Salam, Pembaca!
Saya lagi nyobain bikin fanfiction Harry Potter, nih. Kalau biasanya fanfiction berupa cerita dan dialog antar tokoh, kali ini saya bikin dalam bentuk surat. Ceritanya ada seorang cewek yang nggak terlalu dikenal (tentu saja, ini cewek cuma khayalan saya saja) yang mencintai (guess who!) seorang anak Slytherin. Oke, pasti kamu semua bisa menebaknya.
Atau belum? Ya sudah, baca saja dulu. XD
Happy reading! :))
>>
(teks dalam secarik perkamen yang ditemukan Draco Malfoy terselip di dalam lipatan jubahnya di lemari pakaian siswa)
-Dari L.R. kepada D.M-
Aku menyadari, dengan sepenuh hatiku, bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat untukku untuk menceritakan semuanya kepadamu. Namun aku melihat fakta bahwa keadaan sekarang sudah sangatlah gawat, dengan rezim Kau-Tahu-Siapa yang sebentar lagi akan menguasai dunia sihir, dan – maafkan aku karena menyebut-nyebut ini – Pelahap Maut dan Ilmu Hitam yang berlangsung seru di luar Hogwarts, sehingga ada kemungkinan sebentar lagi Hogwarts akan dimasuki Pelahap Maut, dan mungkin, ditutup. Kupikir, kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?
Pertama, kau tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu. Setidaknya aku tahu kau. Aku anak Ravenclaw. 'Kepintaran manusia yang tak terhingga adalah harta yang paling berharga'. Topi Seleksi menempatkanku di Ravenclaw, yang aku tidak tahu kenapa. Mereka bilang anak-anak Ravenclaw adalah yang terpintar; aku tidak sependapat, lihat saja Hermione Granger, dia yang paling pintar di sekolahan, dan dia Gryffindor.
Menyebut-nyebut Hermione Granger mengingatkanku pada hal lain: status-darah. Kau berdarah-murni, dan bangsawan, lagi, maka aku tidak heran kalau kau dan keluargamu sangat sensitif terhadap penyihir-penyihir kelahiran-Muggle.
Aku berdarah-campuran. Bagimu mungkin itu sama buruknya dengan kelahiran-Muggle dan darah-pengkhianat. Aku tidak peduli.
Yang aku pedulikan adalah bagaimana aku memperhatikanmu akhir-akhir ini. Bagaimana kondisimu akhir-akhir ini. Kau tahu, waktu pertandingan Quidditch Gryffindor versus Slytherin dan kudengar kau tidak main karena sakit, aku mencarimu ke rumah sakit, untuk sekedar mengintipmu dan memastikan kau baik-baik saja – bagaimanapun kau dan Pansy Parkinson punya hubungan khusus, kan, dan aku tidak yakin Pansy akan menyambutku dengan senang kalau dia tahu aku menjengukmu di rumah sakit – tetapi kau tidak ada. Kupikir sakitmu pastilah tidak begitu parah hingga harus masuk rumah sakit, dan hatiku pun kembali tenang.
Kemudian undangan pesta Profesor Slughorn pun datang; kau tidak tahu bagaimana aku mempertimbangkan, dengan sungguh-sungguh, untuk mengajakmu, tapi aku tak pernah punya cukup keberanian untuk memintamu datang ke pesta bersamaku. Aku menolak tiga orang yang mengajakku kesana, dan pada saat-saat terakhir, ketika aku sudah menyerah untuk mengajakmu, seorang anak laki-laki Hufflepuff kelas tujuh mengajakku. Aku menerimanya.
Aku memang datang ke pesta bersamanya, tapi pikiranku sama sekali tidak tertuju padanya. Aku melepaskan diri darinya dan berkilah aku mau ke toilet, padahal aku menunggu di pintu masuk kantor Profesor Slughorn. Luna dan Harry – ya, Harry Potter, aku mengenalnya dan dia mengenalku, karena aku anggota Laskar Dumbledore – berpapasan denganku. Luna bertanya padaku apakah aku menunggu seseorang, dan kujawab ya. Mereka masuk ke dalam kantor Slughorn setelah tersenyum padaku. Aku membalas senyuman mereka. Kuarahkan pandanganku ke sisi-sisi jendela dan AKU MELIHATMU, duduk disana, memandang kosong padaku – atau kupikir begitu, karena kau memandang pintu masuk kantor Slughorn, mungkin kau tidak menyadariku. Aku baru akan membuka mulut waktu anak Hufflepuff yang mengajakku memanggilku. Akhirnya aku terpaksa masuk ke dalam kantor dan mengerling sekilas kepadamu, tapi, kau tetap tidak bergeming.
Aku melihat vampir, kalau mataku tidak salah, dan waktu aku melewatinya, kudengar Slughorn mengenalkan vampir itu pada Harry, namanya Sanguini. Aku mempercepat jalanku karena Sanguini sudah memandangiku ingin tahu. Aku tidak mau melewatkan pesta dengan leher berdarah-darah.
Betapa kagetnya aku melihatmu, diseret oleh Filch masuk ke kantor. Kuduga pasti kau ketahuan bersembunyi di koridor, dan dugaanku benar. Saat itu aku ingin sekali membelamu dan mengatakan kalau aku mengajakmu ke pesta – tapi bagaimana dengan cowok Hufflepuff yang mengajakku? Aku tidak sekejam itu. Maka aku pun hanya memandangmu cemas ketika Profesor Snape mengatakan mau bicara denganmu. Aku mengikuti setelah Harry keluar kantor.
Sebisa mungkin aku tak membuat suara saat mengikuti Harry; aku sendiri tak tahu apa yang dipikirkan Harry, tapi kurasa dia tak ingin aku tahu apa yang dilakukannya.
Dan aku mendengarmu dan Profesor Snape berteriak-teriak di koridor. Kau tidak tahu bagaimana perasaanmu ketika aku mendengarnya; aku menangis, yeah, menangis tanpa suara.
Dan aku sendiri tak tahu kenapa aku menangis! Mungkin karena kau dimarahi oleh guru yang selama ini kau kagumi. Mungkin karena aku melihatmu agak pucat saat kau mengatakan ‘akulah yang dipilihnya!’. Aku tak mengerti. Dan mungkin karena aku melihatmu berkeras tidak mengakui tuduhan Profesor Snape bahwa kaulah yang memberikan kalung pada Katie Bell, itu membuatku berpikir, mungkin kaulah yang memberikan kalung itu. Kau dan Profesor Snape bicara tentang rencana yang harus kau lakukan, tetapi rencanamu gagal. Apa itu berkaitan dengan Kau-Tahu-Siapa dan Profesor Dumbledore? Aku tak mau memikirkannya.
Lalu aku kembali, sambil tetap menangis, ke koridor kantor Slughorn, tapi aku tidak masuk, aku duduk di sisi jendela tempatmu duduk tadi. Dan tanpa sadar Harry mendatangiku dan bertanya kenapa aku menangis. Aku hanya bisa tergagap dan memikirkan alasan yang tepat – tidak berkaitan denganmu, karena kurasa Harry tidak akan senang kalau mengetahui temannya menangisi musuh besarnya. Kemudian Harry bertanya apakah cowok Hufflepuff yang mengajakku menyakitiku. Aku lega karena ada alasan yang cukup logis, dan aku terpaksa mengiyakannya. Harry berkata bahwa aku pantas mendapatkan cowok yang lebih baik.
Ironis, karena aku sebenarnya sudah mendapatkan cowok yang baik.
Kecelakaan yang terjadi pada Ronald Weasley membuatku berpikir apakah mead yang diracun itu ulahmu lagi. Tapi aku melihatmu, pucat, di meja Slytherin, dan kupikir, ini salah satu rencanamu yang, maafkan aku jika menggunakan kata ini, gagal, lagi. Aku tidak bisa berhenti berpikir sebenarnya apa yang kau rencanakan!
Ketika Katie Bell kembali dari St. Mungo, kau memandanginya di Aula Besar dan aku memandangimu yang terlihat kaget – cemas – takut? Dan kau berlari keluar Aula Besar. Lagi-lagi aku mengikutimu, setelah Harry mengikutimu.
Lalu aku mendengar duel di toilet cowok – duel antara kau dan Harry yang berlangsung sengit. Dan aku bisa mendengar Harry meneriakkan mantra – apa ya mantranya, Sectumsempra? – dan Myrtle menjerit-jeritkan bahwa ada pembunuhan di toilet cowok. Hatiku mencelos, kalau kau mau tahu, dan aku melihat Profesor Snape berlari dengan cemas ke toilet, tidak melihatku, dan masuk. Sesaat kemudian aku melihat Snape memapahmu meninggalkan toilet – kau tampak pucat, penuh-luka, dan aku merasa hatiku berdebar tak karuan. Aku mengikuti Snape ke rumah sakit, dan kulihat Madam Pomfrey membaringkanmu di tempat tidur, dengan Snape bicara pada matron rumah sakit itu. Snape keluar dari rumah sakit, melihatku sejenak, dan berkata bahwa aku harus kembali ke asramaku. Tapi aku masuk ke dalam, yang langsung diusir Madam Pomfrey keluar. Kurasa dia tidak melihat mataku berkaca-kaca. Kupikir kau mungkin melihatku sekilas – aku tidak tahu apakah kondisimu cukup sehat untuk mengingatku.
Dan kemudian disinilah aku, mengawasimu, memandang matamu yang tertutup, mendengarkan napasmu yang teratur, beberapa malam setelahnya, menjengukmu diam-diam di rumah sakit. Aku tak tahu apa yang kupikirkan; berkeliaran di koridor pada tengah malam begini, menyelinap ke rumah sakit, menjengukmu, lagi.
Madam Pomfrey sedang tidur di kantornya, dan sebisa mungkin aku tidak membuat suara-suara ribut. Goresan pena-bulu pada perkamen ini mungkin membuatmu terbangun, tapi kulihat kau sudah meminum ramuan dari Madam Pomfrey yang bisa membuatmu tidur dengan nyenyak.
Saatnya kuakhiri surat ini – sudah pukul tiga pagi dan aku harus kembali ke asrama. Aku tidak akan meninggalkan surat ini di sisimu, di tempat tidurmu, di meja nakasmu, pokoknya tidak di rumah sakit ini. Aku akan menyelipkannya di jubah Slytherinmu di lemari pakaian siswa. Aku hanya akan mengganti bunga di vas – yang lama sudah sangat layu.
Kuharap kau lekas sembuh.
Salam,
L.R.
<<
(terinspirasi dari Draco Malfoy yang diperankan Tom Felton dan dari novel serta film Harry Potter and The Half-Blood Prince. Saya menggabungkan situasi cerita dari novel dan film, sehingga jangan bingung kalau ceritanya campur-campur. =.=’ maaf.)
Disclaimer: ini cuma khayalan saya saja, Draco Malfoy tentu saja adalah tokoh ciptaan J.K. Rowling sendiri. Lucy Rothbelle adalah tokoh rekaan saya; dia tidak pernah muncul dalam buku maupun novel, tidak pernah menjadi anggota Laskar Dumbledore, tidak pernah diseleksi masuk Ravenclaw, dan tidak pernah kenal dengan Harry atau Luna atau Profesor Snape atau Madam Pomfrey atau Draco sendiri tentu saja. Dan saya, sebenarnya, berkhayal menjadi Lucy. :))
R.A.
annteng !! blognya bagus ya !
BalasHapusak mw nanya, kmaren ak follow itu kelihat blog akunya gak ya ?
:)
antiq, keren banget :D jadi ermotivasi buat nulis2 lagi :O hehe
BalasHapusmakasih antiq ^^
makasih septikaa :D
BalasHapusduh duh, jadi terharu nih hehehehehe
aku juga seneng kalo tulisanku bisa menginspirasi :)