"Kau pulang jam berapa nanti?" tanya Jayden saat dia menurunkanku di depan pintu gerbang tempat lesku.
"Jam satu, kenapa?" tanyaku. "Kita masih bisa nonton Indonesia Open kan."
"Benar. Oh, dan aku tidak mau membawa cemilan lagi. Kau harus masak," kata Jayden memaksa.
"Apa? Kau bercanda. Tidak ada apa-apa di rumah. Kau tahu itu."
"Bohong ah, kau dan Mama tadi belanja banyak kan."
"Itu kan persediaan untuk makanan berat. Bukan cemilan," kataku lagi.
"Tidak adakah yang bisa kau lakukan untuk teman sepermainanmu ini?" tanya Jayden memelas. "Kau tahu, aku sudah entah-berapa lama tidak makan..."
"Sejak zaman Belanda?" kelakarku. Aku sudah hafal sekali candaan Jayden yang seperti ini. "Kalau tidak salah tadi aku membeli beberapa kentang..."
"Naaaah, sip. Kita buat french fries," sahut Jayden, seolah itu menyelesaikan segalanya. “Biar kubawa smoked beef dari kulkas di rumahku. Mama tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan smoked beef itu," ujar Jayden, "jadi Mama bilang aku boleh melakukan apa saja dengannya."
Aku tertawa. "Mama tak tahu apa yang harus dilakukannya?"
Jayden mengangkat bahu. "Mamaku tak bisa masak yang aneh-aneh, kau lupa?"
"Oh, yeah," ujarku, masih tertawa. "Kau punya mayonaise?"
"Punya. Tapi aku tak punya keju."
"Baiklah, aku punya kok. Masih ada setengah sisa donat kemarin."
Jayden membuka mulutnya, tapi dia tak jadi bicara karena seorang gadis baru saja turun dari limo hitam. Azka berseri-seri melihatku. "Hai, Kyra. Dan kau pasti Jayden," katanya, memandang Jayden.
Aku dengan segera mengalihkan pandanganku pada Jayden. Kalau harus menggambarkan ekspresi yang timbul di wajahnya, aku akan memilih terkejut dan senang.
"Halo. Ini pertama kalinya aku melihatmu di luar sekolah, kan? Dan ini juga pertama kalinya kita berkenalan," kata Jayden. Aku kagum padanya – dia berhasil menyembunyikan rasa terkejut sesaatnya dengan cepat. "Jayden. Kau pasti..."
"Azka," ujar Azka, tersenyum. Lalu ia berbalik memandangku. "Oh, Kyra, kau tak akan percaya ini. Aku sudah tak sabar ingin menceritakannya padamuu."
Aku melirik Jayden. "Jadi, Jayden, jam setengah dua kau ke rumahku saja," kataku, agak keras, karena Jayden masih memandangi Azka meskipun dia sudah tidak melihat Jayden lagi. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat, lalu dia membuat sinyal mata padaku, yang kurasa itu berarti kenapa-kau-merusak-pemandanganku ketika Azka sedang melihat ke arah lain. Aku mengirim sinyal mata pada Jayden, yang kuharap berarti sudahlah-lekas-pergi-kami-akan-masuk. Rupanya dia menyadarinya, karena dia berkata, "Baiklah, kau pulang jam satu kan? Belajarlah dengan baik," dia mengacak rambutku ketika Azka menggandeng lenganku – Azka pasti melihat gerakan Jayden tadi, karena alis matanya terangkat, dan dia tersenyum aneh. Jayden terlihat salah tingkah.
"Hati-hatilah di jalan!" teriakku waktu Jayden meluncur menjauhiku. Dia mengacungkan jempolnya.
"Dia lucu, ya?" Azka tersenyum padaku.
"Oh, yeah, dia selalu begitu," ujarku gusar, seraya merapikan rambutku. "Ayo kita masuk kelas."
Azka masih memandangi jalan yang bebas-Jayden. Aku menariknya ke dalam.
"Jadi apa yang mau kau ceritakan?" tanyaku.
Azka terlihat sedang melamun, tetapi dia langsung menoleh mendengar pertanyaanku. "Oh, ya, benar. Mama mengganti uangku yang kubelikan buku samurai kemarin itu."
"Benarkah?" kataku riang. "Wah, kau beruntung sekali."
Azka mengangkat bahunya, tersenyum. "Yeah. Aku menceritakannya waktu makan malam – aku sama sekali tak minta ganti, padahal – dan Mama langsung mengambil uang di dompetnya dan memberikannya padaku."
"Baguslah. Kau tak perlu khawatir akan mati kekurangan makanan minggu ini," candaku. Meskipun secara teknis, yah, Azka tak akan mati kelaparan. Mamanya selalu memastikan perut Azka penuh sebelum ke sekolah.
"Nah, kalau begitu, ayo kita beli biskuit di mini market sebelah," Azka menarikku ke mini market di sebelah tempat lesku.
"Sudah kubilang aku tak punya uang lagi," kataku cemberut. "Mama mewanti-wantiku agar berhemat."
"Oh, ayolah..." pinta Azka manja. Dia tampak berpikir. "Kalau begitu kau masuklah dulu ke dalam. Aku hendak membeli sesuatu."
Dan aku pun masuk ke lobby, sementara Azka pergi ke mini market.
Beberapa anak perempuan teman les kami sedang ngerumpi di sofa. Salah satunya, kulihat, adalah Tiara, teman Azka sejak SMP. Dia juga kebetulan adalah pacar Kiki, teman dekatku juga, yang dulu kami sekelas di kelas sepuluh. Namun entah kenapa akhir-akhir ini dia lebih sering bicara dengan Azka dibandingkan denganku; kira-kira sejak dia pacaran dengan Tiara deh. Mungkin dia bicara tentang Tiara. Mereka sering sekali bertengkar, dan sering sekali mengumbar kemesraan. Aku sampai heran.
Tiara memanggilku. "Kyra. Azka mana?" tanyanya, melihat ke belakangku seolah aku sedang menyembunyikan Azka dari pandangannya.
"Di mini market sebelah..." gumamku, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Tiara. "Sedang membeli sesuatu."
Tiara menaikkan alisnya, lalu mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. "Halo, Sayang? Iya, aku sudah di tempat les. Cepatlah datang." Lalu mukanya berubah merah, dan dia berbisik, yang sayangnya masih bisa terdengar olehku, "love you too."
Aku berpura-pura tidak mendengar percakapan itu dan menguap. Setelah kulirik Tiara dan dia sudah terlihat biasa saat memasukkan ponsel ke saku celananya, aku bertanya. "Pelajaran apa hari ini?"
"Oh, Biologi dan Matematika," jawabnya.
Aku mengeluh keras-keras. "Huh. Tepat seperti yang aku butuhkan. Lebih banyak kebosanan."
Biologi adalah pelajaran yang tidak kusukai – atau kupikir tidak kusukai, karena tampaknya separuh isi kelas menyukai guru Biologi di tempat les kami. Bagiku guru itu membosankan. Cara ngomongnya itu lho, cobalah kau menghitung berapa menit yang dia butuhkan untuk membaca satu kalimat saja. Tapi anak-anak perempuan menyukainya karena dia cakep. Biasanya aku tertidur di belakang kelas kalau guru Biologi masuk.
"Kenapa sih kau tidak suka PakTyo?" tanya Tiara. "Dia kan cakep."
"Aku tidak menyukai suatu pelajaran hanya karena gurunya cakep, Tiara," ujarku.
Saat itu Azka masuk bersama Kiki, yang tampaknya terlibat pembicaraan serius. Tiara langsung melompat berdiri dan memeluk Azka – perhatikan: memeluk Azka, bukan Kiki – lalu berpaling ke arah pacarnya. Aku memejamkan mataku dan sesaat tidak bisa mendengar percakapan mereka.
"Nanti kita makan siang dimana?" tanya Tiara, sepertinya pada Kiki. Aku membuka mataku.
Kiki mengernyitkan dahinya. "Di Sasha’s saja?"
"Bagus," kata Tiara senang. "Kita bisa pesan sup asparagus disana. Enak sekali. Kau mau ikut tidak?" tanyanya pada Azka.
"Er," gumam Azka, dan aku berpura-pura tidak melihat kerlingan matanya padaku. Aku berpura-pura sibuk dengan brosur-brosur di atas meja. Tapi aku bisa mendengar Azka menolak ajakan itu.
Tak lama kemudian Azka duduk di sampingku.
"Kau tidak ikut bersama mereka?" tanyaku, mengacu ke Tiara dan Kiki yang sambil tertawa-tawa menuju ke kelas yang akan kami gunakan untuk belajar nanti.
"Eh, tidak," kata Azka. "Aku makan siang di rumah saja."
Aku perhatikan selama kami les di masa liburan ini, Tiara dan Kiki sering sekali pergi sepulang les untuk makan siang di restoran atau cafe. Atau mereka berjalan-jalan ke mall atau butik. Kadang mereka mengajak Azka untuk pergi bersama mereka. Mereka tak pernah mengajakku. Saat Tiara bicara pada Azka dengan semangat tentang rencana jalan-jalannya bersama Kiki, tak jarang Kiki mencuri-curi pandang padaku, tampak merasa bersalah. Kalau kulihat dari ekspresinya, dia ingin mengajakku, tapi tak punya keberanian untuk mengajakku di depan pacarnya sendiri. Di saat seperti itu aku biasanya menampakkan ekspresi ada-apa-sih? pada Kiki. Kiki biasanya mengerti dan dia mengangguk ke arah Tiara yang sedang berpaling. Aku membulatkan mulutku dan berkata tanpa suara, "tak apa-apa". Dan Kiki membuat anggukan kecil yang kurasa hanya aku yang bisa melihatnya, ditambah bisikan kecil, "maafkan aku!".
"Lagipula, mereka mau pergi ke toko buku yang kemarin kita kunjungi," kata Azka. "Sudahlah. Ini, lihat aku bawa apa..."
Azka membuka bungkusan yang dibawanya. Ada dua buah es krim, sekotak biskuit coklat, sebungkus besar keripik kentang, dan sebotol besar teh hijau.
"Wow. Kau lapar?" tanyaku terkagum-kagum.
Azka mengangguk, lalu nyengir. "Aku cuma makan sedikit pagi tadi. Bubur, kau tahu? Aku tak suka."
"Well, kau kan bisa menyuruh seseorang masak yang lain?"
"Tak ada orang di rumah. Aku bangun telat," tutur Azka. "Pembantuku sedang ke pasar. Di meja hanya ada note dari Mama; hangatkan bubur di microwave, katanya."
"Oh," gumamku. "Tak ada sesuatu di kulkas?" tanyaku.
"Kayaknya ada sosis."
"Oh," gumamku lagi. Aku tak bertanya lebih lanjut.
"Ayo kita makan," ujar Azka senang, membuka es krimnya. "Ini untukmu," katanya, memberiku sebungkus es krim.
"Tak usah," tolakku halus.
"Ayolaaah. Aku tak punya seseorang untuk berbagi di rumah," kata Azka.
Aku nyengir. "Trims," kataku, lalu kami berdua menyantap es krim itu di lobby.
Beberapa orang cowok masuk sambil tertawa tak jelas. Salah satu dari mereka mengenali aku, dan nyengir, lalu mengepalkan tangannya seolah hendak menumbukku. Aku membalas tersenyum, lalu menumbuk kepalan tangannya.
"Lagi pesta nih," sindir David, cowok yang tadi kutumbuk, mengambil kursi di meja informasi, lalu duduk di depanku dan Azka. Fathir menjatuhkan diri di sofa, di sebelahku, menguap lebar-lebar. Arjuna memilih tempat di sebelah Fathir, berusaha tidak mengganggu cewek-cewek yang sedang bergosip ramai di sebelah kanannya. Tak lama kemudian cewek-cewek itu terdiam dan menyadari bahwa Fathir sudah datang. Cowok itu memang punya banyak pengagum rahasia. Cewek-cewek itu lalu berbisik-bisik penuh gairah dan terkikik senang. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas mereka langsung pergi ke kelas sambil mencuri-curi pandang ke arah Fathir, yang tak memedulikan mereka, karena dia sedang bersandar di sofa sambil tidur-tidur ayam. Benar saja, karena tak lama kemudian terdengar dengkurannya dan kepalanya jatuh di bahuku. Aku mendorong kepalanya ke arah bahu Arjuna, yang selalu sibuk dengan komputer sakunya.
Arjuna menoleh ke arahku. "Hei, Kyra, kenapa kau mendorongnya ke arahku?"
"Aku sedang sibuk, Jun."
"Bangunkan dia, kita sebentar lagi masuk."
Aku dan Azka mengeluh keras. Biskuit cokelat yang sedang kami makan masih tersisa banyak; padahal David sudah membantu kami.
Dua orang cowok masuk lagi melalui pintu depan. Itu Nino dan Arkaz. Anak kembar yang sama-sama cakep. Aku mengakui mereka cakep, aku juga mengakui Fathir cakep, tapi perasaanku kepada mereka ya hanya sebagai teman. Aku menyukai mereka sebagai teman. Lagipula Arkaz, seperti yang sudah diketahui semua orang, naksir berat pada Azka. Dia merasa ada takdir yang seharusnya terjadi antara mereka, seperti nama mereka yang mirip. Aku terus-terusan bilang padanya bahwa itu konyol. Arkaz dan Azka, kan beda sekali.
"Hai, Azka sayang..."
"Jangan panggil Azka sayang!" teriakku.
Semua orang tertawa.
Nino melihat kotak biskuit cokelat yang ada di meja. "Minta satu," katanya. Azka mengangguk.
"Hei, Glenn datang!" seru David, melihat dari pintu kaca lobby. Kepala Fathir terkulai ke bahuku lagi saat Arjuna berdiri.
"Oh, ayo kita sambut dia," kata Arjuna senang.
David, Arjuna, Nino, dan Arkaz sudah berbaris seperti pagar bagus di sisi kanan dan kiri pintu masuk.
"Selamat datang, Pak Glenn..." mereka membungkuk saat Glenn masuk – pintunya dibukakan oleh Nino dan Arkaz.
"Anda mau minum apa, Pak? Kopi? Teh? Jus? Atau es krim?" tanya David gembira, menyorongkan nampan yang tidak kelihatan kepada Glenn, yang tampak malu.
"Teman-teman," gumam Glenn. "Kalian tidak perlu..."
"Pak, rencana bulan ini sudah saya susun," aku ikut-ikutan berdiri menyambut Glenn dengan buku les di pelukanku – aku membiarkan Fathir meringkuk di sofa, sementara Azka terkikik. "Dan laporan sudah saya minta Arjuna mengetiknya," kataku, mengangguk kepada Arjuna, yang dengan semangat membuka komputer sakunya.
"Ini, Pak, catatan dan laporan kampanye bulan lalu yang sukses kita laksanakan..." Arjuna menunjukkan layar komputernya, yang kosong. "Untuk kampanye bulan depan, saya rasa..."
"Kalian tidak bisa berhenti, ya?" teriak Glenn kesal. Aku dan Azka tertawa-tawa di sofa. David sampai terbungkuk-bungkuk. Nino dan Arkaz tertawa sambil berhigh-five.
Arjuna menepuk bahu Glenn, kentara sekali menahan tawanya agar tidak tersembur keluar. "Santai, kawan," katanya. "Ini cara kami merayakan kegembiraan teman kami yang ayahnya sukses mengadakan kampanye kemarin..."
Ayah Glenn, yang gemar sekali tertawa itu, baru-baru ini mengajukan diri menjadi bakal calon legislatif. Beliau berhasil menyingkirkan belasan orang lainnya pada seleksi pertama dan bulan lalu beliau menggelar kampanye yang sukses besar. Kini wajah riang ayah Glenn sering kulihat di spanduk-spanduk di sudut-sudut kota, di depan tempat les, juga. Kami sering sekali mengganggu Glenn dan menyindir-nyindirnya; di tempat les, di sekolah, bahkan waktu latihan band.
"Trims," kata Glenn, yang masih cemberut. "Tapi kan tidak begini caranya..."
Aku memandang berkeliling. Selain kami, ada segerombol anak SMA lain di lobby itu. Mereka memandang kami ingin tahu. Dua orang cewek berbisik-bisik seru sambil melihat Fathir yang terlelap di sofa. Aku nyengir.
"Hei, sudahlah," kata Azka, melihat wajah suram Glenn yang memandangi David yang masih tertawa. "Ayo kita masuk."
"Ayo, Azka," Arkaz mengulurkan tangannya, berharap Azka menyambut dan menggandengnya. Azka nyengir, lalu meraih tangan Arkaz, yang langsung ditumbuk bahunya oleh Nino. "Argh," gumam Arkaz, mengusap bahunya. Azka dan aku bertatapan, dan aku bisa melihat dia tersenyum pasrah. Mereka lalu pergi.
"Yuk," Glenn mengajakku.
"Sebentar," aku menoleh ke sofa, mencari tasku, yang sudah tidak ada. "Lho?"
"Mencari ini?" tanya David dari belakangku, dan tasku ada dalam genggamannya. "Nih," dia menyodorkannya padaku.
Sedetik kemudian aku tahu bahwa dia tidak menyodorkan tasku padaku, tapi membiarkan tasku direbut Nino yang langsung berlari menyusuri koridor sambil tertawa.
"HEI!" teriakku.
David menepuk punggungku. "Sori," katanya nyengir.
Aku manyun. "Sisakan bangku untukku!" teriakku, sebelum David menghilang di ujung lorong. Aku sempat melihat jempol tangannya teracung.
"Jun, kau tidak ikut?" tanya Glenn, yang sudah tidak marah lagi. Arjuna sedang sibuk mematikan komputer sakunya, bergumam singkat, yang aku tak bisa mendengarnya. "Ayo kita pergi," Glenn mendorongku agar berjalan lebih cepat di koridor.
"Tunggu, si Fathir gimana?" tanyaku.
Tepat saat aku selesai mengatakan itu, terdengar suara Fathir meraung dari lobby. "WHOI!"
Tak lama Arjuna menyusul kami ke koridor. "Aku menggebuknya dengan tas," katanya cepat. Lalu dia melesat pergi.
Fathir sampai ketika kami masih asyik tertawa. "Mana dia? Mana Jun? Mana tasku?"
"Dia sudah kabur," jelasku.
"Kita bareng saja," ajak Glenn.
Fathir masih terlihat kesal karena Arjuna menggebuknya.
"Akan kubalas Jun," gumamnya. "Kutunggu dia di perempatan nanti..."
"Untuk apa? Kau mau traktir makan?" tanyaku. "Aku mau ikut."
Fathir menatapku, wajahnya terlihat lelah.
Aku hanya bisa mengacungkan jari telunjuk dan tengahku. "Peace."
* * *
bagus nih, ntik.. :)
BalasHapusayo, mana chapter lima nya?cepetaaan udah ga sabaaar! hehe :D
haha elaa elaa. bentar yaaa.
BalasHapus