Rabu, 21 Juli 2010

Second Chapter

Salam, Pembaca!

Lanjutan dari chapter pertama novel saya ^^ silakan dibaca, diberi komentar...
Happy reading! :))

Aku menyesali persetujuanku untuk melihat-lihat buku baru. Buku-bukunya benar-benar baru; dan benar-benar mengusik minat bacaku. Aku membaca apa saja yang menurutku menarik, dan apa saja yang menurut orang tidak menarik. Aku tidak membaca buku yang menurut orang menarik. Tapi aku membaca berdasarkan seleraku.

"Azka, kau sudah selesai?" tanyaku pada Azka yang sedang mengamati sebuah buku. "Ayo kita lekas pergi dari sini."

Seorang petugas toko yang lewat dan mendengar perkataanku memandangku heran, yang kubalas dengan cengiran minta maaf.

"Bukunya benar-benar menarik," kata Azka, meletakkan kembali buku setebal lima senti itu pada tempatnya semula. "Bukunya menarik sekali."

"Kau mengatakannya dua kali," komentarku, duduk di sofa terdekat. "Belilah kalau menurutmu bagus." Aku meraih buku yang baru saja diamati Azka. "’Kisah Kehidupan Para Samurai’?" aku membaca judulnya.

"Ya," desah Azka. "Baru terbit. Oh, aku ingin sekali beli."

"Maafkan aku, tapi bukannya kau sudah punya setengah rak buku tentang samurai?" gumamku.

"Memang," kata Azka lagi, memandang buku itu. "Tapi yang ini beda. Ini karya Richard Kenichi."

"Oh," ucapku. "Lalu?"

Azka memandangku tak percaya. “Lalu, semua buku karyanya best-seller! Yang ini kayaknya diangkat dari kisah nyata. Dia harus mengadakan riset, perjalanan panjang keliling Jepang dan macam-macam lagi untuk menyusun buku ini." Azka sudah mengangkat buku itu lagi dan memandangnya penuh kerinduan.

"Berapa sih harganya?" tanyaku.

"Buku-buku karya Richard Kenichi biasanya mahal," Azka membalik buku itu. "Harganya seratus dua belas ribu nih; aku tak punya uang sebanyak itu."

"Menabunglah," usulku. "Tapi, itu jelas bukan buku termahal yang pernah kau beli kan?"

"Tentu saja. Kau ingat ’Samurai dan Yakuza’? Harganya..."

"Dua ratus sembilan puluh tujuh ribu," aku menyelesaikan kalimat Azka. "Yeah, aku ingat sekali. Kenapa kau tidak beli sebulan lagi? Harganya pasti sudah turun."

"Tapi bukan cetakan pertama," kata Azka. "Aku ingin yang cetakan pertama."

"Hem. Berapa uang di dompetmu sekarang?" tanyaku.

"Dua ratus," gumam Azka. Ribu tentunya. "Uang jajan untuk seminggu ini."

"Kalau begitu kau harus tahan tidak jajan seminggu ini," tawaku, dan bahuku dipukul Azka.

"Hei, tapi itu ide yang bagus."

Akhirnya Azka jadi membelinya. "Aku pasti akan mati dua-tiga hari ke depan."

"Jangan ngaco ah," kataku. "Tidak ada yang tahu kapan kita mati."

"Iya, tapi dengan tidak ada uang di dompetku? Aku tidak makan selama berhari-hari dan itu akan mempercepat kematianku."

"Sudahlah. Lebih baik kau pulang dan membaca buku itu, lalu makan, sebelum tidur kau baca lagi, lalu tidur, dan besok pagi kau baca lagi."

"Heh. Bagaimana kau tahu itulah yang akan aku lakukan?" Azka memukul bahuku lagi.

"Oh, aku kan mengenalmu."

Lalu kami tertawa sampai Azka dijemput sopirnya dengan limo hitam. Azka memelukku singkat, lalu membuka pintu. Kemudian dia menoleh padaku.
"Kau yakin tidak mau bareng?" tanyanya.

"Tidak usah, kan rumah kita tidak searah. Aku akan menunggu Jayden," kataku. "Sudah, cepat masuk sana, baca bukumu."

Aku mendorongnya masuk mobil. Azka melambai padaku sesaat sebelum dia pergi. Aku memandangi limo itu di kejauhan dan tanpa sadar aku masih tersenyum. Terdengar siulan panjang dari belakangku. Aku berbalik.

"Canggih," gumam Jayden dari atas vespanya. "Temanmu?" katanya sambil menyodorkan helm.

"Bukan, dia musuhku. Kau tidak sedang sibuk atau apa kan?" tanyaku, memasang helm di kepalaku.

"Tidak kok," ujarnya singkat. "Baru pulang servis."

"Apanya yang rusak?"

"Oh, ini dan itu."

Aku mengangguk singkat, lalu naik ke vespa Jayden. Jayden tidak mau membuang-buang waktu mencekokiku dengan berbagai macam kerusakan yang biasanya terjadi pada vespa lamanya; aku sama sekali buta tentang otomotif. Vespa Jayden sudah lama sekali – warisan dari kakeknya. Papanya mencoba menawarinya motor baru, tapi Jayden menolaknya dengan halus. Dia bilang ada semacam ikatan batin antara dia dan vespanya.
Aku sih tidak mau punya ikatan batin dengan benda mati.
* * *
"Aku serius bertanya padamu nih," kata Jayden, waktu kami sudah duduk manis di sofa depan televisi di ruang keluargaku. "Yang naik limo tadi siapa?"

"Oh, itu sahabatku yang lain, Azka," jawabku, meraih toples kacang mete yang dibawa Jayden dari rumahnya. Jangan mengira Jayden membawa-bawa kacang mete ke tempat servis motor ya; kami tadi mampir ke rumahnya dan mengambil kacang mete yang menganggur di meja makan. Mama dan Papa Jayden sedang sibuk mondar-mandir di ruang kerjanya, mengangkat telepon dari entah-siapa yang aku tidak tahu. Memang ibunya sempat memelukku singkat dan menitipkan salam untuk Mama, tapi setelah itu ponselnya berdering lagi dan beliau tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Kau punya sahabat lain?" tanya Jayden tak percaya. "CEWEK?"

"Memangnya kenapa? Aku kan cewek. Lagipula aku tak setomboy itu, kan?" kataku. Jayden memang tak tahu kalau Azka teman dekatku. Dia hanya tahu Azka sebagai teman sekelasku, seperti teman-teman sekelasku yang lain. Teman-teman biasa.

"Kau tidak pernah cerita," kata Jayden. Tampaknya dia masih heran, atau apa, mendengar kenyataan bahwa teman sepermainannya ini punya sahabat lain.

"Mulai lagi deh," ujarku bosan. "Kan dulu sudah pernah aku ceritakan tentang Azka."

"Tapi selama ini kukira dia hanya... yah, hanya teman biasamu. Bukan sahabat," Jayden berargumen.

"Terus kenapa?"

"Kenalkan padaku."

"Apa?"

Jayden mulai bertingkah seperti ayah-yang-minta-dikenalkan-pada-pacar-putri-kesayangannya.

"Jayden, dia cewek," sahutku. "Dia bukan cowok yang sedang berusaha mendekatiku atau apa."

Jayden rupanya mencerna fakta ini dengan cepat. "Oh, baiklah. Tapi setidaknya kau menceritakannya padaku."

"Kan sudah kubilang aku sudah pernah cerita!" ujarku kesal.

Yah, aku pernah mengatakan pada Jayden bahwa aku akan pergi ke pesta salah seorang teman les kami, yang tidak Jayden kenal, bersama Azka.
"Aku tahu kau sering pergi bersamanya, pergi ke toilet cewek bersama-sama," ujar Jayden lagi, masih mencoba berdebat. "Kau juga lebih sering makan di cafeteria bersamanya. Dan kalian selalu bersama teman-teman kalian yang lain. Jadi kupikir... hanya sebatas itulah pertemanan kalian. Teman sekelas. Bukan teman dekat."

"Begini lho. Aku dan Azka bersahabat. Oke?" kataku, mengakhiri pembicaraan. "Tuh, sudah mulai."

Selama kami mengobrol tadi komentator pertandingan masih menguraikan fakta-fakta mengenai pemain-pemain yang akan bertanding.

Kami menonton dengan hening – dan seingatku, kalau aku masih bisa mempercayai ingatanku, baru kali inilah kami berdua menonton pertandingan bulutangkis dengan suasana sunyi. Rupanya Mama juga menyadarinya, karena Mama keluar dari kamar dan berkata,
"Oh, Mama kira kalian sedang di dapur! Sejak tadi hening sekali disini."

Mama tersenyum heran.

* * *

0 komentar:

Posting Komentar