Minggu, 11 Juli 2010

, , , , ,

Pilih-Pilih Kampus

Salam, Pembaca!

Kali ini saya mau sharing pengalaman tentang keputusan saya memilih tempat kuliah, yang agak sedikit, ehm, apa ya namanya? Rumit, mungkin.

Naik kelas tiga benar-benar membuat saya lega. Pertama, saya menjadi senior yang paling senior di SMA, yang berarti semua junior kelas satu dan dua harus hormat pada saya (hahaha, konyol sekali). Kedua, masa belajar di semester dua kelas tiga cuma tiga bulan. Well, itu bukannya membuat saya lega, tapi justru sengsara. Itu berarti semua pelajaran akan diajarkan dengan ngebut kan? Belum lagi semua ujian-ujian: ujian semester, ujian mid semester, ulangan harian, try out, UAS, dan yang paling utama tentu, UN. Momok paling mengerikan buat semua anak kelas tiga SMA dan SMP.

Disibukkan dengan berbagai macam ujian yang terus mengejar setiap saat; guru-guru yang mewanti-wanti kami untuk terus latihan-latihan soal menjelang UN (hampir semua guru memberi kami bundel soal tiap mata pelajaran yang harus dikerjakan dan dibahas bersama nantinya); latihan ujian praktek; berjuta try out yang diadakan dari berbagai institusi seperti dinas pendidikan, sekolah, dan bimbel; serta hal-hal lainnya yang membuat anak-anak kelas tiga kelabakan, ada satu hal lagi yang perlu dicemaskan bagi anak-anak kelas tiga SMA: mau kuliah kemana?

Saya pribadi ingin dapat kursi untuk kuliah sebelum UN (kalau bisa), Ibu dan Bapak juga berharap begitu. Jadi, kalau misalnya saya sudah memastikan masuk di sebuah universitas sebelum UN, saya bisa lebih konsentrasi pada UN, UAS, dan ujian praktek yang menentukan lulus tidaknya saya dari SMA. Sedikit tips juga buat adik-adik kelas saya. ^^ Saya juga berharap tidak perlu ikut SNMPTN yang notabene persaingannya ketat sekali, saya takut tidak bisa bersaing. Jadi, saya memusatkan pikiran pada tes-tes PTN sebelum UN. Sedikit informasi, untuk UI jalur sebelum SNMPTN-nya banyak sekali, ada PPKB, KSDI, SIMAK (yang paling terkenal), dan lain-lain. Kalau ITB, menyaring calon mahasiswa dengan murni tes saja, yaitu USM (Ujian Saringan Masuk) ITB yang diadakan dua kali, yaitu USM Daerah di beberapa daerah di Indonesia dan USM Pusat di Bandung. Oh, di ITB juga ada beasiswa untuk anak yang kurang mampu. Sementara UGM, juga banyak jalur masuknya, ada PBS, PBOS, PBUPD, UTUL, dan tentu ada beasiswa juga. Silakan kunjungi ruang BK di sekolah anda untuk informasi lebih lanjut. ^^

Oh ya, di awal kelas tiga, guru BK kami membagikan selembar kertas yang harus diisi oleh semua anak kelas tiga. Di kertas itu ada tabel nilai, kemungkinan untuk rekap nilai selama dua tahun sebelumnya, dan ada bagian kosong yang harus diisi dengan universitas yang diinginkan, dan jurusan yang dituju. Rekap nilai ini dibutuhkan untuk masuk PTN lewat jalur non-tes, kalau di UR namanya PBUD, kalau UI namanya PPKB, dan berbagai macam nama lain, yang berarti sama, yaitu masuk PTN hanya dengan nilai rapor. Saya berpikir akan beruntung sekali kalau masuk PTN lewat nilai rapor, tapi nilai-nilai saya pas-pasan, istilah kasarnya cukup makan lah. Jadi saya tidak berharap terlalu banyak. Di kolom universitas saya mengisi UNDIP, UNAIR, dan satu lagi lupa. Jurusan, saya mengisi Teknik Kimia dan Farmasi. Ini waktu saya belum begitu sering membahas masalah kuliah dengan ayah dan ibu.

Kalau saya mau kuliah, jurusannya harus yang benar-benar saya sukai, atau paling tidak, yang saya sukai. Pikiran pertama saya adalah sastra. Ditolak oleh orangtua saya. Mau ambil sastra apa? Nanti kerja dimana? Akhirnya saya mengurungkan niat saya masuk sastra. Ibu dan Tante saya bilang, "sastra itu nanti jadi sampingan kamu aja. Lihat Pakde, insinyur, tapi pinter bikin puisi." Oke, saya akan mengesampingkan sastra.

Lalu muncul niat saya untuk mempelajari Kimia. Ada banyak pilihan jurusan: Teknik Kimia, FMIPA Kimia, FKIP Kimia, Farmasi, dan lain-lain. Awalnya saya mau mencoba teknik kimia, tapi mendengar kata 'teknik' saya jadi mengasumsikannya menjadi 'fisika' yang ingin saya hindari lagi. Tekim, coret. Lalu FMIPA Kimia, okelah, nanti saya melamar kerja di LIPI, jadi peneliti. FKIP Kimia, Ibu saya bilang "kalau mau ngajar, jadi dosen aja, jangan jadi guru". Oke, FKIP, coret. Farmasi, ini kemungkinan besar yang saya mau; berkutat dengan alat-alat laboratorium dan sebagainya itu saya suka.

Jadilah pilihan saya dua: kalau nggak Farmasi, FMIPA Kimia. Masalah yang tersisa adalah dimana kuliahnya?

Dilatarbelakangi dengan keluarga yang asli Jawa, hampir seluruh anggota keluarga meminta saya melanjutkan kuliah di Pulau Jawa, jadi saya sudah pasti tidak akan memilih USU (Medan), UNAND (Padang), atau UR (Pekanbaru). Pokoknya bagaimanapun saya harus masuk PTN di Jawa, dan tidak boleh PTS. Saya pun paham kenapa saya tidak diizinkan masuk PTS; biayanya yang selangit. Pilihannya waktu itu dua, Bandung atau Surabaya, yang dekat dengan kampung saya di Bojonegoro, dekat dengan Kakek. ^^

Pada awalnya, Ibu mengusulkan ITB (kadang disebut Institut Terbaik Bangsa ^^) kepada saya. Tante dan Om saya yang di Bandung juga mengusulkan begitu. Di Bandung, pilihannya kalau nggak ITB, UNPAD. Surabaya, saya pilih UNAIR. Kemudian terlintas juga di benak saya mau daftar di UNDIP. Saya mengusulkan IPB, tapi Ibu bilang badan saya sensitif, tahu kan Bogor tiap hari mendung? Ibu takut saya pilek terus tiap hari, haha.

Saya berminat masuk ITB, karena sepanjang pengetahuan saya, ITB banyak melahirkan ahli-ahli yang sukses dibidangnya, acuan saya adalah Pakde dan Bude saya yang, memang, sukses, keduanya lulusan ITB. Satu hal lagi yang membuat saya ingin mencicipi kampus ITB adalah saat Pakde saya memberikan novel berjudul Gading-Gading Ganesha karya Dermawan Wibisono pada waktu liburan akhir tahun kelas dua SMA. Isi novel itu tentang kisah enam mahasiswa ITB pada masa 80'an, pada waktu angkatan Pakde saya. Novelnya inspiratif sekali. Alhasil selama bulan-bulan berikutnya gaungan 'ITB' di benak saya sangat kencang.

Belum lagi Ibu dan Bapak mendaftarkan saya ke sebuah bimbingan belajar terkemuka yang bertaraf nasional, kebetulan namanya sama dengan jalan dimana ITB berada, 'Ganesha'. Yup, saya yakin kamu semua tahu bimbel ini. Ada program les intensif untuk masuk PTN, yaitu intensif ITB, UGM, dan UI. Waktu itu, saya memilih ITB. Saya bertemu teman-teman seperjuangan saya dari almamater SMA yang sama; ada Ery, Ferry, Vira, Pia, Andre, Uli, Ike, Gilda, dan yang lain. Saya kadang terkenang candaan kami selama belajar; saya dekat sekali dengan cowok-cowoknya, justru.

Tak bisa dipungkiri bahwa text book yang diberikan kepada saya berisi soal-soal yang benar-benar 'dewa'. Ampun, nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Susah banget. Bahkan untuk soal-soal tes potensi akademiknya. Belum lagi soal mipa terpadu yang sama sekali nggak ada di dalam teks. Saya nyaris putus asa waktu itu. Apalagi melihat passing grade ITB yang sangat tinggi, membuat saya agak nggak percaya diri.

Saya lalu memikirkan kemungkinan lain; kalau saya tidak lulus ITB, lalu saya kuliah dimana?

Untunglah sekolah saya benar-benar sangat membantu dalam hal pemilihan kuliah. Setiap tahunnya, pasti selalu ada promosi dari berbagai macam PTN dan PTS di Indonesia yang datang ke sekolah saya. Bahkan, dari luar negeri: Malaysia, Singapore, dan pernah ada yang promosi tentang kuliah di Belanda. Saya waktu itu benar-benar ngiler melihat presentasinya dan keuntungan tinggal di Belanda; bisa bersepeda ke sekolah dan singgah ke berbagai negara di sekitar Belanda tanpa paspor! Saya pun bermimpi akan melanjutkan S2 disana, ya, hanya S2 karena saya pikir untuk S1 saya belajar di negeri sendiri sajalah, kualitasnya nggak kalah kok dari universitas di luar, malah bahkan lebih tinggi.
Kalaupun tidak ada promosi, mereka akan mengirimkan brosur-brosur dan informasi ke pihak BK sekolah saya. Lalu, anak-anak kelas tiga tinggal datang ke BK untuk melihat apakah universitas yang mereka inginkan sudah membuka pendaftaran.

Pada masa sibuk-sibuknya anak-anak kelas tiga SMA memilih tempat kuliah, datanglah alumni-alumni SMA kami yang sekarang kuliah di UI. Mengesankan melihat jaket kuning berseliweran di sekolah. Ketika kakak-kakak itu masuk ke aula tempat semua anak kelas tiga berkumpul untuk mendengarkan promosi alumni, hampir semua anak terpesona melihat jaket kuning itu. Termasuk saya. Lalu, guru BK kami pun memulai acara, kami mendengarkan dengan seksama, dan mulai ke sesi pertanyaan. Tidak ada yang mengacungkan tangan. Guru BK saya berkelakar, "wah, kamu jangan terpesona dulu dong melihat jaket kuning di hadapan kamu semua." Kami anak-anak kelas tiga pun tertawa. Tapi, memang benar kami terpesona. Ada banyak sekali alumni kami di UI, rupanya. Dan banyak juga yang datang ke SMA. Mereka tergabung dalam IMR (Ikatan Mahasiswa Riau) jadi mungkin sekalian pulang kampung, hehe.

Tapi saya tidak diizinkan Ibu kuliah di Jakarta, apapun universitasnya. Banyaklah alasan kenapa Ibu melarang saya tinggal di Jakarta; salah satunya, pergaulan. Sedikit banyak pasti akan ada perubahan pada diri saya kalau saya tinggal di Jakarta. Ibu tidak mau ambil resiko.

Kemudian muncullah alumni-alumni SMA kami yang datang dari berbagai macam perguruan tinggi; ITS, STAN, STIS, dan sebagainya, saya sudah lupa apa-apa saja yang kemarin datang ke sekolah. Kalau saya tidak salah BINUS juga pernah datang.

Yang paling tidak bisa saya lupakan, adalah waktu kedatangan alumni sekolah kami yang sekarang kuliah di ITB. Ada teman (yang seharusnya seangkatan dengan kami) alumni SMA, namanya Evan, dia anak akselerasi waktu SMA, jadi dia lulus duluan dari kami yang masuk bersama. Saya ingat banget dia promosi di kelas saya dan kami tidak melihatnya sebagai anak ITB, tetapi sebagai teman sederajat. Dengan enaknya kami bertanya padanya, tentang hidup dia di ITB, caranya survive disana (itu benar-benar susah lho). Dan kebetulan waktu itu ada program 'Ganesha Jalan-Jalan' dimana ini kerja sama dengan tempat bimbel saya itu ^^. Ada try out SNMPTN, pameran stand-stand fakultas, stand souvenir juga ada. Saya ikut, dan mendapat bundel soal, yang sampai sekarang yang saya kerjakan cuma bagian tes potensi akademik dan bahasa Inggrisnya saja, lainnya, lewat. Di pameran stand fakultas saya mengambil semua brosur fakultasnya meskipun sebenarnya saya ingin masuk Sekolah Farmasi ITB. Saya benar-benar ingin menghindari Fisika yang kurang saya sukai :P sejak SMA. Pikiran bodoh, karena saya ingin masuk INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG, berarti teknik, berarti berkutat dengan Fisika lagi.

Oh, dan ada tes psikotes yang diadakan di sekolah untuk membantu menentukan jurusan yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakat kita. Ada juga konsultasi langsung dengan psikolognya. Saya, waktu itu, disarankan masuk Fakultas Farmasi sebagai pilihan pertama, dan, yang membuat saya tercengang, Fakultas Sastra di pilihan kedua. Oh, saya senang sekali, ternyata saya memang sudah benar-benar memilih jurusan yang sesuai minat dan bakat. Waktu konsultasi dengan psikolog, ibu psikolognya memberi saya analisa hasil tes psikotes saya, dan katanya saya bisa masuk Farmasi, dibuktikan dengan berbagai macam karakter saya yang mendukung.

Bapak dan Ibu saya mulai merencanakan PTN-PTN lain yang hendak saya daftar. UNIBRAW, UNAIR, UNDIP, UNPAD. Yang benar-benar saya ikuti adalah UNIBRAW, di Malang, waktu itu saya ikut SPKS non-utul, mirip-mirip PBUD UNRI atau PPKB UI lah. Rencananya ingin menyusul teman-teman saya yang sudah lulus lewat jalur non-tes juga, tapi mereka lulus di UI dan IPB. Tapi, saya nggak berharap banyak.

Saya dari dulu kurang berminat untuk masuk Kedokteran (FK). Saya takut darah, dan entah kenapa saya, yah, nggak begitu minat aja masuk FK. Bukan bidang saya, saya pikir. Saya juga takut otak saya nggak mampu.

Lalu, muncullah promosi dari UGM, yang saya tidak datang ke sekolah waktu itu, saya sakit. Benar-benar menyesal. Tapi, saya mendaftar untuk ikut PBS UGM. PBS itu Penelusuran Bakat Skolastik. PBS (sepertinya) dinilai dari dua aspek, yaitu nilai rapor (prestasi selama SMA) dan tes. Tesnya adalah tes tertulis dan wawancara kalau lulus tes tertulis. Untuk tes tertulisnya ada TPA (Tes Potensi Akademik), Psikotes, Bahasa Inggris, dan Matematika. Tes ini diadakan sebelum USM Daerah ITB, berarti, saya punya dua kesempatan ikut tes, dan berharap salah satunya lulus.

Waktu saya mendaftar online untuk PBS UGM, ayah saya nyeletuk, "Mbak, nggak mau coba kedokteran gigi?"

Tapi mendengar Bapak menyeletuk begitu, saya jadi mikir, apa salahnya? Ini kan bukan FK, ini FKG. Pasti beda dong. Siapa tahu saya memang jalannya kesini? Akhirnya saya ambil pilihan pertama Kedokteran Gigi, pilihan kedua Farmasi.

Yang mendaftar untuk PBS UGM dari sekolah saya, sungguh teramat sangat banyak. Minimal ada sepertiga dari jumlah anak-anak kelas tiga di SMA waktu itu. Sekitar seratusan orang. Akhirnya, pihak sekolah memutuskan untuk membuat ranking dari anak-anak yang ikut PBS, dan menyaringnya. Alhamdulillah saya masuk, dan berkas saya dikirimkan. Berkas-berkas yang saya kirim waktu itu fotokopi rapor, fotokopi sertifikat, surat keterangan dari sekolah, dan macam-macam lagi.

Kemudian tes pun datang, tanggal 21 Februari 2010. Tes ini sungguh melelahkan. Tapi, asyik juga, banyak almamater saya yang ikut, jadinya seperti di sekolah, bercanda dan ketawa-ketawa. Nggak peduli orang-orang memandang heran ke arah kami. ^^.
Soalnya naudzubilah dewa banget. Matematikanya bukan matematika dasar, tetapi matematika dewa. Yang saya isi dengan sungguh-sungguh adalah bahasa Inggris, itupun saya harus mengerutkan kening selama beberapa menit sebelum menjawab satu soal. Matematika, hanya beberapa yang saya isi, selebihnya, saya jawab b-c-b-c-b-c-b-c-b semua. Yah, sudahlah. Yang penting saya sudah berusaha.

Dan, betapa kagetnya saya waktu melihat saya lulus tes tertulis. OMG, ini benar-benar jackpot saya. Hasil tes itu diumumkan via internet, dicek dengan menggunakan nomor peserta. Pagi-pagi sekali saya dibangunkan Ibu dan Bapak yang menanyakan nomor peserta saya, dan ketika saya klik tombol 'cari' saya membaca sekilas ada kata 'selamat' dan Ibu saya langsung mencium saya. Saya tak bisa berhenti tersenyum seharian itu, bahkan ketika saya masuk sekolah, ternyata ada 26 orang yang lulus dari SMA saya. Orang-orang berseliweran memberi selamat pada teman-temannya, pada saya juga, dan guru-guru juga memberi selamat pada semua orang yang lulus. Dari kelas saya ada tujuh orang yang lulus: saya di FKG, Rosa di FKU (Kedokteran Umum), Ike di Akuntansi, Uli di Farmasi (kalau saya ambil Farmasi pilihan pertama, mungkin saya nggak lulus dan Uli yang lulus), Vira di Ilmu Ekonomi, Iga di Manajemen, dan Tomo di Teknologi Pangan.

Lalu, kami ber-26 harus datang ke Jogja untuk tes wawancara. Ini dia yang menentukan lulus atau tidaknya kita. Sebelum berangkat, semua direncanakan; kami yang 26 orang itu dikumpulkan untuk memastikan benar-benar akan mengambil UGM sebagai tujuan akhir, lalu ada pertemuan orang tua untuk membicarakan bagaimana teknis kepergiannya. Di Jogja, kami benar-benar merasa seperti saudara; ada satu ikatan yang menyatukan kami hingga merasa dekat. Mungkin karena sama-sama di negeri orang, jadi kami merasa harus bersama, saling menjaga. Disinilah saya benar-benar merasa bahwa kebersamaan kami sebagai almamater benar-benar dijunjung tinggi. Kapanpun dan dimanapun. :))

Tes wawancara dimulai pagi hari tanggal 7 Maret 2010. Semua tampak tegang, padahal semalam sebelum tes wawancara, alumni kami yang kuliah di UGM sekarang sudah mengunjungi kami di hotel dan memberi kami tips-tips wawancara yang baik dan benar. Saya sendiri sudah diberitahu Ibu dan Bapak tentang teknis wawancara. Harus sopan dan memanggil Pak/Bu. Mengangkat kursi, bukan menarik kursi. Jangan duduk sebelum dipersilakan. Mengucapkan salam. Menyalami pewawancara sebelum dan setelah wawancara. Mengucapkan terima kasih. Menatap bagian 'segitiga' di wajah pewawancara: kedua mata, dan hidung.

Oke, dan saya bersama Rosa datang ke UGM menaiki taksi. Oh ya, jadwal wawancara itu berbeda-beda, tapi kebanyakan teman-teman saya wawancara di pagi hari. Sedangkan saya dan Rosa kebagian jadwal siang hari setelah ishoma - istirahat sholat makan. Saya pikir, pasti yang mewawancarai saya nanti lebih rileks karena sudah istirahat. Saya jadi agak sedikit lega. Tidak bisa lega seutuhnya, sih. Tapi saya menenangkan diri selagi sholat dan berdoa supaya dilancarkan tes wawancaranya. ^^

Selama menunggu di kursi di luar Grha Sabha Pramana (GSP) tempat diadakannya wawancara, saya nggak bisa duduk tenang, saya lompat-lompat, mondar-mandir. Guru saya ada disitu, bilang supaya saya tenang. Kemudian nomor urut 17 dipanggil. Saya masuk ruangan. Saya dapat nomor meja 50. Paaaling ujung. Saya menyusuri bilik-bilik bersekat dan menemukan bilik nomor 50, yang ada seorang wanita duduk di seberang meja. Saya langsung mengingat teknis wawancara: JANGAN DUDUK SEBELUM DIPERSILAKAN DUDUK. Untung saya langsung dipersilakan duduk oleh ibu itu. Kemudian saya ingat lagi: JANGAN MENARUH TAS DIATAS MEJA, KECUALI DIPERSILAKAN. Saya menaruh tas di pangkuan saya. Oh, dan saya mengangkat kursi dengan pelan, bukan menarik kursi. Lalu muncullah seorang pria, bapak-bapak, yang kemudian duduk di sebelah ibu itu. Mungkin beliau baru selesai makan atau sholat, makanya baru datang.

Pertanyaan standar. Beliau bertanya tentang nama saya yang unik, bukan nama orang Sumatera. Saya katakan bahwa saya orang Jawa. Beliau juga bertanya tentang arti nama saya, haha. Lalu ibu itu bertanya tentang alasan saya masuk FKG. Kemudian pertanyaan selanjutnya saya lupa, lalu saya ditanya apakah saya pernah aktif di organisasi atau klub. Saya bilang saya ikut E-SPY di SMA. E-SPY itu English Society Project for Youngster. Semacam English Club, saya jelaskan. Kemudian bapak itu bertanya, berarti bahasa inggrisnya bagus dong? Saya bilang, alhamdulilah selalu lewat dari KKM sekolah saya. Dan ibu itu pun menyuruh saya bercerita tentang novel saya (oh sebelumnya saya ditanya tentang hobi saya) dalam bahasa inggris. Fiuh. Dengan banyak 'er', 'em', 'eh', akhirnya cerita saya selesai.

Di akhir wawancara bapak (yang saya duga adalah dosen) itu menasehati saya: "nanti kalau kamu sudah masuk UGM" (saya mengaminkan dalam hati) "jadilah mahasiswa yang baik, ya. jangan anteng-anteng aja. harus aktif juga." lalu bapak dan ibu itu tersenyum pada saya. FYI, anteng-anteng berarti diam-diam. Nama saya kan Anteng? ^^v

Dan tes wawancara pun berakhir. Secara keseluruhan cukup bagus menurut saya, saya bisa dibilang cukup sopan lah, mengucapkan salam saat selesai wawancara tadi, menyebut panggilan Pak dan Bu, saya tidak terlalu deg-degan, saya menjawab dengan pelan tapi jelas. Dan saya memasukkan kursi ke dalam meja saat wawancara selesai.

Oke, tinggal menunggu hasilnya. Dan tebak apa? Alhamdulillah! Saya lulus tes wawancara dan kemudian muncullah serangkaian kegiatan yang harus saya lakukan. Seperti membayar biaya kuliah, mendaftar ulang, dan sebagainya. Yang 26 orang dari SMA saya juga lulus semua. Positif masuk UGM, nih. ^^

Tapi masih ada USM ITB tanggal 13-14 Maret 2010. Tes ini saya benar-benar ikut hanya untuk memenuhi kewajiban. Saya tidak begitu antusias mengikuti tesnya, tidak mengisinya dengan baik (mohon jangan ditiru) karena jauh di dalam lubuk hati saya, ada yang menjerit, hei, kamu sudah lulus UGM! Mohon perhatian kamu pada UGM saja! Saya merasa kehadiran saya di tempat tes waktu itu hanya untuk menyemarakkan suasana. Kasarnya 'tim penggembira' lah. Bagaimanapun, teman-teman SMA saya yang ikut USM juga lumayan banyak, jadi yah, saya sekalian juga bisa bercanda bersama mereka. ^^

Pengumuman ITB, saya tidak lulus. Ada sentakan kecil di hati saya, sedikit, karena saya tidak bisa masuk ITB. Tapi saya kembali kepada realita: hei, saya lulus UGM. FKG. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang hendak kamu dustakan? :)

Kemudian saya mulai mendaftar keuntungan-keuntungan kuliah di Jogja:
1. Sejak dulu saya mencintai budaya Indonesia. Dan semua orang tahu Jogja kota budaya. Saya akan senang tinggal disini dan mengamati kehidupan masyarakat Jogja yang menjunjung tinggi budayanya.
2. Makanan di Jogja murah-murah. (ehem, naluri ibu rumah tangga mulai terasah)
3. Jogja lebih dekat dengan kampung saya di Bojonegoro, artinya, kemungkinan setiap tahun saya bisa pulang kampung kesana dan menjenguk kakek dan bulik dan bude dan sepupu-sepupu saya.
4. Suasana Jogja yang asri sangat tepat untuk para mahasiswa menikmati waktu belajarnya. Jogja kota pelajar, bukan?
5. Banyak teman-teman seangkatan yang belajar di Jogja membuat kami bisa kapan saja reuni dan jalan-jalan di Jogja.
6. Orang Jogja baik-baik dan ramah-ramah. ^^ Bukannya orang Bandung tidak, lho.
7. Musisi kota Jogja keren-keren. Saya suka SO7 sejak dulu, dan saya juga suka lagu SKJ '94. Seleb Kota Jogja, bukan senam kesegaran jasmani.
8. Bangunan-bangunan UGM yang sangat klasik dan kuno, membuat saya merasa berada di zaman Belanda. Saya suka hal-hal yang klasik. Saya juga suka lampu-lampu jalan yang berdiri di jalan dalam kampus UGM di dekat GSP.
9. Saya suka suasana UGM yang rindang dan sejuk. Saya juga memimpikan bisa pergi kuliah naik sepeda. Di UGM ada jalan-jalan dengan jalur sepeda, dan tampaknya sepeda memang sangat dibutuhkan untuk berkeliling UGM, karena komplek UGM SANGATLAH LUAS SEKALI. Bayangkan kalau kamu harus menyusuri jalanan komplek UGM dengan hanya berjalan kaki.

Begitulah pengalaman rumit saya memilih kuliah ==' sampai akhirnya Tuhan menentukan saya lulus UGM. Saya yakin ini bukan kebetulan, ini takdir. Kalau ini memang sudah jalan saya, saya akan jalani semampu saya. ^^
Terakhir, buat adik-adik kelas saya yang mau milih jurusan, pilih yang benar-benar sesuai minat dan bakat, ya, bukan pilihan orang tua. Yang mau sekolah kamu sendiri, bukan orang tua kamu. Tapi jangan juga mengabaikan nasehat-nasehat orang tua, oke? Konsultasikan dengan baik dan jelaskan dengan rinci (kalau misalnya orang tua kamu nggak setuju sama jurusan yang kamu pilih). Oh, ya ada baiknya jangan mematok suatu jurusan sebagai harga mati, misalnya kamu pengen kedokteran, terus di semua universitas yang kamu daftar kamu pilih kedokteran semua. Jangan begitu. Pilihlah jurusan yang paling tidak, mata kuliahnya mirip dengan kedokteran, FKG misalnya, atau Kesehatan Masyarakat, itu juga bagus. Dan juga jangan mematok universitas tertentu untuk jurusan tertentu. Kalau kamu jadi dokter nanti, kan nggak akan ditanya sama pasien, "lulusan mana?" yang penting gelarnya itu lho, dokter juga kan?
Sering-seringlah datang ke BK dan cari informasi, dan juga cari di internet kalau-kalau ada beasiswa yang kamu bisa dapet, setidaknya meringankan beban orang tua. :))
Oh, dan untuk yang baru masuk SMA, ada baiknya kamu sering-sering ikut perlombaan atau olimpiade atau seminar selama SMA, pokoknya kumpulkan sebanyak mungkin sertifikat, sangat berguna kalau kamu mau masuk kuliah tanpa perlu capek-capek ikut tes. ^^
Nah, buat adik-adik kelas saya, selamat memililh tempat kuliah, dan buat teman-teman angkatan saya, selamat menempuh hidup baru, hahaha. :D

R.A.

0 komentar:

Posting Komentar