Selasa, 20 Juli 2010

For Alice

Salam, Pembaca!
Saya bongkar-bongkar arsip lama dan ketemu file ini.
Happy reading! :))


>>
Denting piano terdengar merdu keluar dari rumah mewah itu. Für Elisè, sonata Beethoven yang terkenal itu. Di film-film Barat, sering dipakai untuk soundtrack film hantu. Biasanya dalam kisah piano kutukan. Katanya, orang yang berinisial E tidak boleh memainkan sonata ini karena ia akan mengalami kesialan. Bahkan, orang yang kurang kerjaan sama sekali mengatakan bahwa saudaranya yang berinisial E pernah jatuh sakit setelah memainkan sonata Beethoven ini. Ah, sudahlah.

Jari-jari Alice yang lentik dengan kuku tumpul karena sering bermain piano itu, menekan tuts dengan irama yang indah. Setidaknya bagi orang awam. Tante Alia, yang adalah saudara kandung ayah Alice sekaligus guru pembimbing Alice memainkan piano, menganggap itu masih terdengar biasa-biasa saja.

Alice sering mengeluh keras-keras tentang hidupnya yang membosankan: anak dari keluarga paling kaya di kota, anak yang harus sekolah di sekolah internasional, anak yang dilahirkan di keluarga pemusik sehingga ayah dan ibunya mengharuskannya pandai bermain salah satu alat musik elit (biola dan piano), anak yang harus latihan piano setidaknya dua jam sehari, anak yang harus bersikap anggun dan pendiam di sekolah, dan sebagainya.
Padahal, seandainya ayah dan ibu Alice tahu apa yang dilakukan anaknya itu setiap berada di kamar bersama teman dekatnya, Tyas, mungkin mereka tidak akan begitu senang.

MP3 player Alice, bukan berisi sonata-sonata Beethoven atau Mozart, tetapi kebanyakan berisi: "Girlfriend"-nya Avril Lavigne, "What I’ve Done"-nya Linkin Park, "Welcome to The Black Parade" punya My Chemical Romance, lagu-lagunya Yellowcard, "Grace Kelly", "Lollipop" dua-duanya milik Mika, dan lagu lain sebangsa itu.

Tepat seusai latihan piano, Tyas datang. Langsung menuju ruang musik tempat Alice latihan piano. Alice menyambutnya dengan gembira.

"Hari ini cukup," ujar Tante Alia sengit melihat Tyas yang nyengir. "Walaupun masih ada nada yang salah. Perbaiki terus kalau kamu mau membanggakan orang tuamu."

"Iya, Tante."

Lalu Tante Alia pun keluar dari ruang musik.

"Ayo," Alice mengajak Tyas menuju kamarnya.

Alice menjatuhkan diri di kasurnya yang dilapisi bedcover warna pink. Nah, satu lagi yang dia sering keluhkan, orang tuanya menyuruhnya menyukai warna pink. Padahal kan Alice suka warna hitam. Tapi tak apalah, katanya waktu itu. "Pink dan hitam, jadi aku tuh 'Princess Goth'," kata Alice nyengir.

"Hem, sebulan lagi kan lomba piano klasik," kata Tyas sambil mendengarkan "Valentine’s Day" punya Linkin Park di MP3 player.

"Terus kenapa?" ujar Alice tak peduli.

"Kamu ikut kan?"

"Mungkin…"

"Lho, bukannya kamu pasti ikut? Ayah dan Bundamu pasti akan menyuruhmu ikut."

"Iya sih…"

"Kamu harus bersyukur dong, Alice. Kamu diberi banyak kenikmatan yang orang lain nggak punya."

"Aku bersyukur, kok. Aku memang menyukai piano sejak kecil, jadi latihan Tante Alia pun aku anggap biasa saja."

"Berarti kamu pasti ikut lomba itu kan?"

"Ya."

Handphone Alice berdering.

"Dari Tom," ujar Tyas, menyodorkan handphone itu pada Alice.

"Yaa."

"Alice! Pinjem buku Fisika…" teriak Tom.

"Kenapa sih?"

"Kamu tadi pasti perhatiin nenek sihir itu ngoceh di depan kelas kan?"

"Beliau bukan nenek sihir," Alice tersinggung.

"Ya… gitu deh! Pokoknya, aku akan ke rumahmu sekarang. Kamu nggak lagi di ruang musik kan?"

"Nggak. Emangnya kenapa?"

"Apa kamu lupa? Aku kan alergi sama yang namanya piano."

"Ooh, iya ya."

"Ya udah…"

Alice menutup handphone-nya.

Tom adalah cowok-paling-tidak-punya-malu yang pernah Alice kenal. Satu lagi yang sering Alice keluhkan keras-keras kalau Tom ada disampingnya: "Nasibku sial banget deh. Udah ditimpa berbagai kesulitan di keluarga, eh… malah dapet sahabat sejak kecil yang kayak gini."

Yah, meskipun begitu, Tom adalah teman kecil Alice. Makanya ia tahu segalanya tentang Alice. Dan Alice pun tahu semua tentang Tom: cowok bandel, usil, berantakan, dan satu lagi: benci sekali piano. Ini sih katanya. Dia lebih suka bolos dari kelas musik daripada diam di kelas, mendengarkan guru berbicara tentang not balok, kunci G, garis paranada, Wolfgang Amadeus Mozart, dan lainnya. Alice maklum sih.

Ternyata di sebuah sekolah internasional pun, masih ada murid seperti Tom, yang sering bolos di kelas musik bersama keempat temannya, yang sering tidur di kelas Fisika, yang bengong di kelas Biologi, yang ngobrol di kelas Kimia, tetapi sangat pintar di Bahasa Inggris. Kata Tom, biar jadi sejarah di sekolah ini.

Masalahnya adalah, Tom cukup keren. Sepertiga anak cewek di kelas matematika-nya mendaulat dia sebagai "most wanted" untuk jadi pacar mereka. Alice geleng-geleng kepala saja melihat cewek-cewek itu.

Alice tersenyum sedikit hari itu, saat mengenang betapa cewek-cewek itu begitu ingin mendekati Tom, sampai mengikutinya sepanjang hari.

"Jangan melamun," ujar Tante Alia. Alice tersentak. Tapi jarinya masih bergerak sesuai irama lagu.

"Nah, seminggu lagi kamu tampil di gedung pertunjukan. Tante sudah suruh tetangga Tante mendaftarkan kamu di lomba itu, karena Tante setiap hari harus membimbingmu bermain piano, belum lagi les privat anak-anak lain, sehingga Tante tidak mempunyai banyak waktu," Tante Alia berkata seolah Alice-lah yang membuatnya tidak memiliki waktu luang.

Alice manyun.

"Apa? Lomba lagi? Tapi piala kamu kan udah banyak banget…" Tom melayangkan pandangan ke lemari kaca berisi piala-piala kejuaraan yang pernah Alice dapat. Mungkin ada sekitar seratus piala disitu.

"Kamu tahu kan Tante Alia, Ayah, dan Bundaku? Mereka pasti bakal kecewa kalau aku nggak ikut lomba itu. Lagipula aku udah latihan berbulan-bulan, percuma dong."

"Tapi, Alice…" Tom kelihatannya ingin sekali mencegah Alice mengikuti lomba itu.

"Nggak apa-apa kan, Tom?"

"Iya sih. Ya udah deh, selamat ya."

Alice tersenyum.

* * *

Hari perlombaan, Alice terlambat bangun.

"Bunda udah suruh Tante Alia ke gedung duluan. Ntar kamu nyusul aja sama Tyas," sahut Bunda.

"Hooh…." desah Alice lega.

Mobil Tyas melaju agak kencang menuju gedung pertunjukan. Semoga Tante Alia udah daftar ulang… gumam Alice.

Tante Alia terlihat agak suram hari ini, menunggu Alice di depan pintu aula tempat lomba itu.

"Tante… maaf, Alice tadi telat bangun… tapi belum sampai giliran Alice kan? Tante?" tanya Alice takut.

Anehnya, Tante Alia tidak marah, bahkan tidak menunjukkan sinar mata tajam yang biasanya.

"Memang belum sampai… dan tidak akan sampai…" kata Tante Alia.

"Hah? Apa mak…"

"Kamu tidak terdaftar sebagai peserta, Alice."

Alice kaget setengah mati.

"Nggak… terdaftar… jadi… peserta?"

Dia langsung berlari ke tempat pendaftaran. Tyas buru-buru mengejarnya.

"Permisi, Mbak… bisa tolong cek nama saya di daftar peserta lomba?"

"Ya… siapa nama Adik?" tanya panitia itu, sembari melihat daftarnya.

"Alice Tyara Putri."

"Alice Tyara Putri… hmmm. Aneh. Disini tidak ada nama itu. Apa Adik sudah mendaftar?"

"Coba cek lagi, Mbak…"

"Tidak ada sama sekali. Maaf…"

Alice merasa sekelilingnya menjadi hitam. Tyas menghiburnya.

"Alice… Tante yang salah. Anak tetangga Tante tidak pernah mendaftarkan kamu di lomba ini…" Tante Alia memeluk Alice erat.

Alice tidak bisa berbicara.

"Sekarang kita terpaksa hanya bisa menonton."

Alice, Tyas, dan Tante Alia menuju ke deretan tempat duduk penonton paling belakang.

Anehnya, Alice merasa ia rindu pada Tom. Kenapa dia tidak datang? Mestinya kalau dia tahu aku ikut lomba ini, dia datang kan?

Saat itu, Tom memang sudah datang. Tetapi, tidak sebagai penikmat musik klasik yang dimainkan di aula gedung.

Tom hadir sebagai peserta dengan nomor 16. Dia memainkan sonata Beethoven, Moonlight. Dengan sangat indah. Bahkan Tante Alia terhanyut.

Alice dan Tyas kaget berat melihat Tom. Apalagi Alice. Ketika Tom selesai memainkan pianonya, dia bangkit dari duduknya dan memberi hormat pada penonton, yang melakukan standing applause. Alice bertepuk tangan paling keras, berharap Tom mendengarnya, tetapi tempat duduk mereka memang terlalu di belakang, hingga Tom tidak melihat tiga orang yang dikenalnya disana, dan cowok itu langsung pergi ke belakang panggung.

"Pengumumannya besok," kata Tante Alia, menjawab pertanyaan Alice yang tak-terkatakan. Alice mengangguk cepat, matanya masih menatap pintu yang baru saja dilewati Tom.

Untuk mendapat jawaban yang memuaskan atas penampilan Tom di lomba itu, Alice pergi ke rumah Tom sore harinya. Entah sudah berapa lama dia tidak pergi ke rumah Tom, sampai dia lupa akan keadaan rumahnya. Sekarang sudah ada tanaman anggrek yang indah di halaman rumahnya.

Tom mendatangi Alice dengan senyuman.

"Hai."

"Hm."

"Jadi… gimana?"

"Lombanya? Aku nggak ikut, ternyata nggak didaftarkan."

"Bukan, maksudku anggreknya."

"Anggrek? Jadi itu kamu yang tanam?"

"Buat kamu."

"Buat aku?"

"Ya udah deh, ayo masuk."

Sekali lagi Alice melirik ke arah bunga-bunga anggrek indah itu.

"Kenapa kamu nggak bilang?" tanya Alice.

"Bilang apa?"

"Kalau kamu ikut lomba piano itu."

"Buat kamu."

"Apaan sih, buat aku-buat aku terus? Trus kok ada piano di ruang keluarga?"

Tom duduk di depan piano itu.

"Katanya kamu benci piano," kata Alice.

Tom tidak menjawab. Ia malah memainkan Für Elisè.

"Tom!"

"Kamu tahu lagu ini?" tanya Tom.

"'Für Elisè' kan?"

"Bukan. For Alice."

"For… for Alice? For me?"

"Ya, buat kamu… biar jadi kejutan aja."

"Ya ampuun, Tom."

"Kamu suka?"

Alice berhenti sejenak mengeluh.

"Suka."

Tom berhenti memainkan piano.

"Sukaaaaa banget."

Mereka tersenyum bersama.


R.A.

n.b. ini cerpen yang saya bikin waktu kelas dua SMA, kalau tidak salah, jadi harap maklum kalau lagu-lagu yang saya sebutkan dalam cerpen ini tergolong 'jadul', haha. Menurut saya, cerpen ini: kebanyakan dialog, klimaksnya kurang greget, dan begitu banyak kekurangan pada cerpen ini. ==' Well, at least, masih bisa dibaca. :))

0 komentar:

Posting Komentar