Rabu, 21 Juli 2010

First Chapter

Salam, Pembaca!
Ini adalah chapter pertama oretan, ehm, novel, saya, mohon dibaca, dan diberi komentar..
Happy reading! :))

>>
Jayden nyengir di depan pintu rumahku, membawa setoples keripik kentang. Karena sudah mengenal Jayden selama sepuluh tahun – sepuluh tahun yang membosankan – maka aku yakin bahwa dia pasti menginginkan sesuatu.

"Oke, kau mau apa?" tanyaku langsung.

"Menonton siaran langsung Indonesia Open di rumahmu," katanya.

"Ayah dan Bunda pergi lagi?" tanyaku lagi. "Oh, baiklah, masuk."

"Hehehe. Nih," dia menyodorkan toplesnya padaku. Aku sih menyambutnya dengan senang – persediaan keripik di rumahku sudah hampir habis. Sayang kan kalau rezeki ditolak.

Ibuku muncul dari dapur, tampak lelah. Beliau sedang membuat segunung besar donat untuk hajatan tetangga di RT sebelah, yang sebelum Jayden mengetuk pintu tadi, masih kubantu membuat adonan. Jayden mengibas-ngibas rambutku, yang berlumur tepung, katanya.

"Kyra, Mama ke warung sebentar. Bu Ayu dan Bu Loli sedang membentuk donatnya di dapur. Oh, hai, Jayden. Apa kabar?" tanya Mama, menyambut tangan Jayden, dan tanpa mendengar jawaban Jayden, Mama meneruskan, "tolong keluarkan gula halus, mentega, keju dan meisyes dari lemari makanan ya, Kyra." Mama keluar rumah sembari tersenyum pada Jayden.

"Yuk," ajakku pada Jayden, yang mengamatiku seolah aku ini makhluk asing yang baru turun dari UFO. "Kenapa kau?"

"Kau berantakan, tahu."

Secara teknis aku merasa diriku sama sekali tidak berantakan; okelah rambutku kena tepung sedikit, tapi aku mengikat rambutku dan tidak berjuntai-juntai menutupi wajahku; kaos yang kupakai kena noda telur dari serbet yang tadi kugantungkan di bahuku agar tidak kerepotan mengambil serbet lain lagi; rok selututku bernoda coklat –aku melelehkan dark chocolate dan saat menuangnya, pengaduknya kulambaikan hingga coklatnya menetes di rokku.

"Tidak, kok." Aku meletakkan toples di meja tamu. "Duduklah dulu. Aku mau ke dapur sebentar. Kau mau minum apa?"

"Biar aku bantu," kata Jayden. "Kau punya sirup jeruk?"

"Ada di kulkas."

Aku dan Jayden beriringan menuju dapur, menemui Bu Ayu dan Bu Loli yang sedang membentuk donat. Mereka tetangga-tetangga Mama yang ikut membantu membuat donat.

"Eh, ada Jayden rupanya," kata Bu Loli. Selama aku dan Jayden bersahabat, Bu Loli – yang mengamati perkembangan dan pertumbuhan kami berdua – selalu menyindir-nyindir bahwa suatu saat Jayden akan menjadi pacarku. Bu Loli tak tahu apa-apa tentang kami berdua.

"Tante," Jayden menyapa Bu Loli dan Bu Ayu yang kelihatan sibuk dengan adonan donat di tangan masing-masing.

"Liburan kemana saja?" tanya Bu Ayu ramah.

"Ke rumah Kyra, ke toko buku, di rumah saja, Tante..." jawab Jayden sembari tersenyum.

"Nggak ngajak Kyra kencan?" tanya Bu Loli.

Aku tersedak air yang sedang kuminum. "Apa, Tante?" tanyaku susah payah sementara Jayden menepuk punggungku.

Bu Loli dan Bu Ayu tertawa.

Jayden menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menuju kulkas untuk membuat sirup jeruk.

Setelah aku mengeluarkan barang-barang lain yang nanti akan digunakan sebagai toping di atas donat, aku mengambil sebungkus kacang atom dari kulkas; baru kubeli kemarin dan belum sempat kumakan.

Semenit kemudian aku dan Jayden sudah berada di sofa tepat di depan TV, menonton pertandingan Indonesia Open yang disiarkan langsung dari salah satu stasiun televisi swasta. Kami berdua sama-sama pecinta badminton sejak SMP – dan selama itu pula kami selalu berdebat tentang atlet bulutangkis yang paling populer. Aku mendukung Taufik Hidayat, sementara Jayden mengagumi Chandra Wijaya.

Dan ketika SMA pun muncul topik perdebatan baru lagi di antara kami: antara Lilyana Natsir atau Greysia Polii. Aku mati-matian menyukai Lilyana, sementara Jayden cinta pada wajah imut Greysia Polii. Atau waktu aku bilang Simon Santoso lebih cakep daripada Sony Dwi Kuncoro, Jayden selalu mematahkan hal ini dengan berkata bahwa Sony pernah mengalahkan Simon; aku bilang cakep dan kalah-menang itu nggak ada hubungannya.

Entahlah.

Aku senang mempunyai sahabat seperti Jayden. Dia tipe yang tahu-segalanya. Diajak bicara apa saja selalu nyambung. Seperti waktu kubilang bahwa Tsubasa tak mungkin terkalahkan, Jayden memberikan fakta bahwa Hyuga sudah melatih tendangan macannya, dan pasti kali ini Tsubasa kalah. Tapi kalau aku perhatikan, Tsubasa TIDAK PERNAH KALAH.

Mungkin karena faktor kami-sama-sama-anak-tunggal-yang-orangtuanya-sibuk-berat, jadi aku merasa ada satu hubungan yang kuat antara kami. Seperti ada tali tak terlihat yang menyatukan kami berdua. Yang membuat kami jadi merasa harus saling berbagi.

Secara teknis memang orang tua kami berdua sama-sama sibuk, meskipun dalam konteks yang berbeda. Ibuku sudah tiga tahun ini menjadi pembuat kue untuk acara-acara yang kerap diadakan di kompleksku; ayahku pulang-pergi Jakarta-Bandung hampir tiap hari untuk bertemu klien, dan aku nyaris tak punya waktu untuk kami sekeluarga pergi bersama ke tempat wisata, atau berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan sekalipun. Ayah Jayden, sementara itu, redaktur koran lokal dengan ibunya adalah pengisi rubrik fashion. Setiap hari mereka ke kantor koran dan pada akhir pekan sering keluar kota untuk mencari bahan-bahan baru pengisi artikel koran. Jayden malah tak punya waktu sama sekali untuk pergi keluar bersama keluarganya.

Jadilah kami berdua tersisihkan; dan akhir pekan biasanya kami lewatkan dengan menyewa DVD, joging, ke toko buku, atau mengurus blog kami. Kami punya blog yang kami urus berdua, yang isinya kebanyakan tulisan-tulisan kami tentang beragam topik yang muncul setiap saat. Di sekolah, tak ada yang tahu bahwa kami berdua-lah yang mengurus blog itu, karena kami memakai nama samaran: aku menggunakan nama Renata dan Jayden memutuskan bahwa nama Randy cukup bagus. Kugambarkan Renata adalah seorang gadis SMA yang sempurna – orangnya cantik, manis, dan cerdas; kedua orangtuanya adalah pemilik perusahaan besar; setiap hari mereka makan di meja makan bersama; tiap malam Mama Renata selalu mengecup kening Renata sebelum tidur; dan dia punya pacar yang digemari cewek-cewek di sekolahnya. Sementara Jayden menggambarkan Randy sebagai pemain band, belum punya pacar, tapi tampan, cuek dan ketua OSIS di SMA-entah-dimana.

Satu-satunya yang sesuai dengan dunia nyata adalah bahwa Renata dan Randy bersahabat, seperti aku dan Jayden. Oh, dan tentang pemain band itu. Jayden punya band bersama teman-temannya di sekolah; aku adalah vokalisnya. Anggota band Jayden cowok semua, tapi mereka baik-baik kok. Mereka menghormatiku sebagai perempuan. Ini karena kami sudah saling kenal sejak SMP.

Tentang blog itu, tak jarang tulisan dan pendapat kami sering menjadi trendsetter di kelas, bahkan di sekolah. Seperti ketika aku menulis bahwa permainan Lee Yong Dae keren sekali saat Thomas dan Uber Cup 2008, cowok itu langsung jadi tenar di kelas. Separo gadis di kelas sepertinya mempunyai satu folder penuh foto-foto Yong Dae yang mereka dapat dari internet. Separonya lagi memiliki satu folder penuh foto-foto dan artikel tentang Simon Santoso setelah mereka membaca artikel yang ditulis Randy – bahwa Simon bisa saja menjadi Ricky Subagja kedua. Aku tidak sependapat. Bagiku Ricky Subagja tidak akan tergantikan. Jangan harap ada yang bisa menjadi Ricky Subagja kedua.

Kalau sudah menonton bulutangkis, biasanya kami sering berteriak-teriak sendiri ketika smash dari pemain andalan Indonesia menukik tajam dan jatuh di daerah permainan lawan. Apalagi kalau lawan sampai jatuh karena tidak bisa mengambil kok yang jatuh di luar jangkauannya. Sering aku berteriak saat Markis Kido melakukan netting keren yang tidak sempat dicapai lawannya. Pada saat itu biasanya Jayden menegurku.

"Dia tidak bisa mendengar teriakanmu, Kyra," katanya kalem.

Aku manyun. Lalu membalasnya waktu dia berteriak "GRACE!! KAMU PASTI BISA!"

"Dia tidak bisa mendengar teriakanmu, Jayden," kataku kalem.

Gantian dia yang manyun. Kalau sudah seperti itu aku biasanya memukulnya dengan bantal sofa, yang langsung dibalasnya. Akhirnya acara nonton pertandingan bulutangkis berubah jadi acara gebuk bantal, sampai kami mendengar komentator berkata dengan gembira, "YAAA! Sebuah drop shot yang cantik dari Maria Kristin, yang tidak bisa dijangkau dan jatuh di daerah yang kosong! Yak, match point untuk Indonesia!" disertai sorakan gembira penonton Indonesia yang bergemuruh di stadion. Kami langsung duduk diam, dan ikut berteriak-teriak sampai serak saat Maria Kristin melakukan smash indahnya.

Begitulah. Mungkin karena kami tumbuh dan berkembang bersama, dan orang tua kami juga lumayan dekat, sehingga banyak kesamaan yang kami dapatkan dari masing-masing.

Kami sedang berteriak-teriak menyemangati Indonesia yang sedang melawan Jepang waktu Bu Ayu datang dan memintaku membantunya.

"Kyra? Bisa bantu Tante?" tanyanya, tanpa menghiraukan kami. Teman-teman Mama yang datang ke rumah biasanya sudah mengenalku, sehingga tidak heran melihat aku melonjak-lonjak di depan televisi saat menonton pertandingan bulutangkis sambil sesekali dilempari Jayden dengan bantal. Dia jadi tidak bisa melihat pertandingan, kan.

"Ya, Tante."

Aku mengikutinya ke dapur, meninggalkan Jayden yang mulai membuka toplesnya dan mencomot keripik.

Selama beberapa saat aku membantu kedua wanita itu menggoreng donat di wajan superbesar. Lalu Mama pulang membawa beberapa batang coklat putih.

"Mama lupa kalau persediaan coklat putihnya habis. Tolong lelehkan, Kyra."

Aku bisa mendengar teriakan-teriakan Jayden dari ruang keluarga. Hatiku mencelos waktu dia mengeluh keras; pasti angka untuk Jepang. Hatiku juga mencelos waktu Jayden berteriak ’yeeaaah!’. Pasti Taufik berhasil merebut angka lagi. Tapi yang membuat jantungku serasa naik ke tenggorokan adalah saat kudengar keluhan keras Jayden yang berturut-turut sebanyak dua kali. Sepertinya Jepang unggul.

Setelah aku membantu Mama dan Bu Ayu dan Bu Loli di dapur, aku kembali ke ruang keluarga. Separo keripik kentang di toples sudah habis.

"Kenapa, kalau begitu," kataku gusar, merebut toples dari pelukan Jayden, "kau capek-capek membawanya kesini kalau untuk kau makan sendirian?"

"Eh, maaf-maaf. Lagi seru-serunya nih."

Aku mengambil posisi di sebelah Jayden yang menatap layar televisi. Ternyata rubber set; Jepang berhasil mengalahkan Indonesia di game kedua.

“Taruhan, pasti setelah ini Taufik bakal sering mengeluarkan smash-nya," kata Jayden.

"Aku nggak mau taruhan. Aku sudah nggak punya uang lagi sejak beli kado buat Gerry kemarin," tolakku. Gerry adalah pemain bass di band kami. "Lagipula dari set pertama memang Taufik sering mengeluarkan smash-nya!"

"Tapi, coba kau lihat poin yang didapat Jepang," kata Jayden.

Game pertama, 21-16 untuk Indonesia. Game kedua, 26-24 untuk Jepang. Pasti game ini seru sekali. Game ketiga untuk sementara Jepang unggul dengan 10-4.

"Ya ampun," kataku. Dan sementara aku mengatakan itu, Taufik kembali melakukan smash keras, yang, tentu saja, masuk.

Jayden meraih bungkus kacang atom yang sudah terbuka. "Sayang kau tidak melihat game kedua. Seru sekali. Sport jantung."

"Aku tahu. Teriakanmu kencang sekali tadi. HEY! Kau lihat yang tadi?"

"LIHAT, tentu saja!"

Taufik baru saja melakukan drop shot sangat cepat yang tidak bisa diantisipasi pemain Jepang. Stadion bergemuruh oleh teriakan suporter Indonesia. Teriakan Indonesia-Indonesia muncul lagi. Aku dan Jayden ikut berteriak selama beberapa saat, dan kemudian Taufik memberi kesempatan pendukungnya untuk menggemuruhkan stadion dengan melakukan smash yang mengenai bahu pemain Jepang. Kali ini skor 10-7 untuk Jepang.

Saat pemain Jepang melakukan serve yang gagal karena mengenai net, aku memutuskan untuk membuat tulisan tentang pertandingan ini. Kutanyai Jayden apakah dia membawa modemnya, dan dia mengangguk dengan mata masih tertuju ke layar televisi, dimana kok yang dikembalikan Taufik keluar daerah permainan Jepang. Aku pergi untuk mengambil laptopku dari kamar.

Waktu aku kembali, skor sudah 12-11 untuk Indonesia.

"CEPAT SEKALI!" kataku ngeri, sambil meminta tolong Jayden memasang charger laptopku.

"Tentu saja," Jayden nyengir sembari memasukkan kabel ke stop kontak. "Pemain Jepang itu banyak melakukan kesalahan sendiri."

Tepat setelah Jayden berkata seperti itu, Jepang memukul kok ke sembarang arah, yang mengakibatkan Indonesia mendapat satu angka lagi.

"Pukulan Taufik terlalu cepat, pemain Jepang itu melakukan yang tadi secara reflek," komentar Jayden.

Susah sekali mengetik artikel sementara mataku tetap tertuju pada pertandingan yang menarik itu. Sesekali aku ikut menjerit, "aaah" dan tanpa sengaja tanganku mengetikkan "aah" juga di laptop. Jayden memang menggantikanku selama beberapa saat, tapi menurutku dia tidak melakukan kemajuan apapun di tulisannya, dia cuma menulis dua kalimat dan setelah itu tangannya berhenti mengetik sama sekali. Jayden malah merogoh kacang atom.

Ketika skor sudah mencapai 20-20, aku dan Jayden mengamati layar televisi tanpa berkedip. Dan ketika Taufik melakukan netting menyilang yang keren, aku menahan napas untuk ikut berteriak kegirangan. Satu angka lagi dan Indonesia memastikan langkahnya maju ke semifinal.

Tapi rupanya tidak cukup satu angka lagi, karena Jepang berhasil menyamakan kedudukan menjadi 21-21. Persaingan sangat ketat sekali ini membuat pendukung Indonesia terus meneriakkan yel-yel semangatnya. Aku berteriak ketika Taufik melakukan netting cepat yang gagal diantisipasi Jepang.

Dan akhirnya stadion seolah bergetar karena gemuruh sorakan suporter Indonesia setelah Taufik melakukan jumping smash yang mengesankan untuk mengakhiri perlawanan pemain Jepang yang sampai terjatuh untuk mengembalikan kok – yang gagal, karena pukulannya tidak menjangkau kok. Aku bisa melihat para pendukung Indonesia berdiri bertepuk tangan sambil meloncat-loncat. Jayden berteriak keras, yang bisa aku tolerir seandainya dia tidak berteriak di telingaku sambil memelukku.

Aku mendorongnya keras. "Nih, ketik," kataku, menyorongkan laptop ke depannya.

"Aku lagi malas ah," tolaknya, sambil memandang Greysia Polii bersama Jo Novita yang akan bermain untuk partai ganda putri.

Aku menggebuknya dengan bantal. Dia membalasnya dengan bantal lagi. Kami saling gebuk bantal di atas sofa, berlarian, sampai Mama, Bu Ayu, dan Bu Loli datang dan bertanya dengan serentak:
"Kalian sedang apa?"
* * *

Di tempat lesku keesokan harinya anak-anak sibuk membicarakan pertandingan menarik semalam. Tentu ditambah dengan sedikit kalimat-kalimat, yang, kalau aku perhatikan, mirip kalimat-kalimat yang Jayden tulis di artikel yang kami posting kemarin.

"Taufik main keren banget! Lihat netting silangnya?"

"Smashnya tajam. Kemarin aku lihat kecepatannya sampai 268 km/jam!"

"Pertandingan game kedua seru banget! Sport jantung!"

"Tapi untunglah kita menang!"

Aku cuma tersenyum menanggapi mereka. Julie memandangku dan bertanya, "Kenapa kau nyengir, Kyra?"

Aku tak sadar bahwa senyumanku lebih mirip seringai. "Eh, tidak kok."

Sebuah teriakan manja memanggilku. "KYYYRAAA!"

Aku agak terdorong ke belakang saat seorang gadis tiba-tiba datang dan memelukku erat. Azka. Sahabatku yang lain. Dan maksudku benar-benar hanya dialah sahabat perempuan yang kupunya. Tumbuh besar bersama Jayden, sedikit banyak, membuatku sedikit tomboy. Misalnya saja, aku lebih suka ngumpul bareng anak-anak cowok teman Jayden. Aku lebih merasa lega ketika bercerita tentang masalahku kepada Glenn, misalnya – drummer di band Jayden – dan dia kemudian memberiku sedikit saran, yang efektif. Kalau aku bercerita kepada Julie, dia pasti langsung berceloteh dan bukannya memberiku saran, dia malah balik bertanya padaku tentang masalahnya.

Azka berbeda. Dia agak manja karena dia anak tunggal – aku dan Jayden juga anak tunggal, tapi aku tidak manja, dan aku sama sekali tidak bisa membayangkan Jayden sebagai cowok yang manja – dan orangtuanya kaya sekali. Azka punya sopir yang selalu mengantar-jemput dia ke sekolah, ke mall, ke tempat les, bahkan ke rumahku. Tapi dengan bicara pada Azka selalu membuatku merasa lebih lega – hal yang tidak bisa kudapatkan dari gadis lain. Azka pintar menghibur. Dia juga biasanya mengabaikan kenyataan bahwa dia anak orang kaya, dan aku orang yang biasa-biasa saja.

Jadi intinya aku menyayangi Azka lebih dari anak perempuan manapun.

Aku membalas pelukan Azka dan beberapa saat kemudian dia melepasnya. "Bagaimana liburanmu?"

"Sepi," kata Azka, lalu mengambil kursi di sebelahku. "Kau bagaimana?"

"Ah, biasa saja," kataku. "Seperti biasa, membantu Mama membuat kue, mengurus blog, membuat beberapa komik."

Cuma Azka, satu-satunya orang di sekolah yang tahu kalau aku dan Jayden mengurus blog yang jadi trendsetter di sekolah.

"Kau sih enak," Azka mencubit bahuku. "Aku tak pernah diizinkan masuk dapur."

Saking sayangnya pada anak perempuannya, ibunya Azka tak pernah mengizinkan Azka masuk dapur. Oh, memang apa sih yang akan terjadi pada anak perempuan di dapur? Tanpa sengaja menusuk dirinya sendiri? Paling banter jarimu teriris, yang aku yakin akan jarang terjadi pada orang yang baru saja masuk dapur, karena pertama kali aku mengiris bawang, aku memegangi bawang tepat di ujungnya, jauh dari mata pisau. Aku tak tahu apakah ibu Azka terlalu baik atau apa.

Aku tidak bisa membayangkan ibuku melihatku masuk dapur dan berkata ’Kyra, jangan masuk dapur Nak, nanti kamu tertusuk’. Bukannya ibuku tidak sayang padaku; aku tahu benar Mama sayang padaku, itu sebabnya ibuku sering memintaku membantunya memasak – untuk masa depanku nanti. Ibuku membuat kewajiban menjadi permintaan bantuan, seperti ’Kyra, tolong Mama mengiris bawang, nak’ atau ’Tolong Mama rebuskan air’ atau ’Potong-potong kacang panjang dan wortelnya, ya’. Sehingga aku pun bisa karena biasa. Azka tidak bisa karena tidak biasa.

Kau boleh saja menyebutku kejam, tapi aku kasihan pada anak perempuan yang bahkan menginjak lantai dapur saja pun tak pernah. Maksudku, bagaimana nasib mereka kalau sudah menikah? Apa yang akan mereka sajikan pada suami mereka? Mie instan setiap hari? Atau makan di luar rumah setiap hari? Aku tidak mau seperti itu. Aku mau menjadi ibu rumah tangga dan istri yang baik. Keinginan ini muncul sejak aku kelas satu SMP; Mama waktu itu diopname di rumah sakit karena sakit typus, Papa menemaninya seharian, dan aku di rumah bersama Tante Rika, adik Mama yang waktu itu akan menikah. Aku sudah lupa cerita bagian awalnya, yang jelas Tante Rika berkata, "masa anak perempuan nggak bisa masak? Ayo sini, bantu Tante."

Ya ampun, aku benar-benar tersindir. Okelah, dari SD aku sudah bisa masak mie rebus, mie goreng, yang standar-standar sajalah. Pekerjaan rumah bisa kulakukan. Masak nasi aku juga sudah bisa. Tapi memasak, dalam hal ini membuat masakan, seperti tumis, sup, dan sebagai-sebagainya yang biasa kita makan sebagai lauk, aku memang belum mahir.

Sejak saat itu aku mulai ikut masak bersama Tante Rika selama Mama di rumah sakit, dan kulanjutkan sampai Mama pulang. Tante Rika bilang, "nggak ada yang namanya ’belajar masak’. Yang ada, kamu harus bantu Mama masak. Nanti, kamu pasti terbiasa. Akhirnya, jadi ’bisa masak’. Oke?" Tante Rika memberiku kedipan matanya. Aku mengangguk dengan semangat.

Aku juga dilarang pilih-pilih makanan. Pokoknya, apa yang Mama masak, harus dimakan. Untung sih, karena masakan Mama selalu enak. Mama selalu mengajariku untuk menghargai orang lain. Akhirnya aku terbiasa makan segalanya. Jayden juga begitu. Dia diajari untuk makan apa yang ada di rumah. Kalau Jayden minta lele goreng, misalnya, dan di rumah hanya ada ayam, dia harus terima. Kalau tidak mau makan ya sudah.
Kami berdua sudah diajari mandiri sejak kecil. Dan semakin terbiasa sejak kedua orang tua kami sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Lain halnya dengan Azka. Dia bisa minta apa saja untuk makan malam dan pembantunya akan segera memasakkannya. Kadang ibunya pribadi menawarinya makanan yang dia sukai, kalau makan malam itu bukan makanan kesukaan Azka.

Mungkin itu yang membuat Azka agak manja.

"Cobalah sekali-kali masuk dapur dan buat mie instan," saranku.

Azka mengangkat bahu. "Mama tidak izinkan."

Azka selalu begitu – dia bilang dia menyesal tidak diizinkan masuk dapur, tapi dia sendiri tidak pernah melakukan hal yang bisa membuatnya diizinkan masuk dapur. Dia tidak meyakinkan orangtuanya. Kalau Jayden, orangtuanyalah yang meyakinkan dia bahwa dapur bukanlah untuk cewek saja.

"Oh, baiklah kalau begitu," ujarku.

"Kita pergi yuk nanti," ajak Azka, mengeluarkan bukunya. "Ada diskon di butik sebelah cafe."

"Aku tidak punya uang lagi sejak ulang tahun Gerry," tolakku halus.

"Yaaah," kata Azka, dan dia benar-benar menyesal. "Kalau begitu kita lihat-lihat buku baru saja, bagaimana?"

"Oke, hanya melihat saja?" ujarku memastikan. "Tapi aku harus pulang cepat. Jayden dan aku akan menonton Indonesia Open di rumahku."
"Sip lah."

Ini dia yang kusuka dari Azka. Dia tidak pernah menggembar-gemborkan kekayaannya di depan teman-temannya. Mungkin karena dia terlalu kaya, sehingga tingkahnya biasa saja. Dia jarang menawariku untuk membayarkanku sesuatu; aku juga tidak pernah meminta dia untuk membayarkan sesuatu. Kami adalah teman seumur hidup. Teman tidak bisa dibeli dengan uang. Motto yang kami pegang sejak membaca komik Detective Conan.

* * *

1 komentar:

  1. Wow, bagus banget^^ Plotnya rapi, xD

    Haha, jd pengen bikin blog, xDDD

    BalasHapus