Senin, 26 Desember 2011

Hold On

I keep telling to myself not to cry about this little stupid thing.

For about this week (or more, I didn't count) I think I've done my best to stop crying at night.

But today, I can't stand it.

There are a lot of things happens. Every time a single thing happened, I try not to cry at the same time.
I hold my tears. I told them not to falling down.

Tonight, I wouldn't do that.

Saya sudah cukup tersakiti hingga saya akan menghabiskan malam ini dengan menangis di kasur saya.

Saya nggak tau saya harus bicara sama siapa.
Semua orang tampaknya sibuk.
Saya takut mereka meninggalkan saya.
Saya tidak berani dekat-dekat mereka.
Saya takut.

Bahkan untuk bicara dengan Tuhan saja saya takut - manusia macam apa saya ini?

heartless, useless.

yeah.

Saya ingin sekali menyandarkan kepala saya di bahu seorang teman.
Saya sudah ingin sekali bersandar ketika ada seorang teman di sebelah saya. Saya ingin sekali kembali mendapatkan kehangatan itu. Ingin sekali.

Saya ingin sekali mendapatkan pelukan-pelukan itu lagi. Ingin sekali.

Saya ingin sekali jatuh cinta lagi.

Tapi saya takut orang yang saya berikan hati saya memberikan hatinya pada orang lain lagi.
Saya takut. Saya terlalu takut. Saya terlalu takut memperbaiki hati saya.

Buat apa memperbaiki kalau nanti hancur lagi.

I've lost everything. I've lost my spirit.

I just... kept thinking about my parents. But I don't know what to do.
Saya sama sekali tidak tahu harus apa.

Ujian segera datang. Dan saya tidak belajar.
Saya harus apa, saya nggak tahu.

Saya coba nahan nangis, saya salah.
Saya coba memberi jarak, saya salah.
Saya coba menjadi heartless, saya salah.
Saya harus apa?
Continue reading Hold On

Selasa, 20 Desember 2011

, , , ,

20 Desember 2011

7:20 (jam di ruang I, kuliah ilmu bedah)

Halo?
Seseorang?
Siapa saja... (kecuali orang-orang tertentu)
Dosen ilmu bedah saya barusan bertanya: ‘enak nggak kalo nggak punya reseptor nyeri?’
Selintas muncul di pikiran saya: ‘enak juga kadang, jadi nggak perlu ngerasain sakit kayak gini.’
Terus saya ketawa-ketawa sendiri dalam hati.
Tapi waktu dosen saya mengajukan pertanyaan itu, saya otomatis menjawab ‘tidak’. Otomatis lho. Percaya deh, nggak punya reseptor nyeri itu nggak enak. Bukannya saya tahu rasanya. Tapi, coba saja bayangkan.
Ah, betapa saya ingin pulang sekarang dan menangis sekencang-kencangnya di pelukan Ibu.
Being heartless is hurt. Trust me.
Tapi saya nggak akan menyerah – satu-satunya cara untuk tidak merasa ditinggalkan adalah dengan tidak pernah sama sekali meninggalkan seseorang. Tidak punya seseorang. Jadi tidak ada resiko ditinggalkan. Tidak ada resiko kehilangan. Tidak ada resiko sakit lagi.
A feeling like this.
An ending like this.
What should I say?
What should I do?
I was told to leave them all alone. That makes me all alone.
It’s hurt.
But it’s the best for everyone.
It’s the best.

Jadi dosen saya barusan bercerita tentang proses inflamasi dan analoginya dengan rumah yang ditabrak mobil. Misalnya Anda punya rumah yang tusuk sate – tepat di ujung jalan dari pertigaan. Kemudian ada mobil yang melaju kencang dari jalan di depan dan langsung menabrak dinding rumah Anda. Apa yang akan Anda lakukan pertama kali?
Panik, marah, ya.
Kemudian?
Minta ganti rugi, ya.
Dosen bedah saya menganalogikan kemarahan dan kepanikan itu sebagai proses inflamasi ketika ada luka. Bengkak, kemudian merah.
Kemudian?
Tentu Anda akan membersihkan runtuhan-runtuhan yang terjadi. Lalu, Anda memanggil tukang. Kemudian Anda akan membeli barang-barang untuk memperbaiki dinding yang rusak. Semen, batu bata, dan lain-lain. Anggaplah barang-barang ini adalah sel-sel yang akan berperan menutup luka.
Kemudian?
Setelah dinding kembali seperti semula – atau bahkan lebih bagus dari yang semula – masih ada semen, batu-bata, dan yang lain yang tersisa kan? Kemana itu akan pergi? Ya, disimpan lagi, di tempat yang baik.
Sama dengan proses wound healing.
Bedanya tembok dengan kulit kita adalah: tembok yang rusak jika diperbaiki akan kembali seperti dulu, atau bahkan lebih baik, lebih bagus. Tetapi, kalau kulit kita luka, akan timbul bekas, yaitu jaringan parut. Tidak akan seperti semula.
Kalau luka di kulit saja akan meninggalkan bekas, ada satu luka yang akan menimbulkan bekas yang dalam, yaitu... di hati. Makanya, jangan bikin luka di hati.
“Pelajaran moral hari ini,” tutup Dosen Ilmu Bedah saya.
Ini serius lho, beliau memang benar-benar mengatakan itu.

Aigooo~~
Kadang kuliah ilmu bedah ini menampilkan gambar-gambar yang menyeramkan di slide-nya. Jenis-jenis disturbing picture, semacam itu. Tapi kadang – tidak, selalu – ada ilmu-ilmu baru yang penting. Misalnya tentang cara menjahit luka.
Meski saya tidak pernah sama sekali kepikiran untuk mengambil spesialis Bedah Mulut nantinya. Ah, saya takut darah, sebenarnya.

Kenapa ya saya selalu menulis tentang kelemahan-kelemahan saya?
Tentang saya yang sok rapuh, sok lemah, dan sok suci? Sok bertingkah seolah-olah orang paling malang sedunia.
I wanna keep this as my own problem.
I don’t mean to spread this **** things to anybody.
But I just~
I just can’t help it.
My hands keep forcing me to type something on my notebook. And the next thing I know, a new posting is published on my blog.
Sometimes I wonder.
Bagaimana ya dulu di SMA saya bisa bertahan? Tiga tahun. Yah, tiga tahun kurang.
Entah bagaimana. Saya sering sekali memikirkan ini. Sungguh, saya ingin kembali ke SMA.
Apa karena di SMA saya tinggal bersama keluarga, sementara di Jogja saya tinggal sendiri?
Jadi saya merasa tidak punya siapa-siapa. Dan itu membuat semua beban terasa lebih berat dua kali lipat.
Tuh kan, saya tidak sadar sudah menulis seperti ini.

Jogja, 20 Desember 2011 
Continue reading 20 Desember 2011
, , , ,

Don't Read This

Annyeong...
Saya ada praktikum anatomi II jam satu nanti, dan saya masih kesal. Jadinya saya tidak bisa belajar sama sekali. Saya kesal, kesal, kesal, jengkel.
Saya ketemu sama orang-orang itu lagi, orang-orang yang bikin saya jengkel setengah mati.
Tidak bisakah saya mendapatkan sedikit ketenangan disini?
Sumpah, saya kesal setengah mati. Kalau bisa malah saya mati aja.
Sudah saya bilang, kan, kalau saya sedang kesal akhir-akhir ini. Saya benci.
Saya kesal!
Saya membenci semua orang.
Tapi saya sangat mencintai diri saya sendiri hingga saya terlalu sibuk memikirkannya tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Salah, saya yang seperti ini?
Kan saya sudah katakan kalau hati saya sudah hancur berkeping-keping dan saya tidak akan melakukan apapun untuk membuatnya seperti semula.
Saya tidak punya hati lagi.
Saya sudah tidak bisa merasakan.
Kecuali rasa kecewa, mungkin.
Kecewa, kemarahan, jengkel, dan kesal sampai ubun-ubun.
Satu-satunya cara keluar dari semua ini adalah mengenakan earphone dengan menyetel volume sekencang-kencangnya. Bebas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh memang tidak ada yang mengkhawatirkan, kan?
Karena diri sendiri adalah satu-satunya orang yang tidak akan pernah mengkhianati kita sampai kapanpun.
Diri sendiri adalah satu-satunya orang yang bisa kita percaya sampai kapanpun.
Diri sendiri adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kita ketika tidak ada orang yang bisa menyelamatkanmu.
Bagaimanapun kau berharap, berdoa, ada hal-hal yang tidak akan terkabul.
Kau hanya bisa percaya dirimu sendiri. 
Kau hanya bisa menikmati hidup dengan dirimu sendiri. Tak ada gunanya mencoba menerima dengan tenang apa yang sudah terjadi di luar harapanmu. Kau hanya akan kecewa, kecewa, dan kecewa. Kecewa bertumpuk-tumpuk. Maka lupakanlah semuanya dan nikmati semua sendiri.
Terdengar kejam, ya?
Tapi siapa yang peduli, huh?
Toh, dewasa ini orang-orang hanya memedulikan perasaannya sendiri. Jadi, apa salahnya kalau kita juga memedulikan perasaan kita sendiri saja?
Apa salahnya kita belajar mencintai diri sendiri lebih dari mencintai orang lain.
Apa salahnya kita belajar menutup hati untuk orang lain.
Apa salahnya kita belajar untuk tidak tergantung dengan orang lain.
Apa salahnya kita belajar untuk tidak terikat dengan orang lain.
Orang lain berisik, selalu memaksakan keinginan.
Orang lain tidak akan memedulikan perasaan kita.
Orang lain tidak akan menghiraukan kita.
Orang lain tidak akan peduli masalah kita.
Orang lain yang kita sukai tetapi menyukai orang lain, juga tidak akan memedulikan kita.
Jadi, apa gunanya menyukai orang yang seperti itu.
Apa gunanya?
Oh, dan tentang butuh tempat untuk bersandar, sepertinya saya tidak membutuhkannya.
Sekarang saya cuma percaya diri saya sendiri, dan Tuhan.


Jogja, 13 Desember 2011
12:45
Continue reading Don't Read This

Sabtu, 10 Desember 2011

I WAS WRONG?

Nope, saya cuma mau bilang aja, berhubung ini blog tampaknya bakal saya hindari untuk bertingkah macam-macam akhir-akhir ini, jadi... yah,
Saya benci sekali, saya benci, saya benci, saya nggak suka, tapi saya harus ngapain?
Saya benci. 
No one will save myself, except, myself. fine, just leave, I'm okay, thanks for asking. from now on, there will be only me, myself, and I. 
Pedulikah saya?
Saya hanya mempedulikan diri saya sendiri sekarang. 
Saya nggak peduli lagi apa kata orang, orang-orang sudah terlalu banyak melihat saya seperti orang bodoh, which is, benar. 
kenapa saya heartless begini?
karena hati saya sudah hancur, berkeping-keping, rusak, patah, hilang, dan saya nggak mau lagi menyusunnya untuk kembali hancur. 
saya nggak mau. 
reason?


grup BFF di YM saya sudah hilang.
Continue reading I WAS WRONG?

Selasa, 06 Desember 2011

, , , , ,

Hard Life

Jadi ketika saya mengetik postingan ini, saya lagi ada di ruang internet RSGM Prof. Dr. Soedomo.
Jam satu nanti saya ada praktikum Biomaterial, uji deformasi malam.

Terus kenapa?

Ah, saya lagi jutek hari ini. Bawaannya bad mood, bawaannya pengen sendirian, bawaannya nggak pengen liat hal-hal yang bikin saya tambah bad mood.
Bener, hari-hari ini sepertinya semua hal tidak berpihak pada saya. Banyak yang terjadi di luar harapan saya; bukannya saya berharap berlebihan, saya merasa saya berharap biasa saja, hanya saja tampaknya memang tidak sesuai harapan, semuanya.
Ada seseorang yang meninggikan sekali orang-orang yang dia sukai, tapi menyudutkan sekali orang-orang lain yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Saya benci sekali orang semacam itu, tetapi saya berusaha mengendalikan perasaan saya, ini kaitannya dengan keberlangsungan hidup saya di kampus.

Laporan-laporan saya juga tidak berlangsung dengan begitu bagus... nilai-nilai menurut saya 'hanya cukup makan'.
Begitupun review, saya jujur, tidak mengalami kegampangan ketika melaksanakannya, semuanya blank, semuanya gagal total.
Kenapa?
Apa saya, jauh di dalam hati saya, masih memikirkan itu?

Tapi saya menekan diri saya untuk tidak lagi berpikir masalah itu, maksud saya ya sudahlah, jalani saja apa yang ada di depan, meskipun saya mendengarnya dari orang yang saya tidak bisa bilang saya suka dia atau tidak (lagi).
Bingung?

Saya juga bingung.
Ini benar-benar di luar kendali saya.
Saya barusan selesai praktikum Faal, lalu saya pergi ke kantin, sendirian, untuk makan siang. Yeah, sendirian. Dan saya lumayan suka.
Saya sedang tidak ingin terikat, tidak ingin terlanjur sayang, tidak ingin terlalu sayang, kemudian kehilangan, kemudian dirasuki cemburu, saya sungguh, sungguh, tidak ingin mengalaminya lagi.
Saya tidak mau terikat. Setidaknya itu yang bisa saya katakan sekarang.

Sebentar lagi UAS, saya masih mencari-cari proyek cerpen yang kira-kira bisa saya kerjakan sebelum itu.
Saya baru pertama kali mengerjakan sebuah proyek (dan ini semacam kompetisi) dan rasanya... menyenangkan! Sungguh! Ketika menulis dengan deadline tengah malam, kemudian menekan tombol attach pada email, kemudian menekan tombol sent, selalu ada debaran menyenangkan yang muncul di dalam dada. Seperti toksik, dan bahan-bahan adiktif. Bikin ketagihan.

Satu yang lagi saya pengenin, saya pengen ngisi blog saya yang baru dengan essay photo (atau photo essay?) tapi saya nggak punya kamera bagus. Apa saya mau ngandelin kamera ponsel yang saya yang keypadnya udah bocel-bocel dan bahkan ada yang udah nggak fungsional lagi?
Saya jelas pengen hape baru.
Tapi itu hanya sebuah wacana.

Oke, sudah jam 12 lewat 6 menit, saya harus belajar untuk praktikum jam 1 nanti. FYI, temanya sekarang deformasi malam.
Nggak kerasa, praktikum-praktikum ini udah mulai berakhir, dan muncullah minggu-minggu pra-responsi, responsi, pra-tentamen, dan tentamen... dan UAS...
Saya hanya berharap, semuanya lancar.
Setelah hari-hari ini apapun yang saya lakukan tidak maksimal sama sekali.

R.A.
(sayangnya masih di) Jogja, 7 Desember 2011
Continue reading Hard Life