Senin, 26 Juli 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VIII)

Salam, Pembaca!

Yang kedelapan... =='
Makasih banyak buat yang udah nungguin kelanjutan fanfiction ini. ^^
Lagi-lagi waktu bikin fanfict ini saya dengerin lagu, tapi bukan Jessica Simpson. Saya memang mendengarkan Jessica sebelum menulis ini, menyanyikan I Don't Want To Care versi saya (bergumam nggak jelas yang penting sesuai pendengaran saya) berduet dengan Jessica, tapi waktu mau nulis saya ganti dengan kaset NIDJI >>breakthru' English Version. Oooh, saya suka sekali lagu Heaven yang di-remix. XD
Happy reading! :))


>>
Febe yang pertama kali mencairkan suasana. "Eh, udah pada mulai, nih?" tanyanya, masuk ke ruang makan, diikuti Alvent dan yang lain.

Lalu keadaan pun kembali normal. Tina menggiring Sonya ke meja yang jauh dari para senior agar mereka bebas bicara.

"Mau makan apa?" tanya Tina pada Sonya.

Sonya menggeleng pelan. Aneh juga, padahal tadi dia yang begitu semangat menghibur kedua sahabatnya yang sedang patah hati, sekarang dia mendadak bad mood.

"Sama denganku saja, ya," Randy memutuskan. Sonya tidak menjawab.

Randy dan Tina beriringan menuju counter makanan dan mengambilkan makanan untuk Sonya, ditambah teh hangat. Sebisa mungkin Randy menghindari kasus tanpa-sengaja-terlihat oleh Greysia.

"Ini, minum saja dulu," gumam Tina, menyodorkan secangkir teh ke depan Sonya.

Randy mengunyah nasi gorengnya. "Dengar, Sonya, Kak Simon cuma bilang 'nggak tahu' dan 'kayaknya', bukan iya..."

"Tapi itu kan berarti iya. Kalau Kak Simon nggak naksir sama Kak Maria, Kak Simon akan bilang 'nggak'," tukas Sonya.

"Bagaimana pendapatmu, Tina?" tanya Randy, menoleh ke Tina di sebelahnya, yang sedang memandangi Hendra.

Hendra, yang merasa dipandangi, menengok ke arah Tina yang langsung gelagapan. Hendra tertawa bersama Yunus dan Bona.

Tina menarik napas, lalu menurunkan pandangannya dan menghadap kedua temannya. "Kak Hendra liat kesini?" tanya Tina, membelakangi meja Hendra.

Randy memutuskan untuk menggodanya. "Iya... dia liat kesini, ngeliatin kamu," candanya.

"Aku nggak mau dilihat Kak Hendra dalam keadaan seperti ini," kata Tina. "Lihat, mataku bengkak kan?"

Sonya mengamati mata Tina, yang memang masih bengkak dan agak merah. Sepertinya Tina menangis cukup lama sebelum Sonya datang ke kamar. "Iya, memang agak bengkak."

"Sudah, ayo kita makan," ajak Randy.

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bicara. Yang terdengar adalah bunyi sendok beradu dengan piring dan obrolan dengan volume rendah. Kemudian tanpa mereka sadari, ada yang sudah ada di dekat meja mereka.

"Eri?" Tina yang pertama kali sadar.

Sonya tak memandangnya.

"Gue mau ngomong ama loe, Ran," ujar Eri tanpa mengacuhkan ekspresi Sonya yang mendadak dingin. "Empat mata."

"Kalau loe mau ngomong ama gue, disini aja. Mereka teman-teman gue. Toh nanti gue juga cerita ama mereka," kata Randy, tak kalah dinginnya.

"Oke, kalau itu mau loe," gumam Eri. "Datang ke halaman depan asrama cowok jam empat sore besok. Sendirian."

Dan Eri langsung pergi begitu saja.

"Mau apa dia?" tanya Tina.

"Ngajak berantem, mungkin," tebak Sonya ketus.

"Kalau dia emang ngajak berantem, nggak mungkin pake bilang waktu dan tempatnya gitu. Dia pasti langsung ninju aku disini, seperti yang akan aku lakukan kalau aja aku nggak sabar sedikit," kata Randy bingung.

"Iya juga ya," timpal Sonya.

"Kalau gitu nanti kami boleh ikut?" tanya Tina.

"Nggak... mending aku sendiri aja yang datang, nanti kalau ada apa-apa aku takut kalian kena imbasnya," sahut Randy. "Kita harus memikirkan kemungkinan terburuk, kan?"

* * *

Pukul empat sore keesokan harinya Randy memenuhi undangan Eri - kalau memang pembicaraan mereka malam kemarin di ruang makan bisa disebut undangan. Dia keluar dari kamarnya.

Lalu kesadaran pun menghantamnya (ceileh, bahasa saya euy) bahwa sebenarnya Eri tak perlu sampai memintanya turun dari asrama dan bicara di depan. Eri kan juga tinggal di asrama itu. Mereka bisa ketemu kapan saja.

Randy hafal letak kamar Eri. Diketuknya pintu kamar mantan pacar sahabatnya itu, lalu menunggu.

Ternyata tak ada yang membukakan pintu. Pintu kamar terkunci, ketika Randy berusaha membukanya dengan paksa. Kemudian diurungkannya niat untuk mendobrak, karena akan susah baginya untuk menjelaskan kepada orang-orang kenapa dia sampai bersusah payah ingin masuk kamar orang yang sebenarnya dibencinya. Randy menempelkan telinganya ke daun pintu.

Ia bisa merasakan tidak ada orang di kamar itu.

Akhirnya Randy menyerah. Dia bisa menebak satu hal, pertemuan ini pasti bukanlah pertemuannya dengan Eri sendiri.

Randy keluar ke depan asrama cowok, mencari Eri. Tapi yang dijumpainya bukanlah sosok yang selama ini ingin sekali ditinjunya.

Melainkan Airin.

Randy menghampiri gadis itu. "Mana Eri?" tanyanya langsung.

Anehnya Airin terlihat gugup. "Eh... Eri masih latihan."

"Kalau gitu kenapa dia nyuruh aku datang kesini? Dasar..." kecam Randy. "Akan kucari dia di tempat latihan."

"Eri tidak memintamu datang kesini untuk bicara dengannya," kata Airin sebelum Randy sempat pergi jauh.

Randy yang baru berjalan sepuluh langkah langsung berhenti dan berbalik. "Apa?" tanyanya.

"Eri memintamu kesini agar kamu bisa bicara denganku," terang Airin. Tampaknya wajahnya dipenuhi tekad membara.

Randy melangkah perlahan mendekati Airin. "Oke, mau bicara apa? Sebaiknya cepat, karena..."

Airin menyela. "Aku menyukaimu."

Randy tidak jadi meneruskan kalimatnya. "Hah?" tanyanya, memastikan dia tidak salah dengar.

"Tidak, lebih dari itu," ralat Airin. "Aku menyayangimu."

Sesaat Randy bengong. Entah karena otaknya lambat menyerap perkataan Airin barusan atau karena dia sedang mengulang-ulang perkataan Airin dalam benaknya. "Oh, emm... trims..."

"Aku cuma mau bilang itu saja..." ujar Airin, tampak malu. "Eh... tidak apa-apa kalau kamu... tidak menjawabnya."

"Yeah..." Randy bingung memikirkan jawabannya. "Sepertinya kamu udah tahu jawabannya?"

Airin mengangkat bahu. "Aku nggak mau memikirkannya."

"Oke, kalau begitu jawabannya... aku tidak bisa... maaf," sahut Randy sungguh-sungguh.

Airin tampak shock, tetapi hanya sebentar saja. "Oh... oke..." gumamnya, lalu tersenyum getir.

Sejenak hening.

"Kalau begitu... aku... ke tempat latihan dulu," sambung Randy.

Airin mengangguk.

Randy tersenyum singkat pada Airin, lalu beranjak pergi. Tetapi ketika mereka masih berjarak satu meter, Airin memanggilnya lagi.

"Randy?"

Randy berbalik. "Ya?"

"Boleh aku tahu alasannya?"

Sesungguhnya Randy benar-benar tak ingin menyakiti perasaan gadis itu. "Eh... aku benar-benar menganggapmu hanya teman."

"Ooh."

"Dan," lanjut Randy, "kurasa Sonya tak akan begitu senang kalau mendengar aku dan kamu jadian."

* * *

Hendra sedang menyetem gitarnya di kamar ketika Kido datang.

"Waaah, tampaknya cinta sedang bersemi disini," kata Kido.

"Maksudnya?" tanya Hendra bingung.

"Itu, barusan gue liat junior kita ngobrol di depan asrama..." Kido menggeleng-gelengkan kepalanya. "Siapa tuh, yang kemarin tanding ganda campuran."

"Sonya sama Randy?" tebak Hendra. "Mereka kan berteman."

"Si Randy-nya, sama pasangannya si Eri."

"Oh, Airin?"

"Ya... kayaknya serius banget ngobrolnya. Ckck," Kido berdecak. "Nah loe kapan mau loe tembak Butet?"

"Udah gue bilang gue sama Butet cuma temen," kata Hendra.

"Keliatannya Butet suka sama loe," kata Kido santai.

"Bukan sama Devin?"

"Mereka temenan."

Tiba-tiba Alvent masuk kamar tanpa izin, diikuti Simon. "Gue baru latihan," jawab Alvent, menjawab pandangan Kido yang mengawasi keringat Alvent bercucuran.

"Si Tina," kata Simon pada Hendra, "kayaknya habis nangis."

"Matanya merah," tambah Alvent mengangguk-angguk.

"Terus apa urusannya ama gue?" Hendra heran.

"Cuma sekedar informasi..." kata Simon, nyengir.

"Ada yang mau gue tanyain ama loe, Mon," sahut Kido serius. "Loe sebenarnya suka ama Maria atau ama anak baru itu?"

"Sonya?" sebut Alvent.

"Gue belum pasti," elak Simon, tak ingin membicarakan masalah ini.

"Soalnya, Pia cerita ama gue kalo loe sengaja ngedatengin Sonya pas dia nangis dan ngehibur dia. Loe juga nolongin Maria waktu dia keseleo pas latihan kemarin. Nah, loe jadi kayak ngasih harapan ke mereka berdua," jelas Kido.

"Gue nolongin Maria kan karena dia lagi kesakitan. Kalau kalian ada di posisi yang sama kayak gue waktu itu, pasti kalian juga nolongin Maria kan?" ujar Simon berargumen.

"Kalo kasus Sonya?" tanya Hendra.

Simon tidak bisa menjawab.

"Jelaslah sudah, loe suka sama Sonya kan Mon?" tebak Alvent iseng.

Simon akhirnya menjawab. "Oke. Gue nganggep Sonya kayak adik buat gue. Makanya gue mau nolongin dia waktu dia lagi kesusahan."

"Cuma sebatas adik?" tegas Kido.

Simon ragu sebelum mengangguk. Kido dan Alvent puas.

"Loe, Hen?" tanya Alvent. "Sama Tina?"

Semua kini memandang Hendra yang sedang sibuk dengan gitarnya, tampaknya sengaja membuat efek dramatis sebelum menjawab. Dibiarkannya suasana hening selama beberapa saat, kemudian,

"Gue mau nembak dia malam ini."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Ending yang singkat, padat, dan nggak jelas, ya? Apa saya bikin endingnya terlalu mendadak? Oh ya, ide tentang Airin sama Randy itu benar-benar timbul begitu saja, maafkan saya kalau jadi kayak sinetron, hahaha. XD

P.S.S. Jangan lupa dikomentarin, yaaa ^^

R.A.
24 Juli 2010

0 komentar:

Posting Komentar