Salam, Pembaca!
Saya baru sadar bahwa ini sudah part ketiga, tapi Sonya dan Eri masih belum bicara, haha. Saya memang suka mengulur waktu ==' mohon jangan ditiru. Oke, di fanfiction part tiga ini saya (AKHIRNYA) memasukkan tokoh - atlet - yang sangat dicintai para pembaca, dan dicintai oleh saya juga. Hahaha. XP
Happy reading! :))
>>
Perjalanan Sonya dan Eri ke halaman belakang tempat latihan tidak diwarnai dengan pembicaraan. Mereka berjalan dalam hening. Eri terlalu sibuk memikirkan topik apa yang bisa dibahas dengan mantan pacarnya yang berubah jadi sinis itu. Sonya sama sekali tak mau memecah keheningan dengan pembicaraan tertentu.
Akhirnya mereka tiba di halaman yang mirip taman itu - ada beberapa bangku panjang untuk bersantai (sekali lagi saya tak tahu bagaimana gambaran lingkungan pelatnas, ini hanya khayalan saya, red). Mereka berhenti berjalan. Sonya tidak duduk, dan rupanya Eri juga lebih memilih untuk bicara sambil berdiri.
Mereka berdiri berhadapan. Sonya melipat lengannya, memandang Eri, menunggu.
Sonya tidak menunggu terlalu lama. "Aku minta maaf," kata Eri, dan dia kelihatan sungguh-sungguh.
Ekspresi Sonya masih datar.
"Benar-benar menyesal aku meninggalkanmu seperti itu," gumam Eri lagi. "Sebut saja aku kejam, tidak berperikemanusiaan, jahat, brengsek, apalagi yang ingin kamu sebutkan."
Sonya tidak memandang Eri lagi. Lengannya juga sudah tidak terlipat.
"Sejak ketemu Airin dan bercerita kepadanya tentang semua hal yang terjadi, aku pun sadar aku salah. Dia memaksaku untuk meminta maaf kepadamu." Eri meneruskan.
Sonya nyaris tak tahan lagi. Matanya mulai hangat, hanya tinggal menunggu waktu untuk air matanya mengalir. Dia terus menunduk menatap tanah.
"Dan aku benar-benar minta maaf untuk semuanya. Sonya..."
Panggilan atas namanya mendesak Sonya untuk memandang Eri. Eri agak sedikit kaget melihat mata Sonya digenangi air mata.
"Aku... masih menyayangimu."
Sonya masih mencoba bertahan.
"Maukah kamu pacaran denganku lagi?"
Kali ini Sonya benar-benar membiarkan air matanya turun membasahi pipinya tanpa bersusah payah mengusapnya.
"Lagi, kamu bilang?" bisik Sonya pelan.
Eri terlihat cemas.
"Kamu pikir bagaimana perasaanku saat itu? Kamu kira aku bisa terima dengan logika bahwa kamu memutuskanku dengan alasan yang tidak jelas, lalu kamu menghilang begitu saja? Kamu tidak merasakan perasaanku, kan, waktu aku memintamu untuk kembali jadian? Dan sekarang, setelah lima tahun berlalu, kamu baru sadar kamu salah? Kemana kamu selama lima tahun ini?" ujar Sonya, suaranya bergetar penuh kemarahan.
"Aku..."
"Kamu datang tiba-tiba dengan Airin, kamu kira bagaimana perasaanku? Kalau kamu tidak ketemu Airin, kamu nggak akan pernah bilang kamu menyesal, kan?" sela Sonya marah.
"Sonya, aku minta maaf. Aku betul-betul minta maaf," kata Eri.
"Minta maaflah pada Airin!" bentak Sonya. "Dan jadianlah dengannya! Dia begitu berharga untukmu, kan! Dia yang sudah menyadarkan kamu kalau kamu salah!"
Eri memandang Sonya.
"Lima tahun aku menunggu! Lima tahun aku terus dibayangi rasa penasaran! Lima tahun aku terus memikirkan kenapa kamu memutuskanku dengan cara begitu! LIMA TAHUN, Eri, aku memikirkan kenapa kamu menghilang begitu saja!"
"Begitupun aku, Sonya! Aku menyimpan rasa bersalah ini selama lima tahun!"
"Kamu bahagia dengan Airin!"
"Aku lebih bahagia dengan kamu!"
Kalimat terakhir menusuk hati Sonya. "Seandainya kamu katakan ini lima tahun yang lalu," gumam Sonya, air matanya berderai. "Aku masih bisa tolerir."
Eri menunggu.
Sonya menguatkan diri untuk bicara. "Tapi sekarang seharusnya kamu tahu," kata Sonya lagi, "kamu sudah terlambat selama lima tahun."
Eri membuka mulutnya, tapi Sonya mengangkat tangannya.
"Aku tidak mau dengar alasan lagi," gumam Sonya.
Dan dengan itu, Sonya berbalik, lalu pergi meninggalkan Eri yang tetap diam di tempatnya berdiri.
* * *
Sonya setengah berlari, tersedu-sedu dan mengusap air matanya yang tak mau berhenti turun. Dia tak memikirkan kemana arahnya pergi.
Dia nyaris menabrak seseorang - faktanya, dia benar-benar menabrak seseorang karena penglihatannya yang buram. Sambil mengusap matanya, dia memandang wajah orang yang ditabraknya, dan rupanya yang ditabraknya adalah Sony yang baru saja selesai latihan, sedang berjalan pulang menuju asrama pria bersama Kido dan Hendra.
"Maaf, Kak," gumam Sonya pelan pada tanah. "Saya tidak sengaja."
Lalu Sonya bergegas pergi sementara ketiga seniornya itu memandanginya berlari tergesa-gesa tak tentu arah.
Sonya melewati Simon dan Maria Kristin yang sedang mengobrol diiringi candaan Greysia dan sindiran dari Bona dan Ahsan. Sonya tak terlalu memperhatikan senior-seniornya itu dan tidak melihat bahwa Simon mengawasinya pergi.
Entah sudah berapa lama Sonya berlari tanpa tujuan yang jelas dan akhirnya dia tiba di sebuah taman disisi lain pelatnas (saya tidak tahu gambaran lingkungan pelatnas, taman-taman ini hanya khayalan saya saja, red). Ada bangku taman panjang disitu. Sonya menjatuhkan diri di kursi, menghela napas panjang, dan menangis lagi tersedu-sedu. Menyesali permintaan maaf Eri yang terlambat lima tahun.
Tiba-tiba Sonya merasa ponselnya bergetar selama beberapa detik. Sonya merogoh ponsel itu dari sakunya, dan ternyata sebuah pesan dari Randy yang bertanya dia ada dimana. Sonya tidak membalas pesan Randy, karena tangannya bergetar sehingga dia merasa tidak akan bisa mengetik dengan benar. Sonya menelepon Randy.
"Haloo," ujar Randy di seberang sana.
"Ya," Sonya mengucapkan 'ya'-nya dengan menyedihkan.
"Sonya? Kamu nangis?" tanya Randy yang terdengar cemas.
Lalu Sonya mendengar suara Tina yang lebih cemas lagi. "Apa? Sonya nangis? Kenapa?"
"Temui aku di taman di dekat asrama cewek," gumam Sonya, berjuang keras untuk mengucapkan kalimat itu.
"Oke, oke, tenang saja, usap air matamu, jangan menangis lagi, akan kubunuh Eri kali ini."
Sonya tersenyum sedikit mendengar Randy berkata seperti itu, dan lebih tersenyum lagi saat mendengar Tina berteriak "RANDY!".
Saat berikutnya Sonya mendengar Tina berbicara padanya di ujung telepon. "Sonya? Kamu oke?"
"Oke," gumam Sonya serak. "Hanya sedikit pusing."
"Jangan khawatir, kami akan segera datang. Duduklah dengan tenang, ya?"
"Ya," lagi-lagi, 'ya' yang menyedihkan karena Sonya mulai tak tahan untuk tidak menangis lagi.
Sonya memutuskan sambungan telepon. Tak lama kemudian Sonya melihat, dari sudut matanya, sosok seniornya yang datang menghampirinya. Setidaknya itulah perkiraan awal Sonya, karena seniornya itu tidak menghampirinya, tapi duduk di sisi lain bangku yang diduduki Sonya. Senior yang selama ini - menurut cerita Randy - memperhatikan Sonya. Seniornya yang bernama Simon.
Sonya berusaha tidak terlalu menarik perhatian, mengubah posisi duduknya, lalu didengarnya dering telepon berbunyi. Simon mengeluarkan ponselnya dan berbicara pada entah-siapa di ujung sana. Sonya juga berusaha tidak mendengar pembicaraan itu.
Tepat setelah Simon memasukkan ponselnya ke dalam saku, mata Sonya menangkap dua sosok yang dikenalnya - setidaknya yang satu dikenalnya. Eri dan Airin berjalan mendekat ke taman itu. Mungkin Eri mau mengantar Airin ke asrama cewek. Memikirkan kemungkinan ini membuat hati Sonya sesak lagi.
Sonya tak ingin dilihat Eri dan Airin sedang menangis, tapi Sonya juga tak ingin dilihat Simon sedang melakukan hal konyol - bersembunyi di belakang semak untuk menghindari dilihat Eri dan Airin, misalnya. Kedua keinginan ini berperang dalam batinnya dan akhirnya yang menang adalah gengsinya kepada Eri dan Airin. Sonya bangkit berdiri dan berjalan memutari bangku untuk bersembunyi di belakang semak. Simon memperhatikan kelakuan konyol Sonya. Kemudian Eri dan Airin lewat, menyapa Simon, dan berjalan sembari tertawa-tawa menuju asrama cewek.
Sonya muncul dari belakang semak, menghela napas, dan kembali duduk di bangku. Lalu sebuah saputangan diulurkan kepadanya. Sonya mendongak.
"Pakailah," kata Simon, menyodorkan saputangannya, sambil memandang Sonya. "Usap matanya."
Sonya menunduk, lalu meraih saputangan yang diulurkan Simon. "Makasih, Kak." Sonya mengusap matanya dengan saputangan yang lembut itu.
"Kamu lari terus, ya," kata Simon tiba-tiba. "Kalau kamu lari terus bagaimana masalahnya akan selesai."
"Kakak tidak mengerti masalahnya," gumam Sonya, heran kenapa Simon bisa tahu kalau dia lari dari masalah - dari Eri.
"Saya belum mengerti masalahnya," ralat Simon, memandangi juniornya. "Apa kamu mau cerita?"
"Memang Kakak mau dengar?" balas Sonya.
"Saya akan dengar kalau kamu mau cerita," jawab Simon.
Sonya menatap mata Simon dalam-dalam dan merasakan ada ketulusan didalamnya (wah, saya juga mau tuh menatap ke dalam mata Kak Simon, red). Akhirnya Sonya mulai bercerita. Dari awal hingga akhir. Sejak mereka mulai pacaran hingga lima tahun setelah mereka putus.
"Yang saya sesalkan, kenapa harus setelah lima tahun? Kenapa harus setelah dia bertemu Airin? Seandainya dia datang kepada saya sesaat setelah dia memutuskan saya, saya nggak akan sesedih ini, Kak." Sonya mengakhiri ceritanya. Hatinya sesak lagi dan dalam usahanya mengusap mata, dia malah membasahi saputangan itu dengan banyak air mata.
"Dia pasti punya alasan," kata Simon.
"Alasan yang saya nggak mengerti," tambah Sonya.
"Alasan yang nggak kamu mengerti," ulang Simon setuju. "Sekarang yang harus kamu lakukan adalah mencari alasan itu apa. Itu yang seharusnya kamu lakukan dari dulu."
"Saya memang penasaran sejak dulu. Sudah lima tahun."
"Lima tahun yang kamu lewati tanpa dia. Sekarang dia sudah ada di depan mata kamu. Kamu bisa bebas bertanya pada dia, atau pada Airin."
"Saya nggak akan sebebas itu."
"Randy dan Tina bebas."
Sonya yang selama ini memandangi tanah, kini menatap Simon. Tampaknya kakak kelasnya ini tahu segalanya tentang dia.
"Ya, mereka bebas," gumam Sonya.
"Kamu tahu, kamu terlalu menyimpan semuanya sendirian. Menangislah kalau memang ingin menangis," kata Simon bijak. "Lagipula kamu kan cewek, jadi lebih puas dong nangisnya," ia mengakhiri dengan senyuman.
"Saya..."
"SONYA!"
Perkataan Sonya disela oleh seseorang yang menjeritkan namanya. Sonya menoleh. Tina berlari menghampiri bangku tempat Sonya dan Simon duduk, di belakangnya ada Randy yang mengikuti.
"Waah... benar-benar sahabat sejati," komentar Simon, mengawasi dua adik kelasnya itu berlari, "baru saja diomongin, langsung datang..."
Sonya tertawa. "Saya yang telepon mereka sebelum Kakak datang."
"Oh..."
Tina langsung menyerbu memeluk Sonya tanpa sadar akan siapa yang sedang duduk di samping Sonya. Randy yang pertama sadar. Terengah, dia masih sempat menyapa Simon.
"Oh... ha... lo... Kak... Simon..." katanya putus-putus, memegang perutnya.
Tina melepaskan pelukannya yang erat kepada Sonya dan buru-buru menyapa Simon juga. "Eh, Kakak," katanya malu.
Simon lagi-lagi mengeluarkan senyuman manisnya. Dia lalu berdiri dari duduknya.
"Pergi dulu," kata Simon ramah kepada ketiga juniornya. Randy tersenyum, Tina berkata, "Iya, Kak," sambil tersenyum manis.
Ketiga pemain muda itu memandangi Simon yang beranjak pergi.
"Sonya..." gumam Tina, lengannya merangkul bahu Sonya. "Kamu ingkar janji..."
"Lho, kenapa?"
"Janji kamu kan kami jadi yang pertama kali dengar cerita kamu..."
Sonya tertawa lagi. "Sudahlah, sini, aku mau cerita kok."
Dan setelah Sonya selesai bercerita pada dua sahabatnya, dia baru sadar bahwa tangannya masih menggenggam saputangan pemberian Simon.
* * *
to be continued...
Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.
P.S. Setelah saya baca ulang, kok kejadian waktu Sonya dan Eri bicara itu agak kayak sinetron ya... ==' haduuu, maaf ya, para pembaca.
P.S.S. Buat para Simonerz, jangan iri sama Sonya ya, hehehehe, dia cuma khayalan saya saja kok. ^^
R.A.
20 Juli 2010
0 komentar:
Posting Komentar