Selasa, 20 Juli 2010

,

Pelangi Abu-Abu

Meira memandang tanpa melihat selembar foto yang ada di tangan kanannya. Ketiga wajah kecil di dalam foto itu balas memandangnya. Wajah ceria anak-anak yang lugu dan tanpa beban. Sungguh berbeda kenyataannya dengan keadaan Meira saat ini.

Sesaat gadis itu mengenang kembali masa lalunya dengan kedua sahabatnya.

Dan entah kenapa, mengingat semua ini justru membuat gadis berambut ikal panjang itu merasa sedih.

Sebab kini semuanya sudah bertolak belakang dengan dua bulan lalu. Sekarang sudah tak ada yang peduli lagi. Tak ada yang memberi perhatian lagi. Bahkan kedua sahabatnya sudah menjauh darinya. Rasa kehilangan yang teramat sangat itu telah mengalahkan kegembiraannya, dua bulan lalu.

Meira rela memberikan apa saja, untuk mendapatkan sahabatnya kembali. Termasuk untuk memutarbalikkan waktu. Ia ingin kembali ke dua bulan lalu. Kembali ke masa-masa yang penuh keceriaan antar-sahabat, bukan ke masa-masa yang penuh kesuraman antar-sahabat seperti sekarang ini.

* * *

Pagi tadi ia bertandang ke rumah salah satu sahabatnya, Akbar.

"Hai," gumam Meira di depan pintu rumah anak laki-laki itu.

"Mmm," adalah jawaban ogah-ogahan Akbar. "Masuklah."

Meira melangkahkan kakinya melewati kusen pintu rumah. Entah sudah berapa lama Meira tidak menginjakkan kakinya di rumah ini, sampai-sampai ia lupa jika ada jam kukuk besar terpasang di ruang keluarga Akbar.

"Akan kubuatkan teh," kata Akbar, seolah enggan berada satu ruangan dengan Meira.

"Kubantu," Meira beranjak dari duduknya.

"Tidak perlu, tak apa-apa," tolak Akbar.

Meira mendengar nada penolakan yang cukup keras dari suara itu meskipun Akbar mengatakannya dengan halus. Akhirnya ia mengalah, kembali jatuh ke sofa empuk berwarna putih itu.

Sesuatu menarik perhatian Meira dari sebuah ruangan yang terbuka pintunya. Meira kenal ruangan itu; ruang galeri milik Ayah Akbar yang senang melukis. Dari pintunya yang terbuka Meira dapat melihat dengan jelas sebuah lukisan yang tampaknya baru. Entah mengapa daya tarik lukisan itu bagaikan magnet yang mengundang Meira untuk melihatnya lebih jauh.

Bangkit dari duduknya, Meira berjalan menuju ruang galeri itu. Hanya tinggal berjalan melewati lemari kaca saja, kok; tidak terlalu susah. Yang membuatnya susah adalah perasaan Meira yang mengatakan, jangan masuk kesana. Bahkan ia sendiri bingung mengapa hati kecilnya menyerukan peringatan itu. Ini kan rumah sahabatnya sendiri; sudah puluhan kali Meira mengunjunginya dan masuk ke dalam ruang galeri ini, jadi mestinya tidak ada masalah jika Meira ingin melihat-lihat galeri itu lagi.

Rasa penasaran Meira mengalahkan peringatan hatinya. Pintu yang terbuka itu didorongnya sedikit. Menimbulkan bunyi yang tidak pelan, memang. Tetapi Meira tahu betul ruang galeri itu terletak jauh dari dapur tempat Akbar sedang membuat teh.

Dan itu dia, lukisan aneh itu, terpasang di kanvas, nampak sekali masih baru, sebab terlihat catnya masih ada yang basah.

Yang menarik perhatian Meira adalah, sesosok pemuda, dengan tetes-tetes gerimis hujan membasahi tubuhnya, memandang sendu ke arah seorang gadis yang memakai payung berwarna pink tua, yang melangkah menjauhi sang pemuda, menembus hujan yang turun rintik-rintik. Dalam lukisan itu tampaknya hujan baru saja berhenti turun, dan matahari baru muncul malu-malu dari balik awan.

Dan ada pelangi.

Pelangi itu, entah disengaja entah tidak, dilukis dengan menggunakan warna abu-abu yang berbeda kekentalannya, sehingga membentuk gradasi warna abu-abu gelap ke terang. Dan hanya pelangi itulah yang dilukis dengan warna abu-abu.

Meira memandang dalam ke lukisan si pemuda, yang pelukisnya patut diacungi jempol, sebab kesedihan yang terpancar dari wajah pemuda yang sepertinya tak ingin gadis berpayung pink itu pergi, sangat membuat hati Meira miris.

Ia mengalihkan pandangannya ke sosok sang gadis. Rambutnya coklat, bergelombang, dan panjang. Meira mengira gadis itu seperti...

"Kukira kau masih diluar."

Meira terlonjak kaget. "Ehm..."

Akbar tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, kok."

"Maafkan aku," ujar Meira pelan, beranjak keluar dari galeri.

"Tak apa-apa, duduklah," Akbar meletakkan nampan berisi dua cangkir tehnya di meja kayu didekatnya. Di sebelahnya ada sepasang kursi kayu yang sudah diberi bantal agar tak terlalu keras saat diduduki. Meira memilih kursi yang di sebelah kanan.

"Lukisan yang indah," gumam Meira, mencoba berbasa-basi.

Akbar tampak kebingungan.

Meira menunjuk ke arah lukisan yang baru saja diamatinya tadi.

"Oh," tiba-tiba saja nada suara Akbar berubah. Dengan gemetar ia mengangkat cangkirnya dan mencoba menyeruput tehnya, yang gagal karena rupanya wajahnya juga bergetar sehingga tehnya menetes-netes ke bagian depan bajunya.

Meira bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sapu tangannya, beranjak mendekati Akbar dan berlutut didepannya, mencoba membersihkan tetesan teh yang mulai membentuk pola seperti pulau di bagian depan kemejanya.

"Huuh, hati-hati dong, seperti anak kecil saja..." sahut Meira pura-pura kesal. Lalu ia menengadah. Dilihatnya Akbar sedang mengamatinya membersihkan kemeja. Pandangan mereka bertemu.

"Oh..." ujar mereka bersamaan. Meira langsung berdiri.

"Maaf..."

"Tak apa..."

"Kenapa kita seperti tak kenal begini ya?" ujar Meira mencoba bercanda.

Akbar tak tertawa. Meira sedikit kecewa, meskipun ia sudah mengira hal ini bahkan sebelum kata pertamanya keluar.

"Kamu tahu judul lukisan itu?" tanya Akbar.

Meira menggeleng.

"'Pelangi Abu-Abu'."

"Kamu yang melukisnya?" Meira balik bertanya.

Akbar mengangguk. "Lukisannya sendiri bercerita tentang seorang pemuda yang tak ingin gadis yang selama ini berada didekatnya pergi. Semenjak gadis itu pergi, hidup pemuda itu suram. Bahkan pelangi yang dilihatnya pun menjadi abu-abu."

Meira merasa Akbar meliriknya saat menjelaskan ini semua. "Biar kutebak."

Akbar memandangnya.

"Itu ceritamu, kan?"

Kali ini Akbar memandang lantai. "Kau selalu tepat dalam menebak segala hal."

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud meninggalkan kalian berdua dengan menerima Ryan sebagai kekasihku. Aku cuma..." Meira tertunduk, nyaris sesenggukan, namun ditahannya. TIDAK. Kali ini aku harus kuat. Kalau ingin persahabatan ini tetap bertahan, aku harus tegar.

Akbar menunggu.

"Aku hanya... senang, karena ternyata orang yang sudah kusukai selama berbulan-bulan juga menyayangiku dan... perasaan kami sama, jadi... yah... menurutku... ini sebuah kebetulan yang menyenangkan..." Meira mengakhiri dengan sedikit malu.

"Aku tahu," kini tampaknya Akbar merasa bersalah. "Seharusnya aku tidak begini dan membuatmu merasa bersalah. Semestinya aku mendukungmu untuk menjalin hubungan dengan Ryan. Bukan malah sedih melihatmu berdua dengan anak itu."

"Maafkan aku," lagi-lagi mereka berkata bersamaan. Lalu keduanya tersenyum.

"Temui Radel. Sekarang. Dia bermain buruk dalam pertandingan basketnya akhir-akhir ini. Dia pasti sangat kehilanganmu," saran Akbar.

Meira lega. Sekarang Akbar sudah menerima kenyataan bahwa Meira masih ada untuknya sebagai sahabat.

Setelah meneguk tehnya, Meira berpamitan pada Akbar dan mengucapkan terima kasih sebanyak mungkin pada anak laki-laki itu.

"Oh, omong-omong, aku tidak bohong soal lukisanmu," kata Meira. "Kamu berbakat melukis. Lukisan itu indah sekali."

"Ya, tetapi maknanya tidak indah," sahut Akbar dengan senyum sedih.

"Hei, sudahlah! Kan aku ada disini," senyum Meira.

"Aku akan selesaikan lukisan itu," gumam Akbar.

"Eh? Masih belum selesai?"

"Aku akan... eh... mengubah ini dan itu," kini senyum Akbar terlihat manis.

"Kamu manis," ujar Meira tulus. Akbar tersipu malu.

"Nah, pergilah menemui Radel, oke?"



Namun kenyataan yang dihadapi Meira ketika bertandang ke rumah Radel berbeda dengan saat menemui Akbar.

Memang raut wajah Radel lebih keras dibandingkan air muka Akbar tadi sewaktu melihat Meira muncul di pintu rumahnya.

"Aku sedang sibuk," gumam Radel, tidak memandang Meira. "Mmm. Berkunjunglah nanti."

"Aku ingin bicara," kata Meira berani. "Sekarang."

Radel tampak tak ingin. "Oke. Masuklah."

Terakhir kali Meira berkunjung ke rumah Radel, foto mereka bertiga-lah yang pertama kali bisa dilihat secara langsung ketika ia masuk dari pintu depan. Sangat strategis tempatnya, karena berada di dinding ruang tamu. Sekarang entah sejak kapan, foto itu berganti menjadi sebuah hasil desain grafis yang indah yang dicetak di kertas foto dan diletakkan dalam bingkai hitam dengan pinggiran garis emas.

Grafis itu menggambarkan sebuah siluet sosok belakang seorang pemuda yang duduk di bangku taman, menghadap matahari yang mulai tenggelam. Siluet sosok yang kesepian. Beberapa langkah ke kanan dari bangku itu berdirilah seorang gadis dengan rambut bergelombang dan rok yang melambai tertiup angin, menghadap ke arah si pemuda, seolah bingung memutuskan hendak meninggalkan pemuda itu atau tidak.

Sedangkan di sisi kiri grafis itu terdapat sebuah pohon rindang dan dibawahnya, bersandar sosok pemuda yang lain, memandang ke atas seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan ikatan ketiga manusia di grafis itu. Terserahlah, mungkin itu isi hati pemuda yang bersandar itu.

Meskipun itu hanyalah sebuah siluet, namun efek yang dihasilkannya nampak seperti lukisan karya Akbar tadi.

"Terpesona?" ujar Radel mengagetkan, nadanya sinis.

Meira terdiam. "Kenapa? Tidak boleh?"

"Boleh saja."

Radel meletakkan dua gelas es jeruk di meja tamu. Ia tidak menyilakan Meira duduk ataupun meminum minuman buatannya.

Meira memberanikan diri bertanya pada Radel. "Kamu marah ya?"

"Oh, kalau iya kenapa, dan kalau tidak kenapa?"

"Kalau tidak, aku…"

Radel tak pernah tahu apa yang akan dilakukan Meira jika ia tak marah padanya, sebab ketika itu, sayangnya, ponsel Meira berbunyi keras.
Melihat raut wajah Meira yang langsung berubah ketika melihat nama di layar ponsel itu, raut muka Radel juga langsung berubah lebih dingin.

"Halo? Eng… nanti saja, ya… aku sedang sibuk… oke? Daah…" Meira menutup pembicaraan. "Nah, jadi…"

"Ryan, kan?" ujar Radel dingin.

"Mmm. Iya," Meira menyesali mengapa Ryan meneleponnya di saat-saat seperti ini.

"Kalau kamu datang kesini hanya untuk menunjukkan itu padaku, nah, aku tak punya waktu, jadi mungkin sebaiknya…"

Meira sudah tahu apa yang akan dikatakan Radel, sehingga ia buru-buru menyela, sebelum hatinya sakit lagi mendengar keseluruhan kalimat itu. "Tidak! Aku kesini bukan untuk itu! Aku ingin kita kembali! Aku ingin kamu kembali! Aku ingin kita bersama lagi! Aku minta maaf!"

Radel terlihat bersalah, namun ia kembali mencari-cari kesalahan lain Meira. "Kenapa baru sekarang?"

"Aku… aku bingung! Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan! Kalian berdua bertingkah seperti anak kecil dan aku bingung menghadapi kalian!" Meira mulai meledak dan mencurahkan semua kekesalan, kesedihan, kemarahan, kekecewaannya pada Radel.

Muka Radel mulai memerah karena marah. "Aku tidak akan membentakmu karena sampai sekarang aku masih menganggapmu sahabatku. Sekarang… kalau kamu tidak keberatan…"

Sejenak, Radel terlihat bingung. Ada pertempuran hebat dalam benaknya. Akhirnya, ia mengambil keputusan dengan membuka pintu rumahnya tanpa berkata apa-apa.

Meira tak perlu mendengar kalimat-kalimat Radel yang akan dilontarkannya. Gadis itu langsung bangkit berdiri dan berlari dengan dramatis keluar rumah Radel. Hatinya sakit. Setibanya di rumah ia menelepon Akbar sambil menangis sesenggukan dan sahabatnya itu berkata ia akan segera meluncur ke rumah Meira.

* * *

Akbar terenyuh melihat Meira membuka pintu rumah dengan lemas sembari masih menggenggam foto yang merekam kebahagiaan masa kecil mereka bertiga. Meira menceritakan kejadian di rumah Radel dan menumpahkan seluruh kekecewaannya.

"Mei… kamu tahu? Aku menemukan kertas ini di laci meja Radel di sekolah," Akbar mengulurkan selembar kertas yang tampaknya berisi surat.
Meira meraih kertas itu dan membacanya. Rupanya bukan surat. Melainkan puisi. Judulnya Pelangi Abu-Abu…

"Radel membuatnya seminggu yang lalu. Mungkin kau mengira kami telah mencapai kesepakatan untuk membuat serangkaian karya yang berjudul sama, tetapi tidak. Aku mulai melukis lukisan itu kira-kira sepuluh hari yang lalu, dan idenya sudah muncul sejak sebulan yang lalu. Tak terpikirkan olehku untuk memberitahu Radel; biar aku saja yang menyimpan kesepian ini, namun betapa terkejutnya aku saat menemukan puisi ini di meja Radel. Kalau kau baca dengan baik, artinya sama dengan makna lukisanku," terang Akbar.

Air mata Meira mulai menitik lagi saat membaca puisi Radel.

"Mungkin kau bosan dengan perkataanku ini. Tapi, yah… kami memang merasa kehilangan semenjak kau berhubungan dengan Ryan… seolah-olah kau… melupakan kami…" ujar Akbar, terlihat malu.

Sekilas pikiran Meira melayang ke foto siluet ketiga sahabat yang terpajang di ruang tamu Radel.

Meira tersentak. Dirinyalah gadis dengan rambut bergelombang melambai dalam siluet Radel. Dirinyalah gadis berambut coklat memakai payung pink dalam lukisan Akbar.

Lalu semuanya menjadi jelas. Pemuda yang bersandar di pohon, menatap langit dalam siluet, adalah Akbar. Sementara pemuda yang duduk kesepian di bangku taman, adalah Radel. Pemuda yang memandang sendu gadis berpayung pink dalam lukisan Akbar, adalah sang pelukis sendiri.

"Bodohnya aku," ujar Meira, kesal pada dirinya sendiri. "Selama ini akulah yang mengabaikan kalian. Akulah yang terlalu senang karena hubunganku dengan Ryan. Aku tidak sadar akan perasaan kalian berdua. Selama ini memang hanya aku yang salah."

Suara guntur tiba-tiba menggelegar, memecah langit. Akbar dan Meira tersentak sedikit. Hujan turun dengan tiba-tiba. Suasana ini dinikmati keduanya untuk merenungi masalah mereka.

Setelah beberapa saat,
"Tidak," kata Akbar bijaksana. "Kami berdua juga egois karena kami tak ingin kamu direbut orang lain. Kami berdua tak ingin orang lain memilikimu. Dan, aku juga salah pada Radel karena aku hanya bisa pasrah tanpa usaha."

Meira teringat lagi pada siluet pemuda yang bersandar di pohon.

"Apakah kalian…"

Suara Meira teredam oleh bunyi gedoran pintu rumah Meira yang cukup keras.

"Apa kau punya janji dengan orang lain…?" tanya Akbar ragu.

"Tidak, rasanya tidak…" ucap Meira mencoba mengingat.

Kini suara gedoran pintu itu terdengar bersahut-sahutan dengan suara keras memanggil-manggil Meira.
"MEEII!! MEIRAA!"

Akbar dan Meira berpandangan.

"Radel," gumam Akbar, mengutarakan isi pikiran mereka berdua.

Meira membuka pintu rumahnya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan; pintu rumahnya rusak didobrak Radel, misalnya.

Benar saja, Radel basah kuyup karena hujan yang turun semakin deras di luar.

"Radel?"

Radel terengah-engah. Jelas ia berlari cukup kencang dari rumahnya ke rumah Meira. "Maafkan aku," katanya, "telah mengusirmu dari rumahku."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa - masuklah, di luar dingin sekali," ujar Meira cemas, mengigil saat ada angin bertiup pelan.

Akbar ternyata sudah lari ke dapur membuatkan teh panas untuk sahabatnya. Meira berlari ke kamar terdekat, mengambilkan selimut tebal untuk teman terbaiknya. Radel tertunduk menatap lantai.

"Padahal kan kau tak perlu lari-lari," gumam Meira iba melihat Radel menggigil. "Hujannya deras sekali."

"Maafkan aku," kata Radel pada lantai. "Hujan itu turun tiba-tiba saat aku sedang berjalan kesini."

"Kamu bodoh," sahut Meira, nyaris terisak. "Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Kamu tidak memikirkan perasaanku, ya!"

Akbar yang baru tiba dari dapur terkejut melihat Meira menangis. Radel menyadari kedatangan sahabatnya, dan buru-buru menjelaskan.
"Eh... karena itulah aku datang," kata Radel. "Demi perasaanmu. Perasaan kita semua."

"Teh," gumam Akbar, masih mengawasi Meira yang mengusap-usap matanya. "Biar hangat."

"Terima kasih," ujar Radel, hendak mengambil secangkir teh dengan tangannya yang gemetar, tetapi sudah keduluan Meira.

"Minumlah," gumam Meira tersenyum, menyodorkan secangkir teh untuk Radel. Mendadak hatinya diliputi perasaan lega. "Akan membuatmu lega."

"Ya, tapi akan menelan apa yang aku katakan ke tenggorokan," kata Radel, baru teringat akan alasan yang membawanya ke rumah Meira. "Aku minta maaf atas semuanya. Aku - kami memang egois karena hanya ingin memilikimu. Setelah kupikir-pikir... aku salah. Kami tak seharusnya mengekang sahabat kami untuk... menjalin hubungan dengan orang lain. Kami seperti anak kecil yang tak ingin mainan kami direbut tangan orang lain."

Meira menyodorkan tehnya. "Sudahlah. Aku juga salah. Aku yang terlalu senang karena Ryan. Tapi... jangan berpikir kalau aku melupakan kalian... kalian sahabat terbaik yang pernah aku miliki seumur hidupku."

Radel menerima tehnya dengan gembira dan segera menyeruputnya.

Akbar tersenyum. "Aku akan menyelesaikan lukisanku."

Meira menoleh. "Eh? Belum selesai?"

"Harus ada yang berubah, kan?"

"Apanya?" tanya Meira penasaran.

Akbar bangkit dari duduknya, lalu ia membuka jendela. Hujan sudah mereda, dan matahari berusaha muncul dari balik awan gelap. Seberkas sinar memancarkan warna-warna indah. Akbar tersenyum.

"Pelangi."

* * *

R.A.

n.b. ini cerpen orisinal yang saya buat untuk sebuah lomba cerpen tingkat nasional, yang saya bikin dari puisi 'Pelangi Abu-Abu'. Alur ceritanya berbeda dengan yang di prosa, dan di cerpen ini, Radel membuat puisi, bukan prosa. Menurut saya (dan beberapa teman saya juga yang sudah membaca print out cerpen ini) cerita ini kurang 'greget'. Tapi, paling tidak, masih bisa dibaca.

0 komentar:

Posting Komentar