Senin, 26 Juli 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (V)

Salam, Pembaca!

Apa kalian tidak berpikir kalau fanfiction yang saya buat agak kepanjangan? ==a
Ini sudah part kelima dan saya masih belum memikirkan ending yang bagus untuk semua orang - well, untuk sebagian besar orang, karena pasti akan ada yang kurang bahagia di akhir cerita saya. --' Silakan sebut saya kejam, tapi, itulah hidup, tidak ada 'happily ever after', yang ada adalah 'happily never after' (ini judul film...), Tuhan akan memberikan berbagai ujiannya di rangkaian kehidupan manusia. Doakan saja agar saya bisa menciptakan cerita yang memuaskan buat semua... amin.
Happy reading! :))


>>
Sehari setelah pertandingan, Sonya tak bisa berhenti tersenyum. Begitu juga Tina, meskipun Randy curiga kegembiraan Tina bukan hanya karena kemenangan dua sahabatnya, tetapi karena kejadian yang terjadi padanya waktu pertandingan. Tina sekarang memandangi Hendra dengan intensitas yang sama seperti waktu dia masih memuja Ahsan - bukannya Tina tidak memuja Ahsan lagi, sekarang Tina punya dua orang yang mesti dia pandangi tiap makan pagi, siang, dan malam, waktu latihan, waktu mengobrol dengan Randy dan Sonya di taman, kapanpun Ahsan atau Hendra melewati mereka. Biasanya Hendra melempar senyumnya pada mereka bertiga - tapi Tina menganggap senyuman itu ditujukan kepadanya saja, jadi dia sering senyum-senyum sendiri, bahkan waktu Hendra sudah berjarak sepuluh meter dari mereka. Tina agak dikecewakan oleh Ahsan, karena Ahsan jarang sekali melempar senyumnya (wah, apa senyum seperti bola yang bisa dilempar-lempar, red) pada mereka bertiga, tampaknya Ahsan sibuk dengan pikirannya sendiri, yang, baik Randy maupun Sonya, bahkan Tina, bisa menduganya, tetapi menolak mempercayainya.

Tetapi pukulan pertama terjadi waktu ada keributan di ruang makan, ketika jam makan siang dua hari setelah pertandingan. Bona menyindir-nyindir Ahsan tentang sesuatu.

"Hebat loe, San!" kata Bona nyengir.

Ahsan hanya tersenyum.

"Romantis banget, sih..." sindir Pia senang.

Ahsan menyambut sindiran teman-temannya dengan satu kalimat. "Doain gue, ya..."

Dan keriuhan pun terjadi. Randy, Sonya, dan Tina baru saja hendak masuk ke ruang makan, ketika Randy mendengar riuh-rendah kakak-kakak seniornya membicarakan sesuatu yang kemungkinan akan membuat Tina sedih. Untung Sonya dan Tina berjalan agak di belakang Randy, sehingga tidak mendengar apa yang dibicarakan seniornya. Randy buru-buru mengajak Sonya dan Tina untuk berjalan-jalan sebentar di taman. Tina bingung dengan perubahan sikap Randy yang begitu tiba-tiba, tapi menerimanya tanpa banyak protes.

Alhasil mereka tidak jadi makan, tetapi duduk di taman sebentar. Randy memutuskan bahwa saat terbaik mengajak Tina makan adalah saat mereka sudah melihat Ahsan keluar dari ruang makan - atau paling tidak menunggu semua seniornya keluar dari ruang makan. Randy tidak mau mengambil resiko mereka mendengar berita itu dari senior lain yang membicarakannya di ruang makan.

Tina mulai melihat gelagat aneh waktu Randy melongok dengan cemas ke arah ruang makan. "Ada apa sih, Ran?"

Sonya yang tidak tahu apa-apa juga ikut memandang Randy heran. "Iya, kamu kenapa dari tadi... ngajak kita kesini tiba-tiba..."

"Eh... itu..."

"Hayo, kamu nggak pengen dilihat seseorang ya... atau malu ketemu Kak Maria?" sindir Sonya.

"Iya," gumam Randy singkat, memutuskan bahwa alasan yang dikarang orang lain dan menyetujuinya adalah lebih baik dibandingkan diam dan tidak bisa mengutarakan alasan bohongan bisa membuat mereka makin curiga.

"Ya ampun Ran, justru kamu bisa ngeliatin Kak Maria di ruang makan, kan?" Tina berargumen.

"Itu Kak Maria keluar," kata Sonya. "Ayo kita makan, aku sudah lapar sekali nih, latihan hari ini benar-benar menguras tenaga."

Tetapi Randy belum melihat Ahsan.

"Randy...?" tegur Sonya, karena Randy masih bimbang memutuskan mau pergi saat itu juga atau tidak. Akhirnya ia menyerah, apa yang terjadi terjadilah.

* * *

"Kak Simon, Sonya," bisik Tina di telinga Sonya ketika mereka memasuki ruang makan. Simon duduk di meja dekat counter makanan, duduk bersama Febe dan Alvent.

Sebelum mereka mencapai counter makanan - yang berarti menghampiri meja Simon juga, Simon bangkit dan berjalan ke counter makanan. Febe saat itu berteriak, "Mon, saladnya yang banyak, aku minta nanti." Simon nyengir pada Febe yang mengacungkan jempolnya.

Sonya tiba di counter makanan lebih dulu, karena desakan Randy dan Tina. Sonya mengambil makanannya, lalu berpapasan dengan Simon - yang membawa salad porsi besar - yang hendak kembali ke meja. Seniornya tersenyum, lalu berkata, "Makanlah yang banyak."

Sonya hanya bisa memandangi Simon hingga dia duduk di meja, bahkan tidak memperhatikan ketika Febe terlihat berbisik pada Simon dan Alvent, lalu mereka bertiga menoleh ke arah Sonya. Gadis itu gelagapan, lalu mengangguk singkat, dan langsung mencari meja. Dia bahkan lupa mengambil minuman. Menghindari tatapan geli Febe dan Alvent, Sonya menunduk. Berharap Tina tidak lupa membawa minuman untuknya.

Randy dan Tina menghampiri meja Sonya dengan mengikik pelan.

"Ehem..." deham Randy iseng. Lalu meletakkan nampannya di meja. Ada dua gelas minuman disitu.

"Makasih," gumam Sonya, mengambil segelas es teh. (apa di pelatnas minuman para atlet ada esnya? es kan tidak baik untuk kesehatan, red)

"Hahaha, kamu lucu banget deh Sonya," kata Tina, tertawa kecil. "Sampe salah tingkah gitu..."

"Habis gimana? Kak Simon bilang padaku 'makan yang banyak' gitu, gimana nggak geer? Coba kamu yang dinasehatin kayak gitu sama Kak Hendra."

Tina mengangkat alis. "Oho? Belum pernah."

"Nanti pasti..."

"Amin..."

Randy mengaminkan perkataan Sonya, dan dia langsung ditimpuk dengan buku oleh Tina. Sonya tertawa, lalu matanya menangkap sosok Eri yang sedang memandangnya penuh perhatian. Sonya memandang lurus-lurus padanya, membalas tatapannya, dan, menang, karena Eri menyerah dan kembali menyuap makanannya.

Ketika mereka sedang menikmati makan siang, Greysia dan Pia melewati meja mereka sambil membicarakan sesuatu. Mereka bisa mendengar sepatah-dua patah kata dari pembicaraan mereka.

"...sudah kubilang dia harus mencobanya dulu..." kata Pia.

"Betul, kalau belum dicoba kan mana bisa tahu?" timpal Greys.

"Iya, makanya kubilang padanya kalau dia harus yakin sama perasaannya..."

"Terus kapan?" tanya Greys.

"Kayaknya pas selesai turnamen nasional."

"Ooh, ya ya ya... mudah-mudahan menang ya, jadi dobel happynya..."

"Hahaha, amiiin..."

Randy bertatapan dengan Tina. Dari ekspresi wajahnya terlihat bahwa Tina juga memikirkan hal yang sama.

"Kak Ahsan?"

Sonya yang mengutarakan pikiran itu.

* * *

"Sonya, bisa bicara?"

Sonya yang sedang sibuk membaca buku catatannya mendongak dan mendapati Randy di depannya.

"Apa?"

"Tentang Kak Ahsan... katanya dia mau nembak gebetannya..." kata Randy langsung.

Randy awalnya mengira Sonya akan shock atau kaget mendengar berita ini, tapi Sonya hanya manggut-manggut.

"Sudah kuduga. Dua hari ini aku memikirkan hal yang sama, tahu."

"Ya... aku takut Tina shock mendengarnya... ngomong-ngomong Tina kemana?"

"Ke Istora menonton Kak Ahsan bertanding."

"Sendirian?"

"Sama Kak Hendra."

"Hem," Randy manggut-manggut.

Sonya menutup buku catatannya. "Kamu tahu nggak gosip yang tersebar di kalangan senior?"

"Nggak, apa? Yang aku tahu cuma Kak Simon sama Kak Maria."

"Ada juga gosip kalau Kak Hendra suka sama Kak Butet... tapi Kak Hendra nggak pernah bilang, soalnya Kak Butet deket banget sama Kak Devin..."

"Hah? Masa?" tanya Randy kaget.

"Iya, jadi Kak Hendra ngira Kak Butet suka sama Kak Devin. Akhirnya Kak Hendra berhenti suka sama Kak Butet."

"Gitu?"

"Yup, dan gosipnya Kak Frans naksir Kak Pia..."

"Nah, lho, ini kemana nyambungnya?"

"Hahaha."

Sejenak hening.

"Ran."

"Hm."

"Kalau Kak Ahsan diterima sama gebetannya, gimana?"

Randy bingung. "Ya... mereka pacaran, dong?"

"Kamu pasti tahu maksudku," kata Sonya, memandang Randy sungguh-sungguh.

Randy tak menjawab.

"Pikiran kita sama, kan?" tanya Sonya.

"Kupikir Tina akan sangat kaget."

"Tapi kita nggak bisa nyembunyiin ini terus dari hadapannya. Ini kenyataan. Fakta. Bagaimanapun kita mencoba menyembunyikannya, pasti akan terungkap juga."

"Kayaknya Tina punya dugaan sama."

"Dia menolak mempercayainya."

"Kak Maria datang," gumam Randy tidak nyambung.

Sonya menoleh kearah kanan. Memang Maria Kristin sedang berjalan menuju mereka.

"Bagaimana kalau kita tanya langsung?" usul Sonya.

Randy tidak mengiyakan maupun menolak - dia terlalu sibuk mengamati Maria, jadi Sonya menghampiri Maria dan mengajaknya duduk sebentar.

"Kak Maria... ngobrol dulu yuk Kak," ajak Sonya ramah. Maria tersenyum padanya.

"Boleh," kata Maria mengangguk.

Sonya sengaja mengambil tempat di antara Randy dan Maria. "Kakak nggak ikut turnamen ya?"

"Iya, saya ikut turnamen lain... sebentar lagi, di luar negeri tapi..." jelas Maria. "Kenapa?"

"Nggak, Kak..." gumam Sonya. "Kak, saya dengar Kak Ahsan mau nembak seseorang ya?"

Maria mengernyitkan dahi. "Hmm... iya, kamu tahu darimana?"

"Aah, dengar gosip aja Kak, hehe. Banyak yang bicarain soalnya," cengir Sonya. "Kakak kenal orangnya?"

"Kenal. Dia baik sekali orangnya," kata Maria. "Kenapa kamu tanya itu? Hayooo, kamu naksir Ahsan ya..."

Sonya memutuskan untuk berbohong. "Eh... iya, Kak... bisa dibilang gitu... duh patah hati deh, hahaha."

Maria tertawa. "Kamu telat sih... coba kamu masuk pelatnas lebih awal."

"Jadi Kak Ahsan mau nembaknya kapan Kak?" Randy nimbrung, kesal karena selama ini dia diacuhkan oleh dua gadis di sebelahnya.

"Ng? Kayaknya hari ini," senyum Maria. "Kalian doakan supaya diterima, ya, soalnya udah lama banget Ahsan memendam perasaan ini, cuma bisa sebatas temenan, sahabat."

Sontak Randy dan Sonya kaget. Mereka tak menyangka akan secepat itu Ahsan menembak gebetannya.

"Hmm?" Maria merasa diacuhkan.

"Oh, eh... iya deh, Kak," Sonya berpura-pura sedih dan harus menerima kenyataan yang terjadi. "Saya doain semoga Kak Ahsan bahagia..."

"Amin," kata Randy mengaminkan, karena dia tak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Eh, sudah jam segini, saya mesti latihan dulu ya, Randy, Sonya," kata Maria, lalu bangkit berdiri. "Duluan... latihan yang bener juga ya!" pesannya sebelum pergi.

Maria beranjak menjauh sambil melambaikan tangannya. Sonya membalas dengan senyum dan lambaian tangan.

Sejenak hening.

"Lalu," kata Randy, "Tina bagaimana?"

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Lagi-lagi saya mengulur-ngulur cerita... haduuuuh ==' tunggu part enamnya ya, saya masih ngarang-ngarang cerita nih...

P.S.S. Mohon komentar, kritik, sarannya... :))

R.A.
22 Juli 2010

1 komentar:

  1. kak, lanjutin lagi yah nulisnya :)
    bagus banget loh ceritnya. mudag-mudahnya sonya jadian sm simon ya kak :D

    BalasHapus