Rabu, 04 Agustus 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part XII)

Salam, Pembaca!

Kali ini saya tidak bisa memikirkan kata pengantar yang cukup bagus.
Happy reading! :))

>>
Hendra dan Febe mengobrol seru di bangku belakang. Simon kadang mengomentari topik pembicaraan mereka. Sonya cuma terdiam dan tertawa sedikit kalau memang ada yang lucu.

Gadis itu memandang keluar jendela, tapi tidak melihat. Melamun begitu saja. Kemudian Sonya sadar bahwa dirinya kelihatan seperti sedang bengong, bukan memikirkan sesuatu. Akhirnya ia memasang headset-nya dan memainkan lagu Beautiful Girls dari Sean Kingston di iPod-nya.

Simon selesai tertawa karena baru saja Febe membacakan sebuah tweet dari timeline-nya tetang lelucon cowok gombal. Kemudian diliriknya Sonya yang tak bereaksi.

"Sonya...?" tegur Simon, masih agak geli. "Kenapa melamun?"

Sonya masih tidak bereaksi.

"Sonya, dipanggil tuh," kata Febe yang duduk di belakang bangku Sonya. Ditepuknya bahu juniornya itu.

Sonya tersentak dan menghadap ke belakang. "Eh, kenapa Kak?" tanyanya sambil melepas headset.

"Kirain ngelamun," kata Simon tertawa, sambil menyalakan sen untuk berbelok ke kanan.

"Ternyata dengerin musik ya," ujar Febe. "Pantesan hening kamu dari tadi."

"Hehe maaf, Kak..." Sonya nyengir pada Febe, yang mengangguk.

"Sayang ya Mon, Marsel gak semobil sama kita," kata Febe.

"Ah, biasa aja kok..." elak Simon.

"Kalo dia semobil sama kita kan mantep tuh," lanjut Febe kemudian.

"Mantep gimana maksud loe?" tanya Simon, memandang Febe melalui kaca depan. Sonya mendengarkan. Hendra mendengarkan.

"Gue bisa nyindir-nyindir kalian," Febe nyengir minta maaf.

"Haah, dasar loe," kata Simon.

"Terus kapan loe mau nyatain?" tanya Febe.

"Nyatain apa?"

"Cinta dong."

"Sama?"

"Pake ditanya. Ya jelas sama Marsel! Bukannya loe suka sama dia? Loe bilang sendiri kan waktu makan dulu itu," terang Febe.

"Kirain cuma gosip lho Kak," timpal Sonya tiba-tiba, tersenyum.

Simon mengangkat alisnya mendengar perkataan Sonya. Hendra yang selama ini menunduk dan memainkan ponselnya, langsung mendongak memandang Sonya.

"Eh... yeah..." Simon mendadak gagap. "Seperti yang... udah pernah gue bilang... belum pasti..."

"Yeeh, udah disuruh pastiin, juga!" kata Febe kesal. "Jangan ngasih harapan kosong, dong Mon..."

"Gue nggak ngasih harapan," ujar Simon pelan, sadar bahwa ketiga orang yang ada di mobil itu mendengarkan.

Sonya tersenyum pahit ketika Simon menghentikan mobilnya di sebuah konter pulsa di pinggir jalan.

"Bentar ya gue beli pulsa dulu," kata Simon. Sonya masih sempat membuka sedikit jendela disampingnya untuk mendapatkan udara segar. Dipasangnya lagi iPodnya.

Harapan kosong. Kenapa kata-kata itu begitu menusuk?

Kemudian Sonya baru sadar kalau dari tadi iPod-nya memainkan lagu indah yang sudah dikenalnya. Agnes Monica - Karena Ku Sanggup.

Dibiarkannya lagu itu mengalun.

biarlah ku sentuhmu
berikan ku rasa itu pelukmu
yang dulu pernah buatku
ku tak bisa paksamu
tuk tinggal disisiku
walau kau yang selalu sakiti aku
dengan perbuatanmu

namun sudah kau pergilah
jangan kau sesali

karena ku sanggup
walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu

ku mau kau tak usah ragu
tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

tak yakin ku kan mampu
hapus rasa sakitku
ku slalu perjuangkan cinta kita
namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan
kesungguhanmu

karena ku sanggup
walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu

ku mau kau tak usah ragu
tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

tak perlu kau buat aku mengerti
tersenyumlah
karena ku sanggup

Lagu itu berakhir.

Ya, benar. Aku sanggup. Meski aku benar-benar tak mau. Aku tak ingin dia meninggalkanku.

Sonya bahkan tak sadar matanya digenangi air mata mendengar reff lagu itu. Dia juga tak sadar sedari tadi dia memandangi Simon yang menghampiri konter pulsa, mengeluarkan dompetnya, membayar pulsanya, dan berlari kembali ke bangku pengemudi.

Dia juga tak sadar Simon sudah masuk mobil dan menutup pintu mobil dengan keras.

"Wah, gila nih bisa tekor gue kalo nelpon loe terus, Feb," keluh Simon.

"Makanya pake operator yang sama kayak punya gue dong. Gratisan!" kekeh Febe berpromosi.

"Gue juga. Tina pake operator yang beda. Jadinya... sekali tiga hari gue harus isi pulsa," sela Hendra.

"Emang loe isi berapa sekali isi?" tanya Febe.

"Dua puluh lima ribu."

"Gokil loe Ndra."

Febe dan Hendra tertawa.

Simon menyalakan mobilnya. "Sonya? Kok nangis?" tanyanya pada juniornya.

"Hah?" Sonya melongo bego. "Kelilipan, Kak, hehe."

"Kamu sih pake dibuka segala jendelanya," kata Simon.

"Haha iya Kak, aku tutup lagi deh."

Dan waktu Sonya menutup jendela, angin kencang berhempus, meniupkan setitik kecil debu ke mata Sonya. Dia benar-benar kelilipan sekarang.

"Aduh," jerit Sonya kecil. Air matanya mengalir lagi.

"Dasar kamu," kata Simon menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masa bisa sampe dua kali kelilipan. Aku tiupin sini."

Sonya bertindak refleks menghadap Simon yang kemudian meniup matanya.

"Awas jangan diucek dulu! Ntar malah tambah perih," cegah Simon begitu melihat tangan Sonya bergerak mendekati matanya. "Fuuuh."

Sonya mengejap-ngejapkan matanya yang mengeluarkan air mata yang tak terbendung. Perih karena kelilipan dan perih karena mendengar lagu yang barusan didengarnya.

"Heboh banget nangisnya," komentar Simon. Lalu ditiupnya lagi mata Sonya.

"Sakit, Kak," gumam Sonya pelan, mencoba mengalahkan jantungnya yang berdebar kencang.

Simon mengawasi Sonya yang mengipas-ngipas matanya dengan tangan. Kemudian dia baru sadar bahwa sejak tadi Febe dan Hendra terkikik.

"Ada apa?" tanya Simon.

"Nice picture," cengir Hendra, memamerkan layar handphone-nya yang menampilkan foto tampak samping Simon yang sedang meniup mata Sonya.

Febe tertawa. "Apa reaksi Marsel kalau dia ngeliat foto ini, ya..." katanya iseng.

Simon manyun. Dia bingung memilih antara meminta Hendra dan Febe menghapusnya atau membiarkan mereka menunjukkan foto itu pada Maria. Kalau dia meminta Febe menghapusnya, dia takut menyakiti perasaan Sonya. Kalau ia membiarkan foto itu dilihat Maria, dia takut Maria salah paham.

Tunggu, pikir Simon. Kenapa aku takut menyakiti perasaan Sonya?

Tetapi rupanya Simon tak perlu mengatakan apa-apa. Sonya sudah bertindak duluan.

"Apa, Kak? AAAH! HAPUS DONG, KAK..." pinta Sonya memelas. Matanya masih merah. Dia berusaha merebut handphone Hendra.

"Eit," Hendra berkelit. "Harus ada persetujuan antara kedua belah pihak."

Febe nyengir. "Mon, loe setuju kalo dihapus?"

Simon pura-pura sibuk menyetir. "Apanya?"

"Foto kalian," jawab Hendra dan Febe berbarengan.

"Terserah loe pada deh... tapi kalau loe simpen, jangan liatin ke Marsel," tambah Simon kemudian. Dia puas karena memang keputusan itulah yang adil untuk semua.

"Setuju, Sonya?" tanya Hendra.

Sonya menggeleng. "Hapusin, Kak..." katanya, memandang Febe dan Hendra dengan wajah memelas, matanya berkaca-kaca karena masih merasa perih. Tolong hapus saja semua kenangan itu, katanya dalam hati.

Simon melirik Sonya. "Ya udah... hapus aja..." ujar Simon akhirnya.

"Kalau kayak gini kan nggak ada yang sakit..." gumam Sonya pelan, nyaris tak terdengar oleh tiga seniornya.

"Apa, Sonya?" tanya Febe bingung. "Nggak kedengeran."

"Nggak ada Kak, hehe."

Hendra menekan tombol 'yes' ketika muncul pertanyaan 'Are you sure you want to delete this photo?' di ponselnya. Sonya memandangi ketika ponsel itu memproses penghapusan.

Photo deleted!

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Ehm, saya juga mau tuh ditiupin matanya sama Kak Simon :p duasarr... Ini agak lebih pendek dari yang part 11, ya. Saya memang nggak konsisten menetapkan panjang tulisan saya. Dia ngalir begitu saja, dan berhenti dimana saya mau menghentikannya. Ya iyalah. Kan saya yang nulis. :D

R.A.
4 Agustus 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part XII)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part XI)

Salam, Pembaca!

Ada jeda yang sangat panjang antara fanfiction part 10 dan 11, hal ini dikarenakan daya imajinasi saya berkurang sangat pesat (?). See, ini sudah bulan Agustus, tanggal 3, pula. Terakhir kali saya bikin part 10 itu tanggal 27 Juli.
Oh ya, dan saya juga ngepost fanfiction ini di note facebook saya. Baru sampe part 2 karena saya mau ngeliat gimana tanggapan temen-temen BL. Harap menunggu dengan sabar untuk part 3 dan 4 di note, ya... dan buat yang udah baca di blog, harap bersabar menunggu part 11 dan selanjutnya... saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Happy reading! :))

>>
Tina membangunkan Sonya keesokan harinya. "Sonyaaa. Sonyaaa."

Sonya menggeliat sebentar, lalu membalikkan badan.

"Sonyaaaa."

Sonya tidak merespon.

Tina manyun, lalu pergi ke kamar mandi. Diambilnya segayung air dan dipercikkannya ke muka Sonya. It works. Sonya bangun.

"TINAAA! APAAN SIH!"

Tina tertawa terbahak-bahak. Sonya lompat dari tempat tidur dan mencoba menangkap Tina. Yang, gagal, karena Tina berlari menghindar. Alhasil mereka kejar-kejaran di kamar, berteriak-teriak. Tina meraih bantal dan menggebuk Sonya. Sonya mencari guling dan membalas Tina. Perang bantal pun dimulai.

"Sakit, tauk!" kata Tina, tapi dia tertawa.

"Biarin! Orang lagi enak-enak tidur!" balas Sonya.

"Cewek gak boleh bangun siang!"

"Teori darimana tuh?"

"Teori nyokap!"

Sonya tertawa. Kemudian dia, yang pendengarannya tajam, mendengar suara pintu diketuk. Dia lari ke pintu dan membukanya. Tina mengikuti sambil tetap menggebuki Sonya.

Tepat saat Sonya membuka pintu sambil menghindari gebukan bantal Tina, Sonya sadar tepat pada waktunya bahwa Tina akan melempar bantalnya. Sonya merunduk.

Sayang sekali lemparan Tina mengenai orang yang mengetuk pintu. Seketika lorong di depan kamar mereka penuh tawa.

"Strike," kata Pia tertawa.

Greys sampai terbungkuk-bungkuk dan harus memegangi perutnya sambil mencengkram bahu Maria saking hebohnya dia tertawa.

"Ya ampun, Kak, maaf..." Tina kaget melihat orang yang dilemparnya adalah Shendy.

"Lho, Kakak sudah datang," Sonya menahan tawanya. "Gimana liburannya, Kak?"

Shendy menurunkan bantal Tina, lalu ikut tertawa bersama teman-temannya. "Asik deh pokoknya..." (anggap saja Ci Shendy baru datang karena selama ini dia sedang pulang ke kampungnya, red)

"Ada Kak Nitya jugaaa," Sonya memeluk seniornya itu.

"Aduh Kak, maaf banget..." kata Tina takut.

"Santai aja kali. Kalian berisik banget," kata Shendy tertawa. "Mau ikut jalan nggak?"

Sonya memandang Pia, Greys, Maria, Febe, Shendy, dan Nitya di depannya. "Kemana, Kak?"

"Ke mall aja, refreshing. Kita kan libur hari ini. Sekalian menyambut kedatangan Shendy dan Nitya..." jelas Maria.

"Bersegini aja, Kak?" tanya Tina, menghitung jumlah mereka. "Berdelapan?"

"Yang ceweknya cuma kita aja. Butet ama Vita sibuk. Yang lainnya pada mau tidur," kata Pia.

"Cowoknya ada pacar kamu," Febe melirik Tina yang tersipu malu. "Terus Simon, Hayom, Bona, Ahsan, Kido..."

"Age, Alvent, Yunus..." tambah Maria.

"Ikut, Kak," kata Tina langsung.

Sonya terheran-heran. "Kak Frans gak ikut Kak?" tanyanya pada Greysia.

"Mau istirahat katanya..." Greys mengangkat bahu.

"Kamu ikut nggak? Sepi lho disini," kata Nitya.

"Boleh deh, Kak... tapi aku belum siap-siap..." jawab Sonya malu.

"Dia baru bangun, Kak. Tadi aku bangunin malah ngamuk-ngamuk. Tuh kamar sampe berantakan," kata Tina, yang langsung disikut Sonya. "Aduh," ringisnya.

"Hahaha kalo gitu kita tunggu aja di dalem sambil bantuin beresin kamar kalian sementara Sonya siap-siap..." saran Maria. (duh, Mbak Sel, baik banget deh!) Semuanya setuju.

"Emang seberantakan apa sih?" Nitya melongok kedalam kamar dan matanya memandang ke sekeliling ruangan. "Ya, ampuuun..."

Selimut mereka berserakan di lantai, bantal-bantal tak beraturan dimana-mana, seprei tersingkap lebar. Sonya dan Tina nyengir malu.

Maria tertawa. "Ya sudah, kamu siap-siap sana..."

Sonya berlari ke kamar mandi.

* * *

Saat Sonya selesai dan kamar mereka sudah dirapikan dengan usaha gabungan Tina, Maria, Greys, Pia, Febe, Shendy, dan Nitya, handphone Maria berbunyi dengan ringtone Ne-Yo - Because of You. (ehm, mengarang bebas, red)

Incoming call -->
SimonMon (lagi-lagi mengarang bebas, red)

"Halooo?" jawab Maria.

"Mar? Kamu dimana?" tanya Simon.

"Aku di kamar Sonya sama Tina nih... kamu?"

Simon agak tertegun. Tapi dia langsung melanjutkan pembicaraan. "Kita udah di halaman depan... buruan dong! Kalau sempet kita masih bisa nonton sebelum makan siang."

"Oh, iya iya. Semuanya udah disana?" tanya Maria memastikan.

"Kecuali kalian yang cewek-cewek," ujar Simon.

"Oke, kami kesana secepatnya."

"Sip."

Simon memutuskan hubungan teleponnya.

Call ended
Marsel
00.30

"Dimana mereka?" tanya Kido, mengecek arlojinya setiap lima detik.

"Eh... di kamar Sonya dan Tina," jawab Simon tanpa memperhatikan Kido, masih sibuk dengan ponselnya, mengecek sisa pulsa. "Wah, beneran pulsa gue tinggal seribu. Bang, ntar gue mampir dulu di konter pulsa, ya..." kali itu Simon baru melihat Kido dan dia menyadari bahwa Kido sedang memandangnya aneh.

Kido mengangguk singkat, lalu mondar-mandir. Bona seperti biasa sedang mengobrol seru dengan Ahsan, Hendra sedang mendengarkan iPod-nya sambil bersandar di mobilnya, Alvent memainkan entah-apa di iPhone-nya, Age membaca majalah sport, Yunus dan Hayom mengerjakan teka-teki silang di koran yang digelar di atas kap mobil Kido.

Simon agak salah tingkah. Dia paham betul arti pandangan Kido padanya tadi.

Sementara itu di kamar Sonya dan Tina, suasana malah semakin riuh rendah karena Pia dan Greys sudah mulai menyindir-nyindir Maria yang ditelepon Simon.

"Cieeeee... kok pake aku-kamu, Sel?" tanya Febe. "Ada angin apa nih..."

"Biasanya pake loe-gue deh..." tambah Greys iseng.

"Mbak Sel," Shendy menjawil rambut Maria. "Nggak bilang-bilang ya."

"Apaan?" bantah Maria. "Wajar dong dia telepon, kan nanya kita lagi ada dimana, kita ditungguin tuh sama mereka..."

"Yang nggak wajar itu dia nelepon Mbak Sel..." sindir Nitya.

Pia tertawa. Tina memandang Sonya yang terlihat bengong. Tapi, Sonya lalu ikut tertawa.

"Hayoo Mbak..." Sonya ikutan.

Tina mengangkat alisnya. "Kalau gitu... eh... kita kesana sekarang aja yuk, Kak... emm... Kak Hendra barusan sms aku... katanya suruh cepetan..."

Sontak kamar itu penuh dengan gurauan lagi.

"Tuh, kan, Sel... Tina di-sms Hendra, mereka kan memang pacaran, makanya Hendra ngirim pesan ke Tina..." kata Greys.

"Tandanya dia cemas..." sambung Pia.

"Karena pacarnya nggak muncul-muncul..." tambah Nitya.

"Berarti itu juga yang terjadi sama Simon..." kata Shendy.

"Cemas karena calon pacarnya nggak muncul-muncul..." sambung Febe.

Mereka tertawa lagi. Maria hanya manyun. (Mbak Sel mau manyun pun tetep cantik, red)

"Sudahlah... ayo kita turun," ajak Maria.

Mereka beriringan keluar kamar Sonya dan Tina. Tina sengaja membiarkan keenam seniornya berjalan duluan di depan agar dia bisa leluasa mengobrol dengan Sonya.

"Kamu yakin mau ikut?" tanya Tina ketika ia mengunci pintu, dan Sonya menunggunya.

"Tentu saja. Aku butuh refreshing," jawab Sonya pasti.

"Berani nanggung resikonya?" tanya Tina.

"Apa?"

"Sakit hati."

"Ah, basi," katanya Sonya, melambaikan tangannya seolah meremehkan.

"Kamu mulai bisa terima, ya?" tanya Tina sementara mereka berjalan di lorong.

Sonya mengangkat bahu. "Begitulah."

Tina manggut-manggut.

"Baguslah kalau begitu."

* * *

Kido cemberut melihat rombongan putri datang dengan santai sambil mengobrol.

"Pia," panggilnya pada adiknya.

"Ya, Uda?" jawab Pia tersenyum.

"Jam sepuluh! Kami menunggu setengah jam!" katanya kesal.

Pia nyengir. "Maaf, Da..."

Bona tertawa. "Udahlah Da. Mending kita putuskan siapa yang mau naik mobil Uda, yang mau naik mobil Simon, yang naik mobil Shendy..."

"Kami yang cewek semua ikut Shendy," kata Febe langsung. "Pas berdelapan! Dua di depan, tiga di tengah, tiga di belakang..." (ceritanya mobil Shendy model kapsul gitu, red)

"Ah! Nggak seru!" kata Alvent. "Garing kalo cowok semua dalam satu mobil."

"Kita hompimpah aja," usul Yunus. "Tapi nggak ada yang boleh nolak."

Mereka langsung setuju.

"Oke, hompimpah pertama, yang telapak tangan menghadap ke atas naik ke mobil Shendy," atur Kido. "Berapa muatnya Shend? Delapan orang?"

Shendy mengangguk. "Delapan orang sama gue."

"Sisanya masuk mobil gue sama Simon," kata Kido. "Dibagi dua."

Semuanya manggut-manggut. Mobil Kido dan Simon (ceritanya, red) adalah mobil sejenis sedan.

"HOM PIM PAH ALAIHUM GAMBRENG!!" (oh, kenapa saya tertawa waktu menulis kalimat ini?)

*karena akan sangat panjang sekali kalau dirinci satu persatu, maka kita langsung saja ke hasil pembagian*

Akhirnya yang masuk mobil Shendy adalah Maria, Alvent, Bona, Greys, Yunus, Age, dan Nitya. Sementara yang masuk mobil Kido adalah adiknya sendiri, Pia, Ahsan, lalu Tina, dan kemudian Hayom. Sonya mendapat jackpot dengan menumpang mobil Simon bersama Hendra dan Febe.

"Yaah," ujar Tina sendu, memandang Hendra.

"Tenang saja," kata Hendra, menepuk bahu Tina.

"Gue jagain," canda Hayom. Lalu mereka menumbukkan tinju mereka.

"Pssst," bisik Sonya sebelum Tina masuk mobil. "Agak gelisah ya?"

Tina mengangguk. Dia harus semobil dengan orang yang pernah ditaksirnya, Ahsan.

"Rileks. Santai," saran Sonya.

"Kamu juga," kata Tina, nyengir memandang Simon, yang sedang disindir-sindir Greys dan Febe karena tidak bisa semobil dengan Maria.

Sonya menghela napas. "Asal nggak duduk di sebelahnya aja..."

Tetapi rupanya jackpot Sonya tidak berakhir disitu saja. Hendra dan Febe ternyata sudah menduduki bangku belakang selagi Sonya bicara dengan Tina. Tinggallah bangku kosong di depan untuk - siapa lagi? - Sonya.

"Sonya?" panggil Simon yang sudah duduk di kursi pengemudi. "Kok nggak masuk?"

Sonya benar-benar tidak bisa percaya ini.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Rupanya cerita ini panjang juga ==' dan banyak sekali khayalan disini... silakan tunggu part 12-nya, ya... terima kasih...

R.A.
3 Agustus 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part XI)