Salam, Pembaca!
Lagi-lagi ini salah satu copas saya dari note di FB. Sebuah prosa yang agak tidak jelas menurut saya.
Tapi, Happy reading! :))
>>
Gadis itu tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah ditemui Grey.
Namanya Jihan. Rambutnya coklat bergelombang, wajahnya menyiratkan kelembutan. Dia gadis yang menarik menurut Grey, kalau saja tubuhnya tidak sekurus itu.
Setiap senja tiba Jihan selalu duduk di ayunan di halaman belakang rumahnya, menatap siluet senja yang mengesankan. Dan Jihan tak pernah tahu bahwa ada yang selalu memperhatikannya setiap dia berayun pelan di ayunannya.
Grey selalu mengawasinya, dari tembok yang memisahkan rumah mereka berdua. Grey belum pernah bicara dengan Jihan – berkenalan saja belum. Grey hanya tahu Jihan adalah anak tetangga sebelah rumahnya, yang, berbeda dari gadis-gadis lain pada umumnya yang pernah ditemui Grey.
Gadis-gadis lain memuja Grey begitu besar.
Misalnya saja Clara, dia selalu menggaet Grey kemanapun Grey pergi setiap mereka berpapasan. Atau Julie, yang memastikan mengajaknya bicara kapanpun dia bertemu di sekolah. Dan Grey masih belum bisa melupakan kecupan manis Fina di pipinya sewaktu Grey membantunya mengangkat meja.
Bukan salah Grey kalau dia diciptakan begitu memesonakan gadis-gadis di sekolahnya – di sekitarnya. Dia tercipta begitu rupawan; matanya yang tajam, itulah magnet utamanya. Juga rambut ikalnya yang selalu berantakan. Senyumnya yang renyah.
Intinya: Grey tampan.
Entah kenapa Grey merasa Jihan berbeda. Sekali dua kali Grey membatin, apakah Jihan bersikap biasa padanya karena Jihan belum sekalipun melihat Grey. Grey mencoba membuktikan teori ini dengan melewati rumahnya waktu Jihan sedang duduk di teras rumah. Tapi Jihan bahkan tidak melihat Grey, dia lebih tertarik pada kupu-kupu yang hinggap di bunga anggrek yang ditanam mamanya.
Grey sudah lama tertarik pada Jihan yang bahkan tidak mengenalnya. Mereka tidak satu sekolah. Grey mendengar bahwa kondisi Jihan rapuh, sehingga dia harus belajar di rumah. Grey juga tahu kalau Jihan sehari-harinya hanya ditemani oleh pengasuh – pelayannya, karena kedua orangtuanya sibuk bekerja.
Grey sadar Jihan kesepian.
Maka dari itu Grey selalu mengamati Jihan setiap sore, setiap hari, hanya untuk memastikan Jihan baik-baik saja, dan Grey berharap dengan memandanginya, Jihan bisa sadar kalau ada orang yang selalu memperhatikannya.
Grey tak pernah tahu alasan mengapa Jihan selalu duduk tiap senja di ayunan di bawah pohon di halaman belakang rumahnya. Grey hanya tahu pemandangan itu memilukan. Setiap sore pemandangan yang dilihat Grey sama; Jihan yang tersenyum sedih ke arah matahari terbenam.
Suatu sore yang seperti biasa, Grey melongok ke halaman belakang Jihan. Gadis itu tak ada di ayunannya.
Grey mengira Jihan memutuskan untuk beristirahat lebih awal. Mungkin Jihan kelelahan setelah belajar hari itu.
Tapi sore berikutnya, dan sore selanjutnya lagi, Grey tak melihat Jihan lagi di ayunannya.
Akhirnya Grey memutuskan untuk memberanikan diri bertandang ke rumahnya, tapi, hanya untuk bertanya. Pelayan Jihan memberitahu Grey bahwa Jihan jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama seminggu.
Maka Grey pun menunggu, dan menunggu sampai minggu yang dijanjikan tiba.
Dan ketika saat itu tiba, betapa leganya hati Grey melihat gadis itu kembali duduk di ayunan di halaman belakang rumahnya, kembali memandang senja. Grey mengawasinya dengan penuh perhatian, dan sadar bahwa Jihan membawa sebuah buku. Grey menebak itu adalah buku harian Jihan.
Hari demi hari berlanjut, sore demi sore berganti, dengan Grey menghabiskan waktu mengawasi Jihan berayun-ayun pelan di ayunannya. Seiring bergantinya hari, Grey sebenarnya tidak cukup puas dengan hanya memandangnya. Tapi, Grey ternyata tak pernah punya cukup keberanian untuk mengutarakan perasaannya.
Grey memperhatikan bahwa Jihan sekarang sering sekali membawa buku hariannya ke ayunan dan menulis dengan serius disana. Apa yang kira-kira ditulisnya? Pikir Grey.
Grey setengah berharap, harapan yang gila, bahwa Jihan menulis sesuatu tentang dirinya. Tapi pikiran konyol itu segera ditepisnya, karena bagaimanapun Jihan tak kenal dia, tak tahu bahwa Grey selalu memperhatikannya.
Pada suatu hari di sore yang sama, Grey melihat Jihan menangis. Jihan menangis tak terkendali, air matanya mengalir terus, terisak-isak, tersedu-sedu, dan Grey merasa jahat membiarkannya menangis sendirian. Grey ingin sekali menghiburnya.
Tapi yang bisa dilakukan Grey hanyalah diam, mendengarkan isakan pelan Jihan. Isakan yang mengiris-iris hatinya, yang tak bisa melakukan apa-apa. Entah kenapa Grey merasa tak berani untuk mendekat Jihan. Ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang kalau dilanggar akan membuat hal yang buruk terjadi.
Hari itu Grey pulang sekolah seperti biasa, mengendarai mobilnya, mobil yang disukai gadis-gadis teman-temannya. Mobil yang kadang – sering mondar-mandir keliling kota karena Grey mengantar teman-temannya. Bukannya Grey tak bisa menolak, tapi teman-teman perempuannya itu kadang memohon dengan begitu memelas dan kadang alasannya logis juga. Grey memang tak begitu peka perasaan orang lain.
Di perjalanan yang biasa, Grey melihat dari kejauhan, asap hitam tebal yang membubung tinggi. Penasaran dengan apa yang terjadi, Grey memilih jalan yang menuju asap itu, meski bukan jalan itu yang biasa dia lalui untuk pulang ke rumah.
Grey melihat sebuah kebakaran. Jalan di sekitarnya sudah ramai orang – tapi tak ada yang berani melihat cukup dekat, karena rupanya yang terbakar adalah sebuah mobil. Orang-orang takut mobil itu meledak (lagi).
Grey memarkirkan mobilnya agak jauh dari lokasi. Dia berjalan menuju kerumunan orang, dan bertanya pada seorang pemuda. Pemuda itu bilang mobilnya tiba-tiba meledak. Tak diketahui penyebab ledakan itu, karena tak ada saksi mata saat kejadian itu terjadi, untunglah, jalanan sepi.
Dan ketika Grey bertanya siapa penumpang mobil itu, pemuda itu menjawab, “ada satu laki-laki, seorang perempuan muda, dan satu lagi gadis yang tampaknya sakit-sakitan. Mereka sekarang dibawa ke rumah sakit.”
Grey takut apa yang dikhawatirkannya terjadi. Dia segera berlari menuju tempat mobilnya diparkir, mengendarainya dengan cepat, tidak menuju rumah sakit, tetapi pulang ke rumahnya. Dia harus mengecek apakah yang dicemaskannya benar-benar terjadi.
Dia mengemudi dengan brutal. Kekhawatiran yang besar melandanya seperti tsunami.
Dan begitu Grey pulang ke rumah, dengan segera ia mengecek ke tembok sebelah.
Gadis itu tidak ada.
Grey kalang kabut. Dia berlari, terengah, menggedor – bukan mengetuk, pintu rumah Jihan.
Yang membukakan pintu adalah seorang pelayan yang tidak dikenal Grey.
Panik-cemas-takut-gelisah, semuanya berlomba mencuri perhatian Grey. Dia bahkan tidak berusaha menenangkan dirinya saat bertanya pada pelayan yang tidak dikenal itu.
Kemudian, tepat setelah Grey mengucapkan kata terakhir dalam pertanyaannya, terdengar bunyi kursi roda.
Dan Jihan duduk diatasnya, tak kurang suatu apapun.
*maaf kalau agak geje, apalagi kegejeannya sampai sepanjang ini. -______-
0 komentar:
Posting Komentar