Salam, Pembaca!
Percaya atau tidak, sebelum saya menulis fanfiction part sembilan ini, saya membaca keseluruhan fanfiction dari part 1 sampe 8 (hey, ini almamater saya, SMAN 8 ^^) karena SAYA LUPA SAMA CERITA AWAL YANG SAYA TULIS. Silakan sebut saya pikun atau apalah. Yang jelas saya lupa, benar-benar lupa cerita-cerita di bagian awal. Haduuu~ memang otak saya ini aneh. Bagaimanapun, yah, inilah fanfiction 'Rhapsody in Pelatnas' part 9.
Happy reading! :))
>>
Keheningan menyelimuti kamar Hendra dan Kido. Hendra nyengir, lalu memetik gitarnya, memainkan beberapa nada. Alvent masih ternganga, tidak siap menerima berita mengejutkan yang tiba-tiba itu. Kido dan Simon berpandangan heran.
"Malam ini?"
"Kok cepet banget loe mutusin gitu?"
"Rencana loe apaan?"
Mereka bertiga bertanya berbarengan. Hendra tertawa. "Santai bro... gue udah mikirin ini sejak lama. Gue pikir, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Bukannya loe yang pernah bilang gitu sama Ahsan, Vent?"
Alvent yang ditanyai mendadak gagap (maaf, Kak Alvent, saya tidak ada maksud apa-apa!). "Eh... oh... ya... gue... emang... pernah ngomong gitu sama Ahsan sebelum dia nembak..."
"Nah, kalau gitu gue bener dong?" tanya Hendra lagi pada semuanya.
"Jadi loe beneran suka sama Tina?" tegas Simon.
"Yah, kalo enggak, buat apa gue ngerencanain ini semua?"
"Gue kira loe suka ama Butet..." ujar Kido tak percaya. "Gue kira loe bakal nembak dia..."
"Gue emang suka, dulu... tapi sekarang rasa suka itu udah pudar, gue anggep dia temen..." terang Hendra.
"Terus rencana loe malam ini apa?" tanya Simon. "Buat Tina?"
"Nah, disini gue minta bantuan loe, Mon," ujar Hendra serius. "Gue minta tolong dong, cariin nomer hape Tina... loe kan bisa tanya Sonya, nah, gue, nggak bisa, nanti dia pasti tanya-tanya."
"Yee, kalo gitu juga sama lah, dia juga pasti nanya ke gue buat apa gue minta nomor temennya," tolak Simon. "Mending loe minta tolong Alvent, tuh, dia kan nggak ada urusan."
"Justru karena gue nggak ada urusan, makanya kenapa mesti gue yang dimintain tolong?" tanya Alvent bingung.
"Udah deh, biar gue suruh Pia yang tanyain, langsung sama Tina-nya, kalo cewek sama cewek kan aman tuh..." kata Kido menengahi.
"Sip kalo gitu, Bang," Hendra nyengir.
* * *
"AIRIN NEMBAK KAMU?" teriak Sonya dan Tina berbarengan, membuat Maria dan Vita yang sedang mengobrol di dekat mereka terlonjak.
"Kamu gak bohongin kita kan, Ran," Sonya benar-benar menolak percaya pada Randy saat itu.
"Ah, aku nggak bisa percaya ini!" Tina menjerit.
Randy tersenyum lemah. "Ya, kalian sih nggak akan percaya, aku sendiri juga susah percaya waktu dia bilang gitu..."
"Terus kamu terima?" tanya Tina tanpa berpikir.
"Ya enggaklah," jawab Sonya. Randy mengangguk.
"Apa alasan kamu? Dia tanya nggak?" tanya Tina lagi.
"Yah, aku bilang aku cuma anggap dia teman," jawab Randy, mengangkat bahu, "memang apa lagi yang bisa kukatakan? Aku juga bilang kalau kayaknya Sonya," Randy melirik Sonya, "nggak akan terlalu senang kalau aku jadian sama dia."
Tina mengangguk-angguk, tetapi Sonya mengernyitkan dahinya. "Hei, kamu nggak perlu ngomong gitu dong sama dia. Kesannya aku..." Sonya berpikir-pikir, mencari kata yang tepat, "...egois."
"Habis aku bingung mau bilang apa lagi," Randy membela diri. "Sekalian aja kubilang kamu benci sama temennya."
"Itu sih jahat banget. Nggak, mestinya itu jadi masalah antara perasaan kalian berdua aja, nggak perlu ada tuntutan dari pihak lain," jelas Sonya.
"Maksudmu, kalau aku beneran suka sama dia, aku terima dia?" tanya Randy memperjelas.
"Yah, perasaan nggak bisa dibohongin, kan," kali ini giliran Sonya yang mengangkat bahu. "Okelah aku nggak suka sama Eri dan jadinya juga anti sama Airin, tapi kalau kamu memang bener suka sama Airin, kamu bisa terima dia tanpa memedulikan aku," tambah Sonya.
"Kalau begitu aku yang jahat terhadap sahabat aku sendiri," komentar Randy.
"Tapi kamu menolaknya murni karena kamu beneran nggak ada perasaan sama dia, kan?" tanya Tina.
"Yeah..."
"Kalau begitu masalah clear," kata Tina puas. "Randy nggak naksir Airin. Ini cuma perasaan satu orang aja."
Sonya mengangguk-angguk. Randy manggut-manggut. Lalu Pia dan Febe tiba-tiba datang.
"Haaii, semuaaa," sapa Pia ramah.
"Hai, Kak," balas mereka bertiga.
"Sonya, Tina, bisa minta nomor hape kalian nggak?" tanya Pia.
"Ha?" Tina membelalak. "Boleh aja, sih, Kak..." gumamnya, diiyakan Sonya.
"Buat data aja," kata Febe, menjawab pandangan mata bingung dari Sonya. "Kalau misalnya ada apa-apa dan kami butuh kalian..."
Lalu mereka saling menukar nomor masing-masing.
"Saya enggak, Kak?" tanya Randy penuh harap.
"Ngarep, Ran?" celetuk Tina usil. Pia dan Febe tertawa.
"Kamu tukeran sama senior cowok aja, gih," saran Febe. "Okeee, makasih ya adik-adikku sayang."
Pia dan Febe melambai, bertemu Maria dan Vita dan bergabung dengan mereka berjalan menjauhi Randy, Sonya, dan Tina.
* * *
Malamnya di kamar Tina dan Sonya. Sonya sudah bersiap akan tidur dan menyelimuti dirinya dengan selimut. Tina masih mengetik di laptop.
"Rajin amat Jeng," gumam Sonya, menguap.
"Ngetik buku harian," jawab Tina, nyengir.
"Hoaaahm," kuap Sonya. "Capek banget aku."
"Cepatlah tidur," saran Tina.
"Ya," Sonya memandangi meja nakas yang diatasnya diletakkan sapu tangan Simon. Sonya menghela napas panjang. Sampai sekarang pun dia belum sempat mengucapkan terima kasih pada Simon.
Kemudian didengarnya Tina naik ke atas tempat tidur - suara tempat tidur yang berderit ketika Tina merebahkan diri itu yang didengarnya.
Sonya tahu bahwa Tina juga belum berniat tidur. Tetapi, tak ada diantara mereka yang berminat membuka pembicaraan.
"Akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi ya, Sonya," kata Tina.
Sonya tak perlu berpikir jauh untuk mengerti 'banyak hal yang terjadi' yang dimaksudkan Tina.
"Yeah," gumam Sonya sambil menguap. "Padahal ini baru minggu kedua kita di Pelatnas."
"Dan kita sudah patah hati," tambah Tina, tertawa. Sonya mendengar kegetiran dalam tawanya.
"Hahaha, memang nasib sedang tidak berpihak pada kita," tawa Sonya.
"Dan..."
Suara Tina disela dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi.
"Punyamu?" tanya Sonya.
"Iyaaa," jawab Tina, meraba meja nakasnya dan mendapati ada sebuah pesan di dalam ponselnya. "Dari siapa ini? 'Tina? Bisa keluar dari asrama sebentar?' Siapa yang memintaku menemuinya malam-malam begini?"
"Nggak ada di kontak kamu?"
"Nggak, nomor asing."
"Jangan dipedulikan, tidur saja," saran Sonya.
"Tapi aku punya firasat baik..."
Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Tina turun dari tempat tidur dan mengambil jaketnya. Sonya mengawasinya.
"Oke, aku ikut," kata Sonya memutuskan.
"Ide bagus," gumam Tina, yang takut menyusuri koridor asrama cewek sendirian pada malam hari.
Tapi belum lima detik mereka melangkah keluar kamar, terdengar suara petikan gitar dari luar. Tina melonjak dan memeluk Sonya.
"Gitar," gumam Sonya geli.
Kemudian intro lagu Angel (Walk, Talk, Sing, and Bleed) milik Nidji (lagu ini ada di album Nidji yang "Breakthru': ENGLISH VERSION", red) mengalun. Tina mempercepat jalannya, diikuti Sonya, yang punya firasat bagus mengenai ini.
Selagi mereka berlari di koridor, terdengar suara seorang cowok menyanyikan lirik lagu Angel itu.
Oh
Such a cold day
When regrets cuts through your veins
Lights are fading out
And I'll wait for you now
So
Until the end
When you opened up your eyes
Lights are fading out
And I'll wait for your lights
Desire the angels of my pain
That walks the city of a lonely man
Give me some truth
Give me love
Give me pain
And you
"Siapa yang nyanyi?" gumam Tina. Tetapi Sonya mengenali suara itu.
Kemudian mereka tiba di pintu depan asrama cewek. Saat mereka membukanya, lanjutan lagu itu terdengar, lebih keras.
Lights are fading out
And I'll wait for your love
Desire the angels of my pain
That walks the city of a lonely man
And you should be loved
In this restless world of mine
So I...
Tina tertegun saat melihat siapa yang berdiri di depan asrama cewek. "Kak Hendra...?" bisiknya lirih.
Hendra menyanyi, sembari memetik gitarnya. Dan bukan hanya Hendra. Tetapi Simon, Kido, Bona, dan Frans berbaris di belakang Hendra, memegang gitar juga, dan berperan sebagai backsound Hendra.
Saat berikutnya lagu itu dilanjutkan, Tina bergerak mendekati Hendra.
Angel walks
Angel talks
Angel sings
And bleed
Angel walks
Angel talks
Angel sings
Tina sudah sampai di depan Hendra tepat ketika lagunya berakhir dengan petikan gitar Hendra yang dramatis. Lalu terdengar tepukan riuh dari belakang Sonya - yang terlonjak kaget karena mengira dirinya cuma berdiri sendiri di depan pintu asrama. Rupanya Pia, Maria, Febe, Greys, dan Vita sudah ikut terbangun - atau memang sengaja bangun dari tadi karena mengetahui rencana Hendra - dan ikut menonton live music dari Hendra.
"Kak..." sahut Tina bingung.
Hendra tersenyum. "Suka lagunya?"
Tina mengernyitkan dahi. "Eh... suka sih, Kak, tapi saya nggak begitu menangkap maksud liriknya, saya tadi lari-lari di koridor."
Frans dan Bona mendengus tertawa, pelan, di belakang Hendra. Kido menatap mereka tajam, menegur.
"Yah, akan ada banyak waktu untuk mendengarkan lirik itu nanti," lanjut Hendra tanpa mengindahkan Frans dan Bona.
"Maksud Kakak?"
"Maksud saya..." Hendra masih terlihat cool bahkan di saat-saat menegangkan seperti ini (ehm, kayaknya Kak Hendra memang selalu cool, red). "Saya menyayangi kamu."
Terdengar siutan dari kelompok cewek-cewek di depan pintu asrama.
Tina terperangah.
"Tidak," ralat Hendra. Suasana kembali hening.
Tina menunggu. Hatinya berdebar tidak karuan, tangannya gemetar.
Hendra meneruskan. "Saya cinta kamu."
* * *
to be continued...
Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.
P.S. Saya juga pengen ditembak Kak Hendra... >.< hahaha sumpah setelah saya baca ulang kok makin kayak sinetron aja nih cerita... ==' tapi, yah, ini cuma khayalan saya, mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan. ^^ Ide untuk memasukkan lagu NIDJI itu muncul saat saya mendengarkan album Breakthru': ENGLISH VERSION, dan ternyata liriknya pas dengan kisah Tina. ^^ What a coincidence. Terima kasih, Mas Giring dan kawan-kawan!
P.S.S. KOMENTAR! :))
R.A.
25 Juli 2010
0 komentar:
Posting Komentar