A daily conversation between me, myself, and I.
Myself: "Serius kamu mau berhenti?"
Me: "Yup."
I: "Kenapa?"
Me: "Karena sudah tak ada yang bisa diperjuangkan lagi."
I: "Meskipun kamu berusaha, mencoba, berharap, berdoa?"
Me: "Tetap saja ada hal-hal yang tidak akan terkabul."
Myself: "Kurasa aku paham perasaanmu."
Me: "Aku sudah tidak punya alasan untuk berjuang."
I: "Aku tidak paham. Kenapa kamu tidak mencoba membuat alasanmu sendiri?"
Myself: "Karena dia terlalu jauh untuk dicapai. Ya kan?"
Me: "Benar."
Myself: "Dan kamu terlalu sakit hati dengan 'mencoba' mencintainya."
Me: "Yup."
I: "Aku masih tidak paham. Bukankah kamu tulus menyukainya?"
Me: "Aku memang tulus. Buktinya, aku tidak berhenti berharap. Aku tidak akan pernah bisa benar-benar berhenti berharap. Tetapi, aku sudah menyerah untuk memilikinya."
Myself: "Lagipula, buat apa mengejar yang kemungkinan kecil kita bisa memilikinya? Lebih baik melihat ke depan dan menghadapi apa yang sudah ada. Belajar bersyukur."
I: "Maksudmu, belajar mencintai seseorang yang mencintai kita dan mengenalnya lebih dekat?"
Me: "Ya, itu lebih menyenangkan, kan?"
Myself: "Karena rasanya menyenangkan kalau kita tahu ada yang mencintai kita. Yang selalu memperhatikan kita. Yang selalu menunggu kita."
Me: "Melihat orang yang selalu melihat kita."
I: "Dan melupakan orang yang tidak melihat kita?"
Myself: "Ralat: tidak BISA melihat kita."
Me: "Atau tidak mau karena sudah terikat."
I: "Dalam kasusmu, dia belum terikat."
Myself: "Setidaknya hatinya sudah terikat."
Me: "Dan akan sangat susah untukku masuk dalam hati itu."
I: "Kamu sudah coba?"
Me: "Mencoba, dan gagal."
I: "Dan kamu sudah menyerah?"
Myself: "Karena tidak ada alasan lagi untuk memperjuangkan apapun."
I: "Bahkan untuk menjadi dirimu sendiri dan membiarkan dia yang memperhatikanmu?"
Me: "Aku baru sadar bahwa itu hanya khayalan belaka."
Myself: "Yang hanya sepersekian ratus persen kemungkinannya akan jadi nyata."
Me: "Begitulah."
I: "Well, semua terserah padamu. Setiap orang punya caranya masing-masing. Tapi, kalau terjadi sesuatu, aku siap menemanimu."
Myself: "Ya, karena kita satu."
Me: "Maksudnya?"
Myself: "Aku, kamu, dia, kita sama. Satu tubuh. Satu badan. Satu jiwa."
Me: "Jadi, pembicaraan ini terjadi dimana?"
I: "Entahlah, mungkin pikiranmu?"
Myself: "Bisa juga hatimu."
Me: "Hatiku sudah rusak."
I: "Kalau begitu perbaikilah."
Myself: "Secepatnya."
Me: "Akan kucoba. Tapi aku butuh bantuan kalian."
Myself: "Selalu."
I: "Jangan khawatir."
Me: "Terima kasih."
0 komentar:
Posting Komentar