Kata Hati (III)
Salam, Pembaca!
Ini salah satu khayalan saya tentang 'bicara dengan pribadi yang lain'.
Happy reading! :))
>>
Sudah terlalu lama aku sendiri.
Dan kupinta suara hati untuk datang menemani, karena tak kunjung datang orang yang kunanti.
Suara hati: Ada apa?
Aku: Hmm... hanya bertanya-tanya apakah saat ini kau yang satu lagi sedang melakukan tugasnya.
Suara hati: Memangnya kenapa? Apa kau kecewa? Sakit hati? Berduka?
Aku: Kecewa sih, tidak... hanya saja... aku bertanya-tanya.
Suara hati: Tentang kenyataan yang harus kau hadapi?
Aku: Ya.
Suara hati: Tentang teman-temanmu?
Aku: Mmm. Entahlah. Mungkin iya. Mungkin tidak.
Suara hati: Berarti iya. Kalau bukan, pasti kau langsung bilang tidak. Bukan mungkin.
Aku: Haha. Permainan kata-kata yang sangat indah.
Suara hati: Benar. Jadi, apa masalahmu sekarang?
Aku: Aku... tak tahu. Seorang teman pernah berkata padaku bahwa kalau aku mesti berpisah dengan dengan teman-temanku, aku tak boleh menangis.
Suara hati: Betul. Itu bukan akhir dari segalanya. Sebab teman sejati tidak akan melupakan temannya. Ia pasti akan selalu sayang pada kita. Dan kita harus percaya itu.
Aku: Ya. Aku mencoba untuk percaya. Tapi, sulit. Sulit sekali.
Suara hati: Mengapa sulit? Kau belum mencoba.
Aku: Aku sudah percaya! Aku sudah yakin akan hal itu, sepenuh hatiku, bahwa aku masih punya teman yang tidak akan melupakan aku!
Suara hati: Itu betul!
Aku: Tapi, hanya aku yang yakin. Aku tak tahu kalau mereka nanti melupakan aku. Aku tak tahu apakah mereka masih menyayangiku. Aku tak tahu! Aku memang menganggap mereka berharga. Sepenuhnya. Dan aku menyayangi mereka! Tapi apa mereka juga menyayangi aku? Aku menganggap mereka sebagai bagian hidupku. Aku menganggap kenanganku dengan mereka itu penting. Tapi apa mereka juga merasakan hal yang sama denganku?
Suara hati: Itukah sebabnya kau kecewa?
Aku: Ya. Lebih baik merasa kecewa sekarang daripada nanti.
Suara hati: Dengar. Kau harus percaya mereka. Kalau kau tidak percaya bagaimana mereka bisa mempercayaimu?
Aku: Aku mencoba! Aku sudah yakin seyakin-yakinnya. Tapi aku juga tidak mengabaikan fakta yang terpampang untuk kesekian kalinya di hadapanku.
Suara hati: Aku mengerti. Memang sakit sekali rasanya kalau tidak dianggap, bahkan oleh orang-orang yang selama ini kita anggap teman.
Aku: Dan benar kata Jodie Santemillion. Jangan terlalu sering mengandalkan orang. Sebab, suatu saat mungkin sudah tak ada lagi orang yang bisa kita andalkan.
Suara hati: Kau tidak mengandalkan orang. Kau butuh tempat untuk bersandar.
Aku: Kursiku empuk begini. Enak untuk bersandar.
Suara hati: Memang. Dengar, kau sudah terlalu lama menyimpan semua perasaan sakit itu. Kalau dibiarkan, nanti hatimu berlubang.
Aku: Haha. Betul sekali. Tidak enak rasanya. Kau tahu, orang yang tertawa, terlihat tegar di luar, sebenarnya memendam masalah yang jauh lebih berat daripada orang-orang yang menangis-nangis di luar.
Suara hati: Iya, kau betul. Begini, kau seharusnya pergi sendirian ke sebuah tempat sepi, jauh dari peradaban. Disana, berteriaklah sesukamu, menangis. Sampai kau merasa lega.
Aku: Heh. Dimana ya, ada tempat seperti itu. Kalau ada, sudah sejak dulu aku menyambanginya setiap saat untuk berteriak.
Suara hati: Entahlah. Tapi, aku tahu, kau tipe orang yang malas menunjukkan kesedihanmu, bermuka cemberut setiap saat, menangis kepada semua orang, berkoar-koar tentang masalahmu, berkeluh kesah kepada semua orang.
Aku: Memang betul. Soalnya, tak kan ada yang peduli kalau aku menangis. Jangankan menangis, aku sakit pun tak akan ada yang percaya. Karena ya itu tadi, aku selalu tertawa dan heboh. Jadi sekalinya aku beda, pasti dianggap bercanda.
Suara hati: Hah. Dasar tukang bohong.
Aku: Haha. By the way, terima kasih sudah menemaniku.
Suara hati: Always. Aku akan selalu muncul kapanpun kau merasa butuh aku.
Aku: Baik sekali.
Suara hati: Bukankah itu yang kau harapkan? Seseorang yang muncul tepat saat kau sedang butuh perhatian. Seseorang yang bisa diandalkan.
Aku: Ya, kau benar. Sedih sekali ya, kalau hanya sendiri. Untung ada kau.
Suara hati: 'Sendiri' dalam hal apa? Maksudmu, kau juga ingin dicintai?
Aku: Dan mencintai. Hubungan timbal balik. Yang berkelanjutan. Tapi, pasti susah sekali mencari yang seperti itu, yang tulus. Karena cinta.
Suara hati: Mencintai itu memang sulit kalau kita belum menyayangi.
Aku: Kau bijak sekali.
Suara hati: Trims. Hei, dengar. Jangan biarkan perasaanmu tadi menjadi kekhawatiran tak beralasan, oke?
Aku: Hah? Tentu saja, kau pikir aku tak tahu bagaimana perasaanku sendiri?
Suara hati: Hanya sebuah nasihat...
Aku tersenyum pada matahari yang bersinar terik, meskipun aku mesti mengernyit memandangnya.
17 April 2010
0 komentar:
Posting Komentar