Salam, Pembaca!
Salah satu tulisan saya yang sedang kalut-kalutnya.
Dibaca saja ya? Hehe.
Happy reading! :))
>>
Ketidakberdayaanku menghadapi kenyataan ini membuatku sakit. Apa mereka akan mengerti? Atau malah tidak mengerti? Dan akhirnya aku tersingkir selamanya, seperti yang dia inginkan? Padahal, dia yang pertama kali bilang ‘setia dalam suka dan duka’ padaku. Tapi, justru dia yang sekarang tampaknya bermaksud meninggalkanku. Aku yakin benar ini bukan perasaan cemburu.
Tapi iri.
Iri karena tidak didengar.
Iri karena tidak dihargai.
Iri karena tidak dianggap.
Iri karena tidak dicintai.
Aku juga ingin dicintai, jujur. Aku juga ingin mencintai. Rasa itu sudah hilang sejak lama dari hatiku yang selalu terluka. Yang aku tak pernah melakukan apa-apa untuk mengobatinya.
Ya, dan hanya berpura-pura semua baik-baik saja. Padahal hati menggetarkan kebalikannya.
Aku, selama ini menyangka dan mengandaikan mereka mengenangku saat aku telah tiada.
Namun, meminjam kata-kata Dumbledore dari novel Harry Potter seri ke-6, Harry Potter and The Half-Blood Prince, bahwa ‘ternyata bukti-bukti selama ini menunjukkan bahwa asumsiku terlalu optimistik bahkan bisa dibilang bodoh’.
Dan itu benar. Aku terlalu yakin, percaya, tanpa ada bukti yang menguatkan asumsiku. Justru malah sebaliknya. Akhirnya, asumsiku pun luntur seiring membesarnya luka yang kupelihara tanpa bermaksud memeliharanya dihatiku. Aku, yang tak pernah bisa benar-benar menemukan cara yang tepat untuk mengobati lukanya. Mungkin benar kata hati: lukaku infeksi. Saking seringnya tersakiti, tanpa pernah kuobati.
Tolong jelaskan, apa aku kekanakan, dengan, lagi-lagi, berharap untuk selalu bersama? Kemana perginya kata-kata bijak persahabatan? Oh yeah, mereka berkelana, jauh dari jangkauan, mencoba mencari sesuatu yang baru. Dan melupakan hal-hal lama, yang sudah kuno dan ketinggalan zaman.
Seperti, gramofon yang rusak hingga tak bisa menghasilkan musik indah.
Seperti, pena-tanpa-tinta yang tak pernah terisi kembali dan tergeletak begitu saja di sudut terdalam laci meja.
Seperti, kain lap usang yang teronggok di lemari dapur, digantikan kain lap-kain lap lain yang lebih bersih.
Dan sedikit banyak aku pun berpikir:
Belum cukupkah aku memperbaiki gramofon usang yang sudah rusak itu, hingga layak didengar?
Belum seberapakah tinta yang kuisikan pada pena, hingga kembali digunakan?
Belum keraskah usahaku mencuci kain lap usang sampai bersih, hingga layak pakai lagi?
Hingga setelah sekian lama aku mencoba. Berusaha. Yang tak pernah dianggap olehnya.
Kekuatan manusia ada batasnya, kawan! Dan aku pun tak sanggup lagi untuk mencoba. Terlalu banyak mencoba sampai aku kelelahan dan terjatuh dalam jurang keputusasaan.
Di tengah keputusasaan itu, untunglah, masih ada yang lain yang menyemangatiku.
Yang lain yang mendengarku.
Yang lain yang menghargaiku.
Yang lain yang melihatku.
Yang lain yang mencintaiku.
Sampai aku bisa berdiri lagi, memandang lagi dirimu yang tak menganggapku ada. Dan kini setelah aku menjejak di bumi, ada banyak hal yang mau kukatakan padamu.
Okelah aku memang belum kau dengar.
Okelah aku memang belum kau anggap.
Okelah aku memang belum kau cintai.
Tapi satu permintaanku.
Tolong hargai aku! Apa itu sulit bagimu?
R.A.
0 komentar:
Posting Komentar