Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER 6
Seusai pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam hari itu, Lucy berniat kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas Profesor Snape, tetapi hatinya mengajaknya untuk berkunjung ke Kandang Burung Hantu sejenak. Entah angin apa yang menyuruhnya pergi ke sana. Tetapi Lucy, yang sudah penat karena pelajaran tak henti sedari pagi, ingin sekedar menyapa Western atau, kalau dia beruntung, melihat burung hantu elang milik Draco.
Perutnya sakit memikirkan Draco, tetapi perasaan ini ditepisnya.
Jangan memikirkan dia lagi, Lucy, dia bukanlah apa-apa lagi bagimu.
Atau benarkah begitu?
Karena Lucy tak bisa berhenti memikirkan rambut pirangnya, wajah pucatnya, bintik-bintik di wajahnya ketika ia semakin mendekat... aroma tubuhnya...
Lucy berhenti mendadak di tangga teratas Kandang Burung Hantu. Ia mencium wangi sesuatu. Wangi yang disukainya. Wangi yang menempel di bajunya setelah ia memeluk seseorang dengan erat.
Parfum Draco.
Draco berdiri di dekat jendela, memandang Lucy yang berdiri di ambang pintu Kandang. Lucy kaget melihat Western bertengger di bahu Draco, tetapi kekagetannya ini tak ditampakkannya.
"Apa yang kau lakukan disini?" mereka bertanya bersamaan.
"Kau duluan," kata Draco.
"Menyapa Western," jawab Lucy. "Kau?"
"Mengirim surat."
Lucy bisa melihat burung hantu elang Draco sudah tidak terlihat di Kandang.
"Aku tidak tahu anak kelas lima punya waktu kosong," gumam Draco, mengelus Western.
"Aku baru saja selesai Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam."
"Wah, kebetulan sekali."
Lucy mendengar nada getir penuh ironi pada komentar Draco tentang pelajaran itu.
"Burung hantumu jinak sekali," kata Draco.
"Aneh," komentar Lucy, berjalan ke jendela di seberang jendela Draco. "Dia tidak pernah mau bertengger di bahu orang lain selain aku dan ayahku."
"Dia mematuk-matukku dengan keras," ujar Draco menambahkan. "Untungnya bukan di tanganku yang terluka."
"Itu tandanya dia sayang padamu," gumam Lucy, memandang jauh ke langit.
Western terbang dari bahu Draco dan hinggap di jendela Lucy. Sepertinya dia tahu majikannya sedang bersedih.
Keheningan yang sarat makna memenuhi Kandang Burung Hantu.
"Bagaimana... progres pekerjaanmu?" tanya Lucy pelan.
"Oh," jawab Draco singkat. "Kurasa aku mengerjakannya dengan baik."
"Baguslah."
"Kata-katamu aneh untuk seorang anggota Laskar Dumbledore."
"Itu tidak berarti apa-apa."
Kemudian diam lagi. Lucy, yang mengenali burung hantu berwarna seputih salju milik Harry Potter, Hedwig, melihatnya terbang ke Kandang membawa seekor tikus dalam paruhnya. Lucy merasa jijik, kemudian mundur selangkah dari jendela.
"Ada apa?" tanya Draco.
"Tak ada apa-apa," gumam Lucy, entah kenapa merasa tidak senang ditanyai seperti itu.
Lucy kesal karena dia bermaksud menghindari Draco, tetapi malah bertemu dengannya di Kandang Burung Hantu, tempat mereka ber...
"Kau mau kemana?" tanya Draco lagi, melihat Lucy menghindari jendela dan beranjak menuju pintu.
Lucy tersentak dari lamunannya. "Ke kamarku."
"Tunggulah sebentar lagi."
Oke. Jadi Draco memintanya menunggu. Tidak masalah. Hanya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Itu kan yang dia inginkan?
"Dengar, aku tidak bisa berpura-pura lagi," kata Lucy jengkel. "Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Kita jelas melakukan sesuatu."
"Aku tahu," gumam Draco dingin.
"Lalu? Apa yang kau harapkan?" desak Lucy. "Aku tidak berharap kau muncul begitu saja di perpustakaan, atau ada di Kandang Burung Hantu tepat di saat aku ingin kesini..."
"Aku kesini karena aku ingin kesini," sela Draco.
"Apa maksudmu?"
"Aku setengah berharap bertemu denganmu."
Jantung Lucy berdebar.
"Dan kupikir... kau juga merasakan hal yang sama," tambah Draco.
Lucy tidak bisa memungkiri itu.
"Soal pagi tadi..."
"Tidak usah diungkit," sahut Lucy kesal, tetapi juga malu. Malu karena Draco berhasil menebak hatinya dengan tepat. Ia merasa rasa sukanya pada Draco bertambah besar.
"Dan tentang tugas itu," gumam Draco seolah tak ada interupsi barusan. "Aku hampir berhasil memperbaikinya... sedikit lagi pasti bisa... lemari itu akan membantuku menyelesaikan tugasku."
"Apa?" tanya Lucy tak percaya. "Sedikit lagi?"
"Ya," kata Draco puas. "Mungkin malam ini."
Lucy tak berkata apa-apa. Dirinya terlalu shock. Secepat inikah?
"Dengar," Draco berjalan mendekati Lucy. "Malam ini tetaplah di kamarmu."
"Aku tidak mau," kata Lucy bersikeras.
"Terlalu bahaya."
"Aku tidak peduli."
"Aku peduli."
"Terserah."
Draco sudah akan membentak Lucy. Tapi melihat tanda-tanda Lucy akan menangis, ditahannya keinginannya itu.
"Haruskah sekarang?" tanya Lucy getir. "Mesti malam ini?"
"Secepatnya," gumam Draco.
Lucy menutup mulutnya, tak ingin mempercayai hal yang didengarnya.
"Jadi... malam ini..." Lucy tak meneruskan kalimatnya.
Draco meneguk ludah. "Sepertinya begitu," katanya. "Seharusnya begitu."
"Tapi ini terlalu cepat."
"Pangeran Kegelapan tidak mau tahu."
"Tidak bisakah kau menolaknya? Memberimu waktu sedikit lagi? Memberi... memberiku waktu sedikit lagi?" tambah Lucy ragu, dan bahkan sebelum dia mengucapkan kata terakhir dia sudah tahu jawabannya dengan hanya melihat raut wajah Draco.
"Dia tidak mau dibantah. Dia tidak suka dibantah."
"Dia mengerikan."
"Dia Tuanku."
Lucy mendongak memandang mata Draco mendengar dua kata itu. "Maafkan aku."
"Tidak apa-apa," kata Draco datar.
Dan, Lucy, membuang semua perasaan gengsinya, malunya, marahnya pada Draco, menghambur memeluk Draco. Menuangkan semuanya dalam pelukan erat itu.
Aku mencintaimu! Aku menyayangimu lebih dari apapun! Aku hanya ingin kau tahu itu...
Tetapi Lucy tidak berkata apa-apa; dia hanya memeluk Draco erat, mencium wangi parfumnya, merangkul lehernya, menyentuh rambut pirangnya dengan gemetar. Dan Draco, yang sudah belajar, mengelus rambut coklat kemerahan Lucy yang wangi strawberi. Menenangkannya.
"Aku, aku..." isak Lucy, "aku..."
Draco menunggu.
Tetapi Draco tak pernah tahu apa yang akan dikatakan Lucy, karena tepat saat itu tangisan Lucy justru semakin kencang.
Dan Draco tetap menunggu.
* * *
P.S.
Yak, semakin menjadi. Saya agak sedikit dikejar waktu, ehm. Saya sadar waktu melihat sudah tiga cerita yang saya hasilkan dua hari ini, sampai saya sendiri bingung. Semoga saya bisa menyelesaikannya sebelum masuk semester 2. Seperti biasa, saya minta review :)) thanks
R.A.
5 Februari 2011
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER 6
Seusai pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam hari itu, Lucy berniat kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas Profesor Snape, tetapi hatinya mengajaknya untuk berkunjung ke Kandang Burung Hantu sejenak. Entah angin apa yang menyuruhnya pergi ke sana. Tetapi Lucy, yang sudah penat karena pelajaran tak henti sedari pagi, ingin sekedar menyapa Western atau, kalau dia beruntung, melihat burung hantu elang milik Draco.
Perutnya sakit memikirkan Draco, tetapi perasaan ini ditepisnya.
Jangan memikirkan dia lagi, Lucy, dia bukanlah apa-apa lagi bagimu.
Atau benarkah begitu?
Karena Lucy tak bisa berhenti memikirkan rambut pirangnya, wajah pucatnya, bintik-bintik di wajahnya ketika ia semakin mendekat... aroma tubuhnya...
Lucy berhenti mendadak di tangga teratas Kandang Burung Hantu. Ia mencium wangi sesuatu. Wangi yang disukainya. Wangi yang menempel di bajunya setelah ia memeluk seseorang dengan erat.
Parfum Draco.
Draco berdiri di dekat jendela, memandang Lucy yang berdiri di ambang pintu Kandang. Lucy kaget melihat Western bertengger di bahu Draco, tetapi kekagetannya ini tak ditampakkannya.
"Apa yang kau lakukan disini?" mereka bertanya bersamaan.
"Kau duluan," kata Draco.
"Menyapa Western," jawab Lucy. "Kau?"
"Mengirim surat."
Lucy bisa melihat burung hantu elang Draco sudah tidak terlihat di Kandang.
"Aku tidak tahu anak kelas lima punya waktu kosong," gumam Draco, mengelus Western.
"Aku baru saja selesai Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam."
"Wah, kebetulan sekali."
Lucy mendengar nada getir penuh ironi pada komentar Draco tentang pelajaran itu.
"Burung hantumu jinak sekali," kata Draco.
"Aneh," komentar Lucy, berjalan ke jendela di seberang jendela Draco. "Dia tidak pernah mau bertengger di bahu orang lain selain aku dan ayahku."
"Dia mematuk-matukku dengan keras," ujar Draco menambahkan. "Untungnya bukan di tanganku yang terluka."
"Itu tandanya dia sayang padamu," gumam Lucy, memandang jauh ke langit.
Western terbang dari bahu Draco dan hinggap di jendela Lucy. Sepertinya dia tahu majikannya sedang bersedih.
Keheningan yang sarat makna memenuhi Kandang Burung Hantu.
"Bagaimana... progres pekerjaanmu?" tanya Lucy pelan.
"Oh," jawab Draco singkat. "Kurasa aku mengerjakannya dengan baik."
"Baguslah."
"Kata-katamu aneh untuk seorang anggota Laskar Dumbledore."
"Itu tidak berarti apa-apa."
Kemudian diam lagi. Lucy, yang mengenali burung hantu berwarna seputih salju milik Harry Potter, Hedwig, melihatnya terbang ke Kandang membawa seekor tikus dalam paruhnya. Lucy merasa jijik, kemudian mundur selangkah dari jendela.
"Ada apa?" tanya Draco.
"Tak ada apa-apa," gumam Lucy, entah kenapa merasa tidak senang ditanyai seperti itu.
Lucy kesal karena dia bermaksud menghindari Draco, tetapi malah bertemu dengannya di Kandang Burung Hantu, tempat mereka ber...
"Kau mau kemana?" tanya Draco lagi, melihat Lucy menghindari jendela dan beranjak menuju pintu.
Lucy tersentak dari lamunannya. "Ke kamarku."
"Tunggulah sebentar lagi."
Oke. Jadi Draco memintanya menunggu. Tidak masalah. Hanya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Itu kan yang dia inginkan?
"Dengar, aku tidak bisa berpura-pura lagi," kata Lucy jengkel. "Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Kita jelas melakukan sesuatu."
"Aku tahu," gumam Draco dingin.
"Lalu? Apa yang kau harapkan?" desak Lucy. "Aku tidak berharap kau muncul begitu saja di perpustakaan, atau ada di Kandang Burung Hantu tepat di saat aku ingin kesini..."
"Aku kesini karena aku ingin kesini," sela Draco.
"Apa maksudmu?"
"Aku setengah berharap bertemu denganmu."
Jantung Lucy berdebar.
"Dan kupikir... kau juga merasakan hal yang sama," tambah Draco.
Lucy tidak bisa memungkiri itu.
"Soal pagi tadi..."
"Tidak usah diungkit," sahut Lucy kesal, tetapi juga malu. Malu karena Draco berhasil menebak hatinya dengan tepat. Ia merasa rasa sukanya pada Draco bertambah besar.
"Dan tentang tugas itu," gumam Draco seolah tak ada interupsi barusan. "Aku hampir berhasil memperbaikinya... sedikit lagi pasti bisa... lemari itu akan membantuku menyelesaikan tugasku."
"Apa?" tanya Lucy tak percaya. "Sedikit lagi?"
"Ya," kata Draco puas. "Mungkin malam ini."
Lucy tak berkata apa-apa. Dirinya terlalu shock. Secepat inikah?
"Dengar," Draco berjalan mendekati Lucy. "Malam ini tetaplah di kamarmu."
"Aku tidak mau," kata Lucy bersikeras.
"Terlalu bahaya."
"Aku tidak peduli."
"Aku peduli."
"Terserah."
Draco sudah akan membentak Lucy. Tapi melihat tanda-tanda Lucy akan menangis, ditahannya keinginannya itu.
"Haruskah sekarang?" tanya Lucy getir. "Mesti malam ini?"
"Secepatnya," gumam Draco.
Lucy menutup mulutnya, tak ingin mempercayai hal yang didengarnya.
"Jadi... malam ini..." Lucy tak meneruskan kalimatnya.
Draco meneguk ludah. "Sepertinya begitu," katanya. "Seharusnya begitu."
"Tapi ini terlalu cepat."
"Pangeran Kegelapan tidak mau tahu."
"Tidak bisakah kau menolaknya? Memberimu waktu sedikit lagi? Memberi... memberiku waktu sedikit lagi?" tambah Lucy ragu, dan bahkan sebelum dia mengucapkan kata terakhir dia sudah tahu jawabannya dengan hanya melihat raut wajah Draco.
"Dia tidak mau dibantah. Dia tidak suka dibantah."
"Dia mengerikan."
"Dia Tuanku."
Lucy mendongak memandang mata Draco mendengar dua kata itu. "Maafkan aku."
"Tidak apa-apa," kata Draco datar.
Dan, Lucy, membuang semua perasaan gengsinya, malunya, marahnya pada Draco, menghambur memeluk Draco. Menuangkan semuanya dalam pelukan erat itu.
Aku mencintaimu! Aku menyayangimu lebih dari apapun! Aku hanya ingin kau tahu itu...
Tetapi Lucy tidak berkata apa-apa; dia hanya memeluk Draco erat, mencium wangi parfumnya, merangkul lehernya, menyentuh rambut pirangnya dengan gemetar. Dan Draco, yang sudah belajar, mengelus rambut coklat kemerahan Lucy yang wangi strawberi. Menenangkannya.
"Aku, aku..." isak Lucy, "aku..."
Draco menunggu.
Tetapi Draco tak pernah tahu apa yang akan dikatakan Lucy, karena tepat saat itu tangisan Lucy justru semakin kencang.
Dan Draco tetap menunggu.
* * *
P.S.
Yak, semakin menjadi. Saya agak sedikit dikejar waktu, ehm. Saya sadar waktu melihat sudah tiga cerita yang saya hasilkan dua hari ini, sampai saya sendiri bingung. Semoga saya bisa menyelesaikannya sebelum masuk semester 2. Seperti biasa, saya minta review :)) thanks
R.A.
5 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar