Senin, 21 Maret 2011

, ,

Semester II di KG

Salam, Pembaca!


Waktu saya menulis ini sebenarnya besok hari Selasa, 22 Maret 2011, dimana ada praktikum Histologi dan Biokimia yang bahan pretestnya bejibun. 
Waktu saya menulis ini sebenarnya saya sadar bahwa minggu lalu saya inhal praktikum Histologi bab Textus Connectivus dan Cartilago, yang berarti dihitung 2 bab, yang berarti besok-besok nggak boleh inhal lagi. 
Waktu saya menulis ini sebenarnya saya sadar bahwa laporan praktikum Biokimia dan Mikrobiologi yang harus dikumpulkan besok dan Rabu besok belum selesai, padahal ada satu laporan sementara yang merupakan 'tiket masuk' praktikum Mikrobiologi di hari Rabu. 
Waktu saya menulis ini sebenarnya saya sadar bahwa retainer - kawat ortho lepasan - yang baru saja jadi tadi siang belum di-polishing hingga mengkilat, padahal sudah tertunda beberapa hari, yang berarti mengurangi nilai pada akhirnya nanti. 
Waktu saya menulis ini sebenarnya saya sadar bahwa saya nggak serajin dulu. 
Oke, saya sedikit kepedean sedikit. 
Kalau denger dari cerita Ibuk, dulu kayaknya saya rajin banget. Waktu SD, kerjaan saya pulang sekolah, ya ngulang baca pelajaran yang baru aja diajarin di sekolah. 
Waktu kuliah, pulang kuliah kerjaan saya online - itu waktu semester I. 
Semester paling jaya di FKG, kayaknya. 
Karena semester II sekarang benar-benar berbeda sama semester I lalu. 
Weekend semester I, kamu bisa menemukan saya di Ambarukmo Plaza atau Galeria Mall. 
Weekend semester II, kamu hanya bisa menemukan saya di kamar kosan, mengerjakan laporan atau online. Nggak berani keluar. 
Kenapa ya?
Saya akhir-akhir ini sering kepikiran ibuk-bapak di rumah. Di Pekanbaru. 
Mungkin saya homesick, apalagi dengan berbagai masalah yang saya timbulkan tanpa sengaja disini. 
Dengan ngulang bikin kawat dari awal karena gips di kuvet bawah pecah dan nempel di kontra model (oke, mohon maaf kalo roaming). Artinya, saya mesti ngulang dari bengkokin kawat. Ngaduk gips lagi, ngamplas lagi, semuanya sendiri. Well, emang ada temen-temen yang care banget, nanyain gimana-gimana, but over all, saya ngerjain semua sendiri, dalam waktu sehari. 
Dan asal tahu saja, bikin itu nggak gampang. Banyak resiko gagal! 
Belum lagi inhal Histologi saya karena nilai pretest yang kurang. Ah, tapi saya nggak terlalu memusingkan itu, karena prosedurnya lumayan gampang. Meski agak ngerasa bersalah sama asisten praktikum saya, sih. 
Nggak heran kakak angkatan pada kocar-kacir nilainya di semester II. 
Saya berharap nilai saya naik, sebenarnya. Karena saya mesti ngulang Biologi Sel dan Molekuler di semester III -__-" buat dapet nilai A, atau paling banter, B. Jadi saya mesti ambil SKS sedikit lebih banyak dari temen-temen saya yang lain. 
Terkesan seperti membuka aib sendiri, ya. 
Tapi, saya cuma ingin pembaca ngerti. 
Bahwa di Kedokteran Gigi, nggak semudah kedengarannya. 
Kalau ada anak FKG yang bawa-bawa buku praktikum anatomi kemana-mana, bukan bermaksud sombong. Tapi karena tuntutan. Dalam seminggu, ada 5 praktikum dan kesemuanya ada pretest. Belum lagi kalau ada bab yang digabung. 
Kebayang kan gimana harus ngehafal semua bahannya? 
Jadi, tolong, tolong, tolong, kalau ada anak-anak yang dengan ribut bicara dengan bahasa latin yang tidak kalian mengerti, atau kalian menangkap sebuah kata yang mengindikasikan 'fakultas kedokteran gigi', tolong hargai kami, bukan bermaksud mengumbar tentang fakultas kami, tapi karena kami ingin menjadi dokter gigi yang baik, yang mengerti anatomi gigi, fisiologi tubuh, supaya bisa mengobati sakit kalian nantinya :)


Tapi sungguhan deh, semester II di FKG UGM bener-bener kerasa belajar Kedokteran Gigi-nya. Semester I, masih kayak SMA. 
Coba liat anak semester II. Sekarang kemana-mana bawa toolbox. Yang isinya alat pertukangan gigi. Seriusan deh, saya berasa jadi montir kalo bawa toolbox merah saya itu. Mana diliatin kalo pas makan di warung makan mana gitu -____-" 
Satu lagi, kalau kalian melihat ada anak KG yang membawa alat-alat aneh yang tidak kalian kenal, tolong jangan dipandangi sambil berbisik-bisik, apalagi menunjuk-nunjuk, sambil ketawa-ketawa, karena itu bisa menyebabkan kesenjangan sosial :) dan kesalahpahaman juga. 
Karena itu untuk kalian juga pada akhirnya! Kawat ortho yang kalian pakai itu, asal mulanya dari benda bernama kuvet dan press berbentuk aneh yang terbuat dari kuningan. 


Dan bikinnya bikin nangis. 


Serius, saya nggak bohong. Saya bener-bener nangis. Semua perasaan tumpah jadi satu: kesel, kecewa, sebel, jengkel, marah, kangen rumah, sedih. 
Saya juga ngerasa kosong. Sendiri. Nggak punya siapa-siapa. Oke, banyak temen, kalian bisa bilang gitu. 
But that's not what I mean, dude!
Saya sendirian di kota ini. 
Saya nggak punya siapa-siapa! Mengertilah. 


Kadang, kalo lagi kayak gini, saya suka galau-galau sendiri, nggak jelas.  
Padahal, buat praktikum besok siang belum belajar buat pretest. 
Jangan itu deh, laporan buat besok aja belum bikin :P


Oh Tuhan, kembalikan sifat rajin saya, tolong. Saya butuh untuk 5 tahun ini, Ya ALLAH.
Continue reading Semester II di KG

Minggu, 13 Maret 2011

, ,

Cuma Sekedar Curhat

Salam, Pembaca!

Ini bulan Maret, kebetulan bulan kelahiran saya :) dan berhubung saya kepikiran, tentang ulang tahun, tentang berkurangnya sisa hidup, tentang kedewasaan, dan tentang masalah, saya jadi pengen curhat sedikit. 

Ini tentang hidup saya, tentu saja. 

Bagaimana saya merasa semakin pesimis akhir-akhir ini. 
Bagaimana saya merasa semakin sendirian akhir-akhir ini.
Bagaimana saya merasa semakin sensitif akhir-akhir ini. 

Pesimis? 
IYA! 
Saya merasa saya pesimis. 
Dalam segala hal. 
Kuliah saya. 
Karir (?) saya. 
Kehidupan cinta (?) saya. 
Ya, saya pesimis. 
Satu, kuliah saya. Well, alhamdulillah sejauh ini lancar. Cuma saja, saya didera amnesia akut yang entah sejak kapan saya derita. Saya nggak bisa ingat lagi bagian-bagian di cranium yang saya pelajari waktu praktikum anatomi. Padahal saya benar-benar memerhatikan, kalau saya tidak salah. Dan tentu tidak salah, karena saya yang ada disana. Saya jadi ngerasa bego, bodoh, tolol, apalah. Saya jadi ngerasa nggak bisa. 
Dan sayangnya nggak ada yang percaya hal itu. 
Saya juga nggak meminta kalian untuk percaya kok. Tenang saja. Saya cuma ingin kalian memaklumi saya. 
Saya sering sedih sendiri kalau ingat di akhir semester nanti ada responsi, review, tentamen, di setiap praktikum. Saya nggak bisa bayangin gimana nanti saya review anatomi cranium dua dengan modal ingatan kayak gini. Payah. 
Belum lagi masalah modem yang bikin kesel tiap saya mau cari jurnal buat laporan biokimia sama mikrobiologi. 
Belum lagi praktikum teknologi kedokteran gigi II dengan berbagai resiko yang bisa bikin saya ngulang pekerjaan dari awal, dari bengkokin kawat. 
Saya ngerti saya nggak seharusnya ngeluh. Saya cuma capek. 
Saya cuma butuh motivasi. 
Tapi saya nggak ngerti dapet motivasi darimana. 
Ada nggak sih yang buang motivasi di jalan?

* * *

Novel-novel saya terbengkalai. Benar-benar lumutan, karatan di folder di laptop. Saya nggak punya kesempatan menyentuhnya, membukanya, membacanya, apalagi meneruskannya. Saya bahkan nggak punya ide untuk meneruskannya. Saya menyedihkan! Saya cuma bisa memulai tapi nggak pernah bisa menyelesaikan. 
Mimpi saya, jadi dokter gigi dan penulis!
Tapi kalau gini terus, kapan jadinya? 
Sementara saya sendiri nggak pernah mengusahakan apapun. 
Bukan saya yang minta!
Tapi keadaan yang memaksa. 
Saya juga nggak mau nyalahin keadaan. Oke, semuanya balik ke saya lagi.
Lihat kan, apa-apa juga pada akhirnya saya yang salah. 
Semuanya. 
Salah saya. 
See? 

* * *

Saya nggak cantik kok. 
Saya juga nggak pinter. 
Saya nggak punya kelebihan yang bisa menarik cowok manapun. 
Itu mungkin kenapa saya nggak punya pacar. Kalau ditanya apa saya mau punya pacar?
Sometimes I need someone, here. 
Saya cuma butuh seseorang yang bisa diandalkan, itu saja. Saya cuma butuh kasih sayang. 
Seseorang yang benar-benar bisa menghargai saya. 
Seseorang yang benar-benar bisa menyayangi saya. 
Seseorang yang benar-benar bisa saya percaya. 
Seseorang yang benar-benar bisa mengerti saya.
Seseorang yang benar-benar bisa membiarkan saya menang, membiarkan saya memilih apa yang saya suka sekali-sekali. 
Sekali saja. 
Saya cuma butuh ditanyai. 
"Apa yang kau inginkan?" 
Itu saja. 
Dan saya akan menjawab dengan tangisan bahagia. 
Apa itu sulit?
Sulitkah bertanya semacam itu pada saya? 
Apa karena saya tak pernah protes akan apapun? 
Jangan salahkan saya; saya tak pernah dididik untuk protes. Saya nggak pernah bisa ngungkapin semua dengan kata-kata, karena itu saya menangis. Karena itu saya menulis! Setidaknya hargailah tulisan saya. Karena itu ungkapan hati saya yang sesungguhnya! Saya nggak bisa langsung ngomong karena saya pengen jaga perasaan orang-orang yang mendengar komentar saya. 
Saya nggak pernah bisa bilang tidak. 
Saya pengen orang yang bisa ngerti saya kapan saya lagi nggak mood atau apa. Apa segitu nggak berharganya saya sampai nggak keliatan kalau saya habis nangis, saya lagi marah, saya lagi ngambek, saya lagi nggak mood, saya lagi nggak enak hati, atau saya lagi sakit sekalipun? Nggak keliatan? 
Kejadian kayak gini selalu terjadi pada saya.

* * *
Mungkin saya terlalu sensitif atau apa.
Mungkin saya terlalu berlebihan atau apa.
Namun apa salah punya perasaan kayak gini?
Siapa yang ngelarang kita?
Siapa yang ngatur-ngatur kita boleh punya perasaan gini atau enggak?
Yang penting itu gimana caranya kita biar nggak berlarut-larut!
Mungkin saya cuma pengen pulang dan peluk kedua orang tua saya.
Mungkin ini efek nggak ketemu Ibuk dan Bapak selama 7 bulan.
Mungkin saya cuma kangen rumah.
Maaf kalau postingan saya ini nggak penting.
Saya cuma pengen curhat.
Saya nggak minta didengar kok.
Saya juga nggak minta dibaca.
Saya cuma pengen dihargai.

Jogja, 10 Maret 2011
R.A.
P.S.
Saya cuma pengen pulang.
Continue reading Cuma Sekedar Curhat

Sabtu, 05 Maret 2011

, ,

Malam Mingguan ala Saya

Tulisan ini sebenarnya gue bikin jam sebelas malem, waktu malam minggu alias malam sebelum hari Minggu. Malem minggu gue sama kayak malam-malam minggu sebelumnya, selama delapan belas tahun. Gue selalu melewatkan malam minggu sendirian, well, sebagian dengan sahabat, but, no boyfriend. And that doesn't make sense to me, actually. Ada ataupun nggak ada pacar, malam minggu gue tetep sama aja selama delapan belas tahun. Gue emang pernah punya, selama beberapa saat, tapi nggak pernah ada yang namanya malam minggu buat gue. Dan apakah itu ngebikin gue jadi menyedihkan? Nonsense. So what kalo gue gak pernah malam mingguan tapi at least gue melewatkan malam minggu dengan baik. Bareng keluarga atau temen-temen. Gue udah cukup senang dengan semua itu.

Well, sometimes, aku pengen juga punya pacar. Tapi entahlah dengan kondisi gue sekarang, gue sama sekali nggak mungkin menarik perhatian cowok. Gue nggak cantik, nggak pintar, nggak menarik sama sekali. Gue gak punya kelebihan yang bisa bikin cowok menolehkan kepalanya ke gue.

Tapi, gue juga punya sahabat-sahabat beda gender, baca: cowok, yang sering gue curhatin atau mereka yang jadi mellow gara-gara cewek. Yah, kebanyakan kasus sih gue yang jadi tempat curhat para cowok itu, dan waktu gue tanya kenapa kalian percaya gue buat cerita? Mereka cuma bilang, ya kita yakin aja lo gak bakal ceritain ke siapa-siapa, lagipula, lo juga percaya gue buat cerita, jadi intinya yah, kita saling percaya! Mereka juga bilang, udah ngerasa lega aja kalo udah ngungkapin perasaan bete mereka ke orang yang mau dengerin curhatan mereka.

That was sweet for me.

Mungkin, yeah, itu sih biasa aja. Tapi, gue, udah berusaha keras untuk ngedapetin kepercayaan orang-orang. Dan usaha itu nggak kecil. Malah sempet nyerah, beberapa tahun lalu. Nyerah, lalu sakit. Dan ketika kepercayaan itu datang, gue gak bakal mau ngekhianatin.

Gue harap sampai selamanya.

Well, ini tulisan yang bener-bener gue bikin sepenuh hati :)
>>
Ah, hidup gue selalu penuh kekalahan.

Apapun yang gue lakuin, pasti gue gak pernah jadi pemenang. Pasti selalu ada orang di atas gue. Dan itu nggak cuma 1-2 orang.
BANYAK!
Banyak orang ngalahin gue dalam segala hal. Dan rasanya apapun yang gue lakuin selalu salah.
Selalu ada orang lain yang ngelakuin hal yang benar, dan ngalahin gue. Dan di saat yang bersamaan, nggak ngehargain gue.
Mungkin gue emang gak cukup berharga untuk bahkan dihargai.

Karena pada akhirnya gue yang selalu ngalah. Harus selalu mengalah. Dalam segala hal. Dan gue nggak bisa protes. Nggak pernah, dan nggak akan bisa. Karena gue udah terlalu sering mengalah. Bahkan tanpa disuruh untuk ngalah.

Sebab mengalah itu inisiatif!
Kesadaran diri.

Orang yang selalu ingin menang, nggak akan pernah mau ngalah.
Memang mengalah bukan berarti gak menang.
Tapi dalam kasus gue, mengalah berarti ngebiarin orang lain menang. Tanpa mengizinkan diri sendiri menang sekalipun. Meski semua orang punya hak untuk menang. Tapi gue memilih untuk mengalah.

Karena itu,
Hiduplah, Kawan!
Aku mengalah untuk membiarkan kalian hidup!

Aku mengalah untuk mati!


Jogja, 19 Februari 2011
23.04

P.S.
Tadinya emang mau curhat doang, tapi di ending malah jadi puisi :p dasar orang galau!
Continue reading Malam Mingguan ala Saya

Sabtu, 12 Februari 2011

, , ,

Curhatan si Tempat Curhat

Kawan, dengarlah curhatku!

Terdengar seperti sebuah lagu?

Dan aku masih menungguimu. Menunggumu menyelesaikan ceritamu.
Ceritamu yang tak berubah sepanjang waktu. Masih tentang gadis itu. Gadis incaranmu. Yang membuatmu bertahun-tahun menunggu.
Dan dengan senang aku menunggu! Menunggu tiba waktuku memberi nasihatku padamu.
Lalu, kamu mengatakan itu: 'aku cemburu!'. Dan aku berkata, hanya berkata, 'tabahlah, tenanglah!'
Kemudian kamu pergi! Setelah tersenyum dan berterima kasih padaku. Dan aku tersenyum, bangga dan senang bisa membantumu. Meskipun rasanya aku tak bisa mengubah apapun di hidupmu. Tetapi kamu dengan baik hati berkata bijak. 'terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku'.

Dan aku datang menemuimu. Panggilanmu yang tiba-tiba di ponselku.
Ceritamu yang tak berubah sepanjang waktu. Masih tentang gadis itu. Gadis gebetanmu. Yang memabukkanmu, melupakan kekasihmu.
Dan dengan gembira aku menunggu! Menunggu datang saatku memberi saranku padamu.
Kemudian, kataku padamu, 'ingatlah gadismu disana! ingatlah bahwa dia menunggumu! ingatlah... bertahun-tahun kau dengannya. ingatlah... perasaannya.'
Lalu kau pun mengantarku pulang! Sembari tersenyum dan berterima kasih padaku. Dan aku membalas senyumanmu, merasa senang sudah menyadarkanmu. Walaupun rasanya aku tak bisa mengubah apapun di hidupmu. Tetapi, kau pun dengan baik hati berkata bijak. 'terima kasih sudah mengingatkanku'.

Dua orang yang berbeda yang mengajakku curhat. Dan kebetulan keduanya cowok. Sebab mereka mempercayaiku dan aku senang bisa menjadi gadis yang bisa mereka percayai. Well, sometimes, aku yang curhat ke mereka, tentang masalahku, tentang cowok, dan, kata-kata bijaklah yang sering kudapatkan. Anehnya, entah kenapa selalu mereka yang lebih bijak daripadaku, padahal satu di antara mereka lebih muda setahun dariku, dan yang satunya hanya lebih tua 3 bulan. Baru akhir-akhir ini dia mengakui bahwa dia lebih tua daripada aku! Aku kadang dibingungkan oleh mereka berdua. Suatu saat mereka bilang ingin cerita, tetapi beberapa menit kemudian mereka mengurungkan niatnya untuk curhat. Nah, siapa yang tidak penasaran?

Kadang aku bingung kenapa mereka mau mempercayaiku, mereka bisa mempercayaiku. Padahal aku juga bukanlah cewek yang juga berprofesi sebagai psikolog. Aku ingin jadi penulis, dan calon dokter gigi. Atau, karena aku mempercayai mereka, makanya mereka juga percaya aku? Entahlah. Aku tak pernah bisa mengerti perasaan cowok.

Jangan harap akan terjadi apa-apa antara kami; kami hanya teman curhat, sahabat, tidak lebih. Tidak akan bisa lebih. Meskipun orang bilang persahabatan antara cewek dan cowok itu tidak ada. Memang tidak ada, ya. Akan ada salah satu yang mencintai yang lain. Atau saling suka. Masalahnya adalah perasaan itu tidak bisa tersampaikan. Kami sudah terlalu menikmati hubungan ini dan tidak mau keluar dari zona nyaman kami untuk hubungan yang lebih. Biarlah sahabat tetap sahabat, pasangan tetap pasangan. Ada jalurnya masing-masing. Kalaupun salah satu di antara kami harus menyatakan perasaannya, itu cerita lain. Takdirlah yang berbicara saat itu. Kita masih tetap bisa memilih mau jadi sahabat selamanya atau pasangan selamanya.

Sudah resiko jadi sahabat, atau teman curhat, hanya dihubungi waktu lagi bete! Atau lagi down. Atau lagi ada masalah. Nyaris tak pernah ada pembicaraan di waktu luang; di saat-saat kosong, misalnya. Pesan selalu diawali dengan 'lagi sibuk?' atau 'lagi apa?' tapi kemudian diteruskan dengan 'pengen cerita, lagi bete nih' atau 'asem lah, si ******* bikin cemburu aja'. Yah, begitulah. Dan aku juga, tak dipungkiri, sering berlaku sama. 'huwaaaaa, tadi di kampus ketemu si seniooorr' atau 'suntuk euy, pengen curhat T.T'. Well, kalian bisa melihat perbedaan antara pesan seorang cowok dan pesan seorang cewek.

Aku selalu jadi cewek yang diajak bercerita oleh cowok tentang cewek lain yang mereka sukai. Tapi aku tak pernah protes! Senang rasanya bisa membantu orang lain. Akan tetapi, kadang aku penasaran bagaimana rasanya menjadi cewek yang diceritakan cowok pada cewek lain. Cerita atas dasar suka.

Ah, mungkin belum saatnya.


Jogja, 4 Februari 2011
R.A.

P.S.
Hanya sebuah tulisan untuk mengingatkan diri sendiri agar selalu bersyukur atas apa yang telah didapat: sahabat-sahabat yang baik.
Continue reading Curhatan si Tempat Curhat
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 6)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)

>>
CHAPTER 6

Seusai pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam hari itu, Lucy berniat kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas Profesor Snape, tetapi hatinya mengajaknya untuk berkunjung ke Kandang Burung Hantu sejenak. Entah angin apa yang menyuruhnya pergi ke sana. Tetapi Lucy, yang sudah penat karena pelajaran tak henti sedari pagi, ingin sekedar menyapa Western atau, kalau dia beruntung, melihat burung hantu elang milik Draco.

Perutnya sakit memikirkan Draco, tetapi perasaan ini ditepisnya.

Jangan memikirkan dia lagi, Lucy, dia bukanlah apa-apa lagi bagimu.

Atau benarkah begitu?

Karena Lucy tak bisa berhenti memikirkan rambut pirangnya, wajah pucatnya, bintik-bintik di wajahnya ketika ia semakin mendekat... aroma tubuhnya...

Lucy berhenti mendadak di tangga teratas Kandang Burung Hantu. Ia mencium wangi sesuatu. Wangi yang disukainya. Wangi yang menempel di bajunya setelah ia memeluk seseorang dengan erat.

Parfum Draco.

Draco berdiri di dekat jendela, memandang Lucy yang berdiri di ambang pintu Kandang. Lucy kaget melihat Western bertengger di bahu Draco, tetapi kekagetannya ini tak ditampakkannya.

"Apa yang kau lakukan disini?" mereka bertanya bersamaan.

"Kau duluan," kata Draco.

"Menyapa Western," jawab Lucy. "Kau?"

"Mengirim surat."

Lucy bisa melihat burung hantu elang Draco sudah tidak terlihat di Kandang.

"Aku tidak tahu anak kelas lima punya waktu kosong," gumam Draco, mengelus Western.

"Aku baru saja selesai Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam."

"Wah, kebetulan sekali."

Lucy mendengar nada getir penuh ironi pada komentar Draco tentang pelajaran itu.

"Burung hantumu jinak sekali," kata Draco.

"Aneh," komentar Lucy, berjalan ke jendela di seberang jendela Draco. "Dia tidak pernah mau bertengger di bahu orang lain selain aku dan ayahku."

"Dia mematuk-matukku dengan keras," ujar Draco menambahkan. "Untungnya bukan di tanganku yang terluka."

"Itu tandanya dia sayang padamu," gumam Lucy, memandang jauh ke langit.

Western terbang dari bahu Draco dan hinggap di jendela Lucy. Sepertinya dia tahu majikannya sedang bersedih.

Keheningan yang sarat makna memenuhi Kandang Burung Hantu.

"Bagaimana... progres pekerjaanmu?" tanya Lucy pelan.

"Oh," jawab Draco singkat. "Kurasa aku mengerjakannya dengan baik."

"Baguslah."

"Kata-katamu aneh untuk seorang anggota Laskar Dumbledore."

"Itu tidak berarti apa-apa."

Kemudian diam lagi. Lucy, yang mengenali burung hantu berwarna seputih salju milik Harry Potter, Hedwig, melihatnya terbang ke Kandang membawa seekor tikus dalam paruhnya. Lucy merasa jijik, kemudian mundur selangkah dari jendela.

"Ada apa?" tanya Draco.

"Tak ada apa-apa," gumam Lucy, entah kenapa merasa tidak senang ditanyai seperti itu.

Lucy kesal karena dia bermaksud menghindari Draco, tetapi malah bertemu dengannya di Kandang Burung Hantu, tempat mereka ber...

"Kau mau kemana?" tanya Draco lagi, melihat Lucy menghindari jendela dan beranjak menuju pintu.

Lucy tersentak dari lamunannya. "Ke kamarku."

"Tunggulah sebentar lagi."

Oke. Jadi Draco memintanya menunggu. Tidak masalah. Hanya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Itu kan yang dia inginkan?

"Dengar, aku tidak bisa berpura-pura lagi," kata Lucy jengkel. "Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Kita jelas melakukan sesuatu."

"Aku tahu," gumam Draco dingin.

"Lalu? Apa yang kau harapkan?" desak Lucy. "Aku tidak berharap kau muncul begitu saja di perpustakaan, atau ada di Kandang Burung Hantu tepat di saat aku ingin kesini..."

"Aku kesini karena aku ingin kesini," sela Draco.

"Apa maksudmu?"

"Aku setengah berharap bertemu denganmu."

Jantung Lucy berdebar.

"Dan kupikir... kau juga merasakan hal yang sama," tambah Draco.

Lucy tidak bisa memungkiri itu.

"Soal pagi tadi..."

"Tidak usah diungkit," sahut Lucy kesal, tetapi juga malu. Malu karena Draco berhasil menebak hatinya dengan tepat. Ia merasa rasa sukanya pada Draco bertambah besar.

"Dan tentang tugas itu," gumam Draco seolah tak ada interupsi barusan. "Aku hampir berhasil memperbaikinya... sedikit lagi pasti bisa... lemari itu akan membantuku menyelesaikan tugasku."

"Apa?" tanya Lucy tak percaya. "Sedikit lagi?"

"Ya," kata Draco puas. "Mungkin malam ini."

Lucy tak berkata apa-apa. Dirinya terlalu shock. Secepat inikah?

"Dengar," Draco berjalan mendekati Lucy. "Malam ini tetaplah di kamarmu."

"Aku tidak mau," kata Lucy bersikeras.

"Terlalu bahaya."

"Aku tidak peduli."

"Aku peduli."

"Terserah."

Draco sudah akan membentak Lucy. Tapi melihat tanda-tanda Lucy akan menangis, ditahannya keinginannya itu.

"Haruskah sekarang?" tanya Lucy getir. "Mesti malam ini?"

"Secepatnya," gumam Draco.

Lucy menutup mulutnya, tak ingin mempercayai hal yang didengarnya.

"Jadi... malam ini..." Lucy tak meneruskan kalimatnya.

Draco meneguk ludah. "Sepertinya begitu," katanya. "Seharusnya begitu."

"Tapi ini terlalu cepat."

"Pangeran Kegelapan tidak mau tahu."

"Tidak bisakah kau menolaknya? Memberimu waktu sedikit lagi? Memberi... memberiku waktu sedikit lagi?" tambah Lucy ragu, dan bahkan sebelum dia mengucapkan kata terakhir dia sudah tahu jawabannya dengan hanya melihat raut wajah Draco.

"Dia tidak mau dibantah. Dia tidak suka dibantah."

"Dia mengerikan."

"Dia Tuanku."

Lucy mendongak memandang mata Draco mendengar dua kata itu. "Maafkan aku."

"Tidak apa-apa," kata Draco datar.

Dan, Lucy, membuang semua perasaan gengsinya, malunya, marahnya pada Draco, menghambur memeluk Draco. Menuangkan semuanya dalam pelukan erat itu.

Aku mencintaimu! Aku menyayangimu lebih dari apapun! Aku hanya ingin kau tahu itu...

Tetapi Lucy tidak berkata apa-apa; dia hanya memeluk Draco erat, mencium wangi parfumnya, merangkul lehernya, menyentuh rambut pirangnya dengan gemetar. Dan Draco, yang sudah belajar, mengelus rambut coklat kemerahan Lucy yang wangi strawberi. Menenangkannya.

"Aku, aku..." isak Lucy, "aku..."

Draco menunggu.

Tetapi Draco tak pernah tahu apa yang akan dikatakan Lucy, karena tepat saat itu tangisan Lucy justru semakin kencang.

Dan Draco tetap menunggu.

* * *

P.S.
Yak, semakin menjadi. Saya agak sedikit dikejar waktu, ehm. Saya sadar waktu melihat sudah tiga cerita yang saya hasilkan dua hari ini, sampai saya sendiri bingung. Semoga saya bisa menyelesaikannya sebelum masuk semester 2. Seperti biasa, saya minta review :)) thanks

R.A.
5 Februari 2011
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 6)
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 5)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Zabini Blaise
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)

>>
CHAPTER 5

Lucy membanting buku-bukunya di lantai kamarnya di Menara Ravenclaw. Kamar itu kosong, sebab seluruh anak kelas lima Ravenclaw sibuk belajar di perpustakaan. Ia menjatuhkan diri di kasur, memeluk bantal, dan menangis sejadi-jadinya.

Bahkan tampaknya ia sudah tidak peduli akan apapun terutama tentang ujian OWL-nya. Dia tidak peduli Dementor berkeliaran di luar sana, penjagaan Hogwarts yang sangat ketat untuk mencegah Pelahap Maut masuk, dia tidak peduli. Dia juga tidak peduli sedari tadi hujan lebat dengan kilat menyambar-nyambar di luar jendela, badai sedang terjadi. Dia tidak peduli bahaya perang yang bisa terjadi kapan saja.

Dia hanya memedulikan Draco Malfoy.

Draco, yang sudah dua kali menciumnya.

Draco, yang berkata dia menyukai Lucy.

Draco, yang adalah anak seorang Pelahap Maut.

Draco, yang ditugaskan Pangeran Kegelapan.

Draco, yang dicintainya.

Lucy bertanya-tanya apakah semua ini adalah hukuman baginya. Dia tidak memikirkan resiko berhubungan dengan anak Slytherin - yang notabene anak Pelahap Maut, yang semua orang tahu ia membenci Kelahiran-Muggle, yang semua orang tahu dia punya hubungan dengan Pansy Parkinson, yang semua orang tahu dia musuh bebuyutan Harry Potter.

Sementara Lucy kebalikannya: anak baik-baik, Ravenclaw, Darah-Campuran, anggota Laskar Dumbledore, teman Harry Potter.

Semestinya Lucy tidak menulis surat untuk Draco ketika ia di rumah sakit.

Seandainya Lucy tidak berharap Draco menemuinya.

Seharusnya Lucy tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.

Sekarang Lucy bingung siapa yang salah.

* * *

Draco meninju kaca di toilet laki-laki, tetapi kaca itu tidak pecah. Meski begitu tangan Draco berdarah, menetes-netes pelan di wastafel. Draco tidak berniat untuk mencucinya, bahkan hanya untuk mengurangi resiko infeksi. Madam Pomfrey bisa menyembuhkannya dalam waktu singkat, apalagi matron rumah sakit itu tidak pernah banyak bertanya.

Draco membenci dirinya sendiri.

Rasa-rasanya semua hal terjadi padanya.

Tugas yang tidak mungkin dilakukannya sendirian. Ia butuh bantuan, memang.

Tetapi dengan Crabbe dan Goyle? Mereka tidak berguna.

Draco menyadari bahwa mereka berdua tidak bisa diharapkan.

Dan dengan Harry Potter mengawasinya, penasaran dengan apa yang dilakukannya, Draco tidak bisa bergerak bebas.

Kemudian tentu saja datangnya Lucy Rothbelle yang tiba-tiba. Draco sering menertawai dirinya sendiri kenapa bisa begitu cepat menyukai orang lain yang sama sekali asing baginya. Dia juga bodoh tidak menyadarinya sampai pertemuan kemarin. Berhubungan dengan Lucy berarti menyeretnya dalam bahaya. Kalau sampai para Pelahap Maut yang lain tahu - tidak, kalau sampai ayahnya tahu bahwa Lucy mengetahui rencananya, entah apa yang akan terjadi pada anak Ravenclaw itu.

Semestinya Draco tidak perlu mengindahkan surat Lucy dan mencarinya.

Seandainya Draco tidak mencium Lucy dan mengatakan ia menyukai Lucy.

Seharusnya Draco tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.

Sekarang Draco juga bingung siapa yang salah.

* * *

Keesokan paginya Lucy terbangun pagi-pagi sekali, dengan mata sembap dan rambut berantakan. Dilihatnya Luna Lovegood, masih tertidur pulas, di bawah tempat tidurnya ada setumpuk buku tebal dengan perkamen panjang menjulur. Tinta pena-bulunya tumpah ke lantai. Lucy membersihkan tinta itu dan mengisi kembali botol tinta yang kosong sebelum keluar kamar untuk turun sarapan.

Seperti yang sudah diduganya, Aula Besar kosong. Hanya ada beberapa anak disana, dua anak kelas empat di meja Hufflepuff, tiga anak kelas dua di meja Gryffindor, dua anak kelas satu di meja Ravenclaw, dan satu anak kelas enam di meja Slytherin.

Lucy setengah berharap seorang cowok yang duduk di meja Slytherin itu Draco, tetapi separo hatinya lagi juga tidak ingin bertemu Draco.

Betapa leganya ia melihat cowok kelas enam Slytherin itu bukan Draco.

Ada roti bakar kesukaan Lucy di meja makan. Ia mengambil banyak-banyak. Rasanya tenaganya sudah habis setelah menangis semalam suntuk.

Ketika Lucy sedang menuang madu ke atas pancakenya, matanya menangkap seseorang yang baru saja masuk Aula Besar, beriringan dengan dua kroninya.

Draco Malfoy. Dan Crabbe, dan Goyle.

Untung Lucy duduk membelakangi meja Slytherin, jadi dia tidak perlu mengambil resiko terus memandangi Draco - atau punggungnya, kalau Draco duduk membelakangi meja Ravenclaw - selama ia menghabiskan pancakenya.

Lucy masih bertanya-tanya kenapa tangan Draco dibebat perban begitu.

Tetapi Lucy tidak begitu berharap.

Draco juga sudah melihat Lucy, dan melihat dengan matanya yang tajam, mata Lucy yang sembap. Draco mengira Lucy masih meneruskan tangisnya sejak kepergiannya yang dramatis di perpustakaan kemarin.

"Asyik, ayam!" kata Goyle senang, menuju meja Slytherin.

"Hei, Draco, cepat kemari," panggil Crabbe yang sudah duduk di sebelah cowok kelas enam Slytherin yang datang lebih awal, Zabini Blaise.

Draco masih terpaku di pintu Aula Besar memandangi meja Ravenclaw.

"Hei, Draco!" kata Goyle agak keras. "Kau tidak mau ayam?" tanyanya, mengigit sepotong besar paha ayam goreng.

Draco sadar dari lamunannya dan segera duduk di meja Slytherin. Diambilnya semangkuk besar sereal.

"Ambilkan susu itu," pintanya pada Zabini, yang sedang mengunyah sandwich. Zabini menyodorkan seteko susu ke dekat Draco, yang langsung menuangnya ke mangkuk serealnya.

Dan dia mulai makan dengan cepat.

"Woo, woo, Draco," kata Zabini. "Santai, man. Kau tidak makan kemarin malam?"

"Aku kelaparan," kata Draco tak acuh.

"Bukan kelaparan, tapi kelelahan," celetuk Crabbe.

Draco melempar pandang memperingatkan pada Crabbe, yang langsung diam. Tampaknya Zabini tidak mendengar sesuatu yang aneh menurutnya, karena dia tetap menyantap sandwichnya.

Karena semalam setelah diobati Madam Pomfrey, Draco kembali ke Kamar Kebutuhan untuk mengecek Lemari Pelenyap yang sudah setahun ini berusaha diperbaikinya. Tentu saja dengan Crabbe dan Goyle berjaga di koridor lantai tujuh dengan menyamar sebagai anak kelas satu, agar orang-orang tidak curiga, dan agar bisa memberi tanda kepada Draco jika sewaktu-waktu ada seseorang yang mencurigakan yang mendekati Kamar Kebutuhan. Dalam kasus Draco, Harry Potter dan kawan-kawannya.

Dan setelah menghabiskan sereal, Draco beralih ke paha ayam goreng yang berwarna coklat keemasan, yang seketika mengingatkannya pada sosok burung hantu berwarna coklat keemasan, Western, dan Kandang Burung Hantu, dan wajah Lucy yang semakin mendekat...

"Dracoooooooo!" jerit seseorang dari pintu Aula Besar.

Jeritan itu membangunkan Draco dari kenangannya.

Pansy Parkinson duduk di sebelah Draco dan mengecup pipinya.

"Hai," gumam Draco.

Terdengar denting perabotan yang jatuh dari arah meja Ravenclaw. Lucy Rothbelle menggebrak mejanya, menjatuhkan teko susu, piring perak kosong yang tadinya berisi roti bakar, dan sendok sereal. Ia membungkuk pada semua orang yang memandangnya karena kegaduhan yang ditimbulkannya sambil berkata minta maaf. Kemudian ia berjongkok di bawah meja untuk mengambil perabotan yang dijatuhkannya tadi. Profesor McGonagall sudah turun dari meja guru dan membantu membereskan kekacauan itu. Lucy membungkuk sekali lagi pada Profesor McGonagall yang sedang membersihkan genangan susu dari lantai dan menaruh tekonya di atas meja. Waktu Lucy duduk lagi di meja, teko susunya sudah penuh. Profesor McGonagall menepuk bahu Lucy pelan.

"Bikin kaget saja," kata Pansy yang memperhatikan selama beberapa saat, lalu kembali merepet Draco, yang masih berbalik dari duduknya untuk melihat Lucy.

"Anak Ravenclaw memang suka aneh-aneh," komentar Zabini lagi.

"Tidak heran, dia kan temannya si Loony Lovegood itu," kata Pansy menambahkan. "Draco?"

Draco menghadap mejanya lagi. Ia mengangkat bahu dan kemudian meneruskan menyantap ayam gorengnya.

"Hei, Draco," tegur Zabini. "Kau tidak tertarik pada anak Ravenclaw itu, kan?"

Pansy menghentikan suapan serealnya di udara. "Tidak mungkin," katanya tertawa, menganggap Zabini hanya bercanda.

Draco tidak menjawab Zabini ataupun mengomentari perkataan Pansy.

"Draco, ada apa dengan tanganmu?" pekik Pansy kaget, melihat perban yang membebat tangan Draco.

Draco urung untuk menjawab, tetapi ia tersenyum sinis sejenak, kemudian berkata,

"Pangeran Kegelapan menghukumku."

* * *


P.S.
Lagi-lagi cerita yang mengalir begitu saja dari benakku, sempat terbersit untuk menjadikan chapter ini chapter terakhir, tetapi ternyata lebih panjang dari yang saya perkirakan. Disini juga terlihat bagaimana egoisme seorang gadis yang sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa mengalahkan segala hal yang lebih penting - sesuatu yang SEMPAT terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu. Oh, dan saya menulis adegan sarapan di Aula Besar itu ketika saya sedang kelaparan, semua makanan itu: sereal, susu, sandwich, roti bakar, ayam goreng, semua saya tulis sambil membayangkan saya sedang memakannya, yummy. Ngomong-ngomong, sudah lama saya tidak makan ayam. Skip that last one. Dan, review, please :))

R.A.
5 Februari 2011
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 5)
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 4)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Madam Pince
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)

>>
CHAPTER 4

"Tidak bisakah kita mengganti tempat pertemuan?" keluh Lucy, ketika ia terpeleset di pintu Kandang Burung Hantu, yang lantainya dipenuhi kotoran burung hantu.

Draco membantunya berjalan. "Habis bagaimana lagi," gumamnya, "terlalu riskan kalau seseorang melihat kita berdua di koridor, atau kau masuk ke ruangan yang sama denganku beberapa saat yang lalu, misalnya."

"Kamar Kebutuhan?" usul Lucy.

"Aku selalu dijaga Crabbe atau Goyle setiap masuk kesana," Draco mengangkat bahunya.

"Kandang Burung Hantu juga riskan," kata Lucy bersikeras. "Riskan kepeleset."

"Orang akan mengira kita tidak kenal, karena setiap kali kita mendengar suara langkah kaki di tangga, kita langsung menjauh dan mencari burung hantu agar dikira kita mau mengirim surat."

"Perpustakaan?"

"Banyak anak-anak kelas lima yang belajar disana - teman-temanmu, dan aku tidak mau mengambil resiko si cewek Weasley itu melihat kita duduk berdua lalu mengadukannya pada pacarnya."

"Maksudmu Harry dan Ginny."

"Apalah."

"Kau benar-benar membencinya, ya?" tanya Lucy lembut.

Draco tidak menjawab.

"Maafkan aku, pertanyaanku terlalu bodoh," sambung Lucy lagi, lalu bersiul memanggil burung hantunya, yang berwarna coklat keemasan. Burung hantu itu terbang menuju lengan Lucy dan hinggap disana. Lucy mengelusnya lembut. "Kau tidak kesepian, kan?"

Draco mengawasi Lucy mengobrol dengan burung hantunya yang dipanggil Western.

"Kalau kupikir dia itu ingin tahu sekali," kata Draco.

"Hah? Siapa? Western?" tanya Lucy bingung, menunjuk burung hantunya.

"Bukan dia," kata Draco, mengulurkan tangannya untuk mengelus Western, tetapi Western mematuk jarinya. Draco menarik kembali tangannya, kaget.

"Oh, sori," gumam Lucy. "Dia senang sekali mematuk."

Draco tidak heran melihat tangan Lucy yang penuh luka patukan Western.

"Tadi siapa yang kaumaksud?" tanya Lucy lagi.

"Si Potter itu," sambung Draco. "Sering sekali penasaran, menguntit orang lain..."

"Soalnya - yah, dialah Sang Terpilih, kan?"

"Yeah, yeah, Anak yang Bertahan Hidup, Anak yang Menangkap Snitch, apalah gelarnya sekarang."

"Kau membencinya," Lucy menyimpulkan.

Draco mengangkat alisnya. "Dan kau anggota Laskar Dumbledore."

"Semua sah dalam cinta dan perang, Draco."

"Lalu?"

"Ini kondisi separo-cinta dan separo-perang."

"Sepertinya aku de javu. Ibuku atau entah siapa pernah mengatakannya padaku."

Lucy tertawa lepas, kemudian tawanya berubah menjadi senyum manis ketika wajah Draco mendekati wajahnya. Terlalu dekat hingga Lucy bisa menghitung bintik-bintik di wajah tampan Draco. Hingga Draco bisa melihat setitik kecil jerawat yang muncul di hidung Lucy.

Western terbang ke langit sambil berkicau senang.

* * *

Seusai makan malam Lucy pergi ke perpustakaan dengan membawa setumpuk buku-bukunya. Dia mengerling Draco di meja Slytherin, yang tampak sangat sibuk dengan Pansy Parkinson yang merepetnya terus. Lucy mengangkat alis, dan dia beranjak pergi.

"Ayo Draco, makanlah pai daging ini... kau tampak kurus sekali..." desak Pansy.

"Aku tidak lapar," gumam Draco, perutnya berkeruyuk keras.

"Kau tidak bisa membohongiku, kau kelaparan! Ini, ada sosis..."

"Pansy, bisakah kau melepas tanganmu dari lenganku?" gerutu Draco kesal. Sekilas ia melihat Lucy pergi keluar Aula.

"Tentu saja," kata Pansy, melepaskan belitannya pada Draco. "Kau lihat kemana, hei."

Draco menolehkan kepalanya dan kemudian menghadapi berpiring-piring makanan di depannya. Dilahapnya semua makanan sejauh mulutnya memungkinkan untuk mengunyahnya.

Sebab ada yang harus dikatakannya pada Lucy.

"Jangan terlalu cepat makan, nanti kau sakit perut," nasehat Pansy.

"Aku baru sadar tugas Ramuanku tertinggal di perpustakaan," kata Draco cepat dan tak jelas.

"Apa?"

Draco mengulang kalimatnya setelah menelan seluruh makanannya.

"Kalau begitu nanti kita ambil..." gumam Pansy, kemudian tersadar. "Oh! Aku baru ingat ada janji dengan Milicent... maafkan aku Draco, aku tidak bisa menemanimu ke perpustakaan mengambil tugasmu..."

"Yah, kalau begitu aku ambil sendiri nanti," kata Draco, bersyukur karena memang inilah yang ia harapkan.

Setelah makan dengan cepat, Draco berjalan keluar Aula Besar dengan terburu-buru, setengah berlari, setelah berpisah dengan Pansy.

Di perpustakaan dia bertanya lagi pada Madam Pince. "Saya mencari Lucy Rothbelle."

"Miss Rothbelle?" tanya Madam Pince tak yakin. "Dia ada di Seksi Gaib, kalau tidak salah."

"Terima kasih."

Draco merasa de javu lagi saat itu.

Dia menemukan Lucy duduk di meja di dekat rak buku di Seksi Gaib, sendirian. Lucy tampak bingung dengan kedatangan mendadak Draco, tetapi kemudian ia kembali menulis di perkamennya.

"Kenapa kau disini?" tanya Draco pelan.

"Mengerjakan tugas," ujar Lucy heran.

"Maksudku kenapa kau duduk di Seksi Gaib."

"Oh," gumam Lucy. "Karena seksi ini membahas segala sesuatu yang tidak kelihatan."

Draco tidak berusaha mencerna kalimat Lucy barusan. "Hm."

"Kenapa kau disini?" tanya Lucy.

"Karena ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu."

Lucy menoleh ke arah Draco yang sudah duduk di kursi di sebelahnya karena mendengar suara Draco yang serius. "Oke, aku mendengarkan."

"Lucy, aku..." Draco memulai. "Aku rasa... kita tidak bisa meneruskan hubungan ini."

Lucy terdiam.

Draco meneruskan. "Aku hanya tahu bahwa aku memang benar-benar menyukaimu, dan karena itulah..." dia berhenti sejenak, "karena itulah kita tidak bisa terus seperti ini."

Lucy masih mendengarkan.

"Karena... konsekuensi yang harus kuhadapi jika aku gagal melaksanakan tugas itu..."

Lucy kali ini memandang Draco dalam-dalam sambil menggigit bibir.

"Pangeran Kegelapan akan membunuhku."

Lucy tidak terlihat kaget ataupun shock, dia hanya tersenyum, tetapi matanya menitikkan air mata.

"Sebab itulah yang akan dilakukannya," kata Lucy paham. "Aku mengerti. Dari awal dia memang hanya ingin mengujimu."

"Maafkan aku," kata Draco susah payah.

"Seharusnya kau menolakku sejak awal. Kau tidak perlu mencariku dan mengatakan bahwa kau mencariku. Kau tidak perlu berkata bahwa kau mengingatku, dan segalanya! Aku bisa dengan senang menyukaimu tanpa perlu merasa tersiksa seperti ini," kata Lucy, masih tersenyum, tetapi air matanya membasahi perkamen.

"Aku..."

"Tidak ada yang bisa diteruskan diantara kita," kata Lucy, membereskan barang-barangnya. "Dimulai saja belum."

"Tapi..."

Lucy berdiri. "Terima kasih," katanya dramatis.

Draco ikut berdiri dan mencegah Lucy sebelum pergi lebih jauh. "Tunggu," katanya geram. "Kau juga salah karena sudah membuatku menyukaimu."

Kemudian Draco menarik Lucy mendekat. Lucy menjatuhkan buku-bukunya. Wajahnya memanas, penuh dengan air mata, membuat ciuman itu terasa basah.

Lalu mereka melepaskan diri.

"Aku benar-benar minta maaf," kata Draco yang terdengar menyesal.

"Akulah yang seharusnya minta maaf... sedari awal akulah yang salah... karena menyukaimu... menulis surat itu..." gumam Lucy tergagap.

"Aku pun salah karena melibatkanmu dalam urusan ini... membuatmu dalam bahaya kalau pihakku mengetahui bahwa kau tahu semuanya."

"Oh, Draco," Lucy menghambur memeluk Draco. "Aku berjanji tak akan mengatakannya pada siapapun."

"Aku tahu," kata Draco, mengelus rambut Lucy dengan gemetar.

Lucy melepaskan Draco. "Terima kasih untuk semuanya."

"Apa maksudmu?" tanya Draco bingung.

"Kau bilang kita tidak bisa begini terus, kan? Kalau begitu aku akan menyingkir..."

"Tidak bisa begitu."

"Tentu saja bisa. Kita bersikap tak pernah terjadi apa-apa di antara kita..."

Draco tidak mencegah Lucy ketika gadis itu pergi dengan dramatis meninggalkannya di Seksi Gaib. Dia tidak bisa mencegahnya. Karena tak pernah ada orang yang mengajarinya bagaimana menenangkan seorang penyihir perempuan yang sedang menangis. Bahkan ayahnya sendiri.

* * *

P.S.
Oke, ini naskah terpanjang menurut saya. Saya memasukkan kalimat Ron di Deathly Hallows 'semua sah dalam cinta dan perang, dan ini separo-cinta separo-perang' :P menurut saya itulah kutipan terbagus Ron di Harry Potter, hahaha. Yah, cerita kali ini agak sedikit kejar-kejaran dengan waktu, dan timelinenya juga tidak jelas, yah, ini hanya mengalir begitu saja dari benak saya. Tanpa editan, lagi-lagi. Agak tidak layak untuk dipublikasikan, sesungguhnya. Well, bagaimanapun, saya tetep minta review dari Anda sekalian :))

R.A.
4 Februari 2011



Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 4)

Jumat, 28 Januari 2011

, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 3)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Minerva McGonagall
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)


>>
CHAPTER III


Lucy tidak bisa mempercayai pendengarannya. "Apa?"


Draco mengulangi kalimatnya. "Iya, akan kujelaskan semuanya."


"Baiklah," Lucy melipat kedua tangannya di depan dada. "Dari awal."


"Berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapapun," ujar Draco, dia terlihat sungguh-sungguh.


Lucy mengangkat alisnya. "Oke, aku berjanji."


Draco menghela napas panjang. "Semuanya berawal sejak malam itu..."


Dan dari mulut Draco mengalirlah semua cerita itu; mulai dari pertemuan Pelahap Maut dengan Pangeran Kegelapan, rencana mereka, tugas yang diberikan Pangeran Kegelapan kepada dirinya, tugas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh siapapun.


Tanpa sadar Lucy telah melepaskan lipatan tangannya. "Apa?"


Draco telah selesai bercerita. "Yeah. Begitulah. Apa ini sudah menjelaskan segalanya?"


Lucy masih ternganga. "Kau... ditugaskan untuk..."


Dia tidak meneruskannya. Draco juga tidak berminat meneruskannya.


"Aku yakin kali ini akan berhasil," gumam Draco, lebih kepada dirinya sendiri daripada Lucy yang serius mendengarkan. "Aku yakin, pasti akan berhasil. Tinggal sedikit lagi... dan aku akan menyelamatkan keluargaku... Ayah dan Ibu..."


"Tidak sadarkah kau?" ujar Lucy getir. Air matanya menggenang. "Apa yang kau lakukan, menyanggupi tugas mustahil seperti itu?"


"Ayah dan Ibuku juga dalam bahaya kalau aku tidak melakukannya!" bantah Draco. "Dengan melakukan tugas dari Pangeran Kegelapan, Ayah dan Ibuku bisa bebas dari ancaman Pangeran Kegelapan."


"Tapi, Draco..." kali ini Lucy benar-benar menangis. "Orang yang kau bicarakan ini, orang yang kita bicarakan ini, bukan orang sembarangan! Penyihir besar! Bahkan aku pun tak yakin Pangeran Kegelapan berani melawannya! Sedangkan kau, Draco? Kau baru saja kelas 6 di Hogwarts! Kau bukan tandingannya... apa yang akan kau rencanakan untuk melakukan tugas itu? Hal-hal berbahaya lagi? Sudah cukup aku melihatmu pucat sepanjang tahun ini, Draco, bahkan kekhawatiranmu karena rencanamu gagal, dan banyak orang-orang tak bersalah yang salah sasaran..."


"Itu karena aku kurang teliti! Dan itu hanya sebagian kecil dari rencanaku, ada satu rencana besar yang sedang kususun, dan pasti kali ini akan berhasil..."


Lucy terisak kecil. "Oh, Draco," gumamnya miris, "aku, aku..."


"Jangan menangis," ujar Draco geram. "Aku tak pernah cukup berharga untuk ditangisi."


Lucy menghambur ke pelukan Draco, yang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.


"Ngng," gumam Draco. "Sudahlah."


Dan Draco, yang sebenarnya sudah terbiasa dengan sikap manja Pansy, kali ini bingung bagaimana cara menghadapi seorang gadis yang terisak di pelukannya.


"Aku, aku, aku..." isak Lucy, "aku mencemaskanmu, Draco..."


"Aku tahu," kata Draco, meski dia tidak benar-benar tahu. "Aku tahu."


Lucy tidak bicara, dia hanya terus menangis tak terkendali.


"Hei," kata Draco bimbang. "Aku... minta maaf karena sudah menceritakannya padamu."


"Aku sendiri pun bingung kenapa aku menangis mendengarnya," kata Lucy. "Aku terus-terusan melihatmu pucat, cemas, terlihat putus asa, bingung, dan melihatmu begitu aku juga jadi cemas... belum lagi dengan tugas-tugas OWL-ku yang semakin banyak... aku bingung..."


Draco membalas pelukan Lucy setelah selama ini Lucy yang merangkulnya, membasahi jubahnya dengan air mata. Lucy tersentak dan nyaris meleleh. Ia akhirnya melepaskan Draco, setelah Draco mengusap rambutnya sekilas.


"Maaf telah membuatmu bingung," gumam Draco, menunduk menatap lantai.


Lucy mengusap matanya. Lalu tertawa dengan mata dan hidung merah. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya memendam perasaan ini," kata Lucy.


"Maafkan aku," kata Draco lagi.


"Tidak, aku yang minta maaf," ujar Lucy serius. "Aku yang telah begitu bodoh memintamu menceritakannya padaku, padahal kau sudah bersumpah tidak akan menceritakannya pada siapapun, bahkan Profesor Snape..."


Draco mengangkat bahunya. "Kau sudah tahu terlalu banyak," senyumnya.


"Kau tidak akan terkena masalah hanya karena menceritakannya padaku, kan? Bahkan Crabbe dan Goyle tampaknya tak tahu apa yang kau lakukan..." kata Lucy tak yakin.


"Tidak, tenang saja," ujar Draco tak acuh. "Sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kalau aku tidak bisa melakukan tugas ini."


"Memangnya apa... hukuman yang akan dia berikan?" tanya Lucy, mengira-ngira.


Draco, yang entah kenapa dalam hatinya terbersit keinginan untuk tidak membuat Lucy menangis dan cemas lagi, hanya menggeleng singkat dan tersenyum misterius. Ia suka efek dramatis yang ditimbulkannya ketika dirinya memandang ke langit di luar Kandang Burung Hantu dan membiarkan Lucy menebak-nebak sendiri, meskipun Draco tahu bahwa tak ada satu pun dari tebakan Lucy yang benar-benar tepat.


* * *


"Kau tidak ditanyai Pansy?" tanya Lucy. "Tentang kepergianmu kesini malam-malam begini?"


Mereka bertemu lagi malam harinya, kali ini di Kamar Kebutuhan. Draco memang sudah mengabari Lucy tentang benda yang sedang berusaha diperbaikinya di ruangan besar itu. Lucy datang terlebih dahulu, menghindari kemungkinan Draco datang bersama dua kroninya yang tinggi gede itu. Tetapi rupanya Draco datang sendiri.


"Dia sedang ada pelajaran tambahan dengan Profesor Sprout," jawab Draco asal, tak bisa memikirkan alasan lain yang lebih logis. Tetapi tampaknya Lucy tidak mengindahkannya. Lucy sudah senang sekali bisa berdua saja dengan Draco hingga tak bisa memikirkan apapun.


Tentu saja, jiwa Ravenclaw-nya masih tersentak jika ingat akan OWL yang akan datang sebentar lagi. Oleh karena itu ia membawa serta buku-buku miliknya.


"Kau tidak berniat belajar disini kan," kata Draco, merapalkan mantra-mantra tertentu di depan sebuah lemari besar.


"Ya," kata Lucy serius. Dia sudah menyalakan beberapa lilin untuk membantunya membaca buku setebal lima senti di hadapannya. Tak lupa dengan perkamen panjang menjuntai ke lantai. "Aku harus mulai mengerjakan tugas Sejarah Sihir-nya Profesor Binns. Panjangnya minimal satu setengah meter, ya ampun..."


Draco mengangkat alis. "Kau mengingatkanku pada masa-masa itu," cengirnya, masih sibuk dengan lemarinya.


"Kau pasti santai menghadapinya," gumam Lucy sengau.


"Tidak juga," kata Draco, tetapi tidak bercerita lebih jauh.


Kemudian suasana hening. Lucy menguap. Ia mengucek matanya, lalu mendongak. Baru sadar bahwa sedari tadi Draco mengawasinya bekerja dengan duduk di kursi di depannya.


Jantung Lucy mendadak berdebar kencang. "Ada apa?" tanyanya.


"Kau tahu, kurasa aku juga melihatmu sekilas ketika aku dibawa ke rumah sakit..." kata Draco.


"Hah?"


Lagi-lagi Lucy berusaha mengutak-atik memorinya.


"Oh, waktu itu... yeah, kau tidak tahu bagaimana cemasnya aku ketika kau dibawa keluar toilet oleh Profesor Snape..."


"Kau mendengar pertempuran waktu itu, ya?"


"Well, em," kata Lucy gugup. "Ya. Waktu Katie Bell kembali dari rumah sakit. Kau tampak gelisah dan segera keluar dari Aula Besar... diikuti Harry... dan seperti kejadian di pesta Profesor Slughorn, aku mengikutinya dan dirimu..."


Draco menunggu, memandang mata Lucy.


"Karena kau terlihat... takut..." tambah Lucy kemudian, tak berani menatap mata Draco. "Maaf, aku telah begitu banyak merepotkanmu."


"Waktu itu kau menangis, kan?" tanya Draco.


"Menurutmu bagaimana perasaanku melihatmu dipapah Profesor Snape keluar toilet dengan tubuh bersimbah darah begitu? Kau yang pucat, lemas..." sahut Lucy miris, seketika pikirannya terbawa ke memori mengerikan itu. "Dan sebelumnya aku mendengar Mrytle Merana berteriak ada pembunuhan di toilet..."


Draco mencerna seluruh kalimat Lucy, mengimajinasikannya. Dia memang benar-benar ingat sosok gadis yang diusir keluar dari rumah sakit oleh Madam Pomfrey. Gadis berambut merah kecoklatan yang berlinangan air mata.


Gadis yang ternyata dia sukai.


Kenapa baru sekarang dia sadar? Draco menertawakan dirinya, dalam hati, lagi. Bahkan sejak melihat Lucy Rothbelle di pesta Slughorn, Draco sudah tahu bahwa Lucy berbeda. Entah apa yang membedakan Lucy dengan gadis lain, Draco tidak tahu. Draco hanya tahu bahwa dia agak sedikit perhatian pada Lucy.


Hanya saja Draco tidak tahu bahwa sedikit perhatian yang dia maksud itu berpengaruh sangat besar pada Lucy.


Lucy menyadari bahwa sedari tadi Draco memandangnya. "Ada apa lagi?" tanya Lucy tersenyum. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"


"Tidak ada apa-apa," kata Draco, tersenyum.


Tetapi dalam temaramnya cahaya lilin, bunyi goresan pena-bulu Lucy diatas perkamennya, dan gumaman-gumaman Draco merapalkan mantra, mereka berdua tahu bahwa mereka sedang saling memikirkan satu sama lain.


* * *






R.A.
17 Januari 2011
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 3)
, , , ,

About Lucy's Love Story

Salam, Pembaca!


Tulisan ini saya buat dalam rangka penulisan fanfiction (baru) saya - Harry Potter's Fandom - 'Lucy's Love Story'. Terdengar menyedihkan, yeah, saya benar-benar tidak bisa membuat judul yang eye-catching dan menarik hati.


Well, 'Lucy's Love Story' terbuat secara tidak sengaja, tidak ada rencana apapun sebelumnya - tidak seperti tulisan-tulisan saya yang lain, yang saya rencanakan tiga atau empat bulan tetapi tak pernah berkembang di laptop - saya hanya berpikiran selintas dan langsung mengetik ide saya itu di laptop - benar-benar langsung, mengalir begitu saja, tanpa proses editing, karena saya ingin melihat respon pembaca, tidak lain dan tidak bukan, teman-teman saya, tentunya.


Sebenarnya saya kepikiran setelah membaca ulang tulisan saya bertahun-tahun lalu (ehm, dua tahun lalu), yakni surat Lucy untuk Draco, yang saya tulis dengan judul 'Surat dalam Secarik Perkamen' yang ada sekuelnya juga. Yang, seperti anda ketahui, terinspirasi dari kecintaan saya sepenuh hati kepada Draco Malfoy, perasaan yang terus berkembang sejak saya lahir - maksud saya sejak Draco muncul di Prisoner of Azkaban. Oke, saya menyukai Draco setengah mati setelah Half-Blood Prince, dan ketika Tom Felton memenangkan MTV Movie Award as The Best Villain for his character as Draco, saya menjerit kesenangan.


Tulisan di atas hanyalah sedikit kefanatikan seorang fan.


Back to the topic, setelah saya membaca surat-surat itu, saya jadi kepikiran untuk menulis ceritanya, dalam kasus ini, fanfictionnya, di satu sisi karena saya memang kangen pada serial ini, dan semakin rindu setelah menonton Deathly Hallows Part I, yang membuat saya dilanda kepuasan yang mendalam. Film Harry Potter tak pernah sekeren ini, saya pikir. Dan Ronald Weasley pun mengalihkan perhatian saya (lagi!) dan seluruh anak-anak laki-laki keluarga Weasley lainnya - saya tidak mungkin memperhatikan Ginny, kan, yah, saya tahu dia cantik dan memesona, tetapi, yah, saya juga perempuan. As for Bill Weasley, imagenya tidak terlalu jauh dari yang saya imajinasikan setelah membaca novelnya, cool, ganteng, berambut gondrong. Dan terima kasih banyak untuk Fred dan George Weasley yang semakin dewasa. Dewasa. Uyeah.


Kembali ke tema semula, please.


Tentang fanfiction berbentuk surat itu. Saya memposisikan diri saya sebagai Lucy. Kebiasaan saya sebagai penulis pemula. Mentransformasikan dirinya kedalam suatu karakter dalam cerita dan kemudian memasukkan karakter-karakter pendukung yang biasanya tipe yang sempurna. Well, Draco memang tidak sempurna. Dia tokoh antagonis. Tetapi, saya mencintainya. Saya mencintai Tom Felton sebagai Draco Malfoy. Seperti saya mencintai Garrett Hedlund sebagai Sam Flynn dalam TRON: Legacy. Skip that last one, dan inilah alasan saya memasukkan karakter semacam saya sendiri dalam fanfiction saya. Ehm, pathetic.


Dan kemudian mendadak ide saya berkembang! Saya memutuskan untuk menulis cerita Lucy bertemu Draco setelah Draco keluar dari rumah sakit karena pertengkarannya dengan Harry di toilet laki-laki. Entah kenapa saya memutuskan juga untuk membuat fanfiction yang singkat. Saya hanya tidak ingin menggantung (lagi) sebuah cerita yang saya tulis.


Rentang waktu yang rencananya akan saya gunakan dalam fandom Harry Potter kali ini adalah antara surat 1 dan surat 2, sejak Draco keluar dari rumah sakit sampai Draco bersorak karena Lemari Pelenyap dalam Kamar Kebutuhan selesai diperbaiki. Itu rencana saya. Mungkin Tuhan punya rencana lain? Entahlah. Dan bahkan ketika tulisan ini diterbitkan, saya masih mempunyai beberapa rencana untuk mengembangkan fanfiction saya kali ini. Hanya, saya akan memegang teguh rencana awal saya: tidak akan membuat fanfiction yang terlalu panjang. Fanfiction saya yang lama, tentang bulutangkis dan kawan-kawannya, 'Rhapsody in Pelatnas', harus gantung di chapter __ karena saya kehabisan ide. Apakah saya yang tidak terlalu aware lagi atau bagaimana, saya tidak mengerti. Saya tidak ingin terjadi hal yang sama pada 'Lucy's Love Story'.


Yah, begitulah, saya harap anda tidak keberatan menunggu lama kelanjutan fandom Lucy's Love Story ini. Saya juga berharap sepenuh hati bisa menyelesaikan cerita kali ini.


Kesimpulan tulisan ini: writer's block adalah musuh utama penulis.


R.A.
16 Januari 2011
Continue reading About Lucy's Love Story
, , , ,

Lucy's Love Story (Chapter 2)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Minerva McGonagall
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)


>>
CHAPTER II


Draco melirik arlojinya. Setengah tujuh. Masih ada setengah jam lagi menuju pertemuannya dengan gadis itu di Kandang Burung Hantu.


Yang harus dia lakukan sekarang adalah melepaskan diri dari Pansy Parkinson yang menempelnya terus sejak mereka keluar dari Ruang Rekreasi Slytherin. Crabbe dan Goyle tak menghiraukan temannya; mereka sudah menyerbu meja makan Slytherin melihat berbagai makanan terhidang lezat disana.


"Pansy, aku mau ke toilet," gumam Draco.


"Nanti kita sama-sama saja keluarnya," kata Pansy genit, berkedip nakal.


Draco menghela napas panjang. "Pansy, aku cowok."


"Dan aku cewek. Kita tinggal berpisah di ujung koridor kan?"


Draco nyaris kehabisan akal ketika dia melihat Profesor McGonagall berjalan menuju mereka.


"Miss Parkinson? Kau ada tambahan pelajaran hari ini kan?"


Pansy terperanjat. "Tapi ini hari Sabtu! Akhir minggu! Aku akan pergi dengan Draco ke Hogsmeade, membeli Butterbeer, dan..."


Profesor McGonagall menyela. "Aku sama sekali tidak tertarik mendengar agendamu dengan Mr. Malfoy untuk hari ini, Miss Parkinson, yang kutahu adalah kau sudah berjanji dua malam yang lalu untuk mengikuti pelajaran tambahan denganku hari ini. Kalau kau terus-terusan mengubah Mr. Crabbe menjadi ayam, kau jelas membutuhkan bantuan. Jam tujuh, di kantorku. Detensi kalau kau tidak datang."


Pansy mengeluh keras, tidak memelankannya bahkan sebelum Profesor McGonagall menjauh dari mereka. "Aku minta maaf sekali, Draco, rencana kencan kita hari ini batal..."


"Sayang sekali," gumam Draco, tidak terdengar menyesal. Ia mencomot sepotong sandwich dan melahapnya. Matanya tertuju pada meja Ravenclaw, mencari sosok Lucy Rothbelle, yang tidak kelihatan.


Pansy terus-terusan cemberut dan mengeluh keras-keras tentang 'rencana kencan' dan 'akhir minggu' dan 'pelajaran tambahan menyebalkan' sepanjang sarapan, dan Draco, tidak seperti biasanya, hanya menanggapi dengan 'oh', 'yeah', 'itu benar' dan 'hmm' yang paling banyak digunakannya. Pandangannya terkonsentrasi ke meja Ravenclaw, melihat anak-anak Ravenclaw berseliweran, melihat Luna Lovegood membawa setumpuk sandwich keluar Aula Besar, melihat Michael Corner cemburu melihat Ginny Weasley dan Dean Thomas makan dengan mesra, dan, yang paling utama, memikirkan kenapa gadis yang ditemuinya kemarin di perpustakaan tidak terlihat sama sekali.


Sesaat Draco berpikir bahwa kejadian kemarin hanya terjadi dalam mimpinya.


Pikiran konyol, pikir Draco, kemudian di benaknya terlintas tugas dari Pangeran Kegelapan yang mesti dikerjakannya tahun ini, dan hatinya mencelos. Barang di Kamar Kebutuhan belum juga bisa diperbaiki. Draco mengaduh pelan ketika ia bangun dan merasakan sakit di dadanya. Mungkin efek luka akibat pertempurannya dengan Harry kemarin dulu. Ia melihat Harry dan Ron dan Hermione di meja Gryffindor yang terlihat sibuk mendiskusikan sesuatu. Draco tak bisa berpikir apa yang mereka diskusikan - biasanya berkaitan dengan hal-hal berbahaya, yang menyangkut Hogwarts, yang menyangkut Pelahap Maut, yang menyangkut Pangeran Kegelapan, yang menyangkut Dumbledore-


"Sakit, Draco?" tanya Pansy cemas, melihat Draco bangun dengan meringis.


"Tidak."


"Kau tidak bisa berbohong padaku," kata Pansy dengan suara dilembut-lembutkan. "Aku harus pergi sekarang," kata Pansy, mengecup pipi Draco, kemudian berlari ke arah Ruang Bawah Tanah Slytherin untuk mengambil buku-bukunya.


"Kau tidak ikut ke Hogsmeade?" tanya Goyle.


"Tidak, kalian pergilah sana," tolak Draco.


"Apa ini berkaitan dengan 'itu' lagi?" tanya Crabbe.


"Tidak, aku hanya butuh sedikit istirahat... kalian pergi saja... belikan aku Butterbeer..." gumam Draco tak jelas, sementara kepalanya pusing.


"Oke," dan tanpa menunggu jawaban Draco, mereka berdua masuk ke barisan anak-anak yang hendak berkunjung ke Hogsmeade.


Draco dengan cepat berlari ke arah Kandang Burung Hantu.


* * *


Ternyata Lucy belum datang. Jarum jam di arloji Draco menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Lucy tidak telat, kalau begitu. Setidaknya belum.


Dan Draco setia menunggu. Kemudian ia menertawakan dirinya sendiri. Siapa sebenarnya Lucy Rothbelle yang telah menarik perhatiannya sedemikian besar sehingga dia bisa menjadi gadis yang ditunggunya? Draco belum pernah menunggu seorang gadis sebelumnya. Pansy datang begitu saja, tidak diharapkan.


Kemudian terdengar langkah kaki dan suara bersin yang kencang.


Lucy Rothbelle muncul di pintu. "Maaf, aku terlambat."


"Tidak, kau tepat waktu," kata Draco tersenyum. Kemudian matanya menangkap sebuah benda yang dibawa Lucy. "Kau tidak sarapan di Aula?"


"Aku tak bisa bangun dari ranjangku," gumam Lucy, suaranya aneh. "Sepertinya aku kena flu."


"Lalu itu sandwich yang dibawakan Loony - maksudku, Luna Lovegood?" Draco menunjuk dua potong sandwich yang dilapisi tisu yang dibawa Lucy.


"Sudah kuhabiskan satu dalam perjalanan menuju kesini," jelas Lucy. "Dan bagaimana kau tahu Luna yang membawakannya untukku?"


"Aku melihat Luna membawa sandwich-sandwich itu keluar Aula," jawab Draco tak acuh.


Draco melihat wajah Lucy merona merah, entah efek dari kalimatnya barusan atau memang karena sakitnya. "Maafkan aku memintamu datang kesini pagi-pagi begini."


"Tidak apa-apa,"


"Tapi kau sakit."


"Tidak apa-apa."


Lucy bersin.


"Kau benar-benar sakit," kata Draco, dan selintas dirinya merasa kasihan. Dan ia menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Lagi-lagi. Seorang gadis asing yang baru saja ditemuinya, bisa memberitahunya bagaimana merasa kasihan pada seseorang.


"Tidak apa-apa," ulang Lucy untuk ketiga kalinya. "Aku oke."


Draco memandang Lucy sejenak, yang berusaha mengunyah sandwichnya.


Kemudian tak ada yang bicara. Hanya suara burung hantu dan kepakan sayap mereka yang memenuhi udara.


"Bukankah kau datang ke pesta Slughorn dengan anak kelas tujuh itu?" tanya Draco kemudian.


Lucy tersedak. "Siapa? Anak Hufflepuff itu?"


"Ya."


"Kau tahu, tadinya aku sudah ingin mengajakmu," kata Lucy malu. "Tapi kau pasti sudah mengetahuinya dari suratku," tambahnya langsung.


Draco mengangguk. "Jadi, dia hanya bernasib sebagai pilihan terakhir yang tidak mungkin kau tolak?"


Lucy mengangkat alisnya. "Aku... tidak ingin menyebutnya begitu."


Draco meneruskan. "Atau dia hanya beruntung?"


"Aku tidak tahu apa namanya."


"Lalu siapa yang kau tunggu di pintu kantor Slughorn?"


"Hah?"


Butuh waktu yang cukup lama bagi Lucy untuk mencerna pertanyaan Draco. "Kau melihatku di pintu?"


"Tentu saja," kata Draco terbahak. "Kau memakai jubah berwarna ungu muda kan?"


Lucy mengangkat alisnya. "Yeaa."


"Kontras dengan rambutmu," cengir Draco, memandang rambut Lucy yang merah kecoklatan.


"Terima kasih."


"Aku mengawasimu waktu itu," kata Draco tak acuh. Tanpa mengetahui bahwa kalimatnya barusan sudah cukup untuk membuat hati Lucy meleleh lagi.


"Mengawasiku?"


"Ya, karena sebenarnya aku sedang melamun. Kemudian aku melihatmu keluar. Kau tampak bingung dan mencari seseorang. Itu mengalihkan perhatianku."


Satu lagi kalimat yang membuat Lucy melayang ke udara.


"Lalu Harry datang..."


"Harry dan Luna," gumam Lucy pelan. "Aku benar-benar tidak menyangkanya. Kukira Harry akan mengajak Cho, atau siapa, gadis lain yang lebih..."


"...dan kau berkata entah apa pada mereka, dan mereka masuk ke dalam dan kau masih di luar ruangan."


"Dan waktu itulah aku melihatmu sekilas di sisi jendela."


"Yeah, aku menunggu keadaan sepi."


"Untuk kemudian masuk ke kantor Profesor Slughorn - ralat - menyelinap ke dalamnya?" tebak Lucy.


Draco mengangkat alis. "Humm, kau memang anak Ravenclaw."


"Tidak ada hubungannya," kata Lucy tegas.


Draco berdehem.


"Apa yang kau lakukan di dalam sana dengan menyelinap begitu? Aku sudah berniat hendak menyelamatkanmu dengan berkata bahwa kau adalah orang yang kuajak menjadi pasanganku ke pesta Profesor Slughorn, tetapi aku juga memikirkan anak Hufflepuff itu..."


"Itu... bukan urusanmu."


Lucy memandang Draco jengkel. "Asal kau tahu saja, kau sudah membuatku begitu cemas saat itu, dan aku mengikutimu keluar ketika diseret oleh Profesor Snape - mengikutimu setelah Harry, kau tahu..."


"Harry mengikutiku? Tentu saja, dia mungkin saja penasaran sekali, memang itulah sifatnya sejak dulu..."


"...dan aku menangis saat mendengar percakapanmu dengan Profesor Snape."


Draco tertegun. "Itu bukan percakapan."


"Pertengkaran, yeah." Lucy mengusap matanya yang mulai digenangi air mata.


"Dengar, apapun yang kau dengar malam itu, semuanya tidaklah penting..."


"Tidak penting bagaimana? Aku mendengar dengan jelas, Draco, kau berteriak 'akulah yang dipilihnya', nah, kau pikir siapa yang kupikirkan untuk mengganti kata 'nya' yang kau gunakan? Kau juga berkeras tidak mau mengakui tuduhan Profesor Snape tentang kutukan yang mengenai Katie Bell! Sadarkah kau? Bahwa aku berpikir bahwa kaulah yang memberikan kalung kutukan itu pada Katie Bell, bahwa kaulah yang mengirim mead beracun itu pada Ronald Weasley, bahwa aku berpikir tentang dirimu yang pucat selama ini, bahwa aku berpikir ada rencana yang kau dan Profesor Snape tahu, dan sayangnya, gagal, dan bahwa aku berpikir rencana ini berkaitan dengan..."


"Oke," gumam Draco pelan, menghentikan rentetan kalimat Lucy yang diselingi air mata.


Dan Lucy berhenti, terengah.


"Oke," ulang Draco, "aku akan menjelaskan segalanya."


* * *




P.S.
Maaf kalau lanjutannya terlalu lama! Entah kenapa saya terkena writer's block. Disini saya benar-benar mengkhayal sebebas mungkin, (well, as usual) entah apa benar Pansy Parkinson mengikuti pelajaran tambahan Transfigurasi atau apa, tetapi saya tak tahu lagi bagaimana membuat Draco lepas dari Pansy dan bertemu Lucy di Kandang Burung Hantu. Saya hanya ingin mereka berdua, itu saja :) *tanda-tanda egoisme* Seperti biasa, naskah ini dibuat tanpa proses pengeditan yang berarti, as first draft, there are too many mistakes so I can't count on it. Need your suggestions, critics, complaints, anything :)




15 Januari 2011
R.A.
Continue reading Lucy's Love Story (Chapter 2)