Sabtu, 12 Februari 2011

, , ,

Curhatan si Tempat Curhat

Kawan, dengarlah curhatku!

Terdengar seperti sebuah lagu?

Dan aku masih menungguimu. Menunggumu menyelesaikan ceritamu.
Ceritamu yang tak berubah sepanjang waktu. Masih tentang gadis itu. Gadis incaranmu. Yang membuatmu bertahun-tahun menunggu.
Dan dengan senang aku menunggu! Menunggu tiba waktuku memberi nasihatku padamu.
Lalu, kamu mengatakan itu: 'aku cemburu!'. Dan aku berkata, hanya berkata, 'tabahlah, tenanglah!'
Kemudian kamu pergi! Setelah tersenyum dan berterima kasih padaku. Dan aku tersenyum, bangga dan senang bisa membantumu. Meskipun rasanya aku tak bisa mengubah apapun di hidupmu. Tetapi kamu dengan baik hati berkata bijak. 'terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku'.

Dan aku datang menemuimu. Panggilanmu yang tiba-tiba di ponselku.
Ceritamu yang tak berubah sepanjang waktu. Masih tentang gadis itu. Gadis gebetanmu. Yang memabukkanmu, melupakan kekasihmu.
Dan dengan gembira aku menunggu! Menunggu datang saatku memberi saranku padamu.
Kemudian, kataku padamu, 'ingatlah gadismu disana! ingatlah bahwa dia menunggumu! ingatlah... bertahun-tahun kau dengannya. ingatlah... perasaannya.'
Lalu kau pun mengantarku pulang! Sembari tersenyum dan berterima kasih padaku. Dan aku membalas senyumanmu, merasa senang sudah menyadarkanmu. Walaupun rasanya aku tak bisa mengubah apapun di hidupmu. Tetapi, kau pun dengan baik hati berkata bijak. 'terima kasih sudah mengingatkanku'.

Dua orang yang berbeda yang mengajakku curhat. Dan kebetulan keduanya cowok. Sebab mereka mempercayaiku dan aku senang bisa menjadi gadis yang bisa mereka percayai. Well, sometimes, aku yang curhat ke mereka, tentang masalahku, tentang cowok, dan, kata-kata bijaklah yang sering kudapatkan. Anehnya, entah kenapa selalu mereka yang lebih bijak daripadaku, padahal satu di antara mereka lebih muda setahun dariku, dan yang satunya hanya lebih tua 3 bulan. Baru akhir-akhir ini dia mengakui bahwa dia lebih tua daripada aku! Aku kadang dibingungkan oleh mereka berdua. Suatu saat mereka bilang ingin cerita, tetapi beberapa menit kemudian mereka mengurungkan niatnya untuk curhat. Nah, siapa yang tidak penasaran?

Kadang aku bingung kenapa mereka mau mempercayaiku, mereka bisa mempercayaiku. Padahal aku juga bukanlah cewek yang juga berprofesi sebagai psikolog. Aku ingin jadi penulis, dan calon dokter gigi. Atau, karena aku mempercayai mereka, makanya mereka juga percaya aku? Entahlah. Aku tak pernah bisa mengerti perasaan cowok.

Jangan harap akan terjadi apa-apa antara kami; kami hanya teman curhat, sahabat, tidak lebih. Tidak akan bisa lebih. Meskipun orang bilang persahabatan antara cewek dan cowok itu tidak ada. Memang tidak ada, ya. Akan ada salah satu yang mencintai yang lain. Atau saling suka. Masalahnya adalah perasaan itu tidak bisa tersampaikan. Kami sudah terlalu menikmati hubungan ini dan tidak mau keluar dari zona nyaman kami untuk hubungan yang lebih. Biarlah sahabat tetap sahabat, pasangan tetap pasangan. Ada jalurnya masing-masing. Kalaupun salah satu di antara kami harus menyatakan perasaannya, itu cerita lain. Takdirlah yang berbicara saat itu. Kita masih tetap bisa memilih mau jadi sahabat selamanya atau pasangan selamanya.

Sudah resiko jadi sahabat, atau teman curhat, hanya dihubungi waktu lagi bete! Atau lagi down. Atau lagi ada masalah. Nyaris tak pernah ada pembicaraan di waktu luang; di saat-saat kosong, misalnya. Pesan selalu diawali dengan 'lagi sibuk?' atau 'lagi apa?' tapi kemudian diteruskan dengan 'pengen cerita, lagi bete nih' atau 'asem lah, si ******* bikin cemburu aja'. Yah, begitulah. Dan aku juga, tak dipungkiri, sering berlaku sama. 'huwaaaaa, tadi di kampus ketemu si seniooorr' atau 'suntuk euy, pengen curhat T.T'. Well, kalian bisa melihat perbedaan antara pesan seorang cowok dan pesan seorang cewek.

Aku selalu jadi cewek yang diajak bercerita oleh cowok tentang cewek lain yang mereka sukai. Tapi aku tak pernah protes! Senang rasanya bisa membantu orang lain. Akan tetapi, kadang aku penasaran bagaimana rasanya menjadi cewek yang diceritakan cowok pada cewek lain. Cerita atas dasar suka.

Ah, mungkin belum saatnya.


Jogja, 4 Februari 2011
R.A.

P.S.
Hanya sebuah tulisan untuk mengingatkan diri sendiri agar selalu bersyukur atas apa yang telah didapat: sahabat-sahabat yang baik.
Continue reading Curhatan si Tempat Curhat
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 6)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)

>>
CHAPTER 6

Seusai pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam hari itu, Lucy berniat kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas Profesor Snape, tetapi hatinya mengajaknya untuk berkunjung ke Kandang Burung Hantu sejenak. Entah angin apa yang menyuruhnya pergi ke sana. Tetapi Lucy, yang sudah penat karena pelajaran tak henti sedari pagi, ingin sekedar menyapa Western atau, kalau dia beruntung, melihat burung hantu elang milik Draco.

Perutnya sakit memikirkan Draco, tetapi perasaan ini ditepisnya.

Jangan memikirkan dia lagi, Lucy, dia bukanlah apa-apa lagi bagimu.

Atau benarkah begitu?

Karena Lucy tak bisa berhenti memikirkan rambut pirangnya, wajah pucatnya, bintik-bintik di wajahnya ketika ia semakin mendekat... aroma tubuhnya...

Lucy berhenti mendadak di tangga teratas Kandang Burung Hantu. Ia mencium wangi sesuatu. Wangi yang disukainya. Wangi yang menempel di bajunya setelah ia memeluk seseorang dengan erat.

Parfum Draco.

Draco berdiri di dekat jendela, memandang Lucy yang berdiri di ambang pintu Kandang. Lucy kaget melihat Western bertengger di bahu Draco, tetapi kekagetannya ini tak ditampakkannya.

"Apa yang kau lakukan disini?" mereka bertanya bersamaan.

"Kau duluan," kata Draco.

"Menyapa Western," jawab Lucy. "Kau?"

"Mengirim surat."

Lucy bisa melihat burung hantu elang Draco sudah tidak terlihat di Kandang.

"Aku tidak tahu anak kelas lima punya waktu kosong," gumam Draco, mengelus Western.

"Aku baru saja selesai Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam."

"Wah, kebetulan sekali."

Lucy mendengar nada getir penuh ironi pada komentar Draco tentang pelajaran itu.

"Burung hantumu jinak sekali," kata Draco.

"Aneh," komentar Lucy, berjalan ke jendela di seberang jendela Draco. "Dia tidak pernah mau bertengger di bahu orang lain selain aku dan ayahku."

"Dia mematuk-matukku dengan keras," ujar Draco menambahkan. "Untungnya bukan di tanganku yang terluka."

"Itu tandanya dia sayang padamu," gumam Lucy, memandang jauh ke langit.

Western terbang dari bahu Draco dan hinggap di jendela Lucy. Sepertinya dia tahu majikannya sedang bersedih.

Keheningan yang sarat makna memenuhi Kandang Burung Hantu.

"Bagaimana... progres pekerjaanmu?" tanya Lucy pelan.

"Oh," jawab Draco singkat. "Kurasa aku mengerjakannya dengan baik."

"Baguslah."

"Kata-katamu aneh untuk seorang anggota Laskar Dumbledore."

"Itu tidak berarti apa-apa."

Kemudian diam lagi. Lucy, yang mengenali burung hantu berwarna seputih salju milik Harry Potter, Hedwig, melihatnya terbang ke Kandang membawa seekor tikus dalam paruhnya. Lucy merasa jijik, kemudian mundur selangkah dari jendela.

"Ada apa?" tanya Draco.

"Tak ada apa-apa," gumam Lucy, entah kenapa merasa tidak senang ditanyai seperti itu.

Lucy kesal karena dia bermaksud menghindari Draco, tetapi malah bertemu dengannya di Kandang Burung Hantu, tempat mereka ber...

"Kau mau kemana?" tanya Draco lagi, melihat Lucy menghindari jendela dan beranjak menuju pintu.

Lucy tersentak dari lamunannya. "Ke kamarku."

"Tunggulah sebentar lagi."

Oke. Jadi Draco memintanya menunggu. Tidak masalah. Hanya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Itu kan yang dia inginkan?

"Dengar, aku tidak bisa berpura-pura lagi," kata Lucy jengkel. "Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Kita jelas melakukan sesuatu."

"Aku tahu," gumam Draco dingin.

"Lalu? Apa yang kau harapkan?" desak Lucy. "Aku tidak berharap kau muncul begitu saja di perpustakaan, atau ada di Kandang Burung Hantu tepat di saat aku ingin kesini..."

"Aku kesini karena aku ingin kesini," sela Draco.

"Apa maksudmu?"

"Aku setengah berharap bertemu denganmu."

Jantung Lucy berdebar.

"Dan kupikir... kau juga merasakan hal yang sama," tambah Draco.

Lucy tidak bisa memungkiri itu.

"Soal pagi tadi..."

"Tidak usah diungkit," sahut Lucy kesal, tetapi juga malu. Malu karena Draco berhasil menebak hatinya dengan tepat. Ia merasa rasa sukanya pada Draco bertambah besar.

"Dan tentang tugas itu," gumam Draco seolah tak ada interupsi barusan. "Aku hampir berhasil memperbaikinya... sedikit lagi pasti bisa... lemari itu akan membantuku menyelesaikan tugasku."

"Apa?" tanya Lucy tak percaya. "Sedikit lagi?"

"Ya," kata Draco puas. "Mungkin malam ini."

Lucy tak berkata apa-apa. Dirinya terlalu shock. Secepat inikah?

"Dengar," Draco berjalan mendekati Lucy. "Malam ini tetaplah di kamarmu."

"Aku tidak mau," kata Lucy bersikeras.

"Terlalu bahaya."

"Aku tidak peduli."

"Aku peduli."

"Terserah."

Draco sudah akan membentak Lucy. Tapi melihat tanda-tanda Lucy akan menangis, ditahannya keinginannya itu.

"Haruskah sekarang?" tanya Lucy getir. "Mesti malam ini?"

"Secepatnya," gumam Draco.

Lucy menutup mulutnya, tak ingin mempercayai hal yang didengarnya.

"Jadi... malam ini..." Lucy tak meneruskan kalimatnya.

Draco meneguk ludah. "Sepertinya begitu," katanya. "Seharusnya begitu."

"Tapi ini terlalu cepat."

"Pangeran Kegelapan tidak mau tahu."

"Tidak bisakah kau menolaknya? Memberimu waktu sedikit lagi? Memberi... memberiku waktu sedikit lagi?" tambah Lucy ragu, dan bahkan sebelum dia mengucapkan kata terakhir dia sudah tahu jawabannya dengan hanya melihat raut wajah Draco.

"Dia tidak mau dibantah. Dia tidak suka dibantah."

"Dia mengerikan."

"Dia Tuanku."

Lucy mendongak memandang mata Draco mendengar dua kata itu. "Maafkan aku."

"Tidak apa-apa," kata Draco datar.

Dan, Lucy, membuang semua perasaan gengsinya, malunya, marahnya pada Draco, menghambur memeluk Draco. Menuangkan semuanya dalam pelukan erat itu.

Aku mencintaimu! Aku menyayangimu lebih dari apapun! Aku hanya ingin kau tahu itu...

Tetapi Lucy tidak berkata apa-apa; dia hanya memeluk Draco erat, mencium wangi parfumnya, merangkul lehernya, menyentuh rambut pirangnya dengan gemetar. Dan Draco, yang sudah belajar, mengelus rambut coklat kemerahan Lucy yang wangi strawberi. Menenangkannya.

"Aku, aku..." isak Lucy, "aku..."

Draco menunggu.

Tetapi Draco tak pernah tahu apa yang akan dikatakan Lucy, karena tepat saat itu tangisan Lucy justru semakin kencang.

Dan Draco tetap menunggu.

* * *

P.S.
Yak, semakin menjadi. Saya agak sedikit dikejar waktu, ehm. Saya sadar waktu melihat sudah tiga cerita yang saya hasilkan dua hari ini, sampai saya sendiri bingung. Semoga saya bisa menyelesaikannya sebelum masuk semester 2. Seperti biasa, saya minta review :)) thanks

R.A.
5 Februari 2011
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 6)
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 5)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Zabini Blaise
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)

>>
CHAPTER 5

Lucy membanting buku-bukunya di lantai kamarnya di Menara Ravenclaw. Kamar itu kosong, sebab seluruh anak kelas lima Ravenclaw sibuk belajar di perpustakaan. Ia menjatuhkan diri di kasur, memeluk bantal, dan menangis sejadi-jadinya.

Bahkan tampaknya ia sudah tidak peduli akan apapun terutama tentang ujian OWL-nya. Dia tidak peduli Dementor berkeliaran di luar sana, penjagaan Hogwarts yang sangat ketat untuk mencegah Pelahap Maut masuk, dia tidak peduli. Dia juga tidak peduli sedari tadi hujan lebat dengan kilat menyambar-nyambar di luar jendela, badai sedang terjadi. Dia tidak peduli bahaya perang yang bisa terjadi kapan saja.

Dia hanya memedulikan Draco Malfoy.

Draco, yang sudah dua kali menciumnya.

Draco, yang berkata dia menyukai Lucy.

Draco, yang adalah anak seorang Pelahap Maut.

Draco, yang ditugaskan Pangeran Kegelapan.

Draco, yang dicintainya.

Lucy bertanya-tanya apakah semua ini adalah hukuman baginya. Dia tidak memikirkan resiko berhubungan dengan anak Slytherin - yang notabene anak Pelahap Maut, yang semua orang tahu ia membenci Kelahiran-Muggle, yang semua orang tahu dia punya hubungan dengan Pansy Parkinson, yang semua orang tahu dia musuh bebuyutan Harry Potter.

Sementara Lucy kebalikannya: anak baik-baik, Ravenclaw, Darah-Campuran, anggota Laskar Dumbledore, teman Harry Potter.

Semestinya Lucy tidak menulis surat untuk Draco ketika ia di rumah sakit.

Seandainya Lucy tidak berharap Draco menemuinya.

Seharusnya Lucy tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.

Sekarang Lucy bingung siapa yang salah.

* * *

Draco meninju kaca di toilet laki-laki, tetapi kaca itu tidak pecah. Meski begitu tangan Draco berdarah, menetes-netes pelan di wastafel. Draco tidak berniat untuk mencucinya, bahkan hanya untuk mengurangi resiko infeksi. Madam Pomfrey bisa menyembuhkannya dalam waktu singkat, apalagi matron rumah sakit itu tidak pernah banyak bertanya.

Draco membenci dirinya sendiri.

Rasa-rasanya semua hal terjadi padanya.

Tugas yang tidak mungkin dilakukannya sendirian. Ia butuh bantuan, memang.

Tetapi dengan Crabbe dan Goyle? Mereka tidak berguna.

Draco menyadari bahwa mereka berdua tidak bisa diharapkan.

Dan dengan Harry Potter mengawasinya, penasaran dengan apa yang dilakukannya, Draco tidak bisa bergerak bebas.

Kemudian tentu saja datangnya Lucy Rothbelle yang tiba-tiba. Draco sering menertawai dirinya sendiri kenapa bisa begitu cepat menyukai orang lain yang sama sekali asing baginya. Dia juga bodoh tidak menyadarinya sampai pertemuan kemarin. Berhubungan dengan Lucy berarti menyeretnya dalam bahaya. Kalau sampai para Pelahap Maut yang lain tahu - tidak, kalau sampai ayahnya tahu bahwa Lucy mengetahui rencananya, entah apa yang akan terjadi pada anak Ravenclaw itu.

Semestinya Draco tidak perlu mengindahkan surat Lucy dan mencarinya.

Seandainya Draco tidak mencium Lucy dan mengatakan ia menyukai Lucy.

Seharusnya Draco tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.

Sekarang Draco juga bingung siapa yang salah.

* * *

Keesokan paginya Lucy terbangun pagi-pagi sekali, dengan mata sembap dan rambut berantakan. Dilihatnya Luna Lovegood, masih tertidur pulas, di bawah tempat tidurnya ada setumpuk buku tebal dengan perkamen panjang menjulur. Tinta pena-bulunya tumpah ke lantai. Lucy membersihkan tinta itu dan mengisi kembali botol tinta yang kosong sebelum keluar kamar untuk turun sarapan.

Seperti yang sudah diduganya, Aula Besar kosong. Hanya ada beberapa anak disana, dua anak kelas empat di meja Hufflepuff, tiga anak kelas dua di meja Gryffindor, dua anak kelas satu di meja Ravenclaw, dan satu anak kelas enam di meja Slytherin.

Lucy setengah berharap seorang cowok yang duduk di meja Slytherin itu Draco, tetapi separo hatinya lagi juga tidak ingin bertemu Draco.

Betapa leganya ia melihat cowok kelas enam Slytherin itu bukan Draco.

Ada roti bakar kesukaan Lucy di meja makan. Ia mengambil banyak-banyak. Rasanya tenaganya sudah habis setelah menangis semalam suntuk.

Ketika Lucy sedang menuang madu ke atas pancakenya, matanya menangkap seseorang yang baru saja masuk Aula Besar, beriringan dengan dua kroninya.

Draco Malfoy. Dan Crabbe, dan Goyle.

Untung Lucy duduk membelakangi meja Slytherin, jadi dia tidak perlu mengambil resiko terus memandangi Draco - atau punggungnya, kalau Draco duduk membelakangi meja Ravenclaw - selama ia menghabiskan pancakenya.

Lucy masih bertanya-tanya kenapa tangan Draco dibebat perban begitu.

Tetapi Lucy tidak begitu berharap.

Draco juga sudah melihat Lucy, dan melihat dengan matanya yang tajam, mata Lucy yang sembap. Draco mengira Lucy masih meneruskan tangisnya sejak kepergiannya yang dramatis di perpustakaan kemarin.

"Asyik, ayam!" kata Goyle senang, menuju meja Slytherin.

"Hei, Draco, cepat kemari," panggil Crabbe yang sudah duduk di sebelah cowok kelas enam Slytherin yang datang lebih awal, Zabini Blaise.

Draco masih terpaku di pintu Aula Besar memandangi meja Ravenclaw.

"Hei, Draco!" kata Goyle agak keras. "Kau tidak mau ayam?" tanyanya, mengigit sepotong besar paha ayam goreng.

Draco sadar dari lamunannya dan segera duduk di meja Slytherin. Diambilnya semangkuk besar sereal.

"Ambilkan susu itu," pintanya pada Zabini, yang sedang mengunyah sandwich. Zabini menyodorkan seteko susu ke dekat Draco, yang langsung menuangnya ke mangkuk serealnya.

Dan dia mulai makan dengan cepat.

"Woo, woo, Draco," kata Zabini. "Santai, man. Kau tidak makan kemarin malam?"

"Aku kelaparan," kata Draco tak acuh.

"Bukan kelaparan, tapi kelelahan," celetuk Crabbe.

Draco melempar pandang memperingatkan pada Crabbe, yang langsung diam. Tampaknya Zabini tidak mendengar sesuatu yang aneh menurutnya, karena dia tetap menyantap sandwichnya.

Karena semalam setelah diobati Madam Pomfrey, Draco kembali ke Kamar Kebutuhan untuk mengecek Lemari Pelenyap yang sudah setahun ini berusaha diperbaikinya. Tentu saja dengan Crabbe dan Goyle berjaga di koridor lantai tujuh dengan menyamar sebagai anak kelas satu, agar orang-orang tidak curiga, dan agar bisa memberi tanda kepada Draco jika sewaktu-waktu ada seseorang yang mencurigakan yang mendekati Kamar Kebutuhan. Dalam kasus Draco, Harry Potter dan kawan-kawannya.

Dan setelah menghabiskan sereal, Draco beralih ke paha ayam goreng yang berwarna coklat keemasan, yang seketika mengingatkannya pada sosok burung hantu berwarna coklat keemasan, Western, dan Kandang Burung Hantu, dan wajah Lucy yang semakin mendekat...

"Dracoooooooo!" jerit seseorang dari pintu Aula Besar.

Jeritan itu membangunkan Draco dari kenangannya.

Pansy Parkinson duduk di sebelah Draco dan mengecup pipinya.

"Hai," gumam Draco.

Terdengar denting perabotan yang jatuh dari arah meja Ravenclaw. Lucy Rothbelle menggebrak mejanya, menjatuhkan teko susu, piring perak kosong yang tadinya berisi roti bakar, dan sendok sereal. Ia membungkuk pada semua orang yang memandangnya karena kegaduhan yang ditimbulkannya sambil berkata minta maaf. Kemudian ia berjongkok di bawah meja untuk mengambil perabotan yang dijatuhkannya tadi. Profesor McGonagall sudah turun dari meja guru dan membantu membereskan kekacauan itu. Lucy membungkuk sekali lagi pada Profesor McGonagall yang sedang membersihkan genangan susu dari lantai dan menaruh tekonya di atas meja. Waktu Lucy duduk lagi di meja, teko susunya sudah penuh. Profesor McGonagall menepuk bahu Lucy pelan.

"Bikin kaget saja," kata Pansy yang memperhatikan selama beberapa saat, lalu kembali merepet Draco, yang masih berbalik dari duduknya untuk melihat Lucy.

"Anak Ravenclaw memang suka aneh-aneh," komentar Zabini lagi.

"Tidak heran, dia kan temannya si Loony Lovegood itu," kata Pansy menambahkan. "Draco?"

Draco menghadap mejanya lagi. Ia mengangkat bahu dan kemudian meneruskan menyantap ayam gorengnya.

"Hei, Draco," tegur Zabini. "Kau tidak tertarik pada anak Ravenclaw itu, kan?"

Pansy menghentikan suapan serealnya di udara. "Tidak mungkin," katanya tertawa, menganggap Zabini hanya bercanda.

Draco tidak menjawab Zabini ataupun mengomentari perkataan Pansy.

"Draco, ada apa dengan tanganmu?" pekik Pansy kaget, melihat perban yang membebat tangan Draco.

Draco urung untuk menjawab, tetapi ia tersenyum sinis sejenak, kemudian berkata,

"Pangeran Kegelapan menghukumku."

* * *


P.S.
Lagi-lagi cerita yang mengalir begitu saja dari benakku, sempat terbersit untuk menjadikan chapter ini chapter terakhir, tetapi ternyata lebih panjang dari yang saya perkirakan. Disini juga terlihat bagaimana egoisme seorang gadis yang sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa mengalahkan segala hal yang lebih penting - sesuatu yang SEMPAT terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu. Oh, dan saya menulis adegan sarapan di Aula Besar itu ketika saya sedang kelaparan, semua makanan itu: sereal, susu, sandwich, roti bakar, ayam goreng, semua saya tulis sambil membayangkan saya sedang memakannya, yummy. Ngomong-ngomong, sudah lama saya tidak makan ayam. Skip that last one. Dan, review, please :))

R.A.
5 Februari 2011
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 5)
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 4)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Madam Pince
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)

>>
CHAPTER 4

"Tidak bisakah kita mengganti tempat pertemuan?" keluh Lucy, ketika ia terpeleset di pintu Kandang Burung Hantu, yang lantainya dipenuhi kotoran burung hantu.

Draco membantunya berjalan. "Habis bagaimana lagi," gumamnya, "terlalu riskan kalau seseorang melihat kita berdua di koridor, atau kau masuk ke ruangan yang sama denganku beberapa saat yang lalu, misalnya."

"Kamar Kebutuhan?" usul Lucy.

"Aku selalu dijaga Crabbe atau Goyle setiap masuk kesana," Draco mengangkat bahunya.

"Kandang Burung Hantu juga riskan," kata Lucy bersikeras. "Riskan kepeleset."

"Orang akan mengira kita tidak kenal, karena setiap kali kita mendengar suara langkah kaki di tangga, kita langsung menjauh dan mencari burung hantu agar dikira kita mau mengirim surat."

"Perpustakaan?"

"Banyak anak-anak kelas lima yang belajar disana - teman-temanmu, dan aku tidak mau mengambil resiko si cewek Weasley itu melihat kita duduk berdua lalu mengadukannya pada pacarnya."

"Maksudmu Harry dan Ginny."

"Apalah."

"Kau benar-benar membencinya, ya?" tanya Lucy lembut.

Draco tidak menjawab.

"Maafkan aku, pertanyaanku terlalu bodoh," sambung Lucy lagi, lalu bersiul memanggil burung hantunya, yang berwarna coklat keemasan. Burung hantu itu terbang menuju lengan Lucy dan hinggap disana. Lucy mengelusnya lembut. "Kau tidak kesepian, kan?"

Draco mengawasi Lucy mengobrol dengan burung hantunya yang dipanggil Western.

"Kalau kupikir dia itu ingin tahu sekali," kata Draco.

"Hah? Siapa? Western?" tanya Lucy bingung, menunjuk burung hantunya.

"Bukan dia," kata Draco, mengulurkan tangannya untuk mengelus Western, tetapi Western mematuk jarinya. Draco menarik kembali tangannya, kaget.

"Oh, sori," gumam Lucy. "Dia senang sekali mematuk."

Draco tidak heran melihat tangan Lucy yang penuh luka patukan Western.

"Tadi siapa yang kaumaksud?" tanya Lucy lagi.

"Si Potter itu," sambung Draco. "Sering sekali penasaran, menguntit orang lain..."

"Soalnya - yah, dialah Sang Terpilih, kan?"

"Yeah, yeah, Anak yang Bertahan Hidup, Anak yang Menangkap Snitch, apalah gelarnya sekarang."

"Kau membencinya," Lucy menyimpulkan.

Draco mengangkat alisnya. "Dan kau anggota Laskar Dumbledore."

"Semua sah dalam cinta dan perang, Draco."

"Lalu?"

"Ini kondisi separo-cinta dan separo-perang."

"Sepertinya aku de javu. Ibuku atau entah siapa pernah mengatakannya padaku."

Lucy tertawa lepas, kemudian tawanya berubah menjadi senyum manis ketika wajah Draco mendekati wajahnya. Terlalu dekat hingga Lucy bisa menghitung bintik-bintik di wajah tampan Draco. Hingga Draco bisa melihat setitik kecil jerawat yang muncul di hidung Lucy.

Western terbang ke langit sambil berkicau senang.

* * *

Seusai makan malam Lucy pergi ke perpustakaan dengan membawa setumpuk buku-bukunya. Dia mengerling Draco di meja Slytherin, yang tampak sangat sibuk dengan Pansy Parkinson yang merepetnya terus. Lucy mengangkat alis, dan dia beranjak pergi.

"Ayo Draco, makanlah pai daging ini... kau tampak kurus sekali..." desak Pansy.

"Aku tidak lapar," gumam Draco, perutnya berkeruyuk keras.

"Kau tidak bisa membohongiku, kau kelaparan! Ini, ada sosis..."

"Pansy, bisakah kau melepas tanganmu dari lenganku?" gerutu Draco kesal. Sekilas ia melihat Lucy pergi keluar Aula.

"Tentu saja," kata Pansy, melepaskan belitannya pada Draco. "Kau lihat kemana, hei."

Draco menolehkan kepalanya dan kemudian menghadapi berpiring-piring makanan di depannya. Dilahapnya semua makanan sejauh mulutnya memungkinkan untuk mengunyahnya.

Sebab ada yang harus dikatakannya pada Lucy.

"Jangan terlalu cepat makan, nanti kau sakit perut," nasehat Pansy.

"Aku baru sadar tugas Ramuanku tertinggal di perpustakaan," kata Draco cepat dan tak jelas.

"Apa?"

Draco mengulang kalimatnya setelah menelan seluruh makanannya.

"Kalau begitu nanti kita ambil..." gumam Pansy, kemudian tersadar. "Oh! Aku baru ingat ada janji dengan Milicent... maafkan aku Draco, aku tidak bisa menemanimu ke perpustakaan mengambil tugasmu..."

"Yah, kalau begitu aku ambil sendiri nanti," kata Draco, bersyukur karena memang inilah yang ia harapkan.

Setelah makan dengan cepat, Draco berjalan keluar Aula Besar dengan terburu-buru, setengah berlari, setelah berpisah dengan Pansy.

Di perpustakaan dia bertanya lagi pada Madam Pince. "Saya mencari Lucy Rothbelle."

"Miss Rothbelle?" tanya Madam Pince tak yakin. "Dia ada di Seksi Gaib, kalau tidak salah."

"Terima kasih."

Draco merasa de javu lagi saat itu.

Dia menemukan Lucy duduk di meja di dekat rak buku di Seksi Gaib, sendirian. Lucy tampak bingung dengan kedatangan mendadak Draco, tetapi kemudian ia kembali menulis di perkamennya.

"Kenapa kau disini?" tanya Draco pelan.

"Mengerjakan tugas," ujar Lucy heran.

"Maksudku kenapa kau duduk di Seksi Gaib."

"Oh," gumam Lucy. "Karena seksi ini membahas segala sesuatu yang tidak kelihatan."

Draco tidak berusaha mencerna kalimat Lucy barusan. "Hm."

"Kenapa kau disini?" tanya Lucy.

"Karena ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu."

Lucy menoleh ke arah Draco yang sudah duduk di kursi di sebelahnya karena mendengar suara Draco yang serius. "Oke, aku mendengarkan."

"Lucy, aku..." Draco memulai. "Aku rasa... kita tidak bisa meneruskan hubungan ini."

Lucy terdiam.

Draco meneruskan. "Aku hanya tahu bahwa aku memang benar-benar menyukaimu, dan karena itulah..." dia berhenti sejenak, "karena itulah kita tidak bisa terus seperti ini."

Lucy masih mendengarkan.

"Karena... konsekuensi yang harus kuhadapi jika aku gagal melaksanakan tugas itu..."

Lucy kali ini memandang Draco dalam-dalam sambil menggigit bibir.

"Pangeran Kegelapan akan membunuhku."

Lucy tidak terlihat kaget ataupun shock, dia hanya tersenyum, tetapi matanya menitikkan air mata.

"Sebab itulah yang akan dilakukannya," kata Lucy paham. "Aku mengerti. Dari awal dia memang hanya ingin mengujimu."

"Maafkan aku," kata Draco susah payah.

"Seharusnya kau menolakku sejak awal. Kau tidak perlu mencariku dan mengatakan bahwa kau mencariku. Kau tidak perlu berkata bahwa kau mengingatku, dan segalanya! Aku bisa dengan senang menyukaimu tanpa perlu merasa tersiksa seperti ini," kata Lucy, masih tersenyum, tetapi air matanya membasahi perkamen.

"Aku..."

"Tidak ada yang bisa diteruskan diantara kita," kata Lucy, membereskan barang-barangnya. "Dimulai saja belum."

"Tapi..."

Lucy berdiri. "Terima kasih," katanya dramatis.

Draco ikut berdiri dan mencegah Lucy sebelum pergi lebih jauh. "Tunggu," katanya geram. "Kau juga salah karena sudah membuatku menyukaimu."

Kemudian Draco menarik Lucy mendekat. Lucy menjatuhkan buku-bukunya. Wajahnya memanas, penuh dengan air mata, membuat ciuman itu terasa basah.

Lalu mereka melepaskan diri.

"Aku benar-benar minta maaf," kata Draco yang terdengar menyesal.

"Akulah yang seharusnya minta maaf... sedari awal akulah yang salah... karena menyukaimu... menulis surat itu..." gumam Lucy tergagap.

"Aku pun salah karena melibatkanmu dalam urusan ini... membuatmu dalam bahaya kalau pihakku mengetahui bahwa kau tahu semuanya."

"Oh, Draco," Lucy menghambur memeluk Draco. "Aku berjanji tak akan mengatakannya pada siapapun."

"Aku tahu," kata Draco, mengelus rambut Lucy dengan gemetar.

Lucy melepaskan Draco. "Terima kasih untuk semuanya."

"Apa maksudmu?" tanya Draco bingung.

"Kau bilang kita tidak bisa begini terus, kan? Kalau begitu aku akan menyingkir..."

"Tidak bisa begitu."

"Tentu saja bisa. Kita bersikap tak pernah terjadi apa-apa di antara kita..."

Draco tidak mencegah Lucy ketika gadis itu pergi dengan dramatis meninggalkannya di Seksi Gaib. Dia tidak bisa mencegahnya. Karena tak pernah ada orang yang mengajarinya bagaimana menenangkan seorang penyihir perempuan yang sedang menangis. Bahkan ayahnya sendiri.

* * *

P.S.
Oke, ini naskah terpanjang menurut saya. Saya memasukkan kalimat Ron di Deathly Hallows 'semua sah dalam cinta dan perang, dan ini separo-cinta separo-perang' :P menurut saya itulah kutipan terbagus Ron di Harry Potter, hahaha. Yah, cerita kali ini agak sedikit kejar-kejaran dengan waktu, dan timelinenya juga tidak jelas, yah, ini hanya mengalir begitu saja dari benak saya. Tanpa editan, lagi-lagi. Agak tidak layak untuk dipublikasikan, sesungguhnya. Well, bagaimanapun, saya tetep minta review dari Anda sekalian :))

R.A.
4 Februari 2011



Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 4)