Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Madam Pince
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER 4
"Tidak bisakah kita mengganti tempat pertemuan?" keluh Lucy, ketika ia terpeleset di pintu Kandang Burung Hantu, yang lantainya dipenuhi kotoran burung hantu.
Draco membantunya berjalan. "Habis bagaimana lagi," gumamnya, "terlalu riskan kalau seseorang melihat kita berdua di koridor, atau kau masuk ke ruangan yang sama denganku beberapa saat yang lalu, misalnya."
"Kamar Kebutuhan?" usul Lucy.
"Aku selalu dijaga Crabbe atau Goyle setiap masuk kesana," Draco mengangkat bahunya.
"Kandang Burung Hantu juga riskan," kata Lucy bersikeras. "Riskan kepeleset."
"Orang akan mengira kita tidak kenal, karena setiap kali kita mendengar suara langkah kaki di tangga, kita langsung menjauh dan mencari burung hantu agar dikira kita mau mengirim surat."
"Perpustakaan?"
"Banyak anak-anak kelas lima yang belajar disana - teman-temanmu, dan aku tidak mau mengambil resiko si cewek Weasley itu melihat kita duduk berdua lalu mengadukannya pada pacarnya."
"Maksudmu Harry dan Ginny."
"Apalah."
"Kau benar-benar membencinya, ya?" tanya Lucy lembut.
Draco tidak menjawab.
"Maafkan aku, pertanyaanku terlalu bodoh," sambung Lucy lagi, lalu bersiul memanggil burung hantunya, yang berwarna coklat keemasan. Burung hantu itu terbang menuju lengan Lucy dan hinggap disana. Lucy mengelusnya lembut. "Kau tidak kesepian, kan?"
Draco mengawasi Lucy mengobrol dengan burung hantunya yang dipanggil Western.
"Kalau kupikir dia itu ingin tahu sekali," kata Draco.
"Hah? Siapa? Western?" tanya Lucy bingung, menunjuk burung hantunya.
"Bukan dia," kata Draco, mengulurkan tangannya untuk mengelus Western, tetapi Western mematuk jarinya. Draco menarik kembali tangannya, kaget.
"Oh, sori," gumam Lucy. "Dia senang sekali mematuk."
Draco tidak heran melihat tangan Lucy yang penuh luka patukan Western.
"Tadi siapa yang kaumaksud?" tanya Lucy lagi.
"Si Potter itu," sambung Draco. "Sering sekali penasaran, menguntit orang lain..."
"Soalnya - yah, dialah Sang Terpilih, kan?"
"Yeah, yeah, Anak yang Bertahan Hidup, Anak yang Menangkap Snitch, apalah gelarnya sekarang."
"Kau membencinya," Lucy menyimpulkan.
Draco mengangkat alisnya. "Dan kau anggota Laskar Dumbledore."
"Semua sah dalam cinta dan perang, Draco."
"Lalu?"
"Ini kondisi separo-cinta dan separo-perang."
"Sepertinya aku de javu. Ibuku atau entah siapa pernah mengatakannya padaku."
Lucy tertawa lepas, kemudian tawanya berubah menjadi senyum manis ketika wajah Draco mendekati wajahnya. Terlalu dekat hingga Lucy bisa menghitung bintik-bintik di wajah tampan Draco. Hingga Draco bisa melihat setitik kecil jerawat yang muncul di hidung Lucy.
Western terbang ke langit sambil berkicau senang.
* * *
Seusai makan malam Lucy pergi ke perpustakaan dengan membawa setumpuk buku-bukunya. Dia mengerling Draco di meja Slytherin, yang tampak sangat sibuk dengan Pansy Parkinson yang merepetnya terus. Lucy mengangkat alis, dan dia beranjak pergi.
"Ayo Draco, makanlah pai daging ini... kau tampak kurus sekali..." desak Pansy.
"Aku tidak lapar," gumam Draco, perutnya berkeruyuk keras.
"Kau tidak bisa membohongiku, kau kelaparan! Ini, ada sosis..."
"Pansy, bisakah kau melepas tanganmu dari lenganku?" gerutu Draco kesal. Sekilas ia melihat Lucy pergi keluar Aula.
"Tentu saja," kata Pansy, melepaskan belitannya pada Draco. "Kau lihat kemana, hei."
Draco menolehkan kepalanya dan kemudian menghadapi berpiring-piring makanan di depannya. Dilahapnya semua makanan sejauh mulutnya memungkinkan untuk mengunyahnya.
Sebab ada yang harus dikatakannya pada Lucy.
"Jangan terlalu cepat makan, nanti kau sakit perut," nasehat Pansy.
"Aku baru sadar tugas Ramuanku tertinggal di perpustakaan," kata Draco cepat dan tak jelas.
"Apa?"
Draco mengulang kalimatnya setelah menelan seluruh makanannya.
"Kalau begitu nanti kita ambil..." gumam Pansy, kemudian tersadar. "Oh! Aku baru ingat ada janji dengan Milicent... maafkan aku Draco, aku tidak bisa menemanimu ke perpustakaan mengambil tugasmu..."
"Yah, kalau begitu aku ambil sendiri nanti," kata Draco, bersyukur karena memang inilah yang ia harapkan.
Setelah makan dengan cepat, Draco berjalan keluar Aula Besar dengan terburu-buru, setengah berlari, setelah berpisah dengan Pansy.
Di perpustakaan dia bertanya lagi pada Madam Pince. "Saya mencari Lucy Rothbelle."
"Miss Rothbelle?" tanya Madam Pince tak yakin. "Dia ada di Seksi Gaib, kalau tidak salah."
"Terima kasih."
Draco merasa de javu lagi saat itu.
Dia menemukan Lucy duduk di meja di dekat rak buku di Seksi Gaib, sendirian. Lucy tampak bingung dengan kedatangan mendadak Draco, tetapi kemudian ia kembali menulis di perkamennya.
"Kenapa kau disini?" tanya Draco pelan.
"Mengerjakan tugas," ujar Lucy heran.
"Maksudku kenapa kau duduk di Seksi Gaib."
"Oh," gumam Lucy. "Karena seksi ini membahas segala sesuatu yang tidak kelihatan."
Draco tidak berusaha mencerna kalimat Lucy barusan. "Hm."
"Kenapa kau disini?" tanya Lucy.
"Karena ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu."
Lucy menoleh ke arah Draco yang sudah duduk di kursi di sebelahnya karena mendengar suara Draco yang serius. "Oke, aku mendengarkan."
"Lucy, aku..." Draco memulai. "Aku rasa... kita tidak bisa meneruskan hubungan ini."
Lucy terdiam.
Draco meneruskan. "Aku hanya tahu bahwa aku memang benar-benar menyukaimu, dan karena itulah..." dia berhenti sejenak, "karena itulah kita tidak bisa terus seperti ini."
Lucy masih mendengarkan.
"Karena... konsekuensi yang harus kuhadapi jika aku gagal melaksanakan tugas itu..."
Lucy kali ini memandang Draco dalam-dalam sambil menggigit bibir.
"Pangeran Kegelapan akan membunuhku."
Lucy tidak terlihat kaget ataupun shock, dia hanya tersenyum, tetapi matanya menitikkan air mata.
"Sebab itulah yang akan dilakukannya," kata Lucy paham. "Aku mengerti. Dari awal dia memang hanya ingin mengujimu."
"Maafkan aku," kata Draco susah payah.
"Seharusnya kau menolakku sejak awal. Kau tidak perlu mencariku dan mengatakan bahwa kau mencariku. Kau tidak perlu berkata bahwa kau mengingatku, dan segalanya! Aku bisa dengan senang menyukaimu tanpa perlu merasa tersiksa seperti ini," kata Lucy, masih tersenyum, tetapi air matanya membasahi perkamen.
"Aku..."
"Tidak ada yang bisa diteruskan diantara kita," kata Lucy, membereskan barang-barangnya. "Dimulai saja belum."
"Tapi..."
Lucy berdiri. "Terima kasih," katanya dramatis.
Draco ikut berdiri dan mencegah Lucy sebelum pergi lebih jauh. "Tunggu," katanya geram. "Kau juga salah karena sudah membuatku menyukaimu."
Kemudian Draco menarik Lucy mendekat. Lucy menjatuhkan buku-bukunya. Wajahnya memanas, penuh dengan air mata, membuat ciuman itu terasa basah.
Lalu mereka melepaskan diri.
"Aku benar-benar minta maaf," kata Draco yang terdengar menyesal.
"Akulah yang seharusnya minta maaf... sedari awal akulah yang salah... karena menyukaimu... menulis surat itu..." gumam Lucy tergagap.
"Aku pun salah karena melibatkanmu dalam urusan ini... membuatmu dalam bahaya kalau pihakku mengetahui bahwa kau tahu semuanya."
"Oh, Draco," Lucy menghambur memeluk Draco. "Aku berjanji tak akan mengatakannya pada siapapun."
"Aku tahu," kata Draco, mengelus rambut Lucy dengan gemetar.
Lucy melepaskan Draco. "Terima kasih untuk semuanya."
"Apa maksudmu?" tanya Draco bingung.
"Kau bilang kita tidak bisa begini terus, kan? Kalau begitu aku akan menyingkir..."
"Tidak bisa begitu."
"Tentu saja bisa. Kita bersikap tak pernah terjadi apa-apa di antara kita..."
Draco tidak mencegah Lucy ketika gadis itu pergi dengan dramatis meninggalkannya di Seksi Gaib. Dia tidak bisa mencegahnya. Karena tak pernah ada orang yang mengajarinya bagaimana menenangkan seorang penyihir perempuan yang sedang menangis. Bahkan ayahnya sendiri.
* * *
P.S.
Oke, ini naskah terpanjang menurut saya. Saya memasukkan kalimat Ron di Deathly Hallows 'semua sah dalam cinta dan perang, dan ini separo-cinta separo-perang' :P menurut saya itulah kutipan terbagus Ron di Harry Potter, hahaha. Yah, cerita kali ini agak sedikit kejar-kejaran dengan waktu, dan timelinenya juga tidak jelas, yah, ini hanya mengalir begitu saja dari benak saya. Tanpa editan, lagi-lagi. Agak tidak layak untuk dipublikasikan, sesungguhnya. Well, bagaimanapun, saya tetep minta review dari Anda sekalian :))
R.A.
4 Februari 2011
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Madam Pince
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER 4
"Tidak bisakah kita mengganti tempat pertemuan?" keluh Lucy, ketika ia terpeleset di pintu Kandang Burung Hantu, yang lantainya dipenuhi kotoran burung hantu.
Draco membantunya berjalan. "Habis bagaimana lagi," gumamnya, "terlalu riskan kalau seseorang melihat kita berdua di koridor, atau kau masuk ke ruangan yang sama denganku beberapa saat yang lalu, misalnya."
"Kamar Kebutuhan?" usul Lucy.
"Aku selalu dijaga Crabbe atau Goyle setiap masuk kesana," Draco mengangkat bahunya.
"Kandang Burung Hantu juga riskan," kata Lucy bersikeras. "Riskan kepeleset."
"Orang akan mengira kita tidak kenal, karena setiap kali kita mendengar suara langkah kaki di tangga, kita langsung menjauh dan mencari burung hantu agar dikira kita mau mengirim surat."
"Perpustakaan?"
"Banyak anak-anak kelas lima yang belajar disana - teman-temanmu, dan aku tidak mau mengambil resiko si cewek Weasley itu melihat kita duduk berdua lalu mengadukannya pada pacarnya."
"Maksudmu Harry dan Ginny."
"Apalah."
"Kau benar-benar membencinya, ya?" tanya Lucy lembut.
Draco tidak menjawab.
"Maafkan aku, pertanyaanku terlalu bodoh," sambung Lucy lagi, lalu bersiul memanggil burung hantunya, yang berwarna coklat keemasan. Burung hantu itu terbang menuju lengan Lucy dan hinggap disana. Lucy mengelusnya lembut. "Kau tidak kesepian, kan?"
Draco mengawasi Lucy mengobrol dengan burung hantunya yang dipanggil Western.
"Kalau kupikir dia itu ingin tahu sekali," kata Draco.
"Hah? Siapa? Western?" tanya Lucy bingung, menunjuk burung hantunya.
"Bukan dia," kata Draco, mengulurkan tangannya untuk mengelus Western, tetapi Western mematuk jarinya. Draco menarik kembali tangannya, kaget.
"Oh, sori," gumam Lucy. "Dia senang sekali mematuk."
Draco tidak heran melihat tangan Lucy yang penuh luka patukan Western.
"Tadi siapa yang kaumaksud?" tanya Lucy lagi.
"Si Potter itu," sambung Draco. "Sering sekali penasaran, menguntit orang lain..."
"Soalnya - yah, dialah Sang Terpilih, kan?"
"Yeah, yeah, Anak yang Bertahan Hidup, Anak yang Menangkap Snitch, apalah gelarnya sekarang."
"Kau membencinya," Lucy menyimpulkan.
Draco mengangkat alisnya. "Dan kau anggota Laskar Dumbledore."
"Semua sah dalam cinta dan perang, Draco."
"Lalu?"
"Ini kondisi separo-cinta dan separo-perang."
"Sepertinya aku de javu. Ibuku atau entah siapa pernah mengatakannya padaku."
Lucy tertawa lepas, kemudian tawanya berubah menjadi senyum manis ketika wajah Draco mendekati wajahnya. Terlalu dekat hingga Lucy bisa menghitung bintik-bintik di wajah tampan Draco. Hingga Draco bisa melihat setitik kecil jerawat yang muncul di hidung Lucy.
Western terbang ke langit sambil berkicau senang.
* * *
Seusai makan malam Lucy pergi ke perpustakaan dengan membawa setumpuk buku-bukunya. Dia mengerling Draco di meja Slytherin, yang tampak sangat sibuk dengan Pansy Parkinson yang merepetnya terus. Lucy mengangkat alis, dan dia beranjak pergi.
"Ayo Draco, makanlah pai daging ini... kau tampak kurus sekali..." desak Pansy.
"Aku tidak lapar," gumam Draco, perutnya berkeruyuk keras.
"Kau tidak bisa membohongiku, kau kelaparan! Ini, ada sosis..."
"Pansy, bisakah kau melepas tanganmu dari lenganku?" gerutu Draco kesal. Sekilas ia melihat Lucy pergi keluar Aula.
"Tentu saja," kata Pansy, melepaskan belitannya pada Draco. "Kau lihat kemana, hei."
Draco menolehkan kepalanya dan kemudian menghadapi berpiring-piring makanan di depannya. Dilahapnya semua makanan sejauh mulutnya memungkinkan untuk mengunyahnya.
Sebab ada yang harus dikatakannya pada Lucy.
"Jangan terlalu cepat makan, nanti kau sakit perut," nasehat Pansy.
"Aku baru sadar tugas Ramuanku tertinggal di perpustakaan," kata Draco cepat dan tak jelas.
"Apa?"
Draco mengulang kalimatnya setelah menelan seluruh makanannya.
"Kalau begitu nanti kita ambil..." gumam Pansy, kemudian tersadar. "Oh! Aku baru ingat ada janji dengan Milicent... maafkan aku Draco, aku tidak bisa menemanimu ke perpustakaan mengambil tugasmu..."
"Yah, kalau begitu aku ambil sendiri nanti," kata Draco, bersyukur karena memang inilah yang ia harapkan.
Setelah makan dengan cepat, Draco berjalan keluar Aula Besar dengan terburu-buru, setengah berlari, setelah berpisah dengan Pansy.
Di perpustakaan dia bertanya lagi pada Madam Pince. "Saya mencari Lucy Rothbelle."
"Miss Rothbelle?" tanya Madam Pince tak yakin. "Dia ada di Seksi Gaib, kalau tidak salah."
"Terima kasih."
Draco merasa de javu lagi saat itu.
Dia menemukan Lucy duduk di meja di dekat rak buku di Seksi Gaib, sendirian. Lucy tampak bingung dengan kedatangan mendadak Draco, tetapi kemudian ia kembali menulis di perkamennya.
"Kenapa kau disini?" tanya Draco pelan.
"Mengerjakan tugas," ujar Lucy heran.
"Maksudku kenapa kau duduk di Seksi Gaib."
"Oh," gumam Lucy. "Karena seksi ini membahas segala sesuatu yang tidak kelihatan."
Draco tidak berusaha mencerna kalimat Lucy barusan. "Hm."
"Kenapa kau disini?" tanya Lucy.
"Karena ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu."
Lucy menoleh ke arah Draco yang sudah duduk di kursi di sebelahnya karena mendengar suara Draco yang serius. "Oke, aku mendengarkan."
"Lucy, aku..." Draco memulai. "Aku rasa... kita tidak bisa meneruskan hubungan ini."
Lucy terdiam.
Draco meneruskan. "Aku hanya tahu bahwa aku memang benar-benar menyukaimu, dan karena itulah..." dia berhenti sejenak, "karena itulah kita tidak bisa terus seperti ini."
Lucy masih mendengarkan.
"Karena... konsekuensi yang harus kuhadapi jika aku gagal melaksanakan tugas itu..."
Lucy kali ini memandang Draco dalam-dalam sambil menggigit bibir.
"Pangeran Kegelapan akan membunuhku."
Lucy tidak terlihat kaget ataupun shock, dia hanya tersenyum, tetapi matanya menitikkan air mata.
"Sebab itulah yang akan dilakukannya," kata Lucy paham. "Aku mengerti. Dari awal dia memang hanya ingin mengujimu."
"Maafkan aku," kata Draco susah payah.
"Seharusnya kau menolakku sejak awal. Kau tidak perlu mencariku dan mengatakan bahwa kau mencariku. Kau tidak perlu berkata bahwa kau mengingatku, dan segalanya! Aku bisa dengan senang menyukaimu tanpa perlu merasa tersiksa seperti ini," kata Lucy, masih tersenyum, tetapi air matanya membasahi perkamen.
"Aku..."
"Tidak ada yang bisa diteruskan diantara kita," kata Lucy, membereskan barang-barangnya. "Dimulai saja belum."
"Tapi..."
Lucy berdiri. "Terima kasih," katanya dramatis.
Draco ikut berdiri dan mencegah Lucy sebelum pergi lebih jauh. "Tunggu," katanya geram. "Kau juga salah karena sudah membuatku menyukaimu."
Kemudian Draco menarik Lucy mendekat. Lucy menjatuhkan buku-bukunya. Wajahnya memanas, penuh dengan air mata, membuat ciuman itu terasa basah.
Lalu mereka melepaskan diri.
"Aku benar-benar minta maaf," kata Draco yang terdengar menyesal.
"Akulah yang seharusnya minta maaf... sedari awal akulah yang salah... karena menyukaimu... menulis surat itu..." gumam Lucy tergagap.
"Aku pun salah karena melibatkanmu dalam urusan ini... membuatmu dalam bahaya kalau pihakku mengetahui bahwa kau tahu semuanya."
"Oh, Draco," Lucy menghambur memeluk Draco. "Aku berjanji tak akan mengatakannya pada siapapun."
"Aku tahu," kata Draco, mengelus rambut Lucy dengan gemetar.
Lucy melepaskan Draco. "Terima kasih untuk semuanya."
"Apa maksudmu?" tanya Draco bingung.
"Kau bilang kita tidak bisa begini terus, kan? Kalau begitu aku akan menyingkir..."
"Tidak bisa begitu."
"Tentu saja bisa. Kita bersikap tak pernah terjadi apa-apa di antara kita..."
Draco tidak mencegah Lucy ketika gadis itu pergi dengan dramatis meninggalkannya di Seksi Gaib. Dia tidak bisa mencegahnya. Karena tak pernah ada orang yang mengajarinya bagaimana menenangkan seorang penyihir perempuan yang sedang menangis. Bahkan ayahnya sendiri.
* * *
P.S.
Oke, ini naskah terpanjang menurut saya. Saya memasukkan kalimat Ron di Deathly Hallows 'semua sah dalam cinta dan perang, dan ini separo-cinta separo-perang' :P menurut saya itulah kutipan terbagus Ron di Harry Potter, hahaha. Yah, cerita kali ini agak sedikit kejar-kejaran dengan waktu, dan timelinenya juga tidak jelas, yah, ini hanya mengalir begitu saja dari benak saya. Tanpa editan, lagi-lagi. Agak tidak layak untuk dipublikasikan, sesungguhnya. Well, bagaimanapun, saya tetep minta review dari Anda sekalian :))
R.A.
4 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar