?" tanya David dari belakangku, dan tasku ada dalam genggamannya. "Nih," dia menyodorkannya padaku.

Sedetik kemudian aku tahu bahwa dia tidak menyodorkan tasku padaku, tapi membiarkan tasku direbut Nino yang langsung berlari menyusuri koridor sambil tertawa.

"HEI!" teriakku.

David menepuk punggungku. "Sori," katanya nyengir.

Aku manyun. "Sisakan bangku untukku!" teriakku, sebelum David menghilang di ujung lorong. Aku sempat melihat jempol tangannya teracung.

"Jun, kau tidak ikut?" tanya Glenn, yang sudah tidak marah lagi. Arjuna sedang sibuk mematikan komputer sakunya, bergumam singkat, yang aku tak bisa mendengarnya. "Ayo kita pergi," Glenn mendorongku agar berjalan lebih cepat di koridor.

"Tunggu, si Fathir gimana?" tanyaku.

Tepat saat aku selesai mengatakan itu, terdengar suara Fathir meraung dari lobby. "WHOI!"

Tak lama Arjuna menyusul kami ke koridor. "Aku menggebuknya dengan tas," katanya cepat. Lalu dia melesat pergi.

Fathir sampai ketika kami masih asyik tertawa. "Mana dia? Mana Jun? Mana tasku?"

"Dia sudah kabur," jelasku.

"Kita bareng saja," ajak Glenn.

Fathir masih terlihat kesal karena Arjuna menggebuknya.

"Akan kubalas Jun," gumamnya. "Kutunggu dia di perempatan nanti..."

"Untuk apa? Kau mau traktir makan?" tanyaku. "Aku mau ikut."

Fathir menatapku, wajahnya terlihat lelah.

Aku hanya bisa mengacungkan jari telunjuk dan tengahku. "Peace."
* * *
Continue reading Fourth Chapter

Third Chapter

Ketika malam itu aku sedang mencuci piring sehabis makan malam, kudengar Mama berseru dari ruang keluarga.

"Kyra sayang, ponselmu berbunyi," kata Mama. Aku langsung terbang dari dapur ke kamarku. Ringtone ponselku, 'My Hands' dari David Archuleta bergema. Di layarnya ada gambar panggilan masuk ke ponselku dan dibawah gambar itu ada tulisan 'Jayden'. Aku mengangkatnya.

"Haloo," kataku.

"Kyra! Syukurlah kau mengangkatnya. Kukira kau..."

"Kau kenapa?" selaku, mendengar suara Jayden yang terdengar gelisah.

"Begini, jangan kaget ya, tapi aku sedang berada di kantor polisi, dan..."

"Sedang apa kau di kantor polisi?" hatiku mencelos.

"Aku kena tilang, jadi..."

"Kenapa kau bisa kena tilang? Kau tidak memakai helm? Spionmu kurang satu?"

"Bukan, aku..."

"Atau kau lupa membawa SIM? Menerobos lampu merah? Kenapa?"

"Polisi itu menahanku karena ada razia orang cakep..."

"Kumatikan."

Dan aku benar-benar mematikan ponselku. Dasar. Bercanda kok nggak lihat-lihat sikon. Dia nggak tahu aku sedang sibuk mencuci. Dan bodohnya aku percaya saja dia berbohong begitu padaku!

Mama bertanya padaku ketika aku keluar kamar. "Kenapa, Kyra?"

"Orang iseng, Ma."

Papa tertawa. "Bukannya Jayden?"

"Iya, dia yang iseng, Pa."

Mama dan Papa sudah hafal kalau ringtone khusus Jayden adalah 'My Hands'.

Aku kembali ke dapur untuk menyelesaikan cucian piringku. Hhhh. Ayam bakar bumbu kecap bikinan Mama memang enak sekali. Cuma nyuci panggangannya itu lho, nggak tahan.

Tak lama Mama datang ke dapur membawa ponselku. "Kyra, Jayden menelepon. Ini," Mama menyodorkan ponselku. Aduh Mama... kenapa mesti diangkat segala sih...

"Apa?" bentakku setelah mencuci tanganku bersih-bersih dan mengeringkannya.

Jayden tertawa. "Maaf, maaf... kupikir kau sedang senggang, jadi ya... aku berniat menggodamu..."

"Tidak lucu, tahu." Aku teringat perasaanku yang cemas saat Jayden menelepon dengan gelisah.

"Oh, kau betulan cemas, ya?" tanya Jayden, nada suaranya berubah. "Maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Betulan," aku meyakinkan Jayden. "Cuma saja aku tadi sedang mencuci piring."

"Hmm... aku lupa."

Jayden juga biasanya mencuci piring sehabis makan bersama keluarganya, dan biasanya kami mencuci pada jam yang sama. Kebetulan yang aneh kan.

"Jadi, kenapa kau meneleponku?" tanyaku.

"Begini, emm... kau mungkin akan kaget mendengarnya..."

"Tidak akan lah," ujarku. "Aku sudah cukup kaget mendengar kau di kantor polisi tadi."

"Hahaha. Aku akan mengantarmu ke tempat les besok."

Begitu saja. Tanpa tedeng aling-aling. Langsung pada poinnya. Aku terdiam sejenak. "APA?"

"Tuhkan, kau kaget."

"Tidak, bukan begituuuu..." aku ternganga. Selama ini Jayden hanya mengantarku ke tempat-tempat yang akan kami kunjungi bersama; sekolah, toko buku, warnet, bioskop. Yang kami akan pergi berdua ke sana. Ke tempat les? Jayden tidak pernah mengantarku. Mama yang biasanya mengantarku. Naik motor. Aku pun tak pernah meminta Jayden untuk mengantarku ke suatu tempat yang hanya aku yang punya urusan disana. Aku tak ingin membuat Jayden seperti sopirku, yang bisa mengantarku kemana saja. Kalaupun kami akan pergi bersama, ajakan Jayden selalu 'kita pergi ke situ yuk?' atau 'ada toko bagus. Besok kita lihat ya'. Perhatikan bahwa dia selalu menggunakan kata 'kita'. Bukan 'aku'.

Baru kali ini sepanjang ingatanku, dia menggunakan kata 'aku' untuk mengajakku pergi ke suatu tempat.

"Heeii," aku tertawa, "pasti ada apa-apanya nih."

"Tiidaak kook," Jayden ikut tertawa. "Cuma pengen saja."

"Hayo, bilang ah. Ini pertama kalinya kau mengantarku ke tempat yang akan aku kunjungi, bukan yang akan kita kunjungi."

"Ingatanmu hebat sekali."

Lalu aku teringat limo hitam yang meluncur menjauhiku di depan toko buku. "Azka, ya?" tebakku asal.

Tak terdengar apa-apa di seberang sana. Aku rasanya bisa mendengar otak Jayden bekerja untuk memikirkan alasan yang lebih bisa kuterima.

"Bukan, kok," akhirnya Jayden menjawab. "Kan kasihan ibumu, setiap hari mengantarmu les, padahal kan ini liburan. Lebih baik ibumu istirahat di rumah..."

"Ooh, iya juga ya," ujarku, mencoba menerima kebohongan Jayden. "Jujur saja lah padaku, Jayden. Aku kan sahabatmu."

"Haha, sudah kuduga aku tak bisa bohong padamu," kata Jayden. "Azka menarik juga."

"Sejak kapan?"

"Sejak kita kelas dua."

"Oho?" aku tertawa. "Dan kau menunggu selama ini karena kau tidak berani mengatakannya pada Azka?"

"Aku menunggu," katanya jujur. "Dan tak kusangka bahwa Azka... dekat denganmu."

"Jadi maksudmu kau ingin minta bantuanku untuk bisa mendekati Azka dan bicara dengannya?" tanyaku memastikan. Aku pandai sekali menebak isi kalimat Jayden yang kadang tidak jelas.

"Eh... tidak harus mengatakan perasaanku padanya. Bisa bicara padanya sebagai teman saja aku sudah senang," jawab Jayden lagi.

"Baiklah, baiklah..." kataku.

"Besok kujemput kau jam berapa?" tanya Jayden.

"Jam sepuluh. Lesnya mulai jam setengah sebelas."

"Okee... see you tomorrow..."

"Ya," kataku tersenyum.

Atau, benarkah aku tersenyum? Karena aku merasakan desiran aneh di dadaku saat mendengar Jayden bicara tentang Azka.

* * *

Keesokan harinya Jayden nyengir waktu kubuka pintu depan; cengiran yang sama saat dia hendak menonton Indonesia Open kemarin.

"Kau telepon saja ke ponselku, pasti aku langsung ke pintu depan. Tidak perlu mengetuk pintu segala kan?" sahutku, sambil menyilakannya masuk.

"Kan harus minta izin ke Mama dulu..."

"Oh, iya, aku lupa, kan latihan kalau nanti ngajak Azka malam mingguan, ya..."

Jayden melemparku dengan bantal sofa. Aku memanggil Mama dari dapur; Mama sedang memasak makan siang. Tergopoh-gopoh Mama menuju ruang tamu.

"Eh, iya, hati-hati ya, Jayden. Aduuh, Tante tertolong sekali ini. Habis ini Tante ada pengajian di rumah Bu Husna. Jadi nggak bisa ngantar Kyra. Tadinya Kyra malah mau Tante suruh nggak usah les aja. Tapi kan sayang udah dibayarin mahal-mahal, ya?" Mama bercerita. "Ya sudah, kalian pergilah, nanti terlambat. Hati-hati ya, Jayden."

Jayden menyalami Mama sambil mengangguk. Aku menyalami Mama sambil berpamitan.

"Aku beritahu ya," kataku di perjalanan. "Azka itu disayang sama orangtuanya. Selama ini tak ada satu pun cowok yang bisa mendekatinya. Dan asal kau tahu, Azka belum pernah pacaran. Sudah berjuta cowok yang mencoba menjadi pacarnya, tapi selalu gagal dan menyerah di tengah-tengah."

"Berjuta?"

"Oh, kau tahulah, kiasan."

"Kau lebih dekat dengan Azka daripada yang aku perkirakan," kata Jayden.

Aku mulai dekat dengan Azka waktu kelas satu SMA. Aku dan Jayden terpaksa dipisahkan karena beda kelas, dan Azka-lah satu-satunya teman perempuanku yang dekat-sejak-masa-ospek. Kami sebangku waktu kelas satu, dan untungnya lagi, kami sekelas di XI IPA 6. Jayden masuk IPA 3. Pantaslah dia tak tahu apa-apa tentang aku di kelasku. Aku pun tak terlalu senang menceritakan keadaanku di kelas pada Jayden, dan dia juga tak terlalu excited menceritakan kelasnya. Bagi kami, kelas kami ya kelas kami. Masalah yang terjadi didalamnya, tak perlulah diceritakan pada anak kelas lain.

Azka juga sering menemaniku makan di cafeteria. Azka menemaniku kemana saja kalau sedang di sekolah. Yah, memang sih kami tak hanya makan berdua saja di cafeteria, tapi dengan segerombol anak-anak perempuan kelas XI IPA 6. Hanya ada lima belas cewek di IPA 6, cowoknya dua puluh. Seperempat dari jumlah cowok di IPA 6 adalah teman dekatku. Aku lebih suka berteman dengan anak cowok, kalian ingat kan?
Dan kelima-limanya pernah minta bantuanku untuk mencoba mendekati Azka.

Ketika aku mengutarakan fakta-fakta ini kepada Jayden, dia meneguk ludahnya seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku mengangkat alisku sejenak.

"Kau menyukainya, ya?" tanyaku langsung.

Jayden mengangguk. Aku tak menyalahkannya soal pengakuannya yang segamblang ini. Seperti kata Norah McClintock di novelnya Break and Enter, tak ada rumus mengenai perasaan suka pada seseorang.

Selama aku mengenal Jayden, aku tak pernah mendengarnya menyukai seseorang. Dia tidak pernah cerita apa-apa tentang gadis yang ditaksirnya – karena memang tidak ada gadis yang ditaksirnya! Jarang sekali kudengar Jayden bicara soal cinta. Satu-satunya yang pernah ditanyakannya adalah "Siapa cinta pertamamu, Kyra?" waktu kami kelas tiga SMP. Kujawab dengan pasti, "Ricky Subagja." Dan dia pun menyerah membicarakan tentang cinta sejak itu.

Teman-teman selalu berkata "Wahai Kyra, sungguh nyamannya hidupmu. Kau tampak tak ada beban setiap saat," begitu kata Julie sambil memelukku. Dia memang mengatakan yang sebenarnya; aku punya rumah, punya orang tua yang adem ayem, punya sahabat yang selalu ada, meskipun aku dan keluargaku jarang keluar rumah tapi aku bahagia. Aku punya kebahagiaan. Jadi, aku tak melihat ada beban yang memberatkan punggungku seperti kebanyakan cewek di kelas – tentang sikap pacarnya yang tiba-tiba berubah, misalnya, atau ketika mereka melihat cowok cakep di kelas tiga. Aku bersyukur setiap saat.

"Kalau kau suka, bilang saja. Azka selama ini mengeluh tentang cowok-cowok yang mendekatinya seolah dia itu putri yang dipingit. Mereka takut-takut. Gunakanlah keberanianmu untuk langsung menembaknya," saranku.

Jayden adalah tipe cowok yang tak kenal takut. Coba sebutkan macam-macam phobia – ketinggian, hantu, kecoa, benda tajam, kotor, dan sebagainya di depan Jayden, maka kau tak akan melihat perubahan sedikitpun di raut mukanya.

"Tidak... aku mau mengenalnya dulu ah," kata Jayden.

"Hmm? Kau tak salah minum atau obat atau bagaimana?" tanyaku heran.

"Memang kenapa?"

"Kau kelihatan beda."

Jayden tak langsung menjawab. Dan saat dia menjawab, hanya satu kata singkat.

"Mungkin."
Continue reading Third Chapter
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (IX)

Salam, Pembaca!

Percaya atau tidak, sebelum saya menulis fanfiction part sembilan ini, saya membaca keseluruhan fanfiction dari part 1 sampe 8 (hey, ini almamater saya, SMAN 8 ^^) karena SAYA LUPA SAMA CERITA AWAL YANG SAYA TULIS. Silakan sebut saya pikun atau apalah. Yang jelas saya lupa, benar-benar lupa cerita-cerita di bagian awal. Haduuu~ memang otak saya ini aneh. Bagaimanapun, yah, inilah fanfiction 'Rhapsody in Pelatnas' part 9.
Happy reading! :))

>>
Keheningan menyelimuti kamar Hendra dan Kido. Hendra nyengir, lalu memetik gitarnya, memainkan beberapa nada. Alvent masih ternganga, tidak siap menerima berita mengejutkan yang tiba-tiba itu. Kido dan Simon berpandangan heran.

"Malam ini?"

"Kok cepet banget loe mutusin gitu?"

"Rencana loe apaan?"

Mereka bertiga bertanya berbarengan. Hendra tertawa. "Santai bro... gue udah mikirin ini sejak lama. Gue pikir, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Bukannya loe yang pernah bilang gitu sama Ahsan, Vent?"

Alvent yang ditanyai mendadak gagap (maaf, Kak Alvent, saya tidak ada maksud apa-apa!). "Eh... oh... ya... gue... emang... pernah ngomong gitu sama Ahsan sebelum dia nembak..."

"Nah, kalau gitu gue bener dong?" tanya Hendra lagi pada semuanya.

"Jadi loe beneran suka sama Tina?" tegas Simon.

"Yah, kalo enggak, buat apa gue ngerencanain ini semua?"

"Gue kira loe suka ama Butet..." ujar Kido tak percaya. "Gue kira loe bakal nembak dia..."

"Gue emang suka, dulu... tapi sekarang rasa suka itu udah pudar, gue anggep dia temen..." terang Hendra.

"Terus rencana loe malam ini apa?" tanya Simon. "Buat Tina?"

"Nah, disini gue minta bantuan loe, Mon," ujar Hendra serius. "Gue minta tolong dong, cariin nomer hape Tina... loe kan bisa tanya Sonya, nah, gue, nggak bisa, nanti dia pasti tanya-tanya."

"Yee, kalo gitu juga sama lah, dia juga pasti nanya ke gue buat apa gue minta nomor temennya," tolak Simon. "Mending loe minta tolong Alvent, tuh, dia kan nggak ada urusan."

"Justru karena gue nggak ada urusan, makanya kenapa mesti gue yang dimintain tolong?" tanya Alvent bingung.

"Udah deh, biar gue suruh Pia yang tanyain, langsung sama Tina-nya, kalo cewek sama cewek kan aman tuh..." kata Kido menengahi.

"Sip kalo gitu, Bang," Hendra nyengir.

* * *

"AIRIN NEMBAK KAMU?" teriak Sonya dan Tina berbarengan, membuat Maria dan Vita yang sedang mengobrol di dekat mereka terlonjak.

"Kamu gak bohongin kita kan, Ran," Sonya benar-benar menolak percaya pada Randy saat itu.

"Ah, aku nggak bisa percaya ini!" Tina menjerit.

Randy tersenyum lemah. "Ya, kalian sih nggak akan percaya, aku sendiri juga susah percaya waktu dia bilang gitu..."

"Terus kamu terima?" tanya Tina tanpa berpikir.

"Ya enggaklah," jawab Sonya. Randy mengangguk.

"Apa alasan kamu? Dia tanya nggak?" tanya Tina lagi.

"Yah, aku bilang aku cuma anggap dia teman," jawab Randy, mengangkat bahu, "memang apa lagi yang bisa kukatakan? Aku juga bilang kalau kayaknya Sonya," Randy melirik Sonya, "nggak akan terlalu senang kalau aku jadian sama dia."

Tina mengangguk-angguk, tetapi Sonya mengernyitkan dahinya. "Hei, kamu nggak perlu ngomong gitu dong sama dia. Kesannya aku..." Sonya berpikir-pikir, mencari kata yang tepat, "...egois."

"Habis aku bingung mau bilang apa lagi," Randy membela diri. "Sekalian aja kubilang kamu benci sama temennya."

"Itu sih jahat banget. Nggak, mestinya itu jadi masalah antara perasaan kalian berdua aja, nggak perlu ada tuntutan dari pihak lain," jelas Sonya.

"Maksudmu, kalau aku beneran suka sama dia, aku terima dia?" tanya Randy memperjelas.

"Yah, perasaan nggak bisa dibohongin, kan," kali ini giliran Sonya yang mengangkat bahu. "Okelah aku nggak suka sama Eri dan jadinya juga anti sama Airin, tapi kalau kamu memang bener suka sama Airin, kamu bisa terima dia tanpa memedulikan aku," tambah Sonya.

"Kalau begitu aku yang jahat terhadap sahabat aku sendiri," komentar Randy.

"Tapi kamu menolaknya murni karena kamu beneran nggak ada perasaan sama dia, kan?" tanya Tina.

"Yeah..."

"Kalau begitu masalah clear," kata Tina puas. "Randy nggak naksir Airin. Ini cuma perasaan satu orang aja."

Sonya mengangguk-angguk. Randy manggut-manggut. Lalu Pia dan Febe tiba-tiba datang.

"Haaii, semuaaa," sapa Pia ramah.

"Hai, Kak," balas mereka bertiga.

"Sonya, Tina, bisa minta nomor hape kalian nggak?" tanya Pia.

"Ha?" Tina membelalak. "Boleh aja, sih, Kak..." gumamnya, diiyakan Sonya.

"Buat data aja," kata Febe, menjawab pandangan mata bingung dari Sonya. "Kalau misalnya ada apa-apa dan kami butuh kalian..."

Lalu mereka saling menukar nomor masing-masing.

"Saya enggak, Kak?" tanya Randy penuh harap.

"Ngarep, Ran?" celetuk Tina usil. Pia dan Febe tertawa.

"Kamu tukeran sama senior cowok aja, gih," saran Febe. "Okeee, makasih ya adik-adikku sayang."

Pia dan Febe melambai, bertemu Maria dan Vita dan bergabung dengan mereka berjalan menjauhi Randy, Sonya, dan Tina.

* * *

Malamnya di kamar Tina dan Sonya. Sonya sudah bersiap akan tidur dan menyelimuti dirinya dengan selimut. Tina masih mengetik di laptop.

"Rajin amat Jeng," gumam Sonya, menguap.

"Ngetik buku harian," jawab Tina, nyengir.

"Hoaaahm," kuap Sonya. "Capek banget aku."

"Cepatlah tidur," saran Tina.

"Ya," Sonya memandangi meja nakas yang diatasnya diletakkan sapu tangan Simon. Sonya menghela napas panjang. Sampai sekarang pun dia belum sempat mengucapkan terima kasih pada Simon.

Kemudian didengarnya Tina naik ke atas tempat tidur - suara tempat tidur yang berderit ketika Tina merebahkan diri itu yang didengarnya.

Sonya tahu bahwa Tina juga belum berniat tidur. Tetapi, tak ada diantara mereka yang berminat membuka pembicaraan.

"Akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi ya, Sonya," kata Tina.

Sonya tak perlu berpikir jauh untuk mengerti 'banyak hal yang terjadi' yang dimaksudkan Tina.

"Yeah," gumam Sonya sambil menguap. "Padahal ini baru minggu kedua kita di Pelatnas."

"Dan kita sudah patah hati," tambah Tina, tertawa. Sonya mendengar kegetiran dalam tawanya.

"Hahaha, memang nasib sedang tidak berpihak pada kita," tawa Sonya.

"Dan..."

Suara Tina disela dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi.

"Punyamu?" tanya Sonya.

"Iyaaa," jawab Tina, meraba meja nakasnya dan mendapati ada sebuah pesan di dalam ponselnya. "Dari siapa ini? 'Tina? Bisa keluar dari asrama sebentar?' Siapa yang memintaku menemuinya malam-malam begini?"

"Nggak ada di kontak kamu?"

"Nggak, nomor asing."

"Jangan dipedulikan, tidur saja," saran Sonya.

"Tapi aku punya firasat baik..."

Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Tina turun dari tempat tidur dan mengambil jaketnya. Sonya mengawasinya.

"Oke, aku ikut," kata Sonya memutuskan.

"Ide bagus," gumam Tina, yang takut menyusuri koridor asrama cewek sendirian pada malam hari.

Tapi belum lima detik mereka melangkah keluar kamar, terdengar suara petikan gitar dari luar. Tina melonjak dan memeluk Sonya.

"Gitar," gumam Sonya geli.

Kemudian intro lagu Angel (Walk, Talk, Sing, and Bleed) milik Nidji (lagu ini ada di album Nidji yang "Breakthru': ENGLISH VERSION", red) mengalun. Tina mempercepat jalannya, diikuti Sonya, yang punya firasat bagus mengenai ini.

Selagi mereka berlari di koridor, terdengar suara seorang cowok menyanyikan lirik lagu Angel itu.

Oh
Such a cold day
When regrets cuts through your veins
Lights are fading out
And I'll wait for you now

So
Until the end
When you opened up your eyes
Lights are fading out
And I'll wait for your lights

Desire the angels of my pain
That walks the city of a lonely man
Give me some truth
Give me love
Give me pain
And you

"Siapa yang nyanyi?" gumam Tina. Tetapi Sonya mengenali suara itu.

Kemudian mereka tiba di pintu depan asrama cewek. Saat mereka membukanya, lanjutan lagu itu terdengar, lebih keras.

Lights are fading out
And I'll wait for your love

Desire the angels of my pain
That walks the city of a lonely man

And you should be loved
In this restless world of mine
So I...

Tina tertegun saat melihat siapa yang berdiri di depan asrama cewek. "Kak Hendra...?" bisiknya lirih.

Hendra menyanyi, sembari memetik gitarnya. Dan bukan hanya Hendra. Tetapi Simon, Kido, Bona, dan Frans berbaris di belakang Hendra, memegang gitar juga, dan berperan sebagai backsound Hendra.

Saat berikutnya lagu itu dilanjutkan, Tina bergerak mendekati Hendra.

Angel walks
Angel talks
Angel sings
And bleed

Angel walks
Angel talks
Angel sings

Tina sudah sampai di depan Hendra tepat ketika lagunya berakhir dengan petikan gitar Hendra yang dramatis. Lalu terdengar tepukan riuh dari belakang Sonya - yang terlonjak kaget karena mengira dirinya cuma berdiri sendiri di depan pintu asrama. Rupanya Pia, Maria, Febe, Greys, dan Vita sudah ikut terbangun - atau memang sengaja bangun dari tadi karena mengetahui rencana Hendra - dan ikut menonton live music dari Hendra.

"Kak..." sahut Tina bingung.

Hendra tersenyum. "Suka lagunya?"

Tina mengernyitkan dahi. "Eh... suka sih, Kak, tapi saya nggak begitu menangkap maksud liriknya, saya tadi lari-lari di koridor."

Frans dan Bona mendengus tertawa, pelan, di belakang Hendra. Kido menatap mereka tajam, menegur.

"Yah, akan ada banyak waktu untuk mendengarkan lirik itu nanti," lanjut Hendra tanpa mengindahkan Frans dan Bona.

"Maksud Kakak?"

"Maksud saya..." Hendra masih terlihat cool bahkan di saat-saat menegangkan seperti ini (ehm, kayaknya Kak Hendra memang selalu cool, red). "Saya menyayangi kamu."

Terdengar siutan dari kelompok cewek-cewek di depan pintu asrama.

Tina terperangah.

"Tidak," ralat Hendra. Suasana kembali hening.

Tina menunggu. Hatinya berdebar tidak karuan, tangannya gemetar.

Hendra meneruskan. "Saya cinta kamu."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Saya juga pengen ditembak Kak Hendra... >.< hahaha sumpah setelah saya baca ulang kok makin kayak sinetron aja nih cerita... ==' tapi, yah, ini cuma khayalan saya, mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan. ^^ Ide untuk memasukkan lagu NIDJI itu muncul saat saya mendengarkan album Breakthru': ENGLISH VERSION, dan ternyata liriknya pas dengan kisah Tina. ^^ What a coincidence. Terima kasih, Mas Giring dan kawan-kawan!

P.S.S. KOMENTAR! :))

R.A.
25 Juli 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (IX)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VIII)

Salam, Pembaca!

Yang kedelapan... =='
Makasih banyak buat yang udah nungguin kelanjutan fanfiction ini. ^^
Lagi-lagi waktu bikin fanfict ini saya dengerin lagu, tapi bukan Jessica Simpson. Saya memang mendengarkan Jessica sebelum menulis ini, menyanyikan I Don't Want To Care versi saya (bergumam nggak jelas yang penting sesuai pendengaran saya) berduet dengan Jessica, tapi waktu mau nulis saya ganti dengan kaset NIDJI >>breakthru' English Version. Oooh, saya suka sekali lagu Heaven yang di-remix. XD
Happy reading! :))


>>
Febe yang pertama kali mencairkan suasana. "Eh, udah pada mulai, nih?" tanyanya, masuk ke ruang makan, diikuti Alvent dan yang lain.

Lalu keadaan pun kembali normal. Tina menggiring Sonya ke meja yang jauh dari para senior agar mereka bebas bicara.

"Mau makan apa?" tanya Tina pada Sonya.

Sonya menggeleng pelan. Aneh juga, padahal tadi dia yang begitu semangat menghibur kedua sahabatnya yang sedang patah hati, sekarang dia mendadak bad mood.

"Sama denganku saja, ya," Randy memutuskan. Sonya tidak menjawab.

Randy dan Tina beriringan menuju counter makanan dan mengambilkan makanan untuk Sonya, ditambah teh hangat. Sebisa mungkin Randy menghindari kasus tanpa-sengaja-terlihat oleh Greysia.

"Ini, minum saja dulu," gumam Tina, menyodorkan secangkir teh ke depan Sonya.

Randy mengunyah nasi gorengnya. "Dengar, Sonya, Kak Simon cuma bilang 'nggak tahu' dan 'kayaknya', bukan iya..."

"Tapi itu kan berarti iya. Kalau Kak Simon nggak naksir sama Kak Maria, Kak Simon akan bilang 'nggak'," tukas Sonya.

"Bagaimana pendapatmu, Tina?" tanya Randy, menoleh ke Tina di sebelahnya, yang sedang memandangi Hendra.

Hendra, yang merasa dipandangi, menengok ke arah Tina yang langsung gelagapan. Hendra tertawa bersama Yunus dan Bona.

Tina menarik napas, lalu menurunkan pandangannya dan menghadap kedua temannya. "Kak Hendra liat kesini?" tanya Tina, membelakangi meja Hendra.

Randy memutuskan untuk menggodanya. "Iya... dia liat kesini, ngeliatin kamu," candanya.

"Aku nggak mau dilihat Kak Hendra dalam keadaan seperti ini," kata Tina. "Lihat, mataku bengkak kan?"

Sonya mengamati mata Tina, yang memang masih bengkak dan agak merah. Sepertinya Tina menangis cukup lama sebelum Sonya datang ke kamar. "Iya, memang agak bengkak."

"Sudah, ayo kita makan," ajak Randy.

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bicara. Yang terdengar adalah bunyi sendok beradu dengan piring dan obrolan dengan volume rendah. Kemudian tanpa mereka sadari, ada yang sudah ada di dekat meja mereka.

"Eri?" Tina yang pertama kali sadar.

Sonya tak memandangnya.

"Gue mau ngomong ama loe, Ran," ujar Eri tanpa mengacuhkan ekspresi Sonya yang mendadak dingin. "Empat mata."

"Kalau loe mau ngomong ama gue, disini aja. Mereka teman-teman gue. Toh nanti gue juga cerita ama mereka," kata Randy, tak kalah dinginnya.

"Oke, kalau itu mau loe," gumam Eri. "Datang ke halaman depan asrama cowok jam empat sore besok. Sendirian."

Dan Eri langsung pergi begitu saja.

"Mau apa dia?" tanya Tina.

"Ngajak berantem, mungkin," tebak Sonya ketus.

"Kalau dia emang ngajak berantem, nggak mungkin pake bilang waktu dan tempatnya gitu. Dia pasti langsung ninju aku disini, seperti yang akan aku lakukan kalau aja aku nggak sabar sedikit," kata Randy bingung.

"Iya juga ya," timpal Sonya.

"Kalau gitu nanti kami boleh ikut?" tanya Tina.

"Nggak... mending aku sendiri aja yang datang, nanti kalau ada apa-apa aku takut kalian kena imbasnya," sahut Randy. "Kita harus memikirkan kemungkinan terburuk, kan?"

* * *

Pukul empat sore keesokan harinya Randy memenuhi undangan Eri - kalau memang pembicaraan mereka malam kemarin di ruang makan bisa disebut undangan. Dia keluar dari kamarnya.

Lalu kesadaran pun menghantamnya (ceileh, bahasa saya euy) bahwa sebenarnya Eri tak perlu sampai memintanya turun dari asrama dan bicara di depan. Eri kan juga tinggal di asrama itu. Mereka bisa ketemu kapan saja.

Randy hafal letak kamar Eri. Diketuknya pintu kamar mantan pacar sahabatnya itu, lalu menunggu.

Ternyata tak ada yang membukakan pintu. Pintu kamar terkunci, ketika Randy berusaha membukanya dengan paksa. Kemudian diurungkannya niat untuk mendobrak, karena akan susah baginya untuk menjelaskan kepada orang-orang kenapa dia sampai bersusah payah ingin masuk kamar orang yang sebenarnya dibencinya. Randy menempelkan telinganya ke daun pintu.

Ia bisa merasakan tidak ada orang di kamar itu.

Akhirnya Randy menyerah. Dia bisa menebak satu hal, pertemuan ini pasti bukanlah pertemuannya dengan Eri sendiri.

Randy keluar ke depan asrama cowok, mencari Eri. Tapi yang dijumpainya bukanlah sosok yang selama ini ingin sekali ditinjunya.

Melainkan Airin.

Randy menghampiri gadis itu. "Mana Eri?" tanyanya langsung.

Anehnya Airin terlihat gugup. "Eh... Eri masih latihan."

"Kalau gitu kenapa dia nyuruh aku datang kesini? Dasar..." kecam Randy. "Akan kucari dia di tempat latihan."

"Eri tidak memintamu datang kesini untuk bicara dengannya," kata Airin sebelum Randy sempat pergi jauh.

Randy yang baru berjalan sepuluh langkah langsung berhenti dan berbalik. "Apa?" tanyanya.

"Eri memintamu kesini agar kamu bisa bicara denganku," terang Airin. Tampaknya wajahnya dipenuhi tekad membara.

Randy melangkah perlahan mendekati Airin. "Oke, mau bicara apa? Sebaiknya cepat, karena..."

Airin menyela. "Aku menyukaimu."

Randy tidak jadi meneruskan kalimatnya. "Hah?" tanyanya, memastikan dia tidak salah dengar.

"Tidak, lebih dari itu," ralat Airin. "Aku menyayangimu."

Sesaat Randy bengong. Entah karena otaknya lambat menyerap perkataan Airin barusan atau karena dia sedang mengulang-ulang perkataan Airin dalam benaknya. "Oh, emm... trims..."

"Aku cuma mau bilang itu saja..." ujar Airin, tampak malu. "Eh... tidak apa-apa kalau kamu... tidak menjawabnya."

"Yeah..." Randy bingung memikirkan jawabannya. "Sepertinya kamu udah tahu jawabannya?"

Airin mengangkat bahu. "Aku nggak mau memikirkannya."

"Oke, kalau begitu jawabannya... aku tidak bisa... maaf," sahut Randy sungguh-sungguh.

Airin tampak shock, tetapi hanya sebentar saja. "Oh... oke..." gumamnya, lalu tersenyum getir.

Sejenak hening.

"Kalau begitu... aku... ke tempat latihan dulu," sambung Randy.

Airin mengangguk.

Randy tersenyum singkat pada Airin, lalu beranjak pergi. Tetapi ketika mereka masih berjarak satu meter, Airin memanggilnya lagi.

"Randy?"

Randy berbalik. "Ya?"

"Boleh aku tahu alasannya?"

Sesungguhnya Randy benar-benar tak ingin menyakiti perasaan gadis itu. "Eh... aku benar-benar menganggapmu hanya teman."

"Ooh."

"Dan," lanjut Randy, "kurasa Sonya tak akan begitu senang kalau mendengar aku dan kamu jadian."

* * *

Hendra sedang menyetem gitarnya di kamar ketika Kido datang.

"Waaah, tampaknya cinta sedang bersemi disini," kata Kido.

"Maksudnya?" tanya Hendra bingung.

"Itu, barusan gue liat junior kita ngobrol di depan asrama..." Kido menggeleng-gelengkan kepalanya. "Siapa tuh, yang kemarin tanding ganda campuran."

"Sonya sama Randy?" tebak Hendra. "Mereka kan berteman."

"Si Randy-nya, sama pasangannya si Eri."

"Oh, Airin?"

"Ya... kayaknya serius banget ngobrolnya. Ckck," Kido berdecak. "Nah loe kapan mau loe tembak Butet?"

"Udah gue bilang gue sama Butet cuma temen," kata Hendra.

"Keliatannya Butet suka sama loe," kata Kido santai.

"Bukan sama Devin?"

"Mereka temenan."

Tiba-tiba Alvent masuk kamar tanpa izin, diikuti Simon. "Gue baru latihan," jawab Alvent, menjawab pandangan Kido yang mengawasi keringat Alvent bercucuran.

"Si Tina," kata Simon pada Hendra, "kayaknya habis nangis."

"Matanya merah," tambah Alvent mengangguk-angguk.

"Terus apa urusannya ama gue?" Hendra heran.

"Cuma sekedar informasi..." kata Simon, nyengir.

"Ada yang mau gue tanyain ama loe, Mon," sahut Kido serius. "Loe sebenarnya suka ama Maria atau ama anak baru itu?"

"Sonya?" sebut Alvent.

"Gue belum pasti," elak Simon, tak ingin membicarakan masalah ini.

"Soalnya, Pia cerita ama gue kalo loe sengaja ngedatengin Sonya pas dia nangis dan ngehibur dia. Loe juga nolongin Maria waktu dia keseleo pas latihan kemarin. Nah, loe jadi kayak ngasih harapan ke mereka berdua," jelas Kido.

"Gue nolongin Maria kan karena dia lagi kesakitan. Kalau kalian ada di posisi yang sama kayak gue waktu itu, pasti kalian juga nolongin Maria kan?" ujar Simon berargumen.

"Kalo kasus Sonya?" tanya Hendra.

Simon tidak bisa menjawab.

"Jelaslah sudah, loe suka sama Sonya kan Mon?" tebak Alvent iseng.

Simon akhirnya menjawab. "Oke. Gue nganggep Sonya kayak adik buat gue. Makanya gue mau nolongin dia waktu dia lagi kesusahan."

"Cuma sebatas adik?" tegas Kido.

Simon ragu sebelum mengangguk. Kido dan Alvent puas.

"Loe, Hen?" tanya Alvent. "Sama Tina?"

Semua kini memandang Hendra yang sedang sibuk dengan gitarnya, tampaknya sengaja membuat efek dramatis sebelum menjawab. Dibiarkannya suasana hening selama beberapa saat, kemudian,

"Gue mau nembak dia malam ini."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Ending yang singkat, padat, dan nggak jelas, ya? Apa saya bikin endingnya terlalu mendadak? Oh ya, ide tentang Airin sama Randy itu benar-benar timbul begitu saja, maafkan saya kalau jadi kayak sinetron, hahaha. XD

P.S.S. Jangan lupa dikomentarin, yaaa ^^

R.A.
24 Juli 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (VIII)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VII)

Salam, Pembaca!

Saya harap para pembaca yang ngikutin fanfiction ini dan rela ngabisin waktunya buka-buka blog ancur saya ini nggak kelelahan membaca fanfiction yang sudah masuk part 7 ini. Makasih banget buat yang udah setia ngikutin, baca-baca, dan komentar...
Waktu saya bikin fanfiction ini saya lagi dengerin satu album penuh Jessica Simpson jadul, A Public Affair. Percaya atau nggak, musik bikin saya jadi banyak inspirasi. Apalagi lagunya easy listening semua. Oh, dan saya paling suka lagu I Don't Want To Care. Peduli amat! Kyahahahaha. XD
Happy reading! :))


>>
Sonya kurang mempercayai pendengarannya saat itu. "Apa, Ran?" ini perintah untuk mengulang perkataan barusan.

Beda dengan Tina yang menjerit. "APA, RAN?" ini ekspresi shock dan tidak percaya.

Randy mengulang pernyataannya tadi, "Aku baru aja nembak Kak Greys..." tapi dengan lebih pelan dan jelas.

"Terus, terus?" desak Tina. "Kamu diterima? Kok tiba-tiba gitu sih?"

"Yaah, dia lewat di depanku dan aku tiba-tiba diberi keberanian untuk mengatakannya tepat di depannya langsung. Bodoh sekali aku, memintanya jadi pacarku padahal ada Kak Frans disitu..."

"Lho? Kak Frans bukannya sama Kak Pia?" tanya Sonya heran.

"Tidak, Kak Frans sama Kak Greys... Kak Pia cuma sahabatnya Kak Frans yang bantuin Kak Frans pedekate..."

Tina batuk-batuk untuk menghilangkan suara sengaunya. "Jadi Kak Greys bilang apa?"

Randy manyun. "Katanya... 'maaf, Randy, tapi aku punya orang lain yang aku cintai... tepat di samping aku...' hahaha, kalian nggak akan bisa bayangin gimana rasanya waktu Kak Greys bicara seperti itu..."

"Kapan mereka jadian?" tanya Sonya. "Kok kayaknya baru..."

"Waktu kalian pulang tadi," Randy mengangguk ke arah Tina. "Kak Greys kan ikut tanding?"

Tina mengangguk. "Jadi Kak Frans langsung nembak Kak Greys waktu Kak Greys pulang?"

"Iya... tepat setelah kami memisahkan diri dari kegembiraan senior kita karena Kak Ahsan... eh..." Randy melirik Tina.

"Aku tahu," sahut Tina singkat.

"Hari yang parah, ya," komentar Randy setelah hening lama. "Hari buat yang patah hati..."

"Ya," tambah Sonya muram.

"Eh? Kak Simon kan tidak jadian dengan siapa-siapa?" kata Tina.

Sonya sudah akan mengelak dia menyukai Simon, tapi dia menghela napas. "Dia deket sama Kak Maria..."

"Cuma deket doang kok, belum jadian."

"Akan, kalau kamu terus mengulur waktu," timpal Randy. "Cepatlah bilang duluan."

"Yeah, nanti jadinya kayak aku," kata Tina, tersenyum pahit.

Randy menepuk-nepuk bahu Tina, yang dibalas dengan tepukan Tina pada bahu Randy juga. Tina sudah kelihatan mau menangis.

"Jangan nangis lagi," gumam Randy.

"Tidak, kok," Tina mengusap matanya.

"Sudahlah, ayo kita senang-senang!" kata Sonya, berdiri dan melompat-lompat. "Masa sedih teruus."

"Hhhh...." desah Randy dan Tina berbarengan. Sonya hanya tertawa melihat kedua sahabatnya.

* * *

Di ruang makan para senior rupanya juga sedang berkumpul dan mengobrol seru. Apalagi kalau bukan membicarakan proses penembakan Ahsan. Bona bercerita dengan semangat tentang rekannya itu.

"Naah, jadi, waktu kita-kita udah pada keluar nih, baru si Ahsan menyelinap ke pintu keluar pendukung dan mencari-cari si dia..." kata Bona. "Gue sempet tuh ngeliatin prosesnya, kalian sih pada kabur duluan."

"Gue balik lagi buat ngeliat, kok," tawa Butet, diiyakan Devin.

"Terus si Ahsan ngajak ngobrol berdua," sambung Greysia. "Untung gue sempet foto."

Tawa pun terdengar dari kerumunan atlet itu.

"Nah, terus gue nggak sempet denger Ahsan bilang apa, soalnya waktu itu kita ngintipin ya," Bona memandang Greys, yang mengangguk.

"Pokoknya Ahsan nyerahin cincin, terus diterima sama ceweknya..." sambung Devin.

Siutan panjang pun membahana. Ahsan hanya pasrah kisah cintanya diceritakan ulang dengan penuh sindiran dan siutan bahagia dari teman-temannya.

"Akhirnya jadian, deh..."

Ahsan disenggol-senggol oleh Bona, disikut oleh Yunus, dan ditumbuk oleh Kido. Yang terakhir ini cukup sakit hingga ia meringis.

"Terus, Mon, loe kapan nyusul?" tanya Ahsan, sembari mengusap bahunya.

Simon terkesiap. "Nyusul kemana maksud loe?"

"Jiaaah pake nanya segala... ya nyusul jadian dong!" kata Greys, menggamit lengan Frans. "Kayak kita..."

Lagi, teriakan 'cie cie' meramaikan suasana.

"Aduh senangnya, ada yang jadian pas di tanggal yang sama, nanti kalau ulang tahun, kita dapet dobel traktiran nih..." ujar Pia senang.

"Iya, jangan lupa traktirannya nih, San, Frans..." timpal Butet.

"Jangan ngalihin pembicaraan juga, kawan... nah, Mon, loe ama Maria kapan?" tanya Kido.

Simon hanya nyengir. "Gue sama Maria nggak ada apa-apa kali."

"Akan ada apa-apa..." celetuk Devin.

"Ngomong-ngomong mana nih Maria?" tanya Butet. "Apa dia bareng Hendra...?"

Hendra juga tidak ada di ruang makan saat itu.

"Tenang aja, Hendra loe gak akan pindah ke lain hati..." kata Devin, lalu rambutnya diunyel-unyel Butet.

"Gue kan cuma nebak!"

"Lagian Hendra bareng Sony kok, lagi latihan..." Frans memberi penjelasan.

"Maria lagi ama Febe," kata Pia, setelah membuka hapenya yang ternyata ada pesan dari Maria. "Bentar lagi kesini katanya."

"Dobel Maria kalau begitu," celetuk Ahsan, setelah selama ini dia lebih banyak diam. Mereka tertawa.

"Jadi, Mon?" desak Yunus. "Loe beneran suka sama Maria?"

"Hahaha... nggak tahu gue... kayaknya sih..." ujar Simon.

"Waaah, kalau gitu cepetan nyatain dong... ntar keburu direbut Bona, hahahaha..." Kido menjahili adiknya.

"Eh gue nggak ada apa-apa loh ama Maria," protes Bona.

Pia manyun kepada kedua kakaknya, lalu ia memberi nasehat untuk Simon. "Mon, gue bilang ya, loe coba pastiin perasaan loe sama dia tuh kayak gimana, apa suka, naksir, sayang, terus ambil sikap berdasarkan perasaan loe. Kalau loe emang sayang, ya bilang aja. Nggak usah nunggu waktu lama. Bentar lagi dia turnamen di luar negeri, lho."

"Bener, Mon. Gue rasa mending sekarang loe bilang ke dia," Frans menyetujui.

Simon manggut-manggut mendengar berbagai saran dari teman-temannya. "Iya deh, nanti... gue pikirin lagi."

"Jangan kebanyakan mikir, ntar botak, loe gak ada yang suka lagi..." saran Greys.

Ruang makan kembali bergetar oleh tawa gara-gara celetukan Greysia.

* * *

Sonya terpaku tepat di depan pintu ruang makan. Dia baru saja akan masuk ketika telinganya mendengar percakapan senior-seniornya itu. Akhirnya diurungkannya niatnya untuk makan dan mendengarkan baik-baik pembicaraan mereka.

Jadi gosip itu memang benar, gumam Sonya. Kak Simon suka pada Kak Maria. Aku salah berharap lebih pada Kak Simon. Sama seperti Tina pada Kak Ahsan.

"Sonya?" sapa Randy. Dia dan Tina juga ikut mendengarkan dari tadi. "Kamu oke?"

Sonya hanya diam. Otaknya masih mencerna semua perkataan seniornya barusan. Tangan kirinya menggenggam erat sapu tangan pemberian Simon, yang rencananya akan dikembalikannya hari ini.

Randy dan Tina berpandangan, tak tahu harus berbuat apa.

Tetapi mereka dibebaskan dari kewajiban menghibur Sonya oleh kedatangan tiba-tiba Maria, Febe, Alvent, Hendra, dan Sony.

"Kalian sedang apa disitu? Kok nggak masuk?" celetuk Maria keras, hingga terdengar sampai ke dalam ruang makan. Lalu pintu ruang makan dibuka oleh Hendra, dan Simon - yang, tentu saja, mendengar suara Maria dengan jelas karena dia berada di sebelah pintu - ekspresinya tidak bisa ditebak, memandang bergantian, kepada Sonya dan Maria.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Kenapa ceritanya jadi cinta segitiga begini ya? Kayaknya kemampuan berimajinasi saya benar-benar terasah gara-gara sering mengkhayal cerita ini, hahaha XD. By the way, fanfiction ini kayaknya lebih singkat dari fanfiction sebelumnya, karena disini saya ngebanyakin dialog... kalau sebelum-sebelumnya kan ada narasi juga, jadi agak panjang.

P.S.S. Jika Anda berkenan mohon ketikkan komentar Anda, berupa apa saja, boleh kritik, pujian, protes, dan yang terutama, saran... :))

R.A.
23 Juli 2010 --> HARI ANAK INDONESIA!!! HIDUP ANAK INDONESIA!!! HIDUP BULUTANGKIS INDONESIA!!
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (VII)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VI)

Salam, Pembaca!

Sudah part enam... (mulai lelah) tapi ayooo berjuaaaaang! Selesaikan fanfiction asal-asalan ini!! UOOOH!
By the way, hahaha saya nggak nyangka ternyata cerita ini bikin penasaran teman-teman saya... mungkin karena saya bikinnya ada jedanya, jadi begitulah sifat manusia, nggak suka kalau mengerjakan sesuatu itu disela-sela, dipotong-potong. Buat yang udah baca, makasih, makasih banget udah mau baca, udah mau susah-susah buka blog saya cuma untuk nerusin baca kelanjutan fanfict dari note saya di facebook. ^^
Ehm, sebenarnya saya udah punya gambaran bagaimana bagusnya ending untuk fanfict ini... akan segera saya selesaikan secepatnya, lebih cepat lebih baik, kan. Tidak baik jadi proscratinator (penunda-nunda, red).
Kemarin ceritanya waktu Sonya dan Randy bicara sama Kak Maria, ya... sekarang kita lihat bagaimana Tina dan Kak Hendra. ^^
Happy reading! :))

>>
Di Istora suasana riuh rendah. Ahsan dan Bona berhasil mengalahkan lawannya, pasangan ganda putra dari negara lain (ehm, tidak berani menyebutkan nama negara, red). Mereka melaju ke semifinal. Kini mereka menyaksikan pertandingan Simon.

Tina yang hari itu beruntung karena diajak Hendra menonton pertandingannya, tak berhenti tersenyum dan tertawa. Tawanya yang renyah, dengan lelucon-lelucon yang dilontarkannya, membuat para seniornya ikut tertawa, melepas ketegangan sebelum bertanding. Devin sampai terpingkal-pingkal mendengar cerita Tina tentang seorang pilot Afrika.

"Tadinya saya mau ke Istora sendiri," kata Tina keras, mencoba mengalahkan keriuhan penonton yang bertepuk tangan atas smash keras dari Simon yang masuk ke daerah permainan lawan.

"Oh, ya?" tanya Hendra, yang ikut bertepuk tangan. "Kenapa dengan Randy dan Sonya?"

Tina mengangkat bahu. "Saya nggak bilang sama mereka kalau saya mau pergi."

"Hmmm," gumam Hendra. "Lalu?"

"Lalu Kakak datang dan mengajak saya, waah, Kakak nggak tahu gimana perasaan saya," cengir Tina.

Hendra tertawa. "Kebetulan yang mengerikan ya."

"Kebetulan yang menguntungkan, Kak," ralat Tina.

"Kenapa kamu mau ke Istora dan nggak latihan?" tanya Hendra heran.

"Saya mau lihat Kak Ahsan," ujar Tina, hatinya berdebar saat mengucapkan nama Ahsan.

Tina melirik ekspresi Hendra saat dia mengutarakan alasan itu.

Tapi Hendra tersenyum. "Oooh... untung sekali ya, Ahsan menang, mungkin karena didukung olehmu?"

"Kakak bisa saja," kata Tina, dalam hati dia membenarkan ucapan Hendra.

Lalu suasana kembali ramai oleh teriakan dan jeritan penonton yang terpesona melihat jumping smash spektakuler yang dilakukan Simon. Simon memang keren, gumam Tina. Pantas saja banyak yang suka padanya, termasuk Sonya.

"Kak," panggil Tina.

"Ya?"

"Kak Simon sama Kak Maria ada apa ya?"

Hendra nyengir. "Entahlah... saya juga nggak tahu, tapi mereka dijodoh-jodohin."

"Ooh... jadi nggak ada ikatan apa-apa?"

"Belum... kayaknya."

"Apa bakal ada?"

"Kayaknya."

Mereka berdua tertawa. Tapi tawa Tina cuma sebentar, karena dia memikirkan Sonya.

"Kalau Kak Ahsan, Kak?" tanya Tina lagi.

"Ahsan? Dia..."

"Ahsan kan mau nembak gebetannya hari ini!" kata Butet tiba-tiba, yang duduk di sebelah Hendra.

Tina serasa disambar petir. "Apa, Kak?" tanyanya memastikan.

"Iya, Ahsan mau nembak gebetannya hari ini..." ulang Butet, diiyakan Devin yang duduk di depan mereka. Bona yang datang duluan setelah berganti baju dan duduk di sebelah Devin nimbrung.

"Nggak nyangka gue dia bisa kayak gitu juga," kata Bona, tertawa. "Romantis banget."

"Hari ini, Kak?" ulang Tina. "Habis pertandingan ini?"

"Iya, Dik..." gumam Bona. "Tuh dia datang."

Ahsan mendekati mereka. Dia sudah berganti baju. Tina memandangnya lekat-lekat. Ahsan kelihatannya menghindari tatapan Tina - atau dia memang tidak sadar Tina memandanginya.

"Cieee yang lagi berbunga-bunga..." gurau Butet. "Eh, selamat ya, masuk semifinal..."

"Hahaha... thanks."

"Kapan, nih...?" tanya Devin penasaran. "Waktu pulang ke pelatnas?"

Ahsan nyengir. "Waktu pertandingan usai. Dia nonton hari ini..." Ahsan memandang penuh harap ke tribun penonton tepat di depan mereka.

"Cincinnya loe bawa?" tanya Bona.

"Iya dong, masa lupa?"

Sorakan 'cieee' pun terdengar.

"Udah ketemu dia?" tanya Butet.

"Belum..."

"Dapat telepon dari dia?" tanya Devin.

"Iya, katanya gue main bagus..." Ahsan tersenyum lagi.

Segera saja teman-temannya menyindirnya dengan sindiran penuh kebahagiaan. Tina hanya bisa memandangi dengan muram. Air matanya sudah akan turun, tetapi ditahannya. Dia tak ingin merusak kegembiraan para seniornya. Lalu dipusatkannya perhatiannya pada pertandingan Simon, berpura-pura ikut senang dengan rencana Ahsan. Tina ikut berdiri dan berteriak kegirangan saat Simon dipastikan menang dan masuk semifinal, melompat-lompat, berteriak 'Indonesia... Indonesia...'.

Tina tidak sadar bahwa sejak tadi ada seniornya yang tidak ikut nimbrung dalam percakapan tentang rencana Ahsan.

* * *

Sonya dan Randy keluar dari tempat latihan, lelah tapi gembira, karena saat itu mereka bertanding melawan Maria Kristin dan Sony. Sonya, yang kali itu bertanding tunggal melawan Maria, tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk melirik ke lapangan sebelah tempat Randy melawan Sony.

"Good job," kata Sony gembira, lalu menyalami Randy. Randy tertawa berterima kasih.

"Main kamu bagus," kata Maria pada Sonya, "tapi jangan terlalu sering menatap Sony, ya, lain kali."

Sony dan Randy tertawa, Sonya malu. "Iya, Kak..."

Padahal Sonya tak menatap Sony terus, dia juga memandang Eri yang melawan Alamsyah Yunus di lapangan sebelah kanannya. Sesekali pandangan mereka bertemu, tapi Sonya mengusahakan agar seolah pandangannya itu tak sengaja. Sonya juga tak tahan mendengar seruan Airin dari sisi lapangan, menyemangati Eri.

Lalu terdengar keributan di luar tempat latihan. Para pemain dari Istora sudah pulang.

"Ehem... Ahsan!" teriak Pia, yang juga baru selesai latihan.

Mereka yang berkumpul di tempat latihan, buru-buru menyerbu keluar.

"Ahsan diterima!" teriak Bona senang.

"Yang benar?" tanya Maria. "Waaah, selamat, selamat!!"

Senior-senior Randy dan Sonya bergantian menyalami Ahsan dan memberikan berbagai kata pujian.

"Loe kasih cincinnya?" tanya Sony.

Sorakan terdengar saat Ahsan mengangguk.

Randy dan Sonya memisahkan diri dari kerumunan itu.

"Tina nggak kelihatan," kata Sonya, memandang sekelilingnya. Tanpa sengaja dilihatnya Simon sedang tertawa bersama Maria, menyindir-nyindir Ahsan yang baru jadian. Sonya cuma bisa cemberut.

"Kak Hendra?" tanya Randy, celingukan. "Oh, itu dia disana."

Mereka menemukan Hendra dalam kerumunan yang mengerubungi Ahsan.

"Kak Hendra... Kakak sama Tina tadi?" tanya Sonya langsung.

Hendra mengangkat alisnya, mengeluarkan gaya cool-nya, yang membuat Sonya sedikit terpesona. "Dia langsung keluar dari mobil tadi... saya nggak tahu dia kemana," jelas Hendra mengangkat bahu.

"Terima kasih, Kak..."

Randy dan Sonya buru-buru berlari ke arah asrama cewek.

"Aku tunggu disini," Randy menunjuk ke sebuah bangku di taman depan asrama. Sonya mengangguk.

Sonya berlari cepat menuju kamarnya dan Tina. Pintunya tertutup. Ia mengetuk pintu. "Tina? Kamu ada di dalam?"

Pintunya ternyata tidak dikunci. Sonya masuk ke dalam, menutup pintu, menguncinya.

Dan ia menemukan Tina terduduk di sebelah kasur, kepalanya menelungkup di dalam lengannya di atas kasur.

"Tina?"

Tina menoleh, dan Sonya merasa miris melihatnya. Matanya merah, mukanya basah oleh air mata. Rambutnya acak-acakan.

"Sonya... Kak Ahsan jadian..." isak Tina.

"Ya, ampun..." ujar Sonya pedih. Dihampirinya sahabatnya dan mencoba menenangkannya. "Sudah, jangan nangis lagi..."

"Aku bodoh, Sonya..." kata Tina tersedu. "Bodoh aku mengharapkan Kak Ahsan duluan yang menembakku..."

Isakan Tina makin keras. Sonya cuma bisa mengelus bahunya.

"Padahal... dia sama sekali nggak kenal dekat dengan aku... dia cuma tahu aku... mana mungkin dia tertarik padaku..." tangis Tina. "Aku bodoh, kan, Sonya?"

"Kamu nggak bodoh," tegas Sonya. "Kamu cuma nggak berani ngungkapin sama Kak Ahsan..."

"Karena aku bodoh! Aku bodoh dengan mengharapkan dia..."

"Tina..."

"Kenapa setiap aku naksir seseorang selalu akhirnya gini?" tanya Tina di sela-sela tangisnya. "Kenapa selalu pada akhirnya aku yang sakit?"

"Jangan salahkan dirimu kalau kamu naksir seseorang, Tina..." ujar Sonya bijak. "Bersyukurlah kamu udah pernah ngerasain cinta itu. Bersyukurlah kamu udah diizinkan mempunyai perasaan berharga itu. Mungkin dia bukanlah orang yang tepat untuk kamu..."

Tina cegukan, lalu memeluk Sonya, membasahi bahu Sonya dengan air mata. "Iya... mungkin... kamu bener... aku harus bersyukur udah dikasih perasaan itu..."

Sonya membelai punggung Tina lembut. "Setiap orang pada akhirnya punya jalannya sendiri, kok... kamu juga begitu."

"Kalau gitu kalian berdua harus bantu aku nemuin jalanku," ujar Tina, wajahnya dipenuhi air mata, tapi dia tersenyum.

"Tenang saja, kami pasti bantu kok!" sahut Sonya bersemangat, setelah Tina melepasnya. "Dan aku yakin Kak Hendra juga akan bantu kamu."

Tina yang sibuk mengusap dan mengucek matanya buru-buru mendongak mendengar nama Hendra. Wajahnya terlihat tak yakin pada awalnya, namun kemudian dia tersenyum. "Ya... kuharap begitu..."

Sonya yang melihat mata Tina jadi merah akibat usaha Tina menguceknya, menyodorkan sapu tangan yang diambil dari sakunya. "Pakai aja."

"Sapu tangan Kak Simon?"

Sonya manyun. "Yeah... sudah kucuci... apa aku harus ngembaliin ke Kak Simon ya...?" tanya Sonya, lebih kepada dirinya sendiri, bukan Tina.

"Kak Simon bilang sesuatu nggak waktu nyerahinnya?" tanya Tina, yang ajaibnya, sudah terlihat lega.

"Cuma bilang 'pakai itu' gitu aja..." jawab Sonya.

"Coba aja kamu balikin ke Kak Simon, terus lihat reaksinya..." saran Tina.

Sonya mendongak memandang Tina. "Kamu udah nggak apa-apa?"

Tina nyengir pasrah. "Nggak... lega deh udah nangis tadi..."

Tina memang tegar.

"Ayo kita turun, Randy menunggu di depan asrama..." ajak Sonya.

"Aku cuci muka dulu," gumam Tina.

Saat mereka turun, mereka melihat Randy duduk di bangku tamannya, entah kenapa tampak frustasi. Randy mencengkram kepalanya seolah ingin mencabut rambutnya dari kulit kepala.

"Ran?" tegur Tina. Suaranya masih agak sengau.

"Oi, kenapa kamu?" tanya Sonya heran. "Kamu nggak..."

Randy menggeleng sebelum Sonya selesai menebak. Maka Sonya dan Tina menunggu. Randy mengangkat mukanya dan wajahnya menampakkan ekspresi kengerian.

"Kalian nggak akan ketawain aku kan?" tanya Randy, kedengaran cemas.

Sonya dan Tina menggeleng sekuatnya. "Kami nggak tahu masalahnya, tapi kami bisa pastikan kami nggak akan ketawa," tambah Tina.

Randy menghela napas, menguatkan diri untuk bicara. "Oke..." kata Randy.

Baik Sonya maupun Tina tak ada yang berniat menyela.

"Aku baru aja nembak Kak Greys."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Kayaknya masalahnya tambah kompleks yaa... ==' alhasil membuat fanfiction ini makin puanjang... saya harap nggak ada yang keberatan dengan ini, tetep ikutin ya ff-nya... makasih banyaaak ^^

P.S.S. Saran, kritik, komentar... ditunggu lhooo :))

R.A.
23 Juli 2010 --> HARI ANAK NASIONAL!!! UYEAAAAH!!! :))))
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (VI)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (V)

Salam, Pembaca!

Apa kalian tidak berpikir kalau fanfiction yang saya buat agak kepanjangan? ==a
Ini sudah part kelima dan saya masih belum memikirkan ending yang bagus untuk semua orang - well, untuk sebagian besar orang, karena pasti akan ada yang kurang bahagia di akhir cerita saya. --' Silakan sebut saya kejam, tapi, itulah hidup, tidak ada 'happily ever after', yang ada adalah 'happily never after' (ini judul film...), Tuhan akan memberikan berbagai ujiannya di rangkaian kehidupan manusia. Doakan saja agar saya bisa menciptakan cerita yang memuaskan buat semua... amin.
Happy reading! :))


>>
Sehari setelah pertandingan, Sonya tak bisa berhenti tersenyum. Begitu juga Tina, meskipun Randy curiga kegembiraan Tina bukan hanya karena kemenangan dua sahabatnya, tetapi karena kejadian yang terjadi padanya waktu pertandingan. Tina sekarang memandangi Hendra dengan intensitas yang sama seperti waktu dia masih memuja Ahsan - bukannya Tina tidak memuja Ahsan lagi, sekarang Tina punya dua orang yang mesti dia pandangi tiap makan pagi, siang, dan malam, waktu latihan, waktu mengobrol dengan Randy dan Sonya di taman, kapanpun Ahsan atau Hendra melewati mereka. Biasanya Hendra melempar senyumnya pada mereka bertiga - tapi Tina menganggap senyuman itu ditujukan kepadanya saja, jadi dia sering senyum-senyum sendiri, bahkan waktu Hendra sudah berjarak sepuluh meter dari mereka. Tina agak dikecewakan oleh Ahsan, karena Ahsan jarang sekali melempar senyumnya (wah, apa senyum seperti bola yang bisa dilempar-lempar, red) pada mereka bertiga, tampaknya Ahsan sibuk dengan pikirannya sendiri, yang, baik Randy maupun Sonya, bahkan Tina, bisa menduganya, tetapi menolak mempercayainya.

Tetapi pukulan pertama terjadi waktu ada keributan di ruang makan, ketika jam makan siang dua hari setelah pertandingan. Bona menyindir-nyindir Ahsan tentang sesuatu.

"Hebat loe, San!" kata Bona nyengir.

Ahsan hanya tersenyum.

"Romantis banget, sih..." sindir Pia senang.

Ahsan menyambut sindiran teman-temannya dengan satu kalimat. "Doain gue, ya..."

Dan keriuhan pun terjadi. Randy, Sonya, dan Tina baru saja hendak masuk ke ruang makan, ketika Randy mendengar riuh-rendah kakak-kakak seniornya membicarakan sesuatu yang kemungkinan akan membuat Tina sedih. Untung Sonya dan Tina berjalan agak di belakang Randy, sehingga tidak mendengar apa yang dibicarakan seniornya. Randy buru-buru mengajak Sonya dan Tina untuk berjalan-jalan sebentar di taman. Tina bingung dengan perubahan sikap Randy yang begitu tiba-tiba, tapi menerimanya tanpa banyak protes.

Alhasil mereka tidak jadi makan, tetapi duduk di taman sebentar. Randy memutuskan bahwa saat terbaik mengajak Tina makan adalah saat mereka sudah melihat Ahsan keluar dari ruang makan - atau paling tidak menunggu semua seniornya keluar dari ruang makan. Randy tidak mau mengambil resiko mereka mendengar berita itu dari senior lain yang membicarakannya di ruang makan.

Tina mulai melihat gelagat aneh waktu Randy melongok dengan cemas ke arah ruang makan. "Ada apa sih, Ran?"

Sonya yang tidak tahu apa-apa juga ikut memandang Randy heran. "Iya, kamu kenapa dari tadi... ngajak kita kesini tiba-tiba..."

"Eh... itu..."

"Hayo, kamu nggak pengen dilihat seseorang ya... atau malu ketemu Kak Maria?" sindir Sonya.

"Iya," gumam Randy singkat, memutuskan bahwa alasan yang dikarang orang lain dan menyetujuinya adalah lebih baik dibandingkan diam dan tidak bisa mengutarakan alasan bohongan bisa membuat mereka makin curiga.

"Ya ampun Ran, justru kamu bisa ngeliatin Kak Maria di ruang makan, kan?" Tina berargumen.

"Itu Kak Maria keluar," kata Sonya. "Ayo kita makan, aku sudah lapar sekali nih, latihan hari ini benar-benar menguras tenaga."

Tetapi Randy belum melihat Ahsan.

"Randy...?" tegur Sonya, karena Randy masih bimbang memutuskan mau pergi saat itu juga atau tidak. Akhirnya ia menyerah, apa yang terjadi terjadilah.

* * *

"Kak Simon, Sonya," bisik Tina di telinga Sonya ketika mereka memasuki ruang makan. Simon duduk di meja dekat counter makanan, duduk bersama Febe dan Alvent.

Sebelum mereka mencapai counter makanan - yang berarti menghampiri meja Simon juga, Simon bangkit dan berjalan ke counter makanan. Febe saat itu berteriak, "Mon, saladnya yang banyak, aku minta nanti." Simon nyengir pada Febe yang mengacungkan jempolnya.

Sonya tiba di counter makanan lebih dulu, karena desakan Randy dan Tina. Sonya mengambil makanannya, lalu berpapasan dengan Simon - yang membawa salad porsi besar - yang hendak kembali ke meja. Seniornya tersenyum, lalu berkata, "Makanlah yang banyak."

Sonya hanya bisa memandangi Simon hingga dia duduk di meja, bahkan tidak memperhatikan ketika Febe terlihat berbisik pada Simon dan Alvent, lalu mereka bertiga menoleh ke arah Sonya. Gadis itu gelagapan, lalu mengangguk singkat, dan langsung mencari meja. Dia bahkan lupa mengambil minuman. Menghindari tatapan geli Febe dan Alvent, Sonya menunduk. Berharap Tina tidak lupa membawa minuman untuknya.

Randy dan Tina menghampiri meja Sonya dengan mengikik pelan.

"Ehem..." deham Randy iseng. Lalu meletakkan nampannya di meja. Ada dua gelas minuman disitu.

"Makasih," gumam Sonya, mengambil segelas es teh. (apa di pelatnas minuman para atlet ada esnya? es kan tidak baik untuk kesehatan, red)

"Hahaha, kamu lucu banget deh Sonya," kata Tina, tertawa kecil. "Sampe salah tingkah gitu..."

"Habis gimana? Kak Simon bilang padaku 'makan yang banyak' gitu, gimana nggak geer? Coba kamu yang dinasehatin kayak gitu sama Kak Hendra."

Tina mengangkat alis. "Oho? Belum pernah."

"Nanti pasti..."

"Amin..."

Randy mengaminkan perkataan Sonya, dan dia langsung ditimpuk dengan buku oleh Tina. Sonya tertawa, lalu matanya menangkap sosok Eri yang sedang memandangnya penuh perhatian. Sonya memandang lurus-lurus padanya, membalas tatapannya, dan, menang, karena Eri menyerah dan kembali menyuap makanannya.

Ketika mereka sedang menikmati makan siang, Greysia dan Pia melewati meja mereka sambil membicarakan sesuatu. Mereka bisa mendengar sepatah-dua patah kata dari pembicaraan mereka.

"...sudah kubilang dia harus mencobanya dulu..." kata Pia.

"Betul, kalau belum dicoba kan mana bisa tahu?" timpal Greys.

"Iya, makanya kubilang padanya kalau dia harus yakin sama perasaannya..."

"Terus kapan?" tanya Greys.

"Kayaknya pas selesai turnamen nasional."

"Ooh, ya ya ya... mudah-mudahan menang ya, jadi dobel happynya..."

"Hahaha, amiiin..."

Randy bertatapan dengan Tina. Dari ekspresi wajahnya terlihat bahwa Tina juga memikirkan hal yang sama.

"Kak Ahsan?"

Sonya yang mengutarakan pikiran itu.

* * *

"Sonya, bisa bicara?"

Sonya yang sedang sibuk membaca buku catatannya mendongak dan mendapati Randy di depannya.

"Apa?"

"Tentang Kak Ahsan... katanya dia mau nembak gebetannya..." kata Randy langsung.

Randy awalnya mengira Sonya akan shock atau kaget mendengar berita ini, tapi Sonya hanya manggut-manggut.

"Sudah kuduga. Dua hari ini aku memikirkan hal yang sama, tahu."

"Ya... aku takut Tina shock mendengarnya... ngomong-ngomong Tina kemana?"

"Ke Istora menonton Kak Ahsan bertanding."

"Sendirian?"

"Sama Kak Hendra."

"Hem," Randy manggut-manggut.

Sonya menutup buku catatannya. "Kamu tahu nggak gosip yang tersebar di kalangan senior?"

"Nggak, apa? Yang aku tahu cuma Kak Simon sama Kak Maria."

"Ada juga gosip kalau Kak Hendra suka sama Kak Butet... tapi Kak Hendra nggak pernah bilang, soalnya Kak Butet deket banget sama Kak Devin..."

"Hah? Masa?" tanya Randy kaget.

"Iya, jadi Kak Hendra ngira Kak Butet suka sama Kak Devin. Akhirnya Kak Hendra berhenti suka sama Kak Butet."

"Gitu?"

"Yup, dan gosipnya Kak Frans naksir Kak Pia..."

"Nah, lho, ini kemana nyambungnya?"

"Hahaha."

Sejenak hening.

"Ran."

"Hm."

"Kalau Kak Ahsan diterima sama gebetannya, gimana?"

Randy bingung. "Ya... mereka pacaran, dong?"

"Kamu pasti tahu maksudku," kata Sonya, memandang Randy sungguh-sungguh.

Randy tak menjawab.

"Pikiran kita sama, kan?" tanya Sonya.

"Kupikir Tina akan sangat kaget."

"Tapi kita nggak bisa nyembunyiin ini terus dari hadapannya. Ini kenyataan. Fakta. Bagaimanapun kita mencoba menyembunyikannya, pasti akan terungkap juga."

"Kayaknya Tina punya dugaan sama."

"Dia menolak mempercayainya."

"Kak Maria datang," gumam Randy tidak nyambung.

Sonya menoleh kearah kanan. Memang Maria Kristin sedang berjalan menuju mereka.

"Bagaimana kalau kita tanya langsung?" usul Sonya.

Randy tidak mengiyakan maupun menolak - dia terlalu sibuk mengamati Maria, jadi Sonya menghampiri Maria dan mengajaknya duduk sebentar.

"Kak Maria... ngobrol dulu yuk Kak," ajak Sonya ramah. Maria tersenyum padanya.

"Boleh," kata Maria mengangguk.

Sonya sengaja mengambil tempat di antara Randy dan Maria. "Kakak nggak ikut turnamen ya?"

"Iya, saya ikut turnamen lain... sebentar lagi, di luar negeri tapi..." jelas Maria. "Kenapa?"

"Nggak, Kak..." gumam Sonya. "Kak, saya dengar Kak Ahsan mau nembak seseorang ya?"

Maria mengernyitkan dahi. "Hmm... iya, kamu tahu darimana?"

"Aah, dengar gosip aja Kak, hehe. Banyak yang bicarain soalnya," cengir Sonya. "Kakak kenal orangnya?"

"Kenal. Dia baik sekali orangnya," kata Maria. "Kenapa kamu tanya itu? Hayooo, kamu naksir Ahsan ya..."

Sonya memutuskan untuk berbohong. "Eh... iya, Kak... bisa dibilang gitu... duh patah hati deh, hahaha."

Maria tertawa. "Kamu telat sih... coba kamu masuk pelatnas lebih awal."

"Jadi Kak Ahsan mau nembaknya kapan Kak?" Randy nimbrung, kesal karena selama ini dia diacuhkan oleh dua gadis di sebelahnya.

"Ng? Kayaknya hari ini," senyum Maria. "Kalian doakan supaya diterima, ya, soalnya udah lama banget Ahsan memendam perasaan ini, cuma bisa sebatas temenan, sahabat."

Sontak Randy dan Sonya kaget. Mereka tak menyangka akan secepat itu Ahsan menembak gebetannya.

"Hmm?" Maria merasa diacuhkan.

"Oh, eh... iya deh, Kak," Sonya berpura-pura sedih dan harus menerima kenyataan yang terjadi. "Saya doain semoga Kak Ahsan bahagia..."

"Amin," kata Randy mengaminkan, karena dia tak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Eh, sudah jam segini, saya mesti latihan dulu ya, Randy, Sonya," kata Maria, lalu bangkit berdiri. "Duluan... latihan yang bener juga ya!" pesannya sebelum pergi.

Maria beranjak menjauh sambil melambaikan tangannya. Sonya membalas dengan senyum dan lambaian tangan.

Sejenak hening.

"Lalu," kata Randy, "Tina bagaimana?"

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Lagi-lagi saya mengulur-ngulur cerita... haduuuuh ==' tunggu part enamnya ya, saya masih ngarang-ngarang cerita nih...

P.S.S. Mohon komentar, kritik, sarannya... :))

R.A.
22 Juli 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (V)

Rabu, 21 Juli 2010

Second Chapter

Salam, Pembaca!

Lanjutan dari chapter pertama novel saya ^^ silakan dibaca, diberi komentar...
Happy reading! :))

Aku menyesali persetujuanku untuk melihat-lihat buku baru. Buku-bukunya benar-benar baru; dan benar-benar mengusik minat bacaku. Aku membaca apa saja yang menurutku menarik, dan apa saja yang menurut orang tidak menarik. Aku tidak membaca buku yang menurut orang menarik. Tapi aku membaca berdasarkan seleraku.

"Azka, kau sudah selesai?" tanyaku pada Azka yang sedang mengamati sebuah buku. "Ayo kita lekas pergi dari sini."

Seorang petugas toko yang lewat dan mendengar perkataanku memandangku heran, yang kubalas dengan cengiran minta maaf.

"Bukunya benar-benar menarik," kata Azka, meletakkan kembali buku setebal lima senti itu pada tempatnya semula. "Bukunya menarik sekali."

"Kau mengatakannya dua kali," komentarku, duduk di sofa terdekat. "Belilah kalau menurutmu bagus." Aku meraih buku yang baru saja diamati Azka. "’Kisah Kehidupan Para Samurai’?" aku membaca judulnya.

"Ya," desah Azka. "Baru terbit. Oh, aku ingin sekali beli."

"Maafkan aku, tapi bukannya kau sudah punya setengah rak buku tentang samurai?" gumamku.

"Memang," kata Azka lagi, memandang buku itu. "Tapi yang ini beda. Ini karya Richard Kenichi."

"Oh," ucapku. "Lalu?"

Azka memandangku tak percaya. “Lalu, semua buku karyanya best-seller! Yang ini kayaknya diangkat dari kisah nyata. Dia harus mengadakan riset, perjalanan panjang keliling Jepang dan macam-macam lagi untuk menyusun buku ini." Azka sudah mengangkat buku itu lagi dan memandangnya penuh kerinduan.

"Berapa sih harganya?" tanyaku.

"Buku-buku karya Richard Kenichi biasanya mahal," Azka membalik buku itu. "Harganya seratus dua belas ribu nih; aku tak punya uang sebanyak itu."

"Menabunglah," usulku. "Tapi, itu jelas bukan buku termahal yang pernah kau beli kan?"

"Tentu saja. Kau ingat ’Samurai dan Yakuza’? Harganya..."

"Dua ratus sembilan puluh tujuh ribu," aku menyelesaikan kalimat Azka. "Yeah, aku ingat sekali. Kenapa kau tidak beli sebulan lagi? Harganya pasti sudah turun."

"Tapi bukan cetakan pertama," kata Azka. "Aku ingin yang cetakan pertama."

"Hem. Berapa uang di dompetmu sekarang?" tanyaku.

"Dua ratus," gumam Azka. Ribu tentunya. "Uang jajan untuk seminggu ini."

"Kalau begitu kau harus tahan tidak jajan seminggu ini," tawaku, dan bahuku dipukul Azka.

"Hei, tapi itu ide yang bagus."

Akhirnya Azka jadi membelinya. "Aku pasti akan mati dua-tiga hari ke depan."

"Jangan ngaco ah," kataku. "Tidak ada yang tahu kapan kita mati."

"Iya, tapi dengan tidak ada uang di dompetku? Aku tidak makan selama berhari-hari dan itu akan mempercepat kematianku."

"Sudahlah. Lebih baik kau pulang dan membaca buku itu, lalu makan, sebelum tidur kau baca lagi, lalu tidur, dan besok pagi kau baca lagi."

"Heh. Bagaimana kau tahu itulah yang akan aku lakukan?" Azka memukul bahuku lagi.

"Oh, aku kan mengenalmu."

Lalu kami tertawa sampai Azka dijemput sopirnya dengan limo hitam. Azka memelukku singkat, lalu membuka pintu. Kemudian dia menoleh padaku.
"Kau yakin tidak mau bareng?" tanyanya.

"Tidak usah, kan rumah kita tidak searah. Aku akan menunggu Jayden," kataku. "Sudah, cepat masuk sana, baca bukumu."

Aku mendorongnya masuk mobil. Azka melambai padaku sesaat sebelum dia pergi. Aku memandangi limo itu di kejauhan dan tanpa sadar aku masih tersenyum. Terdengar siulan panjang dari belakangku. Aku berbalik.

"Canggih," gumam Jayden dari atas vespanya. "Temanmu?" katanya sambil menyodorkan helm.

"Bukan, dia musuhku. Kau tidak sedang sibuk atau apa kan?" tanyaku, memasang helm di kepalaku.

"Tidak kok," ujarnya singkat. "Baru pulang servis."

"Apanya yang rusak?"

"Oh, ini dan itu."

Aku mengangguk singkat, lalu naik ke vespa Jayden. Jayden tidak mau membuang-buang waktu mencekokiku dengan berbagai macam kerusakan yang biasanya terjadi pada vespa lamanya; aku sama sekali buta tentang otomotif. Vespa Jayden sudah lama sekali – warisan dari kakeknya. Papanya mencoba menawarinya motor baru, tapi Jayden menolaknya dengan halus. Dia bilang ada semacam ikatan batin antara dia dan vespanya.
Aku sih tidak mau punya ikatan batin dengan benda mati.
* * *
"Aku serius bertanya padamu nih," kata Jayden, waktu kami sudah duduk manis di sofa depan televisi di ruang keluargaku. "Yang naik limo tadi siapa?"

"Oh, itu sahabatku yang lain, Azka," jawabku, meraih toples kacang mete yang dibawa Jayden dari rumahnya. Jangan mengira Jayden membawa-bawa kacang mete ke tempat servis motor ya; kami tadi mampir ke rumahnya dan mengambil kacang mete yang menganggur di meja makan. Mama dan Papa Jayden sedang sibuk mondar-mandir di ruang kerjanya, mengangkat telepon dari entah-siapa yang aku tidak tahu. Memang ibunya sempat memelukku singkat dan menitipkan salam untuk Mama, tapi setelah itu ponselnya berdering lagi dan beliau tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Kau punya sahabat lain?" tanya Jayden tak percaya. "CEWEK?"

"Memangnya kenapa? Aku kan cewek. Lagipula aku tak setomboy itu, kan?" kataku. Jayden memang tak tahu kalau Azka teman dekatku. Dia hanya tahu Azka sebagai teman sekelasku, seperti teman-teman sekelasku yang lain. Teman-teman biasa.

"Kau tidak pernah cerita," kata Jayden. Tampaknya dia masih heran, atau apa, mendengar kenyataan bahwa teman sepermainannya ini punya sahabat lain.

"Mulai lagi deh," ujarku bosan. "Kan dulu sudah pernah aku ceritakan tentang Azka."

"Tapi selama ini kukira dia hanya... yah, hanya teman biasamu. Bukan sahabat," Jayden berargumen.

"Terus kenapa?"

"Kenalkan padaku."

"Apa?"

Jayden mulai bertingkah seperti ayah-yang-minta-dikenalkan-pada-pacar-putri-kesayangannya.

"Jayden, dia cewek," sahutku. "Dia bukan cowok yang sedang berusaha mendekatiku atau apa."

Jayden rupanya mencerna fakta ini dengan cepat. "Oh, baiklah. Tapi setidaknya kau menceritakannya padaku."

"Kan sudah kubilang aku sudah pernah cerita!" ujarku kesal.

Yah, aku pernah mengatakan pada Jayden bahwa aku akan pergi ke pesta salah seorang teman les kami, yang tidak Jayden kenal, bersama Azka.
"Aku tahu kau sering pergi bersamanya, pergi ke toilet cewek bersama-sama," ujar Jayden lagi, masih mencoba berdebat. "Kau juga lebih sering makan di cafeteria bersamanya. Dan kalian selalu bersama teman-teman kalian yang lain. Jadi kupikir... hanya sebatas itulah pertemanan kalian. Teman sekelas. Bukan teman dekat."

"Begini lho. Aku dan Azka bersahabat. Oke?" kataku, mengakhiri pembicaraan. "Tuh, sudah mulai."

Selama kami mengobrol tadi komentator pertandingan masih menguraikan fakta-fakta mengenai pemain-pemain yang akan bertanding.

Kami menonton dengan hening – dan seingatku, kalau aku masih bisa mempercayai ingatanku, baru kali inilah kami berdua menonton pertandingan bulutangkis dengan suasana sunyi. Rupanya Mama juga menyadarinya, karena Mama keluar dari kamar dan berkata,
"Oh, Mama kira kalian sedang di dapur! Sejak tadi hening sekali disini."

Mama tersenyum heran.

* * *
Continue reading Second Chapter