Oh, Sayang. Belum cukupkah aku meneteskan gerimis di pangkuanmu. Di bahumu. Di dadamu. Dan saat kau rengkuh aku, kau hanya berkata ‘semua akan baik-baik saja’.
Oh, Sayang. Tak sadarkah aku mengharapkan belaianmu. Tak pedulikah kau pada inginku mendapat pelukanmu. Dan saat kau menatapku, aku ingin kau berkata, ‘karena aku akan selalu ada di sampingmu’.
Haruskah aku meneteskan hujan air mata agar membasahi dunia? Agar dunia tahu bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk kutempuh sendiri?
Mestikah aku meneriakkan derita pada dunia? Agar dunia tahu bahwa kau telah meninggalkanku sendirian?
Dan apa kau masih bisa mengingat janjimu beberapa menit yang lalu?
Ini, jika kau melupakannya, ini, dengan senang hati kuulang, karena dia memang selalu kuulang berkali-kali dalam memoriku.
‘biarpun seluruh dunia meninggalkanmu, biarpun dunia berbohong padamu, biarpun langit menangis untukmu, biarpun pelangi tak pernah bersinar untukmu, biarpun malam selalu datang untukmu, ingatlah, bahwa kau selalu punya satu bintang. Bintang yang memberi harapan. Ingatlah, bahwa bintang itu adalah aku.’
Dan kata-kata itu berpendar-pendar muram sekarang. Dan sinar bintang itu redup sekarang. Dan harapan itu hilang sekarang.
Bahkan belum lima menit berlalu. Tetapi janjimu telah menguap. Seseorang tak bisa menepati janji suci itu lagi. Dan aku tak bisa menyalahkan siapapun.
Sama sekali tak bisa mengeluh bahwa malaikat telah merenggut sesuatu yang berharga bagimu. Bagiku.
Yang membuatmu hidup. Bernafas. Bicara padaku.
Oh, Sayang, seandainya kau tahu begitu banyak waktu yang kubuang hanya untuk memikirkanmu. Membayangkanmu.
Oh, Sayang, semestinya kau tahu bahwa aku tak pernah menyesali semua waktu yang kuhabiskan bersamamu. Menjagamu.
Oh, Sayang, seharusnya kau tahu mengapa aku rela menghabiskan malam-malam panjang berada disampingmu. Memandangmu.
Kita memang tidak sempat membagi kasih sayang, yeah. Dan kepedihan atas cintaku yang terlalu dalam itu sudah datang. Datang dan membabi buta.
Dan tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan, Sayang.
* * *
Ketika Yang Kuasa memisahkan dua manusia yang nyaris terikat oleh tali tak kasat mata, seolah mengiringi kepergian satu manusia dan menemani tangis satu manusia, Dia menurunkan tetes-tetes air berharga.
Nyanyian itu masih terdengar. Menetes. Dan terus menetes. Deras. Meski tak ada yang mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.
Nyanyian yang lebih keras juga masih terdengar. Menetes. Dan tetap menetes. Lebat. Tetapi semua mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk terpesona.
Yogyakarta, 8 Januari 2011
R.A.
Oh, Sayang. Tak sadarkah aku mengharapkan belaianmu. Tak pedulikah kau pada inginku mendapat pelukanmu. Dan saat kau menatapku, aku ingin kau berkata, ‘karena aku akan selalu ada di sampingmu’.
Haruskah aku meneteskan hujan air mata agar membasahi dunia? Agar dunia tahu bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk kutempuh sendiri?
Mestikah aku meneriakkan derita pada dunia? Agar dunia tahu bahwa kau telah meninggalkanku sendirian?
Dan apa kau masih bisa mengingat janjimu beberapa menit yang lalu?
Ini, jika kau melupakannya, ini, dengan senang hati kuulang, karena dia memang selalu kuulang berkali-kali dalam memoriku.
‘biarpun seluruh dunia meninggalkanmu, biarpun dunia berbohong padamu, biarpun langit menangis untukmu, biarpun pelangi tak pernah bersinar untukmu, biarpun malam selalu datang untukmu, ingatlah, bahwa kau selalu punya satu bintang. Bintang yang memberi harapan. Ingatlah, bahwa bintang itu adalah aku.’
Dan kata-kata itu berpendar-pendar muram sekarang. Dan sinar bintang itu redup sekarang. Dan harapan itu hilang sekarang.
Bahkan belum lima menit berlalu. Tetapi janjimu telah menguap. Seseorang tak bisa menepati janji suci itu lagi. Dan aku tak bisa menyalahkan siapapun.
Sama sekali tak bisa mengeluh bahwa malaikat telah merenggut sesuatu yang berharga bagimu. Bagiku.
Yang membuatmu hidup. Bernafas. Bicara padaku.
Oh, Sayang, seandainya kau tahu begitu banyak waktu yang kubuang hanya untuk memikirkanmu. Membayangkanmu.
Oh, Sayang, semestinya kau tahu bahwa aku tak pernah menyesali semua waktu yang kuhabiskan bersamamu. Menjagamu.
Oh, Sayang, seharusnya kau tahu mengapa aku rela menghabiskan malam-malam panjang berada disampingmu. Memandangmu.
Kita memang tidak sempat membagi kasih sayang, yeah. Dan kepedihan atas cintaku yang terlalu dalam itu sudah datang. Datang dan membabi buta.
Dan tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan, Sayang.
* * *
Ketika Yang Kuasa memisahkan dua manusia yang nyaris terikat oleh tali tak kasat mata, seolah mengiringi kepergian satu manusia dan menemani tangis satu manusia, Dia menurunkan tetes-tetes air berharga.
Nyanyian itu masih terdengar. Menetes. Dan terus menetes. Deras. Meski tak ada yang mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.
Nyanyian yang lebih keras juga masih terdengar. Menetes. Dan tetap menetes. Lebat. Tetapi semua mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk terpesona.
Yogyakarta, 8 Januari 2011
R.A.
0 komentar:
Posting Komentar