Senin, 26 Juli 2010

Third Chapter

Ketika malam itu aku sedang mencuci piring sehabis makan malam, kudengar Mama berseru dari ruang keluarga.

"Kyra sayang, ponselmu berbunyi," kata Mama. Aku langsung terbang dari dapur ke kamarku. Ringtone ponselku, 'My Hands' dari David Archuleta bergema. Di layarnya ada gambar panggilan masuk ke ponselku dan dibawah gambar itu ada tulisan 'Jayden'. Aku mengangkatnya.

"Haloo," kataku.

"Kyra! Syukurlah kau mengangkatnya. Kukira kau..."

"Kau kenapa?" selaku, mendengar suara Jayden yang terdengar gelisah.

"Begini, jangan kaget ya, tapi aku sedang berada di kantor polisi, dan..."

"Sedang apa kau di kantor polisi?" hatiku mencelos.

"Aku kena tilang, jadi..."

"Kenapa kau bisa kena tilang? Kau tidak memakai helm? Spionmu kurang satu?"

"Bukan, aku..."

"Atau kau lupa membawa SIM? Menerobos lampu merah? Kenapa?"

"Polisi itu menahanku karena ada razia orang cakep..."

"Kumatikan."

Dan aku benar-benar mematikan ponselku. Dasar. Bercanda kok nggak lihat-lihat sikon. Dia nggak tahu aku sedang sibuk mencuci. Dan bodohnya aku percaya saja dia berbohong begitu padaku!

Mama bertanya padaku ketika aku keluar kamar. "Kenapa, Kyra?"

"Orang iseng, Ma."

Papa tertawa. "Bukannya Jayden?"

"Iya, dia yang iseng, Pa."

Mama dan Papa sudah hafal kalau ringtone khusus Jayden adalah 'My Hands'.

Aku kembali ke dapur untuk menyelesaikan cucian piringku. Hhhh. Ayam bakar bumbu kecap bikinan Mama memang enak sekali. Cuma nyuci panggangannya itu lho, nggak tahan.

Tak lama Mama datang ke dapur membawa ponselku. "Kyra, Jayden menelepon. Ini," Mama menyodorkan ponselku. Aduh Mama... kenapa mesti diangkat segala sih...

"Apa?" bentakku setelah mencuci tanganku bersih-bersih dan mengeringkannya.

Jayden tertawa. "Maaf, maaf... kupikir kau sedang senggang, jadi ya... aku berniat menggodamu..."

"Tidak lucu, tahu." Aku teringat perasaanku yang cemas saat Jayden menelepon dengan gelisah.

"Oh, kau betulan cemas, ya?" tanya Jayden, nada suaranya berubah. "Maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Betulan," aku meyakinkan Jayden. "Cuma saja aku tadi sedang mencuci piring."

"Hmm... aku lupa."

Jayden juga biasanya mencuci piring sehabis makan bersama keluarganya, dan biasanya kami mencuci pada jam yang sama. Kebetulan yang aneh kan.

"Jadi, kenapa kau meneleponku?" tanyaku.

"Begini, emm... kau mungkin akan kaget mendengarnya..."

"Tidak akan lah," ujarku. "Aku sudah cukup kaget mendengar kau di kantor polisi tadi."

"Hahaha. Aku akan mengantarmu ke tempat les besok."

Begitu saja. Tanpa tedeng aling-aling. Langsung pada poinnya. Aku terdiam sejenak. "APA?"

"Tuhkan, kau kaget."

"Tidak, bukan begituuuu..." aku ternganga. Selama ini Jayden hanya mengantarku ke tempat-tempat yang akan kami kunjungi bersama; sekolah, toko buku, warnet, bioskop. Yang kami akan pergi berdua ke sana. Ke tempat les? Jayden tidak pernah mengantarku. Mama yang biasanya mengantarku. Naik motor. Aku pun tak pernah meminta Jayden untuk mengantarku ke suatu tempat yang hanya aku yang punya urusan disana. Aku tak ingin membuat Jayden seperti sopirku, yang bisa mengantarku kemana saja. Kalaupun kami akan pergi bersama, ajakan Jayden selalu 'kita pergi ke situ yuk?' atau 'ada toko bagus. Besok kita lihat ya'. Perhatikan bahwa dia selalu menggunakan kata 'kita'. Bukan 'aku'.

Baru kali ini sepanjang ingatanku, dia menggunakan kata 'aku' untuk mengajakku pergi ke suatu tempat.

"Heeii," aku tertawa, "pasti ada apa-apanya nih."

"Tiidaak kook," Jayden ikut tertawa. "Cuma pengen saja."

"Hayo, bilang ah. Ini pertama kalinya kau mengantarku ke tempat yang akan aku kunjungi, bukan yang akan kita kunjungi."

"Ingatanmu hebat sekali."

Lalu aku teringat limo hitam yang meluncur menjauhiku di depan toko buku. "Azka, ya?" tebakku asal.

Tak terdengar apa-apa di seberang sana. Aku rasanya bisa mendengar otak Jayden bekerja untuk memikirkan alasan yang lebih bisa kuterima.

"Bukan, kok," akhirnya Jayden menjawab. "Kan kasihan ibumu, setiap hari mengantarmu les, padahal kan ini liburan. Lebih baik ibumu istirahat di rumah..."

"Ooh, iya juga ya," ujarku, mencoba menerima kebohongan Jayden. "Jujur saja lah padaku, Jayden. Aku kan sahabatmu."

"Haha, sudah kuduga aku tak bisa bohong padamu," kata Jayden. "Azka menarik juga."

"Sejak kapan?"

"Sejak kita kelas dua."

"Oho?" aku tertawa. "Dan kau menunggu selama ini karena kau tidak berani mengatakannya pada Azka?"

"Aku menunggu," katanya jujur. "Dan tak kusangka bahwa Azka... dekat denganmu."

"Jadi maksudmu kau ingin minta bantuanku untuk bisa mendekati Azka dan bicara dengannya?" tanyaku memastikan. Aku pandai sekali menebak isi kalimat Jayden yang kadang tidak jelas.

"Eh... tidak harus mengatakan perasaanku padanya. Bisa bicara padanya sebagai teman saja aku sudah senang," jawab Jayden lagi.

"Baiklah, baiklah..." kataku.

"Besok kujemput kau jam berapa?" tanya Jayden.

"Jam sepuluh. Lesnya mulai jam setengah sebelas."

"Okee... see you tomorrow..."

"Ya," kataku tersenyum.

Atau, benarkah aku tersenyum? Karena aku merasakan desiran aneh di dadaku saat mendengar Jayden bicara tentang Azka.

* * *

Keesokan harinya Jayden nyengir waktu kubuka pintu depan; cengiran yang sama saat dia hendak menonton Indonesia Open kemarin.

"Kau telepon saja ke ponselku, pasti aku langsung ke pintu depan. Tidak perlu mengetuk pintu segala kan?" sahutku, sambil menyilakannya masuk.

"Kan harus minta izin ke Mama dulu..."

"Oh, iya, aku lupa, kan latihan kalau nanti ngajak Azka malam mingguan, ya..."

Jayden melemparku dengan bantal sofa. Aku memanggil Mama dari dapur; Mama sedang memasak makan siang. Tergopoh-gopoh Mama menuju ruang tamu.

"Eh, iya, hati-hati ya, Jayden. Aduuh, Tante tertolong sekali ini. Habis ini Tante ada pengajian di rumah Bu Husna. Jadi nggak bisa ngantar Kyra. Tadinya Kyra malah mau Tante suruh nggak usah les aja. Tapi kan sayang udah dibayarin mahal-mahal, ya?" Mama bercerita. "Ya sudah, kalian pergilah, nanti terlambat. Hati-hati ya, Jayden."

Jayden menyalami Mama sambil mengangguk. Aku menyalami Mama sambil berpamitan.

"Aku beritahu ya," kataku di perjalanan. "Azka itu disayang sama orangtuanya. Selama ini tak ada satu pun cowok yang bisa mendekatinya. Dan asal kau tahu, Azka belum pernah pacaran. Sudah berjuta cowok yang mencoba menjadi pacarnya, tapi selalu gagal dan menyerah di tengah-tengah."

"Berjuta?"

"Oh, kau tahulah, kiasan."

"Kau lebih dekat dengan Azka daripada yang aku perkirakan," kata Jayden.

Aku mulai dekat dengan Azka waktu kelas satu SMA. Aku dan Jayden terpaksa dipisahkan karena beda kelas, dan Azka-lah satu-satunya teman perempuanku yang dekat-sejak-masa-ospek. Kami sebangku waktu kelas satu, dan untungnya lagi, kami sekelas di XI IPA 6. Jayden masuk IPA 3. Pantaslah dia tak tahu apa-apa tentang aku di kelasku. Aku pun tak terlalu senang menceritakan keadaanku di kelas pada Jayden, dan dia juga tak terlalu excited menceritakan kelasnya. Bagi kami, kelas kami ya kelas kami. Masalah yang terjadi didalamnya, tak perlulah diceritakan pada anak kelas lain.

Azka juga sering menemaniku makan di cafeteria. Azka menemaniku kemana saja kalau sedang di sekolah. Yah, memang sih kami tak hanya makan berdua saja di cafeteria, tapi dengan segerombol anak-anak perempuan kelas XI IPA 6. Hanya ada lima belas cewek di IPA 6, cowoknya dua puluh. Seperempat dari jumlah cowok di IPA 6 adalah teman dekatku. Aku lebih suka berteman dengan anak cowok, kalian ingat kan?
Dan kelima-limanya pernah minta bantuanku untuk mencoba mendekati Azka.

Ketika aku mengutarakan fakta-fakta ini kepada Jayden, dia meneguk ludahnya seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku mengangkat alisku sejenak.

"Kau menyukainya, ya?" tanyaku langsung.

Jayden mengangguk. Aku tak menyalahkannya soal pengakuannya yang segamblang ini. Seperti kata Norah McClintock di novelnya Break and Enter, tak ada rumus mengenai perasaan suka pada seseorang.

Selama aku mengenal Jayden, aku tak pernah mendengarnya menyukai seseorang. Dia tidak pernah cerita apa-apa tentang gadis yang ditaksirnya – karena memang tidak ada gadis yang ditaksirnya! Jarang sekali kudengar Jayden bicara soal cinta. Satu-satunya yang pernah ditanyakannya adalah "Siapa cinta pertamamu, Kyra?" waktu kami kelas tiga SMP. Kujawab dengan pasti, "Ricky Subagja." Dan dia pun menyerah membicarakan tentang cinta sejak itu.

Teman-teman selalu berkata "Wahai Kyra, sungguh nyamannya hidupmu. Kau tampak tak ada beban setiap saat," begitu kata Julie sambil memelukku. Dia memang mengatakan yang sebenarnya; aku punya rumah, punya orang tua yang adem ayem, punya sahabat yang selalu ada, meskipun aku dan keluargaku jarang keluar rumah tapi aku bahagia. Aku punya kebahagiaan. Jadi, aku tak melihat ada beban yang memberatkan punggungku seperti kebanyakan cewek di kelas – tentang sikap pacarnya yang tiba-tiba berubah, misalnya, atau ketika mereka melihat cowok cakep di kelas tiga. Aku bersyukur setiap saat.

"Kalau kau suka, bilang saja. Azka selama ini mengeluh tentang cowok-cowok yang mendekatinya seolah dia itu putri yang dipingit. Mereka takut-takut. Gunakanlah keberanianmu untuk langsung menembaknya," saranku.

Jayden adalah tipe cowok yang tak kenal takut. Coba sebutkan macam-macam phobia – ketinggian, hantu, kecoa, benda tajam, kotor, dan sebagainya di depan Jayden, maka kau tak akan melihat perubahan sedikitpun di raut mukanya.

"Tidak... aku mau mengenalnya dulu ah," kata Jayden.

"Hmm? Kau tak salah minum atau obat atau bagaimana?" tanyaku heran.

"Memang kenapa?"

"Kau kelihatan beda."

Jayden tak langsung menjawab. Dan saat dia menjawab, hanya satu kata singkat.

"Mungkin."

0 komentar:

Posting Komentar