Minggu, 11 Juli 2010

,

Kacamata (baru) Saya

Salam, Pembaca!

Saya mau sharing tentang kondisi saya waktu nggak pake kacamata selama tiga hari. Yak, cuma tiga hari tapi rasanya seperti tiga tahun bagi saya. Saya nggak bisa ngapa-ngapain; sekitar 50 persen hidup saya tergantung pada kacamata saya itu. Saya nggak bisa seperti biasanya, nongkrong di depan laptop hanya untuk dengerin musik atau nerusin novel. Saya nggak bisa seperti biasanya, menikmati dan ketawa-ketawa bersama satu keluarga nonton Opera Van Java. Saya nggak bisa seperti biasanya, nonton film dari DVD player; terjemahan bahasa Indonesianya nggak bisa saya baca.

Semua ini sebenarnya bermula dari sekitar seminggu sebelum kacamata saya patah total. Bagian tengah frame-nya, yang menghubungkan kedua lensa, sudah goyang dan patah sedikit di penyangga lensa kanan. Tapi saya keukeuh aja make kacamata itu kemana-mana, asal taruh, asal copot juga. Kedua gagangnya juga goyang-goyang; saya masih belum begitu peduli karena Ibu bilang nanti di Jogja saja beli kacamata baru.

Tapi memang takdirnya sudah harus usai sekarang, kacamata saya patah total waktu saya mau memakainya sehabis mandi. Bisa dibilang saya yang mematahkannya; saya menggoyang-goyang gagangnya seakan pengen tahu sampai seberapa kekuatan kacamata itu. Rupanya dia benar-benar udah nggak punya kekuatan lagi. Patah tanpa suara karena bagian tengah yang menyangga lensa kanan sudah goyah sama sekali. Saya pun mengadu kepada Bapak dan Ibu. Saya punya ide gila, konyol, malah, untuk menyatukan kembali kacamata yang terbelah dua itu dengan selotip - saya merasa jadi Harry Potter dalam wujud cewek waktu membayangkan memakai kacamata patah yang diselotip. Tapi, tidak berhasil (tentu saja). ==' Terpaksa saya menghabiskan sisa malam itu tanpa kacamata; rasanya betul-betul tidak enak! Semua rabun, semua blur, semua tidak jelas. Pada dasarnya minus saya memang sudah besar; terakhir kali saya cek, minus saya yang kanan 4,75 dan yang kiri 4,25.

Keesokan harinya, hari Senin, saya dan Bapak pergi ke optik untuk memeriksakan mata. Saya benar-benar harus memakai kacamata lagi, tidak bisa menunda-nunda - seperti yang sudah saya bilang, 50 persen hidup saya tergantung pada kacamata! Menyedihkan ya, saya.

Lalu saya dan ayah saya pun masuk ke sebuah optik di pinggir jalan raya. Oke, saya masuk dengan santai meski sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas. Deretan kacamata (buram) menyambut saya. Duh betapa sedihnya nggak bisa melihat dengan jelas dan memilih frame yang keren; padahal saya berharap saya bisa mendapatkan frame warna ungu atau pink tua kombinasi dengan hitam. Akhirnya saya hanya menerima pilihan-pilihan yang diambilkan oleh mbak-mbak pramuniaga.

Kemudian saya disuruh masuk ke dalam ruang periksa. Seorang pria masuk dan menyuruh saya duduk; entah sudah berapa kali saya melakukan ini, saya sampai hafal apa-apa saya yang akan dilakukan. Misalnya, disuruh meletakkan dagu diatas alat entah-apa, lalu sementara dokternya menyetel alat, saya akan melihat sebuah pemandangan semacam pertanian di luar negeri - ada rumah berwarna merah, pagar putih, dan lapangan hijau - yang pernah periksa mata pasti tahu.

Dokter itu lalu bertanya pada saya tentang asal sekolah saya. Saya jawab "sudah lulus Pak. Dulu SMA 8". Oh, betapa bangganya saya mengatakan itu ^^. Dokter itu tanya lagi "lanjut kemana?" saya jawab "UGM pak". "Ooh," kata dokternya, "minus kamu besar nih, dan sepertinya akan nambah terus, yah nggak begitu signifikan, paling satu atau setengah." Saya diam. "Nanti kan kamu kuliah, kalau udah selesai kuliah, lulus, terus kerja, cari uang, nanti kamu LASIK aja," saran sang dokter. Saya diam, tapi dalam hati mengiyakan. "Siapa tahu kamu nanti malah nggak perlu pake kacamata, kan?" tambah dokter lagi. "Iya Pak," saya bilang.

Lalu dimulailah pemeriksaan yang amat panjang, saya disuruh baca, membandingkan terang-gelapnya cahaya, dan sebagainya. Diwarnai dengan beberapa kesalahan yang agak membingungkan. Pada akhir pemeriksaan dokter itu memberi saya kacamata robot - tahu kan kacamata yang isinya berbagai macam lensa tebal, sehingga saya tampak seperti robot - dan menyuruh saya keluar ruangan untuk berjalan-jalan sejenak dan memandang ke kejauhan - sampai sekarang saya masih belum mengerti apa maksudnya - lalu saya keluar, melihat ke kaca, dan ya ampun, saya benar-benar tampak seperti robot dengan kacamata mesin. Haha. Ayah saya mengacungkan dua jarinya dan bertanya, "ini berapa Mbak?" saya jawab "lima".

Kemudian dokternya datang dan bicara dengan ayah saya dan saya tentang harga dan penipisan lensa; secara minus saya nambah jadi 5,25 untuk kedua mata, dan silindris setengah di mata kiri, jadi lensa memang disarankan untuk ditipiskan supaya nggak kelihatan tebal-tebal banget. Akhirnya keseluruhan lensa plus frame jadi sekitar enam ratus ribuan gitu deh. Oh, dan saya dapat diskon untuk frame, haha. Kacamata itu bisa diambil paling lambat tiga hari setelahnya: berarti hari Kamis. Tapi nggak menutup kemungkinan bisa diambil lebih cepat. Ayah saya memberikan nomor yang bisa dihubungi pada pramuniaganya. Lalu kami pergi pulang ke rumah.

Saya bilang, "segitu nggak kemahalan kan Pak?" pada ayah saya. Ayah saya bilang "buat mahasiswa cukup lah, bagus tuh." Oke deh, saya bernapas lega.

Dan dimulailah hari-hari tanpa kacamata saya.

Pukulan pertama; hari Senin tanggal 4 Juli kemarin itu sebenarnya salah seorang sahabat saya, Ditok, mengajak saya untuk mengunjungi Ghost House di sebuah mall di kota kami. Saya menolaknya, dengan terpaksa, karena saya nggak mau ambil resiko salah pegang. Bayangkan saja, saat saya niatnya mau memegang lengan Ditok, karena penglihatan saya kabur, yang saya pegang malah hantunya. Nggak deh.

Pukulan kedua; hari Selasa, ajakannya sebenarnya bersamaan dengan ajakan ke Ghost House kemarin, Ditok mengajak saya nonton Eclipse di hari Selasa itu. Saya juga menolak, karena dengan penglihatan buram seperti ini apa yang bisa saya lihat? Terjemahan bahasa Indonesia juga nggak akan kebaca. Dan rupanya film itu ditayangkan midnight. Saya menduga saya tidak akan diizinkan menonton midnight oleh Ibu, meskipun mata saya sudah benar.

Pukulan ketiga; hari Rabu malam, saya disuruh Ibu mengupas bawang merah dan bawang putih untuk masak. Dan, saya lupa bilang, bawang merahnya, GEDE BANGET, segede bawang putih yang masih tergabung-gabung. Gilak, saya nangis-nangis ngupasnya. Apalagi nggak ada 'perisai' (kacamata saya) yang menghalangi zat entah-apa dari bawang merah itu masuk ke mata. Untung saya cuma ngupas satu, itupun udah heboh banget nangisnya.

Pukulan keempat; saya benar-benar nggak bisa ngapa-ngapain selama nggak pake kacamata! Yah, kecuali online lewat handphone bocel-bocel saya. Cuma itu yang bisa menghibur saya: online di Twitter dan Facebook, ngobrol sama temen-temen SMA, temen-temen baru yang nanti kuliah di UGM, dan mem-follow temen-temen SD saya di Bandung dulu. Tapi saya benar-benar ngerasa kehilangan sesuatu - saya nggak bisa nulis-nulis di laptop. Biasanya saya mengetik sesuatu di laptop tiap hari. Ah, saat-saat yang menyedihkan. T.T

Pukulan kelima; kalau biasanya kamu memakai kacamata, dan tiba-tiba harus janji nggak pakai kacamata selama beberapa hari, kamu akan merasa pusing dan mual; setidaknya itu yang terjadi pada saya. Mata saya pusing berat, bahkan saya sampai mual-mual. Penglihatan nggak jelas, dan saya harus menyipitkan mata setiap waktu untuk melihat dengan agak jelas; berarti berakomodasi maksimum, yang berimplikasi pada bertambahnya intensitas pusing saya. Oke, skip that last one.

Hari Rabu sore, Ibu saya bilang kalau kacamata saya udah bisa diambil. Waktu itu Ibu tahu dari Bapak yang lagi kerja di proyeknya. Huah, rasanya senang tak terkirakan hati saya mendengar itu. Akhirnya hidup saya yang normal kembali lagi.
Ternyata eh ternyata, Bapak pulang agak malam. Alhasil kami harus menunda pergi mengambil kacamata itu. T.T

Hari Kamis, 8 Juli, pun tiba, dan saya tidur sampai jam setengah dua belas siang setelah sholat Subuh --' saya lelah dan capek sekali. Ayah saya sedang meninjau proyek di luar kota - nggak jauh-jauh amat dari kota kami kok - dan pulang pada saat Ashar. Jam empat, kami pun pergi ke optik untuk menebus kacamata ^^. Saya harus ikut karena kacamatanya harus disetel supaya pas di kepala saya.

Akhirnya saya bisa melihat lagi! Dan dengan jelas, pula. Oh betapa senangnya saya. Apalagi mbak-mbak pramuniaganya memberi saya kotak kacamata warna hitam dengan lap kacamata warna pink - sungguh kombinasi yang sangat saya sukai. Berbagai tips diberikan mbak-mbak itu; untuk mencuci kacamata dengan sabun, lalu mengeringkannya dengan lap yang satu lagi; untuk melepasnya dengan dua tangan (ini sering sekali saya abaikan hingga kacamata cepat rusak); untuk mendatangi optik itu jika kacamata saya longgar, penyangganya lepas, dan lain-lain; dan memberikan saya kartu garansi selama dua tahun jika lensa kacamata terkelupas atau semacamnya. Dan perbaikan kacamata itu dilakukan secara cuma-cuma. Dokternya pun bilang pada saya: "tiap hari minum jus wortel segelas ya, paling nggak minus kamu tetap, atau nambah sedikit-sedikit." Oke, saya mengiyakan dalam hati. Dan Ibu saya pun rajin memberi saya jus wortel mulai kemarin, haha.

Oh, dan saya lupa satu hal. Pertama kali saya mencoba kacamata saya, rasanya berat sekali. Kepusingan mendadak melanda saya. Rasanya mbliyeng-mbliyeng gimanaa gitu. ==a

Pokoknya, saya senang bisa melihat dengan normal lagi; meskipun dengan kacamata yang tebal, sih. Akhirnya, saya bisa nonton OVJ lagi, ketawa-ketawa lagi, dan melihat Om Andre lagi. ^^
Alhamdulillah.

R.A.

2 komentar:

  1. astagfirullah antiq. gede banget minus kamu say :O
    haha tapi kalo cerita minusnya tambah, sama nih :B

    BalasHapus
  2. hohoho iya nih tik hiks hiks hiks :(
    pengen LASIK aja rasanya :(

    BalasHapus