Salam, Pembaca!
Saya dapet inspirasi nulis ini setelah baca note dua teman saya di facebook tentang daily conversation antara dua karakter berbeda dalam satu badan. Bedanya, saya menulis tentang saya yang punya dua hati berkepribadian berbeda. Oke, untuk memudahkannya, kita mulai saja. ^^
Happy reading! :))
>>
Hari masih pagi.
Sebuah suara mengusik hati: kelihatannya akan hujan.
Aku: Bagaimana kau bisa yakin? Awan saja kelihatan pun tidak.
Suara hati: Keyakinanlah yang menyebabkan semuanya bisa saja terjadi.
Aku: Oh..
Suara hati: Mengapa?
Aku: Dulu aku yakin akan suatu hal. Tetapi. keyakinanku tidak terjadi, malah sebaliknya.
Suara hati: Itu karena kau mengingkari keyakinanmu. Kau ragu.
Aku: Yeah, mungkin itu memang benar. Maaf karena aku membuatmu terpuruk dalam sudut kesepian.
Suara hati: Aku? Tidak, kok. Aku yang satu lagi yang membuatmu terpuruk sejenak dalam perasaan kesendirian.
Aku: Kau yang satu lagi?
Suara hati: Ya, aku yang labil, penuh emosi, perasa, dan kekanakan. Kau pasti tahu itu kan.
Aku: Mmh. Sebenarnya, tidak. Maaf.
Suara hati: Tidak apa-apa kok, aku mengerti. Biar aku jelaskan. Mau menunggu?
Aku: Boleh, aku tidak terburu-buru kok.
Suara hati: Aku yang satu lagi punya sifat kekanakan. Analoginya adalah seperti anak kecil dan mainan. Seorang anak kecil akan marah, atau paling tidak, menangis, ketika orang lain mengambil mainannya. Begitupun aku yang satu lagi.
Aku: Jadi... kau hendak mengatakan bahwa... kau yang satu lagi memiliki mainan dan... orang lain merebutnya?
Suara hati: Secara harfiah... tidak begitu sih. Tetapi konotasinya begitu. Apa yang sebenarnya terjadi adalah seperti ini: ibaratkan mainan itu adalah teman si aku yang satu lagi, lalu, teman itu dekat dengan orang lain dan kelihatannya tidak peduli dengan aku yang satu lagi. Bagaimana kau pikir perasaan aku yang satu lagi?
Aku: Mmh... kecewa? Sakit hati?
Suara hati: Tepat sekali. Ia akan marah jika ada orang lain yang merebut sesuatu yang selama ini miliknya.
Aku: Mmh... rasanya seperti yang pernah kurasakan.
Suara hati: Mungkin itulah yang kau rasakan. Oh, lihat, mulai hujan kan.
Aku: Ya. Aku mulai tak suka hujan belakangan ini.
Suara hati: Kenapa?
Aku: Saat hujan turun, aku selalu teringat akan kenangan buruk.
Suara hati: Hmm, tapi setelahnya kan ada pelangi? Hujan adalah sebuah proses menuju keindahan. Itu kata Tamaki Suoh dalam komik kesukaanmu.
Aku: Pelangi hanya muncul sesaat.
Suara hati: Disini pelangimu tetap abadi kok. Sadar atau tidak, kau selalu menjaganya agar selalu ada.
Aku: Betulkah?
Suara hati: Iya. Asal kau tahu saja.
Aku: Aku tak pernah merasa punya pelangi.
Suara hati: Begitu? Nyatanya, kau punya. Kau kan tidak bisa terpuruk dalam hujan selamanya. Makanya setiap selesai hujan, kau selalu merasa lega. Setidaknya, lebih baik.
Aku: Untuk merasa lebih baik, aku harus mengingat masa lalu? Harus menunggu hujan turun, baru pelangi itu muncul?
Suara hati: Hmm. Logikanya begitu. Mungkin bukan menunggu pelangi itu muncul, tetapi menunggu pelangi yang disini bersinar.
Aku: Yeah, mungkin kau benar. Haah.
Suara hati: Ada apa denganmu?
Aku: Aku menyakiti diriku sendiri. Lagi.
Suara hati: Pisau rotimu mengiris jari?
Aku: Yep. Oh, dan lihat, darahnya bercucuran.
Suara hati: Bodoh, cepat dicuci. Nanti infeksi.
Aku: Aku tidak mencuci luka di hatiku dan dia tidak infeksi.
Suara hati: Sulit ya berdebat denganmu. Kau tidak menyadarinya. Luka itu begitu besar dan kau berpura-pura tidak melihatnya. Luka itu membekas disini dan kau memaksa tidak melihatnya. Memang dia memperbaiki dirinya sendiri, tetapi masih ada bekasnya.
Aku: Oh.
Suara hati: Bukankah temanmu pernah berkata: SESUATU YANG PATAH BISA DIPERBAIKI, NAMUN HASILNYA TAK SESEMPURNA IA SEBELUM PATAH. Lukamu meregenerasi dirinya, tapi tak sempurna. Dia masih berbekas. Sadarkan kau akan itu?
Aku: Aku tak bisa memungkiri hal itu.
Suara hati: Ingatkah kau pada setiap waktu kau merasa kesal?
Aku: Ingat. Selalu ingat.
Suara hati: Dan kau selalu mengaitkan kekesalanmu dengan masa lalu?
Aku: Ya.
Suara hati: Itu pekerjaan aku yang satu lagi.
Aku: Kau yang satu lagi.
Suara hati: Itulah kesukaannya, mengungkit masa lalu, memaksamu untuk tetap mengingat kejadian-kejadian buruk yang telah lalu, membuatmu marah, kesal, menangisi masa lalu, hal yang seharusnya - sebenarnya - tidak berguna untuk dilakukan.
Aku: Salahkah itu? Menangisi masa lalu?
Suara hati: Aku tidak menyalahkanmu. Boleh saja kita menyesali apa yang sudah terjadi. Tapi jangan berlarut-larut juga. Tidak bagus untuk perkembangan mentalmu.
Aku: Haha. Begitu? Lucu sekali bahasamu...
Suara hati: Hei, aku serius lho...
Aku: Iya iya. Aku tahu aku tak boleh terlarut dalam kesedihan. Dalam masa lalu. Terpuruk dalam kesepian. Tersudut dalam pojok kesenduan.
Suara hati: Hebat sekali kosakatamu. Kau tahu, kau harus memperbaiki kata-katamu sedikit. Jangan stuck pad hal-hal sendu seperti tadi itu. Membuatku juga merasa gundah, kau tahu?
Aku: Yeah, aku mengerti maksudmu.
Suara hati: Cobalah untuk sedikit menikmati dunia.
Aku: Menikmati dunia tanpa teman? Wah, aku akan memberi sejuta dolar kalau ada yang bisa melakukannya.
Suara hati: Apa maksudmu? Kau tak punya teman?
Aku: Well, aku punya banyak teman, sahabat, tapi saat aku tak dihargai - ralat - aku MERASA tak dihargai, aku juga merasa tak punya teman. Lihat kan, aku terbawa masa lalu lagi. Saat tak ada yang menemani. Tak ada yang menyadari aku ada!
Suara hati: Tenanglah. Aku percaya mereka akan selalu ada kapanpun kau membutuhkannya.
Aku: Semoga.
Lalu kami sama-sama terdiam.
Hari masih pagi.
Tapi, hujan sudah berhenti.
29 November 2009
R.A.
0 komentar:
Posting Komentar