Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Januari 2013

, ,

Maya (and Me)


“Maya itu selalu sedih, ya?”

Gitu komentar temen saya tentang cerita si Maya yang saya post di blog. Tambahnya lagi, “meski udah ada Raga yang bikin Maya seneng, tapi entah kenapa aku ngeliatnya Maya itu sedih... auranya.”

Hehehe... saya juga tidak pernah menyangka kalau karakter Maya yang saya bikin itu bakal terlihat sedih dan suram di bayangan orang-orang yang membaca ceritanya. Perasaan saya bikin kehidupan Maya itu oke-oke saja, punya sahabat dari kecil bernama Oki yang selalu ada, punya adik kelas cantik bernama Hannah, punya pacar yang selalu membahagiakan bernama Raga, hanya saja... hubungannya dengan Satria tidak dapat dijelaskan.
Continue reading Maya (and Me)

Sabtu, 29 Oktober 2011

, , ,

SAYA PENGEN NULIS LAGI!

Kemarin, di Twitter, saya ngegalau berat tentang dunia tulis-menulis. 
Dimulai dari sini...

1. saatnya bergalau ria dengan naskah novel. mumpung belum UTS. mau cerita bentar...


2. dulu di SMA saya pernah nyelesain satu novel. judulnya Hime No Yume.


3. satu-satunya novel yang saya selesaikan pas SMA. padahal waktu SMP saya nyelesain 2-3 novel lho. hahahaha.


4. tapi novel jaman SMP itu karya perdana saya. maksud saya benar-benar perdana. tanpa editan, mengalir begitu saja dari otak.


5. jadilah isinya amburadul. bahasa yang nggak karuan, dialog yang terlalu banyak, dan cerita yang asal-asalan.


6. tapi saya dengan senangnya, menulis novel yang lain lagi. selain karena adanya waktu luang, juga karena ada banyak inspirasi.


7.  maklumlah, masa SMP. masa puber! ketika pertama kali merasakan suka pada lawan jenis. perasaan itu, saya ungkapkan ke novel saya


8. jadilah, tiga novel jaman SMP itu, semuanya tentang cinta dan persahabatan. sedikit banyak, dipengaruhi novel-novel teenlit yang saya baca. 


9. sekarang naskah novel itu ada di rumah saya di Pekanbaru. ah, jadi kangen rasanya... membaca ulang, dan menertawai karya saya itu... :'D


10. nah, waktu masuk SMA, bacaan saya mulai berubah. beberapa novel dengan bahasa yang 'berat' mulai saya baca.


11.  sehingga sedikit banyak, mempengaruhi gaya menulis saya. dulu, saya terpengaruh sekali sama J.K. Rowling.


12. ya, saya tahu novel J.K. Rowling bukan novel dengan bahasa yang 'berat'.


13. tapi saya memang ingin memunculkan dia dalam twit saya :)) 


14. oke. kembali ke topik. saya menyukai gaya tulisan Mrs. Rowling. tentang bagaimana dia mendeskripsikan sesuatu.


15. coba saja anda baca novel saya 'Hime No Yume'. teman-teman saya bilang ketika membacanya, seperti membaca novel terjemahan.


16. sebab gaya tulisan seperti itulah yang saya suka! :D


17. cukup tentang gaya tulisan dan bahasa penulisan novel saya. selanjutnya tentang kehidupan tulis-menulis saya pasca 'Hime No Yume'. 


18. pasca 'Hime No Yume', saya kembali menulis beberapa naskah novel. tapi, sayang sekali! tidak ada satu pun yang saya selesaikan.


19. tepatnya, tidak ada satupun yang bisa saya selesaikan! 'Hime No Yume' selesai pada waktu saya kelas 11 SMA.


20. dan setelah itu, saya kepikiran tentang kelanjutan pendidikan saya. ya, saat-saat galau dan labil memilih tempat kuliah.


21. sampailah kelas 12 SMA. disini saya juga tak sempat menulis. terlalu banyak try out, ujian masuk PT, dan persiapan UN. 


22. kemudian setelah lulus SMA, dan saya punya waktu libur 3-4 bulan. saya kembali menulis novel, tetapi lagi-lagi tidak selesai. 


23. tetapi saya mengisi blog. saya kembali aktif di blog, menyempatkan pergi ke warnet di dekat rumah setiap sore, dan mem-post sesuatu. 


24. ah... saya lupa sesuatu. hal paling krusial dalam hidup saya. ketika laptop saya rusak karena virus... dan semua data novel saya hilang. 


25. dan saya menangis nyaris meraung-raung ketika itu :'P


26. tetapi apa boleh buat, life must go on... saya memang agak sedikit kesal dan sedih waktu itu, sehingga tak bisa menulis dengan benar lagi.


27. mendadak saya kepikiran beberapa naskah novel yang ada di laptop saya... masih hidupkah? masih adakah tanda-tanda kehidupan disana?


28. masuk FKG UGM... seperti yang sudah saya duga sebelumnya: welcome to hari-hari padat dan sibuk! 


29. itu berarti tidak ada lagi berjam-jam di depan laptop meneruskan naskah novel sampai lupa makan dan tidur. 


30. dan itulah kenapa sampai sekarang tidak ada naskah novel yang bisa saya selesaikan. tidak ada waktu, tidak ada inspirasi. tidak ada melamun!


31. karena buat saya, untuk menulis itu dibutuhkan waktu luang yang panjang untuk melamun.


32. oh, dan juga catatan-catatan kecil inspirasi yang tiba-tiba muncul.


33. tetapi bahkan akhir-akhir ini tak ada lagi inspirasi yang muncul dalam sekejap seperti itu. saya rindu, wahai inspirasi. --"


34. tulisan-tulisan saya di blog pun malah kebanyakan tentang... curhat dan kegalauan. yah, biasa lah. :| 


35. sedikit banyak - tidak, BANYAK, saya rindu saat-saat menulis novel itu. ketika berimajinasi penuh khayal. aaaaaaa! #histerissendiri


36. kapan ya, saya bisa nulis-nulis lagi?


37. oh, pertanyaannya adalah: kapan ya, saya punya waktu luang, buat nulis-nulis lagi...? 


38. *dan kemudian cerita ini gantung*


Ah, cerita yang absurd. Saya bahkan tidak sadar saya sudah membuat 38 twit hanya untuk bercerita tentang ini!
Sungguh hal yang tidak penting... 


Baiklah, saatnya saya kembali ke catatan dan handout Patologi Anatomi saya...
sekian. 


SELAMAT UTS.


R.A.
Jogja, 28-30 Oktober 2011
Continue reading SAYA PENGEN NULIS LAGI!

Senin, 25 Juli 2011

, , , , , ,

My Wishlist

I WANT THESE RIGHT NOOOWWW T______T

Death's Notice by MASE Motoro

Madre by Dee

Gerhana Kembar by Clara Ng

mencintaimu pagi, siang, malam by Andrei Aksana

Bidadari Santa Monica by Alexandra Leirissa Yunadi

The Tales of Beedle The Bard by J.K. Rowling

Dari Datuk ke Sakura Emas - Kumpulan Cerpen

The Thirteenth Tale by Diane Setterfield

Bilangan Fu by Ayu Utami

Manjali dan Cakrabirawa by Ayu Utami

Sekian dulu wishlist buku saya... semoga awal bulan sudah bisa kebeli semua T_T hiks *usap air mata* *habis pulang dari toko buku tanpa membeli apa-apa* *mupeng liat buku-buku baru* *neguk ludah nyium bau buku* *sarap*

R.A.
25 Juli 2011
Continue reading My Wishlist

Senin, 18 Juli 2011

, , , , , ,

I Love Books!


Yang lagi dibaca:

1. Ramuan Drama Cinta by Clara Ng
novel ini sekuel dari novel Jampi-Jampi Varaiya... tapi entah kenapa aku lebih suka yang pertama ._. maaf mbak Clara Ng >< saya emang dasarnya suka petualangan ._.v


2. dan hujan pun berhenti... by Farida Susanty

gilak novel ini KEREN! cerita cinta anak SMA yang biasa sebenernya. cuma lebih suram... kayak hidupku ._.v hahahaha thumbs up lah buat novel ini! (y)


3. The Witch of Portobello by Paulo Coelho

ini novel udah lama banget kubeli, cuma belum sempet kubaca-baca -.-" gara-garanya aku ngerasa nggak punya konsentrasi cukup buat baca novel berat kayak gini ._. doakan saya ya!


4. 2 by Donny Dhirgantoro
yaaayyy~! novel paling baru yang saya punya ^^ thanks to my besties Tita yang rela dititipin mendadak pas dia lagi di Togamas. salah sendiri dia sms ke aku gini 'tiq yang nulis 5 cm nulis novel tentang bulutangkis, mau nggak?' YA JELAS MAU LAH! hahaha now I'm still on the process of reading it, wish me luck :P


Yang saya suka:


1. Writer vs Editor by Ria N. Badaria
hadiah ulang tahun dari Anggy Annis and Mytha :*


2. The Alchemist by Paulo Coelho 

sukaaaaa banget. banyak pelajaran berharga, kutipan-kutipan bagus, dan sudut pandang baru dalam menjalani hidup :D


3. Test Pack by Ninit Yunita
pesan moralnya: from now on, start loving someone, because you want to. (y)

4. Un Soir du Paris - Kumpulan Cerpen
ini cerpen-cerpen tentang... guess what! lesbian. tapi saya belajar bagaimana cara mencintai dari cerpen-cerpen disini. anyway, saya masih NORMAL kok --"



My Favorite Comics


1. Detective Conan by Aoyama Gosho
meskipun gak selesai-selesai tapi nyatanya saya tetep penasaran sama ceritanya -____-"



2. Great Teacher Onizuka by Toru Fujisawa
satu aja. nggak bisa bayangin kalo ada guru semacam Sensei Onizuka di SMA >< oh, and there are some (many) adult contents here --"


3. Bloody Monday by Ryou Ryumon & Kouji Megumi
anak-anak pecinta IT jelas harus baca komik ini hahahaha :D beware of adult contents (again) -,-" but I love Otoya Kujo :*


4. Pandemic by Kakizaki Masasumi
tentang virus penyakit aneh yang menyebar di Jepang... serem >< tapi seru! dan cara dokter-dokter itu menyelamatkan nyawa manusia... nyentuh banget :'(


5. Ouran High School Host Club by Bisco Hatori
yap this is my favorite :D masih nunggu nomer 9 keluar di Gramedia -___-"


Segitu saja deh. Nanti kalau saya beli buku bagus lagi akan saya posting :D
FYI, kalau ada yang tanya saya lebih suka novel atau komik...
Saya akan jawab:
Saya membaca apa saja :D
Bubye!

R.A.
Continue reading I Love Books!

Senin, 26 Juli 2010

Fourth Chapter

"Kau pulang jam berapa nanti?" tanya Jayden saat dia menurunkanku di depan pintu gerbang tempat lesku.

"Jam satu, kenapa?" tanyaku. "Kita masih bisa nonton Indonesia Open kan."

"Benar. Oh, dan aku tidak mau membawa cemilan lagi. Kau harus masak," kata Jayden memaksa.

"Apa? Kau bercanda. Tidak ada apa-apa di rumah. Kau tahu itu."

"Bohong ah, kau dan Mama tadi belanja banyak kan."

"Itu kan persediaan untuk makanan berat. Bukan cemilan," kataku lagi.

"Tidak adakah yang bisa kau lakukan untuk teman sepermainanmu ini?" tanya Jayden memelas. "Kau tahu, aku sudah entah-berapa lama tidak makan..."

"Sejak zaman Belanda?" kelakarku. Aku sudah hafal sekali candaan Jayden yang seperti ini. "Kalau tidak salah tadi aku membeli beberapa kentang..."

"Naaaah, sip. Kita buat french fries," sahut Jayden, seolah itu menyelesaikan segalanya. “Biar kubawa smoked beef dari kulkas di rumahku. Mama tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan smoked beef itu," ujar Jayden, "jadi Mama bilang aku boleh melakukan apa saja dengannya."

Aku tertawa. "Mama tak tahu apa yang harus dilakukannya?"

Jayden mengangkat bahu. "Mamaku tak bisa masak yang aneh-aneh, kau lupa?"

"Oh, yeah," ujarku, masih tertawa. "Kau punya mayonaise?"

"Punya. Tapi aku tak punya keju."

"Baiklah, aku punya kok. Masih ada setengah sisa donat kemarin."

Jayden membuka mulutnya, tapi dia tak jadi bicara karena seorang gadis baru saja turun dari limo hitam. Azka berseri-seri melihatku. "Hai, Kyra. Dan kau pasti Jayden," katanya, memandang Jayden.

Aku dengan segera mengalihkan pandanganku pada Jayden. Kalau harus menggambarkan ekspresi yang timbul di wajahnya, aku akan memilih terkejut dan senang.

"Halo. Ini pertama kalinya aku melihatmu di luar sekolah, kan? Dan ini juga pertama kalinya kita berkenalan," kata Jayden. Aku kagum padanya – dia berhasil menyembunyikan rasa terkejut sesaatnya dengan cepat. "Jayden. Kau pasti..."

"Azka," ujar Azka, tersenyum. Lalu ia berbalik memandangku. "Oh, Kyra, kau tak akan percaya ini. Aku sudah tak sabar ingin menceritakannya padamuu."

Aku melirik Jayden. "Jadi, Jayden, jam setengah dua kau ke rumahku saja," kataku, agak keras, karena Jayden masih memandangi Azka meskipun dia sudah tidak melihat Jayden lagi. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat, lalu dia membuat sinyal mata padaku, yang kurasa itu berarti kenapa-kau-merusak-pemandanganku ketika Azka sedang melihat ke arah lain. Aku mengirim sinyal mata pada Jayden, yang kuharap berarti sudahlah-lekas-pergi-kami-akan-masuk. Rupanya dia menyadarinya, karena dia berkata, "Baiklah, kau pulang jam satu kan? Belajarlah dengan baik," dia mengacak rambutku ketika Azka menggandeng lenganku – Azka pasti melihat gerakan Jayden tadi, karena alis matanya terangkat, dan dia tersenyum aneh. Jayden terlihat salah tingkah.

"Hati-hatilah di jalan!" teriakku waktu Jayden meluncur menjauhiku. Dia mengacungkan jempolnya.

"Dia lucu, ya?" Azka tersenyum padaku.

"Oh, yeah, dia selalu begitu," ujarku gusar, seraya merapikan rambutku. "Ayo kita masuk kelas."

Azka masih memandangi jalan yang bebas-Jayden. Aku menariknya ke dalam.

"Jadi apa yang mau kau ceritakan?" tanyaku.

Azka terlihat sedang melamun, tetapi dia langsung menoleh mendengar pertanyaanku. "Oh, ya, benar. Mama mengganti uangku yang kubelikan buku samurai kemarin itu."

"Benarkah?" kataku riang. "Wah, kau beruntung sekali."

Azka mengangkat bahunya, tersenyum. "Yeah. Aku menceritakannya waktu makan malam – aku sama sekali tak minta ganti, padahal – dan Mama langsung mengambil uang di dompetnya dan memberikannya padaku."

"Baguslah. Kau tak perlu khawatir akan mati kekurangan makanan minggu ini," candaku. Meskipun secara teknis, yah, Azka tak akan mati kelaparan. Mamanya selalu memastikan perut Azka penuh sebelum ke sekolah.

"Nah, kalau begitu, ayo kita beli biskuit di mini market sebelah," Azka menarikku ke mini market di sebelah tempat lesku.

"Sudah kubilang aku tak punya uang lagi," kataku cemberut. "Mama mewanti-wantiku agar berhemat."

"Oh, ayolah..." pinta Azka manja. Dia tampak berpikir. "Kalau begitu kau masuklah dulu ke dalam. Aku hendak membeli sesuatu."

Dan aku pun masuk ke lobby, sementara Azka pergi ke mini market.
Beberapa anak perempuan teman les kami sedang ngerumpi di sofa. Salah satunya, kulihat, adalah Tiara, teman Azka sejak SMP. Dia juga kebetulan adalah pacar Kiki, teman dekatku juga, yang dulu kami sekelas di kelas sepuluh. Namun entah kenapa akhir-akhir ini dia lebih sering bicara dengan Azka dibandingkan denganku; kira-kira sejak dia pacaran dengan Tiara deh. Mungkin dia bicara tentang Tiara. Mereka sering sekali bertengkar, dan sering sekali mengumbar kemesraan. Aku sampai heran.

Tiara memanggilku. "Kyra. Azka mana?" tanyanya, melihat ke belakangku seolah aku sedang menyembunyikan Azka dari pandangannya.

"Di mini market sebelah..." gumamku, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Tiara. "Sedang membeli sesuatu."

Tiara menaikkan alisnya, lalu mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. "Halo, Sayang? Iya, aku sudah di tempat les. Cepatlah datang." Lalu mukanya berubah merah, dan dia berbisik, yang sayangnya masih bisa terdengar olehku, "love you too."

Aku berpura-pura tidak mendengar percakapan itu dan menguap. Setelah kulirik Tiara dan dia sudah terlihat biasa saat memasukkan ponsel ke saku celananya, aku bertanya. "Pelajaran apa hari ini?"

"Oh, Biologi dan Matematika," jawabnya.

Aku mengeluh keras-keras. "Huh. Tepat seperti yang aku butuhkan. Lebih banyak kebosanan."

Biologi adalah pelajaran yang tidak kusukai – atau kupikir tidak kusukai, karena tampaknya separuh isi kelas menyukai guru Biologi di tempat les kami. Bagiku guru itu membosankan. Cara ngomongnya itu lho, cobalah kau menghitung berapa menit yang dia butuhkan untuk membaca satu kalimat saja. Tapi anak-anak perempuan menyukainya karena dia cakep. Biasanya aku tertidur di belakang kelas kalau guru Biologi masuk.

"Kenapa sih kau tidak suka PakTyo?" tanya Tiara. "Dia kan cakep."

"Aku tidak menyukai suatu pelajaran hanya karena gurunya cakep, Tiara," ujarku.

Saat itu Azka masuk bersama Kiki, yang tampaknya terlibat pembicaraan serius. Tiara langsung melompat berdiri dan memeluk Azka – perhatikan: memeluk Azka, bukan Kiki – lalu berpaling ke arah pacarnya. Aku memejamkan mataku dan sesaat tidak bisa mendengar percakapan mereka.

"Nanti kita makan siang dimana?" tanya Tiara, sepertinya pada Kiki. Aku membuka mataku.

Kiki mengernyitkan dahinya. "Di Sasha’s saja?"

"Bagus," kata Tiara senang. "Kita bisa pesan sup asparagus disana. Enak sekali. Kau mau ikut tidak?" tanyanya pada Azka.

"Er," gumam Azka, dan aku berpura-pura tidak melihat kerlingan matanya padaku. Aku berpura-pura sibuk dengan brosur-brosur di atas meja. Tapi aku bisa mendengar Azka menolak ajakan itu.

Tak lama kemudian Azka duduk di sampingku.

"Kau tidak ikut bersama mereka?" tanyaku, mengacu ke Tiara dan Kiki yang sambil tertawa-tawa menuju ke kelas yang akan kami gunakan untuk belajar nanti.

"Eh, tidak," kata Azka. "Aku makan siang di rumah saja."

Aku perhatikan selama kami les di masa liburan ini, Tiara dan Kiki sering sekali pergi sepulang les untuk makan siang di restoran atau cafe. Atau mereka berjalan-jalan ke mall atau butik. Kadang mereka mengajak Azka untuk pergi bersama mereka. Mereka tak pernah mengajakku. Saat Tiara bicara pada Azka dengan semangat tentang rencana jalan-jalannya bersama Kiki, tak jarang Kiki mencuri-curi pandang padaku, tampak merasa bersalah. Kalau kulihat dari ekspresinya, dia ingin mengajakku, tapi tak punya keberanian untuk mengajakku di depan pacarnya sendiri. Di saat seperti itu aku biasanya menampakkan ekspresi ada-apa-sih? pada Kiki. Kiki biasanya mengerti dan dia mengangguk ke arah Tiara yang sedang berpaling. Aku membulatkan mulutku dan berkata tanpa suara, "tak apa-apa". Dan Kiki membuat anggukan kecil yang kurasa hanya aku yang bisa melihatnya, ditambah bisikan kecil, "maafkan aku!".

"Lagipula, mereka mau pergi ke toko buku yang kemarin kita kunjungi," kata Azka. "Sudahlah. Ini, lihat aku bawa apa..."
Azka membuka bungkusan yang dibawanya. Ada dua buah es krim, sekotak biskuit coklat, sebungkus besar keripik kentang, dan sebotol besar teh hijau.

"Wow. Kau lapar?" tanyaku terkagum-kagum.

Azka mengangguk, lalu nyengir. "Aku cuma makan sedikit pagi tadi. Bubur, kau tahu? Aku tak suka."

"Well, kau kan bisa menyuruh seseorang masak yang lain?"

"Tak ada orang di rumah. Aku bangun telat," tutur Azka. "Pembantuku sedang ke pasar. Di meja hanya ada note dari Mama; hangatkan bubur di microwave, katanya."

"Oh," gumamku. "Tak ada sesuatu di kulkas?" tanyaku.

"Kayaknya ada sosis."

"Oh," gumamku lagi. Aku tak bertanya lebih lanjut.

"Ayo kita makan," ujar Azka senang, membuka es krimnya. "Ini untukmu," katanya, memberiku sebungkus es krim.

"Tak usah," tolakku halus.

"Ayolaaah. Aku tak punya seseorang untuk berbagi di rumah," kata Azka.

Aku nyengir. "Trims," kataku, lalu kami berdua menyantap es krim itu di lobby.

Beberapa orang cowok masuk sambil tertawa tak jelas. Salah satu dari mereka mengenali aku, dan nyengir, lalu mengepalkan tangannya seolah hendak menumbukku. Aku membalas tersenyum, lalu menumbuk kepalan tangannya.

"Lagi pesta nih," sindir David, cowok yang tadi kutumbuk, mengambil kursi di meja informasi, lalu duduk di depanku dan Azka. Fathir menjatuhkan diri di sofa, di sebelahku, menguap lebar-lebar. Arjuna memilih tempat di sebelah Fathir, berusaha tidak mengganggu cewek-cewek yang sedang bergosip ramai di sebelah kanannya. Tak lama kemudian cewek-cewek itu terdiam dan menyadari bahwa Fathir sudah datang. Cowok itu memang punya banyak pengagum rahasia. Cewek-cewek itu lalu berbisik-bisik penuh gairah dan terkikik senang. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas mereka langsung pergi ke kelas sambil mencuri-curi pandang ke arah Fathir, yang tak memedulikan mereka, karena dia sedang bersandar di sofa sambil tidur-tidur ayam. Benar saja, karena tak lama kemudian terdengar dengkurannya dan kepalanya jatuh di bahuku. Aku mendorong kepalanya ke arah bahu Arjuna, yang selalu sibuk dengan komputer sakunya.

Arjuna menoleh ke arahku. "Hei, Kyra, kenapa kau mendorongnya ke arahku?"

"Aku sedang sibuk, Jun."

"Bangunkan dia, kita sebentar lagi masuk."

Aku dan Azka mengeluh keras. Biskuit cokelat yang sedang kami makan masih tersisa banyak; padahal David sudah membantu kami.
Dua orang cowok masuk lagi melalui pintu depan. Itu Nino dan Arkaz. Anak kembar yang sama-sama cakep. Aku mengakui mereka cakep, aku juga mengakui Fathir cakep, tapi perasaanku kepada mereka ya hanya sebagai teman. Aku menyukai mereka sebagai teman. Lagipula Arkaz, seperti yang sudah diketahui semua orang, naksir berat pada Azka. Dia merasa ada takdir yang seharusnya terjadi antara mereka, seperti nama mereka yang mirip. Aku terus-terusan bilang padanya bahwa itu konyol. Arkaz dan Azka, kan beda sekali.

"Hai, Azka sayang..."

"Jangan panggil Azka sayang!" teriakku.

Semua orang tertawa.

Nino melihat kotak biskuit cokelat yang ada di meja. "Minta satu," katanya. Azka mengangguk.

"Hei, Glenn datang!" seru David, melihat dari pintu kaca lobby. Kepala Fathir terkulai ke bahuku lagi saat Arjuna berdiri.

"Oh, ayo kita sambut dia," kata Arjuna senang.

David, Arjuna, Nino, dan Arkaz sudah berbaris seperti pagar bagus di sisi kanan dan kiri pintu masuk.

"Selamat datang, Pak Glenn..." mereka membungkuk saat Glenn masuk – pintunya dibukakan oleh Nino dan Arkaz.

"Anda mau minum apa, Pak? Kopi? Teh? Jus? Atau es krim?" tanya David gembira, menyorongkan nampan yang tidak kelihatan kepada Glenn, yang tampak malu.

"Teman-teman," gumam Glenn. "Kalian tidak perlu..."

"Pak, rencana bulan ini sudah saya susun," aku ikut-ikutan berdiri menyambut Glenn dengan buku les di pelukanku – aku membiarkan Fathir meringkuk di sofa, sementara Azka terkikik. "Dan laporan sudah saya minta Arjuna mengetiknya," kataku, mengangguk kepada Arjuna, yang dengan semangat membuka komputer sakunya.

"Ini, Pak, catatan dan laporan kampanye bulan lalu yang sukses kita laksanakan..." Arjuna menunjukkan layar komputernya, yang kosong. "Untuk kampanye bulan depan, saya rasa..."

"Kalian tidak bisa berhenti, ya?" teriak Glenn kesal. Aku dan Azka tertawa-tawa di sofa. David sampai terbungkuk-bungkuk. Nino dan Arkaz tertawa sambil berhigh-five.

Arjuna menepuk bahu Glenn, kentara sekali menahan tawanya agar tidak tersembur keluar. "Santai, kawan," katanya. "Ini cara kami merayakan kegembiraan teman kami yang ayahnya sukses mengadakan kampanye kemarin..."

Ayah Glenn, yang gemar sekali tertawa itu, baru-baru ini mengajukan diri menjadi bakal calon legislatif. Beliau berhasil menyingkirkan belasan orang lainnya pada seleksi pertama dan bulan lalu beliau menggelar kampanye yang sukses besar. Kini wajah riang ayah Glenn sering kulihat di spanduk-spanduk di sudut-sudut kota, di depan tempat les, juga. Kami sering sekali mengganggu Glenn dan menyindir-nyindirnya; di tempat les, di sekolah, bahkan waktu latihan band.

"Trims," kata Glenn, yang masih cemberut. "Tapi kan tidak begini caranya..."

Aku memandang berkeliling. Selain kami, ada segerombol anak SMA lain di lobby itu. Mereka memandang kami ingin tahu. Dua orang cewek berbisik-bisik seru sambil melihat Fathir yang terlelap di sofa. Aku nyengir.

"Hei, sudahlah," kata Azka, melihat wajah suram Glenn yang memandangi David yang masih tertawa. "Ayo kita masuk."

"Ayo, Azka," Arkaz mengulurkan tangannya, berharap Azka menyambut dan menggandengnya. Azka nyengir, lalu meraih tangan Arkaz, yang langsung ditumbuk bahunya oleh Nino. "Argh," gumam Arkaz, mengusap bahunya. Azka dan aku bertatapan, dan aku bisa melihat dia tersenyum pasrah. Mereka lalu pergi.

"Yuk," Glenn mengajakku.

"Sebentar," aku menoleh ke sofa, mencari tasku, yang sudah tidak ada. "Lho?"

"Mencari ini?" tanya David dari belakangku, dan tasku ada dalam genggamannya. "Nih," dia menyodorkannya padaku.

Sedetik kemudian aku tahu bahwa dia tidak menyodorkan tasku padaku, tapi membiarkan tasku direbut Nino yang langsung berlari menyusuri koridor sambil tertawa.

"HEI!" teriakku.

David menepuk punggungku. "Sori," katanya nyengir.

Aku manyun. "Sisakan bangku untukku!" teriakku, sebelum David menghilang di ujung lorong. Aku sempat melihat jempol tangannya teracung.

"Jun, kau tidak ikut?" tanya Glenn, yang sudah tidak marah lagi. Arjuna sedang sibuk mematikan komputer sakunya, bergumam singkat, yang aku tak bisa mendengarnya. "Ayo kita pergi," Glenn mendorongku agar berjalan lebih cepat di koridor.

"Tunggu, si Fathir gimana?" tanyaku.

Tepat saat aku selesai mengatakan itu, terdengar suara Fathir meraung dari lobby. "WHOI!"

Tak lama Arjuna menyusul kami ke koridor. "Aku menggebuknya dengan tas," katanya cepat. Lalu dia melesat pergi.

Fathir sampai ketika kami masih asyik tertawa. "Mana dia? Mana Jun? Mana tasku?"

"Dia sudah kabur," jelasku.

"Kita bareng saja," ajak Glenn.

Fathir masih terlihat kesal karena Arjuna menggebuknya.

"Akan kubalas Jun," gumamnya. "Kutunggu dia di perempatan nanti..."

"Untuk apa? Kau mau traktir makan?" tanyaku. "Aku mau ikut."

Fathir menatapku, wajahnya terlihat lelah.

Aku hanya bisa mengacungkan jari telunjuk dan tengahku. "Peace."
* * *
Continue reading Fourth Chapter

Third Chapter

Ketika malam itu aku sedang mencuci piring sehabis makan malam, kudengar Mama berseru dari ruang keluarga.

"Kyra sayang, ponselmu berbunyi," kata Mama. Aku langsung terbang dari dapur ke kamarku. Ringtone ponselku, 'My Hands' dari David Archuleta bergema. Di layarnya ada gambar panggilan masuk ke ponselku dan dibawah gambar itu ada tulisan 'Jayden'. Aku mengangkatnya.

"Haloo," kataku.

"Kyra! Syukurlah kau mengangkatnya. Kukira kau..."

"Kau kenapa?" selaku, mendengar suara Jayden yang terdengar gelisah.

"Begini, jangan kaget ya, tapi aku sedang berada di kantor polisi, dan..."

"Sedang apa kau di kantor polisi?" hatiku mencelos.

"Aku kena tilang, jadi..."

"Kenapa kau bisa kena tilang? Kau tidak memakai helm? Spionmu kurang satu?"

"Bukan, aku..."

"Atau kau lupa membawa SIM? Menerobos lampu merah? Kenapa?"

"Polisi itu menahanku karena ada razia orang cakep..."

"Kumatikan."

Dan aku benar-benar mematikan ponselku. Dasar. Bercanda kok nggak lihat-lihat sikon. Dia nggak tahu aku sedang sibuk mencuci. Dan bodohnya aku percaya saja dia berbohong begitu padaku!

Mama bertanya padaku ketika aku keluar kamar. "Kenapa, Kyra?"

"Orang iseng, Ma."

Papa tertawa. "Bukannya Jayden?"

"Iya, dia yang iseng, Pa."

Mama dan Papa sudah hafal kalau ringtone khusus Jayden adalah 'My Hands'.

Aku kembali ke dapur untuk menyelesaikan cucian piringku. Hhhh. Ayam bakar bumbu kecap bikinan Mama memang enak sekali. Cuma nyuci panggangannya itu lho, nggak tahan.

Tak lama Mama datang ke dapur membawa ponselku. "Kyra, Jayden menelepon. Ini," Mama menyodorkan ponselku. Aduh Mama... kenapa mesti diangkat segala sih...

"Apa?" bentakku setelah mencuci tanganku bersih-bersih dan mengeringkannya.

Jayden tertawa. "Maaf, maaf... kupikir kau sedang senggang, jadi ya... aku berniat menggodamu..."

"Tidak lucu, tahu." Aku teringat perasaanku yang cemas saat Jayden menelepon dengan gelisah.

"Oh, kau betulan cemas, ya?" tanya Jayden, nada suaranya berubah. "Maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Betulan," aku meyakinkan Jayden. "Cuma saja aku tadi sedang mencuci piring."

"Hmm... aku lupa."

Jayden juga biasanya mencuci piring sehabis makan bersama keluarganya, dan biasanya kami mencuci pada jam yang sama. Kebetulan yang aneh kan.

"Jadi, kenapa kau meneleponku?" tanyaku.

"Begini, emm... kau mungkin akan kaget mendengarnya..."

"Tidak akan lah," ujarku. "Aku sudah cukup kaget mendengar kau di kantor polisi tadi."

"Hahaha. Aku akan mengantarmu ke tempat les besok."

Begitu saja. Tanpa tedeng aling-aling. Langsung pada poinnya. Aku terdiam sejenak. "APA?"

"Tuhkan, kau kaget."

"Tidak, bukan begituuuu..." aku ternganga. Selama ini Jayden hanya mengantarku ke tempat-tempat yang akan kami kunjungi bersama; sekolah, toko buku, warnet, bioskop. Yang kami akan pergi berdua ke sana. Ke tempat les? Jayden tidak pernah mengantarku. Mama yang biasanya mengantarku. Naik motor. Aku pun tak pernah meminta Jayden untuk mengantarku ke suatu tempat yang hanya aku yang punya urusan disana. Aku tak ingin membuat Jayden seperti sopirku, yang bisa mengantarku kemana saja. Kalaupun kami akan pergi bersama, ajakan Jayden selalu 'kita pergi ke situ yuk?' atau 'ada toko bagus. Besok kita lihat ya'. Perhatikan bahwa dia selalu menggunakan kata 'kita'. Bukan 'aku'.

Baru kali ini sepanjang ingatanku, dia menggunakan kata 'aku' untuk mengajakku pergi ke suatu tempat.

"Heeii," aku tertawa, "pasti ada apa-apanya nih."

"Tiidaak kook," Jayden ikut tertawa. "Cuma pengen saja."

"Hayo, bilang ah. Ini pertama kalinya kau mengantarku ke tempat yang akan aku kunjungi, bukan yang akan kita kunjungi."

"Ingatanmu hebat sekali."

Lalu aku teringat limo hitam yang meluncur menjauhiku di depan toko buku. "Azka, ya?" tebakku asal.

Tak terdengar apa-apa di seberang sana. Aku rasanya bisa mendengar otak Jayden bekerja untuk memikirkan alasan yang lebih bisa kuterima.

"Bukan, kok," akhirnya Jayden menjawab. "Kan kasihan ibumu, setiap hari mengantarmu les, padahal kan ini liburan. Lebih baik ibumu istirahat di rumah..."

"Ooh, iya juga ya," ujarku, mencoba menerima kebohongan Jayden. "Jujur saja lah padaku, Jayden. Aku kan sahabatmu."

"Haha, sudah kuduga aku tak bisa bohong padamu," kata Jayden. "Azka menarik juga."

"Sejak kapan?"

"Sejak kita kelas dua."

"Oho?" aku tertawa. "Dan kau menunggu selama ini karena kau tidak berani mengatakannya pada Azka?"

"Aku menunggu," katanya jujur. "Dan tak kusangka bahwa Azka... dekat denganmu."

"Jadi maksudmu kau ingin minta bantuanku untuk bisa mendekati Azka dan bicara dengannya?" tanyaku memastikan. Aku pandai sekali menebak isi kalimat Jayden yang kadang tidak jelas.

"Eh... tidak harus mengatakan perasaanku padanya. Bisa bicara padanya sebagai teman saja aku sudah senang," jawab Jayden lagi.

"Baiklah, baiklah..." kataku.

"Besok kujemput kau jam berapa?" tanya Jayden.

"Jam sepuluh. Lesnya mulai jam setengah sebelas."

"Okee... see you tomorrow..."

"Ya," kataku tersenyum.

Atau, benarkah aku tersenyum? Karena aku merasakan desiran aneh di dadaku saat mendengar Jayden bicara tentang Azka.

* * *

Keesokan harinya Jayden nyengir waktu kubuka pintu depan; cengiran yang sama saat dia hendak menonton Indonesia Open kemarin.

"Kau telepon saja ke ponselku, pasti aku langsung ke pintu depan. Tidak perlu mengetuk pintu segala kan?" sahutku, sambil menyilakannya masuk.

"Kan harus minta izin ke Mama dulu..."

"Oh, iya, aku lupa, kan latihan kalau nanti ngajak Azka malam mingguan, ya..."

Jayden melemparku dengan bantal sofa. Aku memanggil Mama dari dapur; Mama sedang memasak makan siang. Tergopoh-gopoh Mama menuju ruang tamu.

"Eh, iya, hati-hati ya, Jayden. Aduuh, Tante tertolong sekali ini. Habis ini Tante ada pengajian di rumah Bu Husna. Jadi nggak bisa ngantar Kyra. Tadinya Kyra malah mau Tante suruh nggak usah les aja. Tapi kan sayang udah dibayarin mahal-mahal, ya?" Mama bercerita. "Ya sudah, kalian pergilah, nanti terlambat. Hati-hati ya, Jayden."

Jayden menyalami Mama sambil mengangguk. Aku menyalami Mama sambil berpamitan.

"Aku beritahu ya," kataku di perjalanan. "Azka itu disayang sama orangtuanya. Selama ini tak ada satu pun cowok yang bisa mendekatinya. Dan asal kau tahu, Azka belum pernah pacaran. Sudah berjuta cowok yang mencoba menjadi pacarnya, tapi selalu gagal dan menyerah di tengah-tengah."

"Berjuta?"

"Oh, kau tahulah, kiasan."

"Kau lebih dekat dengan Azka daripada yang aku perkirakan," kata Jayden.

Aku mulai dekat dengan Azka waktu kelas satu SMA. Aku dan Jayden terpaksa dipisahkan karena beda kelas, dan Azka-lah satu-satunya teman perempuanku yang dekat-sejak-masa-ospek. Kami sebangku waktu kelas satu, dan untungnya lagi, kami sekelas di XI IPA 6. Jayden masuk IPA 3. Pantaslah dia tak tahu apa-apa tentang aku di kelasku. Aku pun tak terlalu senang menceritakan keadaanku di kelas pada Jayden, dan dia juga tak terlalu excited menceritakan kelasnya. Bagi kami, kelas kami ya kelas kami. Masalah yang terjadi didalamnya, tak perlulah diceritakan pada anak kelas lain.

Azka juga sering menemaniku makan di cafeteria. Azka menemaniku kemana saja kalau sedang di sekolah. Yah, memang sih kami tak hanya makan berdua saja di cafeteria, tapi dengan segerombol anak-anak perempuan kelas XI IPA 6. Hanya ada lima belas cewek di IPA 6, cowoknya dua puluh. Seperempat dari jumlah cowok di IPA 6 adalah teman dekatku. Aku lebih suka berteman dengan anak cowok, kalian ingat kan?
Dan kelima-limanya pernah minta bantuanku untuk mencoba mendekati Azka.

Ketika aku mengutarakan fakta-fakta ini kepada Jayden, dia meneguk ludahnya seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku mengangkat alisku sejenak.

"Kau menyukainya, ya?" tanyaku langsung.

Jayden mengangguk. Aku tak menyalahkannya soal pengakuannya yang segamblang ini. Seperti kata Norah McClintock di novelnya Break and Enter, tak ada rumus mengenai perasaan suka pada seseorang.

Selama aku mengenal Jayden, aku tak pernah mendengarnya menyukai seseorang. Dia tidak pernah cerita apa-apa tentang gadis yang ditaksirnya – karena memang tidak ada gadis yang ditaksirnya! Jarang sekali kudengar Jayden bicara soal cinta. Satu-satunya yang pernah ditanyakannya adalah "Siapa cinta pertamamu, Kyra?" waktu kami kelas tiga SMP. Kujawab dengan pasti, "Ricky Subagja." Dan dia pun menyerah membicarakan tentang cinta sejak itu.

Teman-teman selalu berkata "Wahai Kyra, sungguh nyamannya hidupmu. Kau tampak tak ada beban setiap saat," begitu kata Julie sambil memelukku. Dia memang mengatakan yang sebenarnya; aku punya rumah, punya orang tua yang adem ayem, punya sahabat yang selalu ada, meskipun aku dan keluargaku jarang keluar rumah tapi aku bahagia. Aku punya kebahagiaan. Jadi, aku tak melihat ada beban yang memberatkan punggungku seperti kebanyakan cewek di kelas – tentang sikap pacarnya yang tiba-tiba berubah, misalnya, atau ketika mereka melihat cowok cakep di kelas tiga. Aku bersyukur setiap saat.

"Kalau kau suka, bilang saja. Azka selama ini mengeluh tentang cowok-cowok yang mendekatinya seolah dia itu putri yang dipingit. Mereka takut-takut. Gunakanlah keberanianmu untuk langsung menembaknya," saranku.

Jayden adalah tipe cowok yang tak kenal takut. Coba sebutkan macam-macam phobia – ketinggian, hantu, kecoa, benda tajam, kotor, dan sebagainya di depan Jayden, maka kau tak akan melihat perubahan sedikitpun di raut mukanya.

"Tidak... aku mau mengenalnya dulu ah," kata Jayden.

"Hmm? Kau tak salah minum atau obat atau bagaimana?" tanyaku heran.

"Memang kenapa?"

"Kau kelihatan beda."

Jayden tak langsung menjawab. Dan saat dia menjawab, hanya satu kata singkat.

"Mungkin."
Continue reading Third Chapter

Rabu, 21 Juli 2010

Second Chapter

Salam, Pembaca!

Lanjutan dari chapter pertama novel saya ^^ silakan dibaca, diberi komentar...
Happy reading! :))

Aku menyesali persetujuanku untuk melihat-lihat buku baru. Buku-bukunya benar-benar baru; dan benar-benar mengusik minat bacaku. Aku membaca apa saja yang menurutku menarik, dan apa saja yang menurut orang tidak menarik. Aku tidak membaca buku yang menurut orang menarik. Tapi aku membaca berdasarkan seleraku.

"Azka, kau sudah selesai?" tanyaku pada Azka yang sedang mengamati sebuah buku. "Ayo kita lekas pergi dari sini."

Seorang petugas toko yang lewat dan mendengar perkataanku memandangku heran, yang kubalas dengan cengiran minta maaf.

"Bukunya benar-benar menarik," kata Azka, meletakkan kembali buku setebal lima senti itu pada tempatnya semula. "Bukunya menarik sekali."

"Kau mengatakannya dua kali," komentarku, duduk di sofa terdekat. "Belilah kalau menurutmu bagus." Aku meraih buku yang baru saja diamati Azka. "’Kisah Kehidupan Para Samurai’?" aku membaca judulnya.

"Ya," desah Azka. "Baru terbit. Oh, aku ingin sekali beli."

"Maafkan aku, tapi bukannya kau sudah punya setengah rak buku tentang samurai?" gumamku.

"Memang," kata Azka lagi, memandang buku itu. "Tapi yang ini beda. Ini karya Richard Kenichi."

"Oh," ucapku. "Lalu?"

Azka memandangku tak percaya. “Lalu, semua buku karyanya best-seller! Yang ini kayaknya diangkat dari kisah nyata. Dia harus mengadakan riset, perjalanan panjang keliling Jepang dan macam-macam lagi untuk menyusun buku ini." Azka sudah mengangkat buku itu lagi dan memandangnya penuh kerinduan.

"Berapa sih harganya?" tanyaku.

"Buku-buku karya Richard Kenichi biasanya mahal," Azka membalik buku itu. "Harganya seratus dua belas ribu nih; aku tak punya uang sebanyak itu."

"Menabunglah," usulku. "Tapi, itu jelas bukan buku termahal yang pernah kau beli kan?"

"Tentu saja. Kau ingat ’Samurai dan Yakuza’? Harganya..."

"Dua ratus sembilan puluh tujuh ribu," aku menyelesaikan kalimat Azka. "Yeah, aku ingat sekali. Kenapa kau tidak beli sebulan lagi? Harganya pasti sudah turun."

"Tapi bukan cetakan pertama," kata Azka. "Aku ingin yang cetakan pertama."

"Hem. Berapa uang di dompetmu sekarang?" tanyaku.

"Dua ratus," gumam Azka. Ribu tentunya. "Uang jajan untuk seminggu ini."

"Kalau begitu kau harus tahan tidak jajan seminggu ini," tawaku, dan bahuku dipukul Azka.

"Hei, tapi itu ide yang bagus."

Akhirnya Azka jadi membelinya. "Aku pasti akan mati dua-tiga hari ke depan."

"Jangan ngaco ah," kataku. "Tidak ada yang tahu kapan kita mati."

"Iya, tapi dengan tidak ada uang di dompetku? Aku tidak makan selama berhari-hari dan itu akan mempercepat kematianku."

"Sudahlah. Lebih baik kau pulang dan membaca buku itu, lalu makan, sebelum tidur kau baca lagi, lalu tidur, dan besok pagi kau baca lagi."

"Heh. Bagaimana kau tahu itulah yang akan aku lakukan?" Azka memukul bahuku lagi.

"Oh, aku kan mengenalmu."

Lalu kami tertawa sampai Azka dijemput sopirnya dengan limo hitam. Azka memelukku singkat, lalu membuka pintu. Kemudian dia menoleh padaku.
"Kau yakin tidak mau bareng?" tanyanya.

"Tidak usah, kan rumah kita tidak searah. Aku akan menunggu Jayden," kataku. "Sudah, cepat masuk sana, baca bukumu."

Aku mendorongnya masuk mobil. Azka melambai padaku sesaat sebelum dia pergi. Aku memandangi limo itu di kejauhan dan tanpa sadar aku masih tersenyum. Terdengar siulan panjang dari belakangku. Aku berbalik.

"Canggih," gumam Jayden dari atas vespanya. "Temanmu?" katanya sambil menyodorkan helm.

"Bukan, dia musuhku. Kau tidak sedang sibuk atau apa kan?" tanyaku, memasang helm di kepalaku.

"Tidak kok," ujarnya singkat. "Baru pulang servis."

"Apanya yang rusak?"

"Oh, ini dan itu."

Aku mengangguk singkat, lalu naik ke vespa Jayden. Jayden tidak mau membuang-buang waktu mencekokiku dengan berbagai macam kerusakan yang biasanya terjadi pada vespa lamanya; aku sama sekali buta tentang otomotif. Vespa Jayden sudah lama sekali – warisan dari kakeknya. Papanya mencoba menawarinya motor baru, tapi Jayden menolaknya dengan halus. Dia bilang ada semacam ikatan batin antara dia dan vespanya.
Aku sih tidak mau punya ikatan batin dengan benda mati.
* * *
"Aku serius bertanya padamu nih," kata Jayden, waktu kami sudah duduk manis di sofa depan televisi di ruang keluargaku. "Yang naik limo tadi siapa?"

"Oh, itu sahabatku yang lain, Azka," jawabku, meraih toples kacang mete yang dibawa Jayden dari rumahnya. Jangan mengira Jayden membawa-bawa kacang mete ke tempat servis motor ya; kami tadi mampir ke rumahnya dan mengambil kacang mete yang menganggur di meja makan. Mama dan Papa Jayden sedang sibuk mondar-mandir di ruang kerjanya, mengangkat telepon dari entah-siapa yang aku tidak tahu. Memang ibunya sempat memelukku singkat dan menitipkan salam untuk Mama, tapi setelah itu ponselnya berdering lagi dan beliau tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Kau punya sahabat lain?" tanya Jayden tak percaya. "CEWEK?"

"Memangnya kenapa? Aku kan cewek. Lagipula aku tak setomboy itu, kan?" kataku. Jayden memang tak tahu kalau Azka teman dekatku. Dia hanya tahu Azka sebagai teman sekelasku, seperti teman-teman sekelasku yang lain. Teman-teman biasa.

"Kau tidak pernah cerita," kata Jayden. Tampaknya dia masih heran, atau apa, mendengar kenyataan bahwa teman sepermainannya ini punya sahabat lain.

"Mulai lagi deh," ujarku bosan. "Kan dulu sudah pernah aku ceritakan tentang Azka."

"Tapi selama ini kukira dia hanya... yah, hanya teman biasamu. Bukan sahabat," Jayden berargumen.

"Terus kenapa?"

"Kenalkan padaku."

"Apa?"

Jayden mulai bertingkah seperti ayah-yang-minta-dikenalkan-pada-pacar-putri-kesayangannya.

"Jayden, dia cewek," sahutku. "Dia bukan cowok yang sedang berusaha mendekatiku atau apa."

Jayden rupanya mencerna fakta ini dengan cepat. "Oh, baiklah. Tapi setidaknya kau menceritakannya padaku."

"Kan sudah kubilang aku sudah pernah cerita!" ujarku kesal.

Yah, aku pernah mengatakan pada Jayden bahwa aku akan pergi ke pesta salah seorang teman les kami, yang tidak Jayden kenal, bersama Azka.
"Aku tahu kau sering pergi bersamanya, pergi ke toilet cewek bersama-sama," ujar Jayden lagi, masih mencoba berdebat. "Kau juga lebih sering makan di cafeteria bersamanya. Dan kalian selalu bersama teman-teman kalian yang lain. Jadi kupikir... hanya sebatas itulah pertemanan kalian. Teman sekelas. Bukan teman dekat."

"Begini lho. Aku dan Azka bersahabat. Oke?" kataku, mengakhiri pembicaraan. "Tuh, sudah mulai."

Selama kami mengobrol tadi komentator pertandingan masih menguraikan fakta-fakta mengenai pemain-pemain yang akan bertanding.

Kami menonton dengan hening – dan seingatku, kalau aku masih bisa mempercayai ingatanku, baru kali inilah kami berdua menonton pertandingan bulutangkis dengan suasana sunyi. Rupanya Mama juga menyadarinya, karena Mama keluar dari kamar dan berkata,
"Oh, Mama kira kalian sedang di dapur! Sejak tadi hening sekali disini."

Mama tersenyum heran.

* * *
Continue reading Second Chapter