Senin, 26 Juli 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VI)

Salam, Pembaca!

Sudah part enam... (mulai lelah) tapi ayooo berjuaaaaang! Selesaikan fanfiction asal-asalan ini!! UOOOH!
By the way, hahaha saya nggak nyangka ternyata cerita ini bikin penasaran teman-teman saya... mungkin karena saya bikinnya ada jedanya, jadi begitulah sifat manusia, nggak suka kalau mengerjakan sesuatu itu disela-sela, dipotong-potong. Buat yang udah baca, makasih, makasih banget udah mau baca, udah mau susah-susah buka blog saya cuma untuk nerusin baca kelanjutan fanfict dari note saya di facebook. ^^
Ehm, sebenarnya saya udah punya gambaran bagaimana bagusnya ending untuk fanfict ini... akan segera saya selesaikan secepatnya, lebih cepat lebih baik, kan. Tidak baik jadi proscratinator (penunda-nunda, red).
Kemarin ceritanya waktu Sonya dan Randy bicara sama Kak Maria, ya... sekarang kita lihat bagaimana Tina dan Kak Hendra. ^^
Happy reading! :))

>>
Di Istora suasana riuh rendah. Ahsan dan Bona berhasil mengalahkan lawannya, pasangan ganda putra dari negara lain (ehm, tidak berani menyebutkan nama negara, red). Mereka melaju ke semifinal. Kini mereka menyaksikan pertandingan Simon.

Tina yang hari itu beruntung karena diajak Hendra menonton pertandingannya, tak berhenti tersenyum dan tertawa. Tawanya yang renyah, dengan lelucon-lelucon yang dilontarkannya, membuat para seniornya ikut tertawa, melepas ketegangan sebelum bertanding. Devin sampai terpingkal-pingkal mendengar cerita Tina tentang seorang pilot Afrika.

"Tadinya saya mau ke Istora sendiri," kata Tina keras, mencoba mengalahkan keriuhan penonton yang bertepuk tangan atas smash keras dari Simon yang masuk ke daerah permainan lawan.

"Oh, ya?" tanya Hendra, yang ikut bertepuk tangan. "Kenapa dengan Randy dan Sonya?"

Tina mengangkat bahu. "Saya nggak bilang sama mereka kalau saya mau pergi."

"Hmmm," gumam Hendra. "Lalu?"

"Lalu Kakak datang dan mengajak saya, waah, Kakak nggak tahu gimana perasaan saya," cengir Tina.

Hendra tertawa. "Kebetulan yang mengerikan ya."

"Kebetulan yang menguntungkan, Kak," ralat Tina.

"Kenapa kamu mau ke Istora dan nggak latihan?" tanya Hendra heran.

"Saya mau lihat Kak Ahsan," ujar Tina, hatinya berdebar saat mengucapkan nama Ahsan.

Tina melirik ekspresi Hendra saat dia mengutarakan alasan itu.

Tapi Hendra tersenyum. "Oooh... untung sekali ya, Ahsan menang, mungkin karena didukung olehmu?"

"Kakak bisa saja," kata Tina, dalam hati dia membenarkan ucapan Hendra.

Lalu suasana kembali ramai oleh teriakan dan jeritan penonton yang terpesona melihat jumping smash spektakuler yang dilakukan Simon. Simon memang keren, gumam Tina. Pantas saja banyak yang suka padanya, termasuk Sonya.

"Kak," panggil Tina.

"Ya?"

"Kak Simon sama Kak Maria ada apa ya?"

Hendra nyengir. "Entahlah... saya juga nggak tahu, tapi mereka dijodoh-jodohin."

"Ooh... jadi nggak ada ikatan apa-apa?"

"Belum... kayaknya."

"Apa bakal ada?"

"Kayaknya."

Mereka berdua tertawa. Tapi tawa Tina cuma sebentar, karena dia memikirkan Sonya.

"Kalau Kak Ahsan, Kak?" tanya Tina lagi.

"Ahsan? Dia..."

"Ahsan kan mau nembak gebetannya hari ini!" kata Butet tiba-tiba, yang duduk di sebelah Hendra.

Tina serasa disambar petir. "Apa, Kak?" tanyanya memastikan.

"Iya, Ahsan mau nembak gebetannya hari ini..." ulang Butet, diiyakan Devin yang duduk di depan mereka. Bona yang datang duluan setelah berganti baju dan duduk di sebelah Devin nimbrung.

"Nggak nyangka gue dia bisa kayak gitu juga," kata Bona, tertawa. "Romantis banget."

"Hari ini, Kak?" ulang Tina. "Habis pertandingan ini?"

"Iya, Dik..." gumam Bona. "Tuh dia datang."

Ahsan mendekati mereka. Dia sudah berganti baju. Tina memandangnya lekat-lekat. Ahsan kelihatannya menghindari tatapan Tina - atau dia memang tidak sadar Tina memandanginya.

"Cieee yang lagi berbunga-bunga..." gurau Butet. "Eh, selamat ya, masuk semifinal..."

"Hahaha... thanks."

"Kapan, nih...?" tanya Devin penasaran. "Waktu pulang ke pelatnas?"

Ahsan nyengir. "Waktu pertandingan usai. Dia nonton hari ini..." Ahsan memandang penuh harap ke tribun penonton tepat di depan mereka.

"Cincinnya loe bawa?" tanya Bona.

"Iya dong, masa lupa?"

Sorakan 'cieee' pun terdengar.

"Udah ketemu dia?" tanya Butet.

"Belum..."

"Dapat telepon dari dia?" tanya Devin.

"Iya, katanya gue main bagus..." Ahsan tersenyum lagi.

Segera saja teman-temannya menyindirnya dengan sindiran penuh kebahagiaan. Tina hanya bisa memandangi dengan muram. Air matanya sudah akan turun, tetapi ditahannya. Dia tak ingin merusak kegembiraan para seniornya. Lalu dipusatkannya perhatiannya pada pertandingan Simon, berpura-pura ikut senang dengan rencana Ahsan. Tina ikut berdiri dan berteriak kegirangan saat Simon dipastikan menang dan masuk semifinal, melompat-lompat, berteriak 'Indonesia... Indonesia...'.

Tina tidak sadar bahwa sejak tadi ada seniornya yang tidak ikut nimbrung dalam percakapan tentang rencana Ahsan.

* * *

Sonya dan Randy keluar dari tempat latihan, lelah tapi gembira, karena saat itu mereka bertanding melawan Maria Kristin dan Sony. Sonya, yang kali itu bertanding tunggal melawan Maria, tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk melirik ke lapangan sebelah tempat Randy melawan Sony.

"Good job," kata Sony gembira, lalu menyalami Randy. Randy tertawa berterima kasih.

"Main kamu bagus," kata Maria pada Sonya, "tapi jangan terlalu sering menatap Sony, ya, lain kali."

Sony dan Randy tertawa, Sonya malu. "Iya, Kak..."

Padahal Sonya tak menatap Sony terus, dia juga memandang Eri yang melawan Alamsyah Yunus di lapangan sebelah kanannya. Sesekali pandangan mereka bertemu, tapi Sonya mengusahakan agar seolah pandangannya itu tak sengaja. Sonya juga tak tahan mendengar seruan Airin dari sisi lapangan, menyemangati Eri.

Lalu terdengar keributan di luar tempat latihan. Para pemain dari Istora sudah pulang.

"Ehem... Ahsan!" teriak Pia, yang juga baru selesai latihan.

Mereka yang berkumpul di tempat latihan, buru-buru menyerbu keluar.

"Ahsan diterima!" teriak Bona senang.

"Yang benar?" tanya Maria. "Waaah, selamat, selamat!!"

Senior-senior Randy dan Sonya bergantian menyalami Ahsan dan memberikan berbagai kata pujian.

"Loe kasih cincinnya?" tanya Sony.

Sorakan terdengar saat Ahsan mengangguk.

Randy dan Sonya memisahkan diri dari kerumunan itu.

"Tina nggak kelihatan," kata Sonya, memandang sekelilingnya. Tanpa sengaja dilihatnya Simon sedang tertawa bersama Maria, menyindir-nyindir Ahsan yang baru jadian. Sonya cuma bisa cemberut.

"Kak Hendra?" tanya Randy, celingukan. "Oh, itu dia disana."

Mereka menemukan Hendra dalam kerumunan yang mengerubungi Ahsan.

"Kak Hendra... Kakak sama Tina tadi?" tanya Sonya langsung.

Hendra mengangkat alisnya, mengeluarkan gaya cool-nya, yang membuat Sonya sedikit terpesona. "Dia langsung keluar dari mobil tadi... saya nggak tahu dia kemana," jelas Hendra mengangkat bahu.

"Terima kasih, Kak..."

Randy dan Sonya buru-buru berlari ke arah asrama cewek.

"Aku tunggu disini," Randy menunjuk ke sebuah bangku di taman depan asrama. Sonya mengangguk.

Sonya berlari cepat menuju kamarnya dan Tina. Pintunya tertutup. Ia mengetuk pintu. "Tina? Kamu ada di dalam?"

Pintunya ternyata tidak dikunci. Sonya masuk ke dalam, menutup pintu, menguncinya.

Dan ia menemukan Tina terduduk di sebelah kasur, kepalanya menelungkup di dalam lengannya di atas kasur.

"Tina?"

Tina menoleh, dan Sonya merasa miris melihatnya. Matanya merah, mukanya basah oleh air mata. Rambutnya acak-acakan.

"Sonya... Kak Ahsan jadian..." isak Tina.

"Ya, ampun..." ujar Sonya pedih. Dihampirinya sahabatnya dan mencoba menenangkannya. "Sudah, jangan nangis lagi..."

"Aku bodoh, Sonya..." kata Tina tersedu. "Bodoh aku mengharapkan Kak Ahsan duluan yang menembakku..."

Isakan Tina makin keras. Sonya cuma bisa mengelus bahunya.

"Padahal... dia sama sekali nggak kenal dekat dengan aku... dia cuma tahu aku... mana mungkin dia tertarik padaku..." tangis Tina. "Aku bodoh, kan, Sonya?"

"Kamu nggak bodoh," tegas Sonya. "Kamu cuma nggak berani ngungkapin sama Kak Ahsan..."

"Karena aku bodoh! Aku bodoh dengan mengharapkan dia..."

"Tina..."

"Kenapa setiap aku naksir seseorang selalu akhirnya gini?" tanya Tina di sela-sela tangisnya. "Kenapa selalu pada akhirnya aku yang sakit?"

"Jangan salahkan dirimu kalau kamu naksir seseorang, Tina..." ujar Sonya bijak. "Bersyukurlah kamu udah pernah ngerasain cinta itu. Bersyukurlah kamu udah diizinkan mempunyai perasaan berharga itu. Mungkin dia bukanlah orang yang tepat untuk kamu..."

Tina cegukan, lalu memeluk Sonya, membasahi bahu Sonya dengan air mata. "Iya... mungkin... kamu bener... aku harus bersyukur udah dikasih perasaan itu..."

Sonya membelai punggung Tina lembut. "Setiap orang pada akhirnya punya jalannya sendiri, kok... kamu juga begitu."

"Kalau gitu kalian berdua harus bantu aku nemuin jalanku," ujar Tina, wajahnya dipenuhi air mata, tapi dia tersenyum.

"Tenang saja, kami pasti bantu kok!" sahut Sonya bersemangat, setelah Tina melepasnya. "Dan aku yakin Kak Hendra juga akan bantu kamu."

Tina yang sibuk mengusap dan mengucek matanya buru-buru mendongak mendengar nama Hendra. Wajahnya terlihat tak yakin pada awalnya, namun kemudian dia tersenyum. "Ya... kuharap begitu..."

Sonya yang melihat mata Tina jadi merah akibat usaha Tina menguceknya, menyodorkan sapu tangan yang diambil dari sakunya. "Pakai aja."

"Sapu tangan Kak Simon?"

Sonya manyun. "Yeah... sudah kucuci... apa aku harus ngembaliin ke Kak Simon ya...?" tanya Sonya, lebih kepada dirinya sendiri, bukan Tina.

"Kak Simon bilang sesuatu nggak waktu nyerahinnya?" tanya Tina, yang ajaibnya, sudah terlihat lega.

"Cuma bilang 'pakai itu' gitu aja..." jawab Sonya.

"Coba aja kamu balikin ke Kak Simon, terus lihat reaksinya..." saran Tina.

Sonya mendongak memandang Tina. "Kamu udah nggak apa-apa?"

Tina nyengir pasrah. "Nggak... lega deh udah nangis tadi..."

Tina memang tegar.

"Ayo kita turun, Randy menunggu di depan asrama..." ajak Sonya.

"Aku cuci muka dulu," gumam Tina.

Saat mereka turun, mereka melihat Randy duduk di bangku tamannya, entah kenapa tampak frustasi. Randy mencengkram kepalanya seolah ingin mencabut rambutnya dari kulit kepala.

"Ran?" tegur Tina. Suaranya masih agak sengau.

"Oi, kenapa kamu?" tanya Sonya heran. "Kamu nggak..."

Randy menggeleng sebelum Sonya selesai menebak. Maka Sonya dan Tina menunggu. Randy mengangkat mukanya dan wajahnya menampakkan ekspresi kengerian.

"Kalian nggak akan ketawain aku kan?" tanya Randy, kedengaran cemas.

Sonya dan Tina menggeleng sekuatnya. "Kami nggak tahu masalahnya, tapi kami bisa pastikan kami nggak akan ketawa," tambah Tina.

Randy menghela napas, menguatkan diri untuk bicara. "Oke..." kata Randy.

Baik Sonya maupun Tina tak ada yang berniat menyela.

"Aku baru aja nembak Kak Greys."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Kayaknya masalahnya tambah kompleks yaa... ==' alhasil membuat fanfiction ini makin puanjang... saya harap nggak ada yang keberatan dengan ini, tetep ikutin ya ff-nya... makasih banyaaak ^^

P.S.S. Saran, kritik, komentar... ditunggu lhooo :))

R.A.
23 Juli 2010 --> HARI ANAK NASIONAL!!! UYEAAAAH!!! :))))

0 komentar:

Posting Komentar