Tampilkan postingan dengan label bulu tangkis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bulu tangkis. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Oktober 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part XIV)

Salam, Pembaca!

Keadaan hati saya sedang galau. Bimbang sekali. Tapi apapun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu (?) ahahah bercanda saja saya. Maksud saya, saya akan tetap menulis untuk memenuhi hasrat saya (?) hehehe.

Happy reading! :))

>>
Simon terlihat salah tingkah melihat ekspresi Maria.

Greys mengangkat alisnya. "Hayoooo..." candanya.

"Hahahahah..." tawa Simon gugup. Dia menurunkan tangannya dari kepala Sonya.

Maria mulai merubah ekspresinya. "Woooo..." sedikit senyuman muncul.

Sonya tambah gugup lagi. "Eh..."

Greys tampak senang. "Mon, loe yang konsisten doong, Marsel ya Marsel aja, Sonya ya Sonya aja..."

Simon tertawa lagi. "Iya gue konsisten kok Greys... hahaha."

"Nah itu ngapain ngelus Sonya?"

"Cuma ngacak rambut Sonya aja..."

"Alasannya?"

"Gemes..."

Simon tertawa. Sonya menunduk, tak berani menatap Maria ataupun Greys ataupun Simon.

Greys manyun. "Itu tandanya loe masih belum konsisten, Mon!"

Maria tersenyum. "Udah deh Greys... hehehe jangan sindir-sindir Simon terus ah."

"Yaah lu gue belain malah lu belain Simon, gimana sih lu Sel..." sahut Greys cemberut.

"Emang apa salahnya sih ngacak rambut adek sendiri...?" tanya Simon bercanda.

Kali ini Sonya mendongak.

Adik. Cuma sebatas itukah perasaan Kakak terhadapku?

"Oooh, loe sembunyi di belakang kedok 'adik', yaaa," kata Greys. "Ntar tiba-tiba jadian, loe masih ngeles juga? Ckckckckck."

Maria tersenyum. "Sudahlah..."

Simon agak sedikit gugup mendengar Maria. Diliriknya gadis itu, yang kemudian memberinya pandangan menenangkan.

Sonya melihatnya, dan bingung sendiri mengartikan pandangan Maria pada Simon. Yang dapat ia tangkap, Simon kelihatannya mulai rileks.

* * *

"Oke, mau nonton apa?" tanya Kido sesampainya mereka di bioskop.

"Film horor terbaru," kata Shendy nyengir.

"Nggak mau," Sonya, Pia, Nitya dan Maria serentak menolak mentah-mentah.

Tina menggaet tangan Hendra.

"Kenapa, Dek?" tanya Hendra tersenyum pada kekasihnya. "Takut nonton film horor?"

"Ah, ntar kalo ada apa-apa kan kamu bisa peluk Hendra, Tin..." kata Febe iseng.

"Terus gue peluk siapa dong kalo ada apa-apa?" tanya Greys cemberut. "Frans kan gak ada..."

"Elo mah bisa jaga diri sendiri, ngapain peluk-peluk orang, gak ada juga yang mau dipeluk ama elo, hahahah..."

Sebelum Ahsan selesai bicara, Greys sudah meninju bahunya keras-keras.

"Sirik! Huh! Bilang aja lo kangen dipeluk gue!"

Sontak terdengar seruan usil dari kerumunan kecil itu.

"Cieeeeee..." kata Bona.

"CLBK," komentar Hayom. "Hahahahahaha."

"Heeei, gue telepon Frans nih yaaaa... hehehehe," ujar Alvent iseng, sambil mengutak-atik ponselnya.

"JANGAAAAAAAN," tolak Greys memelas.

"Ciiieeeeeeee," gumam Febe dan Shendy berbarengan. "Awas lho Greys, jangan-jangan..."

"Apaan sih, udah ah," kata Ahsan menyela. "Gue ama Greys cuma sahabat."

"Duluuuuu," tambah Nitya.

"Sekarang juga," tegas Greys.

"Iya," gumam Ahsan mengangguk, mempertegas.

"Waaah, tumben akuur, dulu sering berantem padahal, hahahaha," sindir Shendy.

"Heeei, sudahlah, kasihan mereka, jangan disudutkan gitu doong," cegah Maria sebelum mereka berbuat lebih jauh (?).

"Iya, lagian kan mereka sekarang udah bareng pasangannya masing-masing, jadi mending kita sekarang doain supaya mereka langgeng..." tambah Simon.

"Cieeeeeee..." terdengar sorakan ramai lagi.

"Sekarang kalian berdua nih yang kompak," komentar Hendra.

"Waaaah, nggak benar ini, jangan-jangan ada affair ya, ahahahaha," canda Yunus.

Sonya hanya terpaku di tempatnya.

Simon melirik Sonya. "Nggak kok. Udah ah. Mau nonton apa niih?" pandangannya terarah pada Sonya.

Sonya baru sadar dia dipandangi Simon yang menunggu jawabannya. "Hah? Saya? Terserah Kakak aja deh..." senyumnya.

"Jiaaaaah udah terserah-terserah aja nih, jangan-jangan..." sindir Shendy, tapi tak meneruskan kalimatnya.

"Shendy, jangan gosip deh..." kata Maria. Senyumnya menawan, tapi juga memperingatkan.

Age mengangkat alisnya. "Wheeeew! Ayo. Kita nonton film fiksi itu aja. Tentang mitos Yunani."

"Jangaaan, bikin ngantuuuk!" tolak Febe.

"Action?" usul Age lagi.

"Kekerasan," komentar Nitya, diiyakan Tina.

"Gimana kalau 'Masa-masa Kejayaan Abraham Lincoln'?" saran Shendy ngasal.

"Asal baca aja ya lo Shen," timpal Age datar.

"Gue berani taruhan seribu dolar Zimbabwe kalo kita semua bakal tidur kalo kita nonton film macam itu," kata Yunus.

"Lebai lo ah," komentar Bona.

"Zzzzzzz."

"Ya udah, itu ada film kartun, siapa yang mau..."

Bahkan sebelum Kido selesai bicara, semua orang sudah mulai protes.

"Anak kecil yang mau nonton film itu!" (--> sindiran tajam euy...)

"Mending gue pulang nonton film Korea di laptop gue..." (--> kira kira ini protesannya siapa yaa ahahaha :p)

"Masih ada yang lebih bagus, Bang..." (--> kalau bukan Pia, ya Bona...)

"Belajar dewasa dong!" (--> sadis!)

"GRRR." (--> siapa yang menggeram ini?)

Kido manyun. "Iya deeeh, mangap, mangap..."

"Mulut Uda yang mangap... zzzzz." (--> kayaknya ini Pia)

"Itu deeeh, ada film bagus, dokumenter bencana gitu..." usul Tina. (film macam apa ini? zzzz)

"Oke, semua setuju?" tanya Kido sebagai ketua geng. (:p)

Tidak ada yang protes, maka perdebatan tentang film pun berakhir, dan Kido membeli tiket untuk mereka semua.

* * *

"Sudah kuduga akan begini jadinya..." komentar Greys galau.

Mereka bertujuhbelas dibagi menjadi dua barisan. Sembilan di baris atas, delapan di bawahnya.

Urutan sembilan orang diatas adalah: Kido, Pia, Bona, Maria, Alvent, Nitya, Age, Shendy, dan Hayom. Di barisan bawah: Hendra, Tina, Simon, Sonya, Ahsan, Greys, Yunus, Febe.

"Kenapa dapet jackpot dua kali sih," gumam Sonya dalam hati. "Seneng sih, seneng... tapi nggak enak sama Kak Marsel..."

Sonya sudah akan meminta untuk pindah duduk ke kursi Maria. "Mbak Sel..."

"Iya, Dek?" tanya Maria yang tersenyum manis.

Tetapi Simon keburu mendengar percakapan itu dan menyuruh mereka diam. "Ssst, tuh filmnya udah mau mulai..."

Sonya pun kembali duduk (agak tidak nyaman) di kursinya. Berusaha menikmati film.

Tapi Sonya sama sekali tidak bisa tenang. Dia bisa mendengar desahan napas Simon di sebelahnya. Dia juga bisa merasakan tatapan tajam Maria dari bangku belakangnya.

Ini benar-benar tidak nyaman.

Tina malah merasa sebaliknya. Dia tenang sekali di sebelah Hendra. Meski begitu matanya tak bisa mengalihkan pandangannya ke Ahsan dan Greys yang duduk bersebelahan. Sesaat pikirannya teralihkan oleh pembicaraan mereka ketika berdebat tentang film tadi. Tentang Hayom yang berkata 'CLBK' pada Ahsan dan Greys. Benarkah mereka dulu sempat berpacaran, lalu putus? Atau, mereka saling suka, tetapi tak bisa mengutarakannya? Aah, Tina bingung.

Kemudian ditatapnya Hendra.

"Kenapa?" tanya Hendra tersenyum.

"Enggak," gumam Tina, membalas senyumannya.

Tina sedang belajar bersyukur.

Greys dilema. Ahsan di sebelahnya. Sudah lama Greys tak memandang Ahsan dari samping. Dulu itulah yang disukai Greys. Postur tampak samping Ahsan yang memesona.

Ahsan sadar dirinya dipandangi. "Kenapa lo?" tanyanya datar.

Greys mengangkat alis. "Kagak," gumamnya, agak sedikit malu. Ia teringat Frans.

Ahsan tampak salah tingkah, lalu menaikkan kacamatanya. "Gimana... lo sama Frans?"

"Gue?" Greys kaget ditanyai seperti itu. "Baik-baik aja kok. Lo gimana?"

"Hahah... lagi mesra-mesranya..."

"Iyalah, baru jadian, hahahaha."

"Nah, itu tau."

"Soalnya gue juga gitu," gumam Greys senang.

"Cieeeeee..."

Greys tersenyum. Betapa menyenangkannya masih bisa tertawa dengan orang yang dulu ditaksirnya, sahabatnya kemanapun ia pergi, dan sekarang, setelah mereka masing-masing punya pasangan, mereka masih bisa sedekat ini. Sebagai teman dekat.

Greys juga sedang belajar bersyukur. :))

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

R.A.
5 September 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part XIV)

Senin, 20 September 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part XIII)

Salam, Pembaca!

Di H-4 sebelum keberangkatan ke Jogja ini saya masih sempat menulis lanjutan fanfiction. Barang-barang sudah dipak, semua sudah dipersiapkan. Oh, ya, dan hari ini tadi pagi saya ke salon bersama Ibu. Potong rambut. Ehm, rambut saya jadi pendek (ya iyalah) dan agak berantakan. Seandainya saja rambut saya agak lurus, pasti akan kelihatan lebih bagus. Haha. Tapi ya sudahlah. ^^
Happy reading! :))

>>
Keadaan di dalam mobil Kido juga tak kalah riuhnya. Sebelum masuk tadi Hayom dan Ahsan berseteru tentang siapa yang berhak duduk di bangku penumpang di bagian depan. Mereka sampai memutuskan untuk suit saja.

"Uda, Pia di belakang aja ya," kata Pia duluan.

"Terseraaaah."

Pia dengan senang masuk ke bangku di belakang bangku pengemudi. Tina duduk di sebelah kiri Pia. Mereka kini menunggu Hayom dan Ahsan.

"Suit lima," kata Hayom.

"Banyak amat," tukas Ahsan. "Tiga deh."

"Oke."

Rupanya Ahsan yang menang. Dengan senang ia masuk dan duduk di bangku penumpang di depan. Hayom mengangkat bahu.

"Yah, gue kan punya janji ngejagain loe, Tin," kata Hayom begitu dia masuk dan duduk di sebelah Tina. "Setidaknya gue bisa jagain loe dari dia."

Hayom mendorong kepala Ahsan.

"Aduh," kata Ahsan. "Emang kenapa?"

"Entar mentang-mentang gak ada Hendra, loe godain Tina..."

"Gue orangnya setia, tauk!"

"Cieeee..." sindir Pia.

Tina ikut tersenyum.

"Yang mesti loe waspadain, Tin, ya cowok yang duduk di sebelah loe ini," ujar Ahsan pada Tina.

Tina terkejut dan mendadak jantungnya berdebar kencang. "Lho, kenapa, Kak?"

"Jangan loe dengerin Tin, dia pasti mau fitnah gue," kata Hayom sebelum Ahsan sempat menjawab.

"Yeee, Hayom kan setia ama Bella..." kata Pia.

"Nah, betul tuh Pi," kata Hayom, lalu mengacak rambut Pia asal. "Thanks ya."

"Thanks sih thanks, tapi jangan ngacak rambut dong," kata Pia kesal.

Hayom nyengir.

Tina tersenyum simpul. Posisinya bagus. Dia bisa dengan bebas memandangi Ahsan dari tempatnya duduk. Coba bayangkan kalau Ahsan yang duduk disampingnya. Bisa-bisa Ahsan akan mendengar degup jantung Tina yang kencang selama perjalanan.

* * *

Ponsel Tina berdering keras.

"Cieeee," kata Pia.

"Hendra ya? Hendra ya?" tanya Hayom iseng.

Tina mengangguk pelan, malu. Tanpa sadar dirinya memandang Ahsan yang duduk di bangku depan. Tampaknya Ahsan malah sibuk dengan ponselnya. Mungkin dia mengirim pesan pada pacarnya. Tina menghela napas, lalu tersenyum.

Dibukanya pesan yang baru saja masuk itu.

Kak Hendra :)
10.45
Kamu nggak apa-apa?

Tina mengernyit heran. Lalu mengetik balasannya.

Tina
10.47
Nggak apa-apa, Kak...
Emang kenapa?:)


Kak Hendra :)
10.50
Nggak, cuma... mikirin perasaan kamu aja...

Tina baru tersadar. Hendra membicarakan Ahsan.

Tina
10.54
Saya udah biasa kok Kak :)
Nggak usah cemas, hehe ^^v

Kak Hendra :)
10.57
Oooh...
Ya baguslah... :)
Kamu duduk di sebelah Hayom kan?

Tina
11.01
Iya Kak, di sebelah Kak Hayom, dari tadi heboh banget ketawanya sama Kak Pia..
:D

Kak Hendra :)
11.03
Pasti Pia yang ngelawak ya... hehehe dia emang seneng banget bikin lelucon...

Tina
11.05
Kak Pia lucu Kak... leluconnya gak abis abis... :D jadi ketawa terus...

Kak Hendra :)
11.07
Kamu juga lucu kok... gak bosen bosen dipandang... ;)

Tina
11.10
Ah Kakak, jangan gombal deh! Hehehe *padahal seneng* :p

Kak Hendra :)
11.13
Kakak serius kok Dek... hahaha

Tina
11.15
Ah Kakak kok pake ketawa sih di endingnya >.< jadi kesannya bercanda kan...

Kak Hendra :)
11.17
Iya iya Kakak serius nih... kamu lucu, manis, cantik...

Tina
11.20
*blushing* makasih Kak :") hehehe
gak ngegombal kan Kak? :P

Kak Hendra :)
11.23
Nggak dooong Kakak kan serius ;) kapan sih Kakak bercanda sama kamu? Hehehe

Tina
11.25
Aaah bener juga ya Kak hehehe. ^^

Kak Hendra :)
11.28
Kalo Kakak nggak serius, Kakak nggak akan nembak kamu... :)

Tina
11.30
:)
Sama Kak... kalo aku nggak serius, aku nggak akan nerima Kakak... :)

Kak Hendra :)
11.32
Iya Dek...
Hehehe

(kok jadi garing gini ya, red)

Tina
11.35
Nanti kita mau nonton apa sih Kak?

Kak Hendra :)
11.37
Nonton film 17 tahun keatas... hehehe

(ya ampun, Ko Hendraaaa?)

Tina
11.40
Heeee apaan coba Kak...==' seriuss doong baru tadi bilangnya serius terus sama aku... :p

Kak Hendra :)
11.43
Hahaha
Kakak nggak tahu juga Dek... nonton apa aja yang ada deh nanti di bioskopnya... hehehe
Kamu maunya nonton apa?

Tina
11.46
Jiaaah Kakak =='
Maunya nonton bareng Kakak :p

Kak Hendra :)
11.47
Tuh, malah kamu yang gombal... hehehe

Tina
11.50
Nggak apa-apa kan Kak? Hahaha
Sekali kali belajar...

Kak Hendra :)
11.55
Belajar gombal? Hehehe

Tina
11.57
:)))) <3

Kak Hendra :)
12.00
Kok cuma emoticon? :)

Tina
12.02
Nggak kenapa kenapa Kak :)

Kak Hendra :)
12.03
Hehehe
Mau tau sesuatu?

Tina
12.05
Apa Kak?

Kak Hendra :)
12.07
Saya cinta kamu... :)

Tina
12.10
Aku juga Kak... :)

Tina tersenyum kecil, lalu keluar dari mobil. Mereka sudah sampai di parkiran mall.

Dipandangnya kakak tersayangnya, yang mendatanginya dengan senyuman manis tersungging di bibirnya. Kemudian, Hendra mengulurkan tangannya.

Tina mengangkat alis.

Hendra melemparkan pandangan ayolah-sambut-saja-tanganku.

Tina tersenyum, lalu meraih tangan itu.

* * *

Sonya berjalan sendiri di belakang para senior. Di barisan depan, Hayom dan Yunus berunding seru tentang entah-apa, Kido-Bona-Pia seperti biasa memulai perdebatan antar-saudara, Nitya-Shendy-Febe mengobrol tentang liburan mereka, Hendra dan Tina berada dalam dunia mereka berdua, Greys dan Maria saling sindir tentang cowoknya masing-masing - Simon yang berjalan di sebelah Maria cuma geleng-geleng kepala mendengarnya.

Dan tinggallah Sonya sendirian di belakang, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Simon melepaskan diri dari dua gadis - terutama Greys yang menyindir-nyindirnya tentang Maria - dan berjalan mundur ke belakang menjejeri Sonya.

"Kok melamun?" tanya Simon sambil tersenyum.

Sonya tersentak dan menoleh seketika ke arah suara. Dan betapa kagetnya ia melihat Simon memandangnya hangat. "Hah? Oh..." dia buru-buru menurunkan pandangannya. "Nggak kok, Kak..."

"Lhoo..." kata Simon. "Saya lihat sendiri kamu ngelamun kok."

Sonya menolak mempercayai fakta bahwa 'Simon melihatnya' - 'Simon mengamatinya' - 'Simon memperhatikannya'.

"Hahaha... bagaimana Kakak tahu kalau saya ngelamun?" balas Sonya.

"Ekspresi kamu," jawab Simon simpel. "Mata kamu memandang tanpa melihat."

Alis Sonya terangkat. "Begitu ya Kak?"

"Ya, pandangan kosong. Entah apa yang kamu pikirkan," tambah Simon.

Kemudian diam. Sonya menunggu. Dia yakin Simon belum selesai.

"Boleh saya tahu?" lanjut Simon kemudian.

Ini dia pertanyaan yang Sonya tunggu-tunggu.

Tapi Sonya tak mau terdengar terlalu terburu-buru.

"Tahu apa Kak?"

"Tahu Sumedang... heheheh."

(waduuuh, Kokoooo ==' bercanda deeeh)

Sonya manyun. "Serius Kak..."

"Iya, maksud saya tahu apa yang lagi kamu pikirkan..."

"Saya lagi mikirin tahu gejrot Kak... tahu kan Kak? Pake cabe yang banyak, pasti enak deh..."

"Yaaah giliran saya yang serius malah kamu yang bercanda..." Simon tertawa sembari menggelengkan kepalanya.

"Kan gantian Kak... barter, heheh."

"Dasar kamu..." Simon mengacak rambut Sonya.

Sonya dan Simon tertawa agak keras sehingga membuat Greys dan Maria yang berada di depannya menoleh penasaran ke belakang.

Waktunya sangat tidak tepat. Rasa senang Sonya bercampur dengan rasa gelisah karena ekspresi Maria tidak bisa ditebak melihat Simon mengacak - agak terlihat seperti mengelus - rambut Sonya.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. maaf kelamaaan! >.< ini karena satu dan lain hal yang terjadi. Makasih banget buat temen-temen yang mau baca, dan mau ngewall saya buat nanyain kapan kelanjutan fanfiction ini. Saya bener-bener terharu :') makasih makasih makasih makasih makasih sejuta kali buat penghargaan kalian kepada fanfiction saya. :')

R.A.
17 September 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part XIII)

Rabu, 04 Agustus 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part XII)

Salam, Pembaca!

Kali ini saya tidak bisa memikirkan kata pengantar yang cukup bagus.
Happy reading! :))

>>
Hendra dan Febe mengobrol seru di bangku belakang. Simon kadang mengomentari topik pembicaraan mereka. Sonya cuma terdiam dan tertawa sedikit kalau memang ada yang lucu.

Gadis itu memandang keluar jendela, tapi tidak melihat. Melamun begitu saja. Kemudian Sonya sadar bahwa dirinya kelihatan seperti sedang bengong, bukan memikirkan sesuatu. Akhirnya ia memasang headset-nya dan memainkan lagu Beautiful Girls dari Sean Kingston di iPod-nya.

Simon selesai tertawa karena baru saja Febe membacakan sebuah tweet dari timeline-nya tetang lelucon cowok gombal. Kemudian diliriknya Sonya yang tak bereaksi.

"Sonya...?" tegur Simon, masih agak geli. "Kenapa melamun?"

Sonya masih tidak bereaksi.

"Sonya, dipanggil tuh," kata Febe yang duduk di belakang bangku Sonya. Ditepuknya bahu juniornya itu.

Sonya tersentak dan menghadap ke belakang. "Eh, kenapa Kak?" tanyanya sambil melepas headset.

"Kirain ngelamun," kata Simon tertawa, sambil menyalakan sen untuk berbelok ke kanan.

"Ternyata dengerin musik ya," ujar Febe. "Pantesan hening kamu dari tadi."

"Hehe maaf, Kak..." Sonya nyengir pada Febe, yang mengangguk.

"Sayang ya Mon, Marsel gak semobil sama kita," kata Febe.

"Ah, biasa aja kok..." elak Simon.

"Kalo dia semobil sama kita kan mantep tuh," lanjut Febe kemudian.

"Mantep gimana maksud loe?" tanya Simon, memandang Febe melalui kaca depan. Sonya mendengarkan. Hendra mendengarkan.

"Gue bisa nyindir-nyindir kalian," Febe nyengir minta maaf.

"Haah, dasar loe," kata Simon.

"Terus kapan loe mau nyatain?" tanya Febe.

"Nyatain apa?"

"Cinta dong."

"Sama?"

"Pake ditanya. Ya jelas sama Marsel! Bukannya loe suka sama dia? Loe bilang sendiri kan waktu makan dulu itu," terang Febe.

"Kirain cuma gosip lho Kak," timpal Sonya tiba-tiba, tersenyum.

Simon mengangkat alisnya mendengar perkataan Sonya. Hendra yang selama ini menunduk dan memainkan ponselnya, langsung mendongak memandang Sonya.

"Eh... yeah..." Simon mendadak gagap. "Seperti yang... udah pernah gue bilang... belum pasti..."

"Yeeh, udah disuruh pastiin, juga!" kata Febe kesal. "Jangan ngasih harapan kosong, dong Mon..."

"Gue nggak ngasih harapan," ujar Simon pelan, sadar bahwa ketiga orang yang ada di mobil itu mendengarkan.

Sonya tersenyum pahit ketika Simon menghentikan mobilnya di sebuah konter pulsa di pinggir jalan.

"Bentar ya gue beli pulsa dulu," kata Simon. Sonya masih sempat membuka sedikit jendela disampingnya untuk mendapatkan udara segar. Dipasangnya lagi iPodnya.

Harapan kosong. Kenapa kata-kata itu begitu menusuk?

Kemudian Sonya baru sadar kalau dari tadi iPod-nya memainkan lagu indah yang sudah dikenalnya. Agnes Monica - Karena Ku Sanggup.

Dibiarkannya lagu itu mengalun.

biarlah ku sentuhmu
berikan ku rasa itu pelukmu
yang dulu pernah buatku
ku tak bisa paksamu
tuk tinggal disisiku
walau kau yang selalu sakiti aku
dengan perbuatanmu

namun sudah kau pergilah
jangan kau sesali

karena ku sanggup
walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu

ku mau kau tak usah ragu
tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

tak yakin ku kan mampu
hapus rasa sakitku
ku slalu perjuangkan cinta kita
namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan
kesungguhanmu

karena ku sanggup
walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu

ku mau kau tak usah ragu
tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

tak perlu kau buat aku mengerti
tersenyumlah
karena ku sanggup

Lagu itu berakhir.

Ya, benar. Aku sanggup. Meski aku benar-benar tak mau. Aku tak ingin dia meninggalkanku.

Sonya bahkan tak sadar matanya digenangi air mata mendengar reff lagu itu. Dia juga tak sadar sedari tadi dia memandangi Simon yang menghampiri konter pulsa, mengeluarkan dompetnya, membayar pulsanya, dan berlari kembali ke bangku pengemudi.

Dia juga tak sadar Simon sudah masuk mobil dan menutup pintu mobil dengan keras.

"Wah, gila nih bisa tekor gue kalo nelpon loe terus, Feb," keluh Simon.

"Makanya pake operator yang sama kayak punya gue dong. Gratisan!" kekeh Febe berpromosi.

"Gue juga. Tina pake operator yang beda. Jadinya... sekali tiga hari gue harus isi pulsa," sela Hendra.

"Emang loe isi berapa sekali isi?" tanya Febe.

"Dua puluh lima ribu."

"Gokil loe Ndra."

Febe dan Hendra tertawa.

Simon menyalakan mobilnya. "Sonya? Kok nangis?" tanyanya pada juniornya.

"Hah?" Sonya melongo bego. "Kelilipan, Kak, hehe."

"Kamu sih pake dibuka segala jendelanya," kata Simon.

"Haha iya Kak, aku tutup lagi deh."

Dan waktu Sonya menutup jendela, angin kencang berhempus, meniupkan setitik kecil debu ke mata Sonya. Dia benar-benar kelilipan sekarang.

"Aduh," jerit Sonya kecil. Air matanya mengalir lagi.

"Dasar kamu," kata Simon menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masa bisa sampe dua kali kelilipan. Aku tiupin sini."

Sonya bertindak refleks menghadap Simon yang kemudian meniup matanya.

"Awas jangan diucek dulu! Ntar malah tambah perih," cegah Simon begitu melihat tangan Sonya bergerak mendekati matanya. "Fuuuh."

Sonya mengejap-ngejapkan matanya yang mengeluarkan air mata yang tak terbendung. Perih karena kelilipan dan perih karena mendengar lagu yang barusan didengarnya.

"Heboh banget nangisnya," komentar Simon. Lalu ditiupnya lagi mata Sonya.

"Sakit, Kak," gumam Sonya pelan, mencoba mengalahkan jantungnya yang berdebar kencang.

Simon mengawasi Sonya yang mengipas-ngipas matanya dengan tangan. Kemudian dia baru sadar bahwa sejak tadi Febe dan Hendra terkikik.

"Ada apa?" tanya Simon.

"Nice picture," cengir Hendra, memamerkan layar handphone-nya yang menampilkan foto tampak samping Simon yang sedang meniup mata Sonya.

Febe tertawa. "Apa reaksi Marsel kalau dia ngeliat foto ini, ya..." katanya iseng.

Simon manyun. Dia bingung memilih antara meminta Hendra dan Febe menghapusnya atau membiarkan mereka menunjukkan foto itu pada Maria. Kalau dia meminta Febe menghapusnya, dia takut menyakiti perasaan Sonya. Kalau ia membiarkan foto itu dilihat Maria, dia takut Maria salah paham.

Tunggu, pikir Simon. Kenapa aku takut menyakiti perasaan Sonya?

Tetapi rupanya Simon tak perlu mengatakan apa-apa. Sonya sudah bertindak duluan.

"Apa, Kak? AAAH! HAPUS DONG, KAK..." pinta Sonya memelas. Matanya masih merah. Dia berusaha merebut handphone Hendra.

"Eit," Hendra berkelit. "Harus ada persetujuan antara kedua belah pihak."

Febe nyengir. "Mon, loe setuju kalo dihapus?"

Simon pura-pura sibuk menyetir. "Apanya?"

"Foto kalian," jawab Hendra dan Febe berbarengan.

"Terserah loe pada deh... tapi kalau loe simpen, jangan liatin ke Marsel," tambah Simon kemudian. Dia puas karena memang keputusan itulah yang adil untuk semua.

"Setuju, Sonya?" tanya Hendra.

Sonya menggeleng. "Hapusin, Kak..." katanya, memandang Febe dan Hendra dengan wajah memelas, matanya berkaca-kaca karena masih merasa perih. Tolong hapus saja semua kenangan itu, katanya dalam hati.

Simon melirik Sonya. "Ya udah... hapus aja..." ujar Simon akhirnya.

"Kalau kayak gini kan nggak ada yang sakit..." gumam Sonya pelan, nyaris tak terdengar oleh tiga seniornya.

"Apa, Sonya?" tanya Febe bingung. "Nggak kedengeran."

"Nggak ada Kak, hehe."

Hendra menekan tombol 'yes' ketika muncul pertanyaan 'Are you sure you want to delete this photo?' di ponselnya. Sonya memandangi ketika ponsel itu memproses penghapusan.

Photo deleted!

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Ehm, saya juga mau tuh ditiupin matanya sama Kak Simon :p duasarr... Ini agak lebih pendek dari yang part 11, ya. Saya memang nggak konsisten menetapkan panjang tulisan saya. Dia ngalir begitu saja, dan berhenti dimana saya mau menghentikannya. Ya iyalah. Kan saya yang nulis. :D

R.A.
4 Agustus 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part XII)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part XI)

Salam, Pembaca!

Ada jeda yang sangat panjang antara fanfiction part 10 dan 11, hal ini dikarenakan daya imajinasi saya berkurang sangat pesat (?). See, ini sudah bulan Agustus, tanggal 3, pula. Terakhir kali saya bikin part 10 itu tanggal 27 Juli.
Oh ya, dan saya juga ngepost fanfiction ini di note facebook saya. Baru sampe part 2 karena saya mau ngeliat gimana tanggapan temen-temen BL. Harap menunggu dengan sabar untuk part 3 dan 4 di note, ya... dan buat yang udah baca di blog, harap bersabar menunggu part 11 dan selanjutnya... saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Happy reading! :))

>>
Tina membangunkan Sonya keesokan harinya. "Sonyaaa. Sonyaaa."

Sonya menggeliat sebentar, lalu membalikkan badan.

"Sonyaaaa."

Sonya tidak merespon.

Tina manyun, lalu pergi ke kamar mandi. Diambilnya segayung air dan dipercikkannya ke muka Sonya. It works. Sonya bangun.

"TINAAA! APAAN SIH!"

Tina tertawa terbahak-bahak. Sonya lompat dari tempat tidur dan mencoba menangkap Tina. Yang, gagal, karena Tina berlari menghindar. Alhasil mereka kejar-kejaran di kamar, berteriak-teriak. Tina meraih bantal dan menggebuk Sonya. Sonya mencari guling dan membalas Tina. Perang bantal pun dimulai.

"Sakit, tauk!" kata Tina, tapi dia tertawa.

"Biarin! Orang lagi enak-enak tidur!" balas Sonya.

"Cewek gak boleh bangun siang!"

"Teori darimana tuh?"

"Teori nyokap!"

Sonya tertawa. Kemudian dia, yang pendengarannya tajam, mendengar suara pintu diketuk. Dia lari ke pintu dan membukanya. Tina mengikuti sambil tetap menggebuki Sonya.

Tepat saat Sonya membuka pintu sambil menghindari gebukan bantal Tina, Sonya sadar tepat pada waktunya bahwa Tina akan melempar bantalnya. Sonya merunduk.

Sayang sekali lemparan Tina mengenai orang yang mengetuk pintu. Seketika lorong di depan kamar mereka penuh tawa.

"Strike," kata Pia tertawa.

Greys sampai terbungkuk-bungkuk dan harus memegangi perutnya sambil mencengkram bahu Maria saking hebohnya dia tertawa.

"Ya ampun, Kak, maaf..." Tina kaget melihat orang yang dilemparnya adalah Shendy.

"Lho, Kakak sudah datang," Sonya menahan tawanya. "Gimana liburannya, Kak?"

Shendy menurunkan bantal Tina, lalu ikut tertawa bersama teman-temannya. "Asik deh pokoknya..." (anggap saja Ci Shendy baru datang karena selama ini dia sedang pulang ke kampungnya, red)

"Ada Kak Nitya jugaaa," Sonya memeluk seniornya itu.

"Aduh Kak, maaf banget..." kata Tina takut.

"Santai aja kali. Kalian berisik banget," kata Shendy tertawa. "Mau ikut jalan nggak?"

Sonya memandang Pia, Greys, Maria, Febe, Shendy, dan Nitya di depannya. "Kemana, Kak?"

"Ke mall aja, refreshing. Kita kan libur hari ini. Sekalian menyambut kedatangan Shendy dan Nitya..." jelas Maria.

"Bersegini aja, Kak?" tanya Tina, menghitung jumlah mereka. "Berdelapan?"

"Yang ceweknya cuma kita aja. Butet ama Vita sibuk. Yang lainnya pada mau tidur," kata Pia.

"Cowoknya ada pacar kamu," Febe melirik Tina yang tersipu malu. "Terus Simon, Hayom, Bona, Ahsan, Kido..."

"Age, Alvent, Yunus..." tambah Maria.

"Ikut, Kak," kata Tina langsung.

Sonya terheran-heran. "Kak Frans gak ikut Kak?" tanyanya pada Greysia.

"Mau istirahat katanya..." Greys mengangkat bahu.

"Kamu ikut nggak? Sepi lho disini," kata Nitya.

"Boleh deh, Kak... tapi aku belum siap-siap..." jawab Sonya malu.

"Dia baru bangun, Kak. Tadi aku bangunin malah ngamuk-ngamuk. Tuh kamar sampe berantakan," kata Tina, yang langsung disikut Sonya. "Aduh," ringisnya.

"Hahaha kalo gitu kita tunggu aja di dalem sambil bantuin beresin kamar kalian sementara Sonya siap-siap..." saran Maria. (duh, Mbak Sel, baik banget deh!) Semuanya setuju.

"Emang seberantakan apa sih?" Nitya melongok kedalam kamar dan matanya memandang ke sekeliling ruangan. "Ya, ampuuun..."

Selimut mereka berserakan di lantai, bantal-bantal tak beraturan dimana-mana, seprei tersingkap lebar. Sonya dan Tina nyengir malu.

Maria tertawa. "Ya sudah, kamu siap-siap sana..."

Sonya berlari ke kamar mandi.

* * *

Saat Sonya selesai dan kamar mereka sudah dirapikan dengan usaha gabungan Tina, Maria, Greys, Pia, Febe, Shendy, dan Nitya, handphone Maria berbunyi dengan ringtone Ne-Yo - Because of You. (ehm, mengarang bebas, red)

Incoming call -->
SimonMon (lagi-lagi mengarang bebas, red)

"Halooo?" jawab Maria.

"Mar? Kamu dimana?" tanya Simon.

"Aku di kamar Sonya sama Tina nih... kamu?"

Simon agak tertegun. Tapi dia langsung melanjutkan pembicaraan. "Kita udah di halaman depan... buruan dong! Kalau sempet kita masih bisa nonton sebelum makan siang."

"Oh, iya iya. Semuanya udah disana?" tanya Maria memastikan.

"Kecuali kalian yang cewek-cewek," ujar Simon.

"Oke, kami kesana secepatnya."

"Sip."

Simon memutuskan hubungan teleponnya.

Call ended
Marsel
00.30

"Dimana mereka?" tanya Kido, mengecek arlojinya setiap lima detik.

"Eh... di kamar Sonya dan Tina," jawab Simon tanpa memperhatikan Kido, masih sibuk dengan ponselnya, mengecek sisa pulsa. "Wah, beneran pulsa gue tinggal seribu. Bang, ntar gue mampir dulu di konter pulsa, ya..." kali itu Simon baru melihat Kido dan dia menyadari bahwa Kido sedang memandangnya aneh.

Kido mengangguk singkat, lalu mondar-mandir. Bona seperti biasa sedang mengobrol seru dengan Ahsan, Hendra sedang mendengarkan iPod-nya sambil bersandar di mobilnya, Alvent memainkan entah-apa di iPhone-nya, Age membaca majalah sport, Yunus dan Hayom mengerjakan teka-teki silang di koran yang digelar di atas kap mobil Kido.

Simon agak salah tingkah. Dia paham betul arti pandangan Kido padanya tadi.

Sementara itu di kamar Sonya dan Tina, suasana malah semakin riuh rendah karena Pia dan Greys sudah mulai menyindir-nyindir Maria yang ditelepon Simon.

"Cieeeee... kok pake aku-kamu, Sel?" tanya Febe. "Ada angin apa nih..."

"Biasanya pake loe-gue deh..." tambah Greys iseng.

"Mbak Sel," Shendy menjawil rambut Maria. "Nggak bilang-bilang ya."

"Apaan?" bantah Maria. "Wajar dong dia telepon, kan nanya kita lagi ada dimana, kita ditungguin tuh sama mereka..."

"Yang nggak wajar itu dia nelepon Mbak Sel..." sindir Nitya.

Pia tertawa. Tina memandang Sonya yang terlihat bengong. Tapi, Sonya lalu ikut tertawa.

"Hayoo Mbak..." Sonya ikutan.

Tina mengangkat alisnya. "Kalau gitu... eh... kita kesana sekarang aja yuk, Kak... emm... Kak Hendra barusan sms aku... katanya suruh cepetan..."

Sontak kamar itu penuh dengan gurauan lagi.

"Tuh, kan, Sel... Tina di-sms Hendra, mereka kan memang pacaran, makanya Hendra ngirim pesan ke Tina..." kata Greys.

"Tandanya dia cemas..." sambung Pia.

"Karena pacarnya nggak muncul-muncul..." tambah Nitya.

"Berarti itu juga yang terjadi sama Simon..." kata Shendy.

"Cemas karena calon pacarnya nggak muncul-muncul..." sambung Febe.

Mereka tertawa lagi. Maria hanya manyun. (Mbak Sel mau manyun pun tetep cantik, red)

"Sudahlah... ayo kita turun," ajak Maria.

Mereka beriringan keluar kamar Sonya dan Tina. Tina sengaja membiarkan keenam seniornya berjalan duluan di depan agar dia bisa leluasa mengobrol dengan Sonya.

"Kamu yakin mau ikut?" tanya Tina ketika ia mengunci pintu, dan Sonya menunggunya.

"Tentu saja. Aku butuh refreshing," jawab Sonya pasti.

"Berani nanggung resikonya?" tanya Tina.

"Apa?"

"Sakit hati."

"Ah, basi," katanya Sonya, melambaikan tangannya seolah meremehkan.

"Kamu mulai bisa terima, ya?" tanya Tina sementara mereka berjalan di lorong.

Sonya mengangkat bahu. "Begitulah."

Tina manggut-manggut.

"Baguslah kalau begitu."

* * *

Kido cemberut melihat rombongan putri datang dengan santai sambil mengobrol.

"Pia," panggilnya pada adiknya.

"Ya, Uda?" jawab Pia tersenyum.

"Jam sepuluh! Kami menunggu setengah jam!" katanya kesal.

Pia nyengir. "Maaf, Da..."

Bona tertawa. "Udahlah Da. Mending kita putuskan siapa yang mau naik mobil Uda, yang mau naik mobil Simon, yang naik mobil Shendy..."

"Kami yang cewek semua ikut Shendy," kata Febe langsung. "Pas berdelapan! Dua di depan, tiga di tengah, tiga di belakang..." (ceritanya mobil Shendy model kapsul gitu, red)

"Ah! Nggak seru!" kata Alvent. "Garing kalo cowok semua dalam satu mobil."

"Kita hompimpah aja," usul Yunus. "Tapi nggak ada yang boleh nolak."

Mereka langsung setuju.

"Oke, hompimpah pertama, yang telapak tangan menghadap ke atas naik ke mobil Shendy," atur Kido. "Berapa muatnya Shend? Delapan orang?"

Shendy mengangguk. "Delapan orang sama gue."

"Sisanya masuk mobil gue sama Simon," kata Kido. "Dibagi dua."

Semuanya manggut-manggut. Mobil Kido dan Simon (ceritanya, red) adalah mobil sejenis sedan.

"HOM PIM PAH ALAIHUM GAMBRENG!!" (oh, kenapa saya tertawa waktu menulis kalimat ini?)

*karena akan sangat panjang sekali kalau dirinci satu persatu, maka kita langsung saja ke hasil pembagian*

Akhirnya yang masuk mobil Shendy adalah Maria, Alvent, Bona, Greys, Yunus, Age, dan Nitya. Sementara yang masuk mobil Kido adalah adiknya sendiri, Pia, Ahsan, lalu Tina, dan kemudian Hayom. Sonya mendapat jackpot dengan menumpang mobil Simon bersama Hendra dan Febe.

"Yaah," ujar Tina sendu, memandang Hendra.

"Tenang saja," kata Hendra, menepuk bahu Tina.

"Gue jagain," canda Hayom. Lalu mereka menumbukkan tinju mereka.

"Pssst," bisik Sonya sebelum Tina masuk mobil. "Agak gelisah ya?"

Tina mengangguk. Dia harus semobil dengan orang yang pernah ditaksirnya, Ahsan.

"Rileks. Santai," saran Sonya.

"Kamu juga," kata Tina, nyengir memandang Simon, yang sedang disindir-sindir Greys dan Febe karena tidak bisa semobil dengan Maria.

Sonya menghela napas. "Asal nggak duduk di sebelahnya aja..."

Tetapi rupanya jackpot Sonya tidak berakhir disitu saja. Hendra dan Febe ternyata sudah menduduki bangku belakang selagi Sonya bicara dengan Tina. Tinggallah bangku kosong di depan untuk - siapa lagi? - Sonya.

"Sonya?" panggil Simon yang sudah duduk di kursi pengemudi. "Kok nggak masuk?"

Sonya benar-benar tidak bisa percaya ini.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Rupanya cerita ini panjang juga ==' dan banyak sekali khayalan disini... silakan tunggu part 12-nya, ya... terima kasih...

R.A.
3 Agustus 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part XI)

Rabu, 28 Juli 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (part X)

Salam, Pembaca!

Memasuki part 10. Mulai agak capekkah kamu-kamu sekalian? Meluangkan waktu yang terbuang sia-sia karena membaca blog saya untuk meneruskan fanfiction ngasal ini? Maaf.
Anyway, mulai kehabisan ide juga, jadi saya agak mengkhayal bebas banget - dari awal juga saya ngayal, kok! - untuk lanjutan fanfiction ini.
Happy reading! :))

>>
Sonya memandangi Tina dengan gembira. Sejak tadi dia dan kelima senior ceweknya sibuk memprediksikan hasil penembakan Hendra.

"Sonya, kira-kira diterima nggak ya?" tanya Pia berharap.

"Haha nggak tahu juga sih saya Kak," tawa Sonya. "Kayaknya sih..."

"Eh, emangnya Tina bilang apa soal Hendra?" tanya Maria.

"Eng... yang saya tahu sih Kak, Kak Hendra selalu ada kapanpun Tina butuh..." jawab Sonya, ragu dengan jawabannya sendiri.

"Apa Tina suka Hendra?" tanya Vita langsung. "Waah, bagus banget kalau mereka jadian!"

"Saya juga berharap gitu, Kak," senyum Sonya.

Lalu mereka memusatkan perhatian pada kejadian di taman depan asrama cewek itu.

"Apa, Kak?" tanya Tina tak percaya, tepat setelah Hendra mengungkapkan perasaannya.

"Perlu saya ulang sampai berapa kali agar kamu percaya?" tanya Hendra, tersenyum.

"Ah, maksud saya bukan begitu, Kak," ujar Tina gugup. "Kakak... selalu ada waktu aku lagi sedih."

Hendra tersenyum. "Kebetulan."

"Kebetulan yang menyenangkan," tambah Tina.

Hendra mengangguk. "Jadi... maukah kamu...?"

Tina tak mau terdengar terlalu antusias. "Ehm... saya..."

"Saya terima apapun jawaban kamu," tambah Hendra.

Tina mendongak memandang Hendra karena mendengar kalimat barusan. "Kakak..."

Suasana hening yang menyusul begitu sarat makna.

"Ya..." jawab Tina, menunduk malu-malu. "Saya mau..."

Serentak Kido, Frans, Bona, dan Simon berhigh-five (mengacungkan tinju ke udara, red) bersama, lalu merangkul Hendra, memberinya selamat. Sonya menghambur memeluk Tina setelah ikut berteriak senang bersama kelima senior ceweknya.

Hendra terlihat lega.

Simon memandangi Sonya ketika dengan gembira ia merangkul sahabatnya dan mengucapkan selamat. Dia juga menatap Maria ketika gadis itu memberi selamat pada Tina dibarengi senyum manisnya. Sonya mengabaikan kedua hal ini.

"Hebaaat!" sorak Febe. "Kalian kapan nyusul, niih..."

Febe menyindir Simon dan Maria yang sedang mengobrol. Mereka menghentikan pembicaraan, saling lirik, dan entah kenapa, Sonya melihat keduanya salah tingkah. Pemandangan ini agak menyentakkan hatinya. Ia menggenggam erat, di dalam sakunya, sapu tangan milik Simon yang selalu dibawanya kemana-mana.

"Bentar lagi," kata Frans yang berdiri berdampingan dengan Greys. "Ya kan, Mon?"

Tidak ada yang memperhatikan perubahan pada raut wajah Sonya kecuali Hendra.

"Hei... sudah deh," kata Hendra. "Eh... makasih ya..." sambungnya, menatap Tina.

Tina mengangguk. Sonya melepas rangkulannya pada Tina dan membiarkan Tina mengobrol dengan Hendra. Sonya tak tahan lagi dan dia butuh ketenangan, sendirian. Kamarnya rasanya bisa memberikan keduanya.

"Kakak..." panggilnya pada Pia. Senior yang lain tidak melihat karena sedang sibuk bercengkrama dengan Hendra dan Tina.

"Ya?"

"Saya... ke kamar dulu..." gumamnya, mendadak kepalanya terasa sakit. "Pusing..."

"Eh? Eh?" Pia terdengar cemas. "Perlu aku temenin? Nanti kamu pingsan..."

"Nggak apa-apa, Kak..."

Sonya melempar senyum pada Tina sekilas, berharap memberikan pandangan aku-tidak-apa-apa padanya. Sonya sendiri juga berharap dirinya benar-benar tidak apa-apa.

* * *

Sonya bergerak seperti robot yang sudah disetting untuk mengerjakan segala sesuatu. Dia melamun dan bahkan tidak sadar apa yang dilakukannya. Dia baru menoleh ketika Butet muncul dari kamarnya yang dilewati Sonya.

"Ada apa di luar, Sonya?" tanya Butet. "Vita nggak ada di kamar, aku kira..."

Butet memandang Sonya penuh tanya.

Sonya tersenyum. "Itu, Kak... Kak Hendra nembak Tina..."

"Ah, masa?"

"Beneran, Kak... lagi rame di bawah."

"Lihat, ah..." kata Butet, lalu keluar dari kamar dan menguncinya.

Sonya cuma bisa memandangi Butet berlari-lari sepanjang koridor dan menghilang di ujung. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya menuju kamar.

Kenapa perasaan ini mesti muncul sekarang? sesal Sonya. Kenapa justru di saat sahabatku berbahagia? Dan kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang menyukai orang lain?

Tuhan, kenapa Engkau menciptakan seseorang yang bisa kucintai tetapi tidak bisa membalasnya?

Sonya sudah nyaris menangis ketika tiba di depan pintu kamarnya. Ia menghela napas panjang sekali. Kemudian menelepon Randy, bercerita panjang lebar tentang kejadian malam ini. Sambil menangis. Rasa gembiranya untuk Tina bercampur dengan rasa sedihnya untuk Simon.

"Sudahlah..." kata Randy, yang sudah sangat mengantuk, tetapi ditahannya untuk menemani sahabatnya. "Sudah kubilang mereka belum ada ikatan apa-apa. Masih ada kesempatan untukmu. Siapa tahu Kak Simon bisa jadi suka sama kamu."

"Rasa suka nggak bisa dipaksain, Ran..." gumam Sonya.

"Memang, tapi coba lihat Kak Hendra? Dulu katanya dia suka sama Kak Butet. Sekarang suka sama Tina. See? Rasa suka bisa berubah-ubah."

"Tapi..."

"Coba aja dulu," kata Randy, lalu menguap tanpa bisa ditahannya. "Eh, sori."

"Kamu ngantuk, ya?"

"Nggak juga, sih..." tapi bersamaan dengan itu Randy menguap lagi.

"Tidurlah... sori bangunin kamu malam-malam."

"Okee."

"Makasih ya."

"Hama-hama," ucap Randy tak jelas.

Sonya menunggu Randy memutuskan hubungan telepon. Kemudian ia naik ke tempat tidur.

Samar-samar didengarnya keramaian di luar.

"Ayo kita nyanyiii!!" terdengar suara Pia. "Mumpung ada gitar..."

"Tina duluan, yang baru jadian nih," kata Febe senang.

"Mau lagu apa?" tanya Hendra. Tina tersipu malu.

"Saya mau lagunya Vierra... yang judulnya Bintang."

Kemudian Hendra memetik gitarnya mengiringi Tina menyanyi.

Malam yang indah
Kau ada disini
Mengisi kosongku
Dan berkata sayang

Tak pernah ku ragu
Hanya dirinya satu
Tak pernah ku ragu
Cerita cintaku

Oh bintang-bintang
Bawalah aku terbang tinggi
Bersamanya
Karena dia yang aku mau

Bintang-bintang
Kabulkan permohonanku

Tina selesai menyanyi. Terdengar siutan usil dari Bona.

"Cieeee..." sindir Butet yang sudah tiba sejak tadi.

"Ehem..." seru Pia dan Greys berbarengan.

"Prikitiew!" timpal Frans.

"Buat dia, nih, Tin?" tanya Maria. Tina hanya tersenyum dan mengangguk malu. Hendra nyengir, lalu rambutnya diacak-acak Bona, lengannya disikut Simon, dan perutnya ditonjok Kido.

"Ayoo siapa yang mau nyanyi lagiiii?" tanya Pia. "Simon, loe nyanyi dong! Buat Marsel..."

Terdengar siutan riuh dari para senior. Sonya, yang mendengarkan, membayangkan Maria dan Simon salah tingkah.

"Kalian ini..." Maria menegur, tetapi mukanya merah.

"Waaah, muka loe merah, Mar!" kata Febe. Butet dan Vita tertawa.

"Iya deh gue nyanyi," kata Simon akhirnya. "Tapi kali ini bukan untuk Marsel," tambahnya, melihat teman-temannya hendak bersiul lagi.

"Yaaaah!" keluh teman-temannya. Simon nyengir. Maria tertawa.

Simon memetik gitarnya dan begitu mendengar intro-nya, Sonya tahu itu lagu David Archuleta - Desperate.

You're reachin' out
And no one hears your cry
You're freakin' out again
'Cause all your fears remind you
Another dream has come undone
You feel so small and lost
Like you're the only one
You wanna scream,
'Cause you're desperate

You want somebody, just anybody
To lay their hands on your soul tonight
You want a reason to keep believin'
That some day you're gonna see the light

You're in the dark
There's no one left to call
And sleep's you're only friend
But even sleep can't hide you
From all those tears and all the pain
And all the days you wasted pushin' them away
It's your life; it's time you face it

You know the things have gotta change
You can't go back, you find a way
And day by day you start to come alive

You want somebody, just anybody
To bring some peace to your soul tonight
You want a reason to keep believin'
That some day you're gonna see the light
'Cause you're desperate
Desperate
'Cause you're desperate tonight
Oh, desperate
So desperate tonight
Tonight

Entah kenapa mendengar lagu itu membuat Sonya tenang. Sonya juga mengira ada sesuatu di dalam hatinya yang menyuruhnya untuk mempercayai bahwa lagu itu ditujukan untuknya. Liriknya terutama, menusuk hati Sonya.

"Buat siapa, Mon?" tanya Kido. Simon melihat pandangan Kido seolah Kido bertanya 'buat Sonya, ya?'. Simon mengangkat alis.

"Buat adek gue..." gumam Simon. Ia melirik ke gedung asrama putri, lirikan kecil sekali, hingga hanya Kido dan Tina yang melihatnya, dan mereka langsung sadar siapa yang dimaksud Simon.

Sayang sekali Sonya tak bisa melihat lirikan Simon.

Sonya berpura-pura sudah tertidur ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke kamarnya. Tina sudah kembali. Sonya membelakangi pintu kamar agar pemandangan yang dilihat Tina hanyalah punggung Sonya, bukan wajah berlinangan air mata Sonya.

"Sonya?" tanya Tina ketika membuka pintu, suaranya terdengar riang. "Kamu sudah tidur?"

Sonya tidak menjawab. Matanya terpejam.

"Kak Simon kirim salam buat kamu..." ujar Tina, saking senangnya, mengabaikan fakta bahwa mungkin saja Sonya sudah tidur dan tidak mendengar kalimatnya. "Dia memintaku untuk memastikan kamu baik-baik saja. Kata Kak Pia tadi kamu pusing?" Tina menggantung jaketnya. "Yah... kalau kamu sudah tidur... berarti sia-sia saja aku bicara... besok saja deh aku bilang ke kamu."

Cuma dua kalimat yang dicerna Sonya dengan baik. Tanpa ia sadari ada sebuah senyuman tersungging dibibirnya.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Saya juga mau dinyanyiin sama Kak Simon... T.T Fanfiction kali ini banyakan lirik lagunya, makanya panjang, haha.

R.A.
27 Juli 2010 --> hari ini Macau Open GPG dimulaai!! Berjuanglah, para pahlawan bulutangkis Indonesia!! XD
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (part X)

Senin, 26 Juli 2010

, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (IX)

Salam, Pembaca!

Percaya atau tidak, sebelum saya menulis fanfiction part sembilan ini, saya membaca keseluruhan fanfiction dari part 1 sampe 8 (hey, ini almamater saya, SMAN 8 ^^) karena SAYA LUPA SAMA CERITA AWAL YANG SAYA TULIS. Silakan sebut saya pikun atau apalah. Yang jelas saya lupa, benar-benar lupa cerita-cerita di bagian awal. Haduuu~ memang otak saya ini aneh. Bagaimanapun, yah, inilah fanfiction 'Rhapsody in Pelatnas' part 9.
Happy reading! :))

>>
Keheningan menyelimuti kamar Hendra dan Kido. Hendra nyengir, lalu memetik gitarnya, memainkan beberapa nada. Alvent masih ternganga, tidak siap menerima berita mengejutkan yang tiba-tiba itu. Kido dan Simon berpandangan heran.

"Malam ini?"

"Kok cepet banget loe mutusin gitu?"

"Rencana loe apaan?"

Mereka bertiga bertanya berbarengan. Hendra tertawa. "Santai bro... gue udah mikirin ini sejak lama. Gue pikir, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Bukannya loe yang pernah bilang gitu sama Ahsan, Vent?"

Alvent yang ditanyai mendadak gagap (maaf, Kak Alvent, saya tidak ada maksud apa-apa!). "Eh... oh... ya... gue... emang... pernah ngomong gitu sama Ahsan sebelum dia nembak..."

"Nah, kalau gitu gue bener dong?" tanya Hendra lagi pada semuanya.

"Jadi loe beneran suka sama Tina?" tegas Simon.

"Yah, kalo enggak, buat apa gue ngerencanain ini semua?"

"Gue kira loe suka ama Butet..." ujar Kido tak percaya. "Gue kira loe bakal nembak dia..."

"Gue emang suka, dulu... tapi sekarang rasa suka itu udah pudar, gue anggep dia temen..." terang Hendra.

"Terus rencana loe malam ini apa?" tanya Simon. "Buat Tina?"

"Nah, disini gue minta bantuan loe, Mon," ujar Hendra serius. "Gue minta tolong dong, cariin nomer hape Tina... loe kan bisa tanya Sonya, nah, gue, nggak bisa, nanti dia pasti tanya-tanya."

"Yee, kalo gitu juga sama lah, dia juga pasti nanya ke gue buat apa gue minta nomor temennya," tolak Simon. "Mending loe minta tolong Alvent, tuh, dia kan nggak ada urusan."

"Justru karena gue nggak ada urusan, makanya kenapa mesti gue yang dimintain tolong?" tanya Alvent bingung.

"Udah deh, biar gue suruh Pia yang tanyain, langsung sama Tina-nya, kalo cewek sama cewek kan aman tuh..." kata Kido menengahi.

"Sip kalo gitu, Bang," Hendra nyengir.

* * *

"AIRIN NEMBAK KAMU?" teriak Sonya dan Tina berbarengan, membuat Maria dan Vita yang sedang mengobrol di dekat mereka terlonjak.

"Kamu gak bohongin kita kan, Ran," Sonya benar-benar menolak percaya pada Randy saat itu.

"Ah, aku nggak bisa percaya ini!" Tina menjerit.

Randy tersenyum lemah. "Ya, kalian sih nggak akan percaya, aku sendiri juga susah percaya waktu dia bilang gitu..."

"Terus kamu terima?" tanya Tina tanpa berpikir.

"Ya enggaklah," jawab Sonya. Randy mengangguk.

"Apa alasan kamu? Dia tanya nggak?" tanya Tina lagi.

"Yah, aku bilang aku cuma anggap dia teman," jawab Randy, mengangkat bahu, "memang apa lagi yang bisa kukatakan? Aku juga bilang kalau kayaknya Sonya," Randy melirik Sonya, "nggak akan terlalu senang kalau aku jadian sama dia."

Tina mengangguk-angguk, tetapi Sonya mengernyitkan dahinya. "Hei, kamu nggak perlu ngomong gitu dong sama dia. Kesannya aku..." Sonya berpikir-pikir, mencari kata yang tepat, "...egois."

"Habis aku bingung mau bilang apa lagi," Randy membela diri. "Sekalian aja kubilang kamu benci sama temennya."

"Itu sih jahat banget. Nggak, mestinya itu jadi masalah antara perasaan kalian berdua aja, nggak perlu ada tuntutan dari pihak lain," jelas Sonya.

"Maksudmu, kalau aku beneran suka sama dia, aku terima dia?" tanya Randy memperjelas.

"Yah, perasaan nggak bisa dibohongin, kan," kali ini giliran Sonya yang mengangkat bahu. "Okelah aku nggak suka sama Eri dan jadinya juga anti sama Airin, tapi kalau kamu memang bener suka sama Airin, kamu bisa terima dia tanpa memedulikan aku," tambah Sonya.

"Kalau begitu aku yang jahat terhadap sahabat aku sendiri," komentar Randy.

"Tapi kamu menolaknya murni karena kamu beneran nggak ada perasaan sama dia, kan?" tanya Tina.

"Yeah..."

"Kalau begitu masalah clear," kata Tina puas. "Randy nggak naksir Airin. Ini cuma perasaan satu orang aja."

Sonya mengangguk-angguk. Randy manggut-manggut. Lalu Pia dan Febe tiba-tiba datang.

"Haaii, semuaaa," sapa Pia ramah.

"Hai, Kak," balas mereka bertiga.

"Sonya, Tina, bisa minta nomor hape kalian nggak?" tanya Pia.

"Ha?" Tina membelalak. "Boleh aja, sih, Kak..." gumamnya, diiyakan Sonya.

"Buat data aja," kata Febe, menjawab pandangan mata bingung dari Sonya. "Kalau misalnya ada apa-apa dan kami butuh kalian..."

Lalu mereka saling menukar nomor masing-masing.

"Saya enggak, Kak?" tanya Randy penuh harap.

"Ngarep, Ran?" celetuk Tina usil. Pia dan Febe tertawa.

"Kamu tukeran sama senior cowok aja, gih," saran Febe. "Okeee, makasih ya adik-adikku sayang."

Pia dan Febe melambai, bertemu Maria dan Vita dan bergabung dengan mereka berjalan menjauhi Randy, Sonya, dan Tina.

* * *

Malamnya di kamar Tina dan Sonya. Sonya sudah bersiap akan tidur dan menyelimuti dirinya dengan selimut. Tina masih mengetik di laptop.

"Rajin amat Jeng," gumam Sonya, menguap.

"Ngetik buku harian," jawab Tina, nyengir.

"Hoaaahm," kuap Sonya. "Capek banget aku."

"Cepatlah tidur," saran Tina.

"Ya," Sonya memandangi meja nakas yang diatasnya diletakkan sapu tangan Simon. Sonya menghela napas panjang. Sampai sekarang pun dia belum sempat mengucapkan terima kasih pada Simon.

Kemudian didengarnya Tina naik ke atas tempat tidur - suara tempat tidur yang berderit ketika Tina merebahkan diri itu yang didengarnya.

Sonya tahu bahwa Tina juga belum berniat tidur. Tetapi, tak ada diantara mereka yang berminat membuka pembicaraan.

"Akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi ya, Sonya," kata Tina.

Sonya tak perlu berpikir jauh untuk mengerti 'banyak hal yang terjadi' yang dimaksudkan Tina.

"Yeah," gumam Sonya sambil menguap. "Padahal ini baru minggu kedua kita di Pelatnas."

"Dan kita sudah patah hati," tambah Tina, tertawa. Sonya mendengar kegetiran dalam tawanya.

"Hahaha, memang nasib sedang tidak berpihak pada kita," tawa Sonya.

"Dan..."

Suara Tina disela dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi.

"Punyamu?" tanya Sonya.

"Iyaaa," jawab Tina, meraba meja nakasnya dan mendapati ada sebuah pesan di dalam ponselnya. "Dari siapa ini? 'Tina? Bisa keluar dari asrama sebentar?' Siapa yang memintaku menemuinya malam-malam begini?"

"Nggak ada di kontak kamu?"

"Nggak, nomor asing."

"Jangan dipedulikan, tidur saja," saran Sonya.

"Tapi aku punya firasat baik..."

Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Tina turun dari tempat tidur dan mengambil jaketnya. Sonya mengawasinya.

"Oke, aku ikut," kata Sonya memutuskan.

"Ide bagus," gumam Tina, yang takut menyusuri koridor asrama cewek sendirian pada malam hari.

Tapi belum lima detik mereka melangkah keluar kamar, terdengar suara petikan gitar dari luar. Tina melonjak dan memeluk Sonya.

"Gitar," gumam Sonya geli.

Kemudian intro lagu Angel (Walk, Talk, Sing, and Bleed) milik Nidji (lagu ini ada di album Nidji yang "Breakthru': ENGLISH VERSION", red) mengalun. Tina mempercepat jalannya, diikuti Sonya, yang punya firasat bagus mengenai ini.

Selagi mereka berlari di koridor, terdengar suara seorang cowok menyanyikan lirik lagu Angel itu.

Oh
Such a cold day
When regrets cuts through your veins
Lights are fading out
And I'll wait for you now

So
Until the end
When you opened up your eyes
Lights are fading out
And I'll wait for your lights

Desire the angels of my pain
That walks the city of a lonely man
Give me some truth
Give me love
Give me pain
And you

"Siapa yang nyanyi?" gumam Tina. Tetapi Sonya mengenali suara itu.

Kemudian mereka tiba di pintu depan asrama cewek. Saat mereka membukanya, lanjutan lagu itu terdengar, lebih keras.

Lights are fading out
And I'll wait for your love

Desire the angels of my pain
That walks the city of a lonely man

And you should be loved
In this restless world of mine
So I...

Tina tertegun saat melihat siapa yang berdiri di depan asrama cewek. "Kak Hendra...?" bisiknya lirih.

Hendra menyanyi, sembari memetik gitarnya. Dan bukan hanya Hendra. Tetapi Simon, Kido, Bona, dan Frans berbaris di belakang Hendra, memegang gitar juga, dan berperan sebagai backsound Hendra.

Saat berikutnya lagu itu dilanjutkan, Tina bergerak mendekati Hendra.

Angel walks
Angel talks
Angel sings
And bleed

Angel walks
Angel talks
Angel sings

Tina sudah sampai di depan Hendra tepat ketika lagunya berakhir dengan petikan gitar Hendra yang dramatis. Lalu terdengar tepukan riuh dari belakang Sonya - yang terlonjak kaget karena mengira dirinya cuma berdiri sendiri di depan pintu asrama. Rupanya Pia, Maria, Febe, Greys, dan Vita sudah ikut terbangun - atau memang sengaja bangun dari tadi karena mengetahui rencana Hendra - dan ikut menonton live music dari Hendra.

"Kak..." sahut Tina bingung.

Hendra tersenyum. "Suka lagunya?"

Tina mengernyitkan dahi. "Eh... suka sih, Kak, tapi saya nggak begitu menangkap maksud liriknya, saya tadi lari-lari di koridor."

Frans dan Bona mendengus tertawa, pelan, di belakang Hendra. Kido menatap mereka tajam, menegur.

"Yah, akan ada banyak waktu untuk mendengarkan lirik itu nanti," lanjut Hendra tanpa mengindahkan Frans dan Bona.

"Maksud Kakak?"

"Maksud saya..." Hendra masih terlihat cool bahkan di saat-saat menegangkan seperti ini (ehm, kayaknya Kak Hendra memang selalu cool, red). "Saya menyayangi kamu."

Terdengar siutan dari kelompok cewek-cewek di depan pintu asrama.

Tina terperangah.

"Tidak," ralat Hendra. Suasana kembali hening.

Tina menunggu. Hatinya berdebar tidak karuan, tangannya gemetar.

Hendra meneruskan. "Saya cinta kamu."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Saya juga pengen ditembak Kak Hendra... >.< hahaha sumpah setelah saya baca ulang kok makin kayak sinetron aja nih cerita... ==' tapi, yah, ini cuma khayalan saya, mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan. ^^ Ide untuk memasukkan lagu NIDJI itu muncul saat saya mendengarkan album Breakthru': ENGLISH VERSION, dan ternyata liriknya pas dengan kisah Tina. ^^ What a coincidence. Terima kasih, Mas Giring dan kawan-kawan!

P.S.S. KOMENTAR! :))

R.A.
25 Juli 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (IX)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VIII)

Salam, Pembaca!

Yang kedelapan... =='
Makasih banyak buat yang udah nungguin kelanjutan fanfiction ini. ^^
Lagi-lagi waktu bikin fanfict ini saya dengerin lagu, tapi bukan Jessica Simpson. Saya memang mendengarkan Jessica sebelum menulis ini, menyanyikan I Don't Want To Care versi saya (bergumam nggak jelas yang penting sesuai pendengaran saya) berduet dengan Jessica, tapi waktu mau nulis saya ganti dengan kaset NIDJI >>breakthru' English Version. Oooh, saya suka sekali lagu Heaven yang di-remix. XD
Happy reading! :))


>>
Febe yang pertama kali mencairkan suasana. "Eh, udah pada mulai, nih?" tanyanya, masuk ke ruang makan, diikuti Alvent dan yang lain.

Lalu keadaan pun kembali normal. Tina menggiring Sonya ke meja yang jauh dari para senior agar mereka bebas bicara.

"Mau makan apa?" tanya Tina pada Sonya.

Sonya menggeleng pelan. Aneh juga, padahal tadi dia yang begitu semangat menghibur kedua sahabatnya yang sedang patah hati, sekarang dia mendadak bad mood.

"Sama denganku saja, ya," Randy memutuskan. Sonya tidak menjawab.

Randy dan Tina beriringan menuju counter makanan dan mengambilkan makanan untuk Sonya, ditambah teh hangat. Sebisa mungkin Randy menghindari kasus tanpa-sengaja-terlihat oleh Greysia.

"Ini, minum saja dulu," gumam Tina, menyodorkan secangkir teh ke depan Sonya.

Randy mengunyah nasi gorengnya. "Dengar, Sonya, Kak Simon cuma bilang 'nggak tahu' dan 'kayaknya', bukan iya..."

"Tapi itu kan berarti iya. Kalau Kak Simon nggak naksir sama Kak Maria, Kak Simon akan bilang 'nggak'," tukas Sonya.

"Bagaimana pendapatmu, Tina?" tanya Randy, menoleh ke Tina di sebelahnya, yang sedang memandangi Hendra.

Hendra, yang merasa dipandangi, menengok ke arah Tina yang langsung gelagapan. Hendra tertawa bersama Yunus dan Bona.

Tina menarik napas, lalu menurunkan pandangannya dan menghadap kedua temannya. "Kak Hendra liat kesini?" tanya Tina, membelakangi meja Hendra.

Randy memutuskan untuk menggodanya. "Iya... dia liat kesini, ngeliatin kamu," candanya.

"Aku nggak mau dilihat Kak Hendra dalam keadaan seperti ini," kata Tina. "Lihat, mataku bengkak kan?"

Sonya mengamati mata Tina, yang memang masih bengkak dan agak merah. Sepertinya Tina menangis cukup lama sebelum Sonya datang ke kamar. "Iya, memang agak bengkak."

"Sudah, ayo kita makan," ajak Randy.

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bicara. Yang terdengar adalah bunyi sendok beradu dengan piring dan obrolan dengan volume rendah. Kemudian tanpa mereka sadari, ada yang sudah ada di dekat meja mereka.

"Eri?" Tina yang pertama kali sadar.

Sonya tak memandangnya.

"Gue mau ngomong ama loe, Ran," ujar Eri tanpa mengacuhkan ekspresi Sonya yang mendadak dingin. "Empat mata."

"Kalau loe mau ngomong ama gue, disini aja. Mereka teman-teman gue. Toh nanti gue juga cerita ama mereka," kata Randy, tak kalah dinginnya.

"Oke, kalau itu mau loe," gumam Eri. "Datang ke halaman depan asrama cowok jam empat sore besok. Sendirian."

Dan Eri langsung pergi begitu saja.

"Mau apa dia?" tanya Tina.

"Ngajak berantem, mungkin," tebak Sonya ketus.

"Kalau dia emang ngajak berantem, nggak mungkin pake bilang waktu dan tempatnya gitu. Dia pasti langsung ninju aku disini, seperti yang akan aku lakukan kalau aja aku nggak sabar sedikit," kata Randy bingung.

"Iya juga ya," timpal Sonya.

"Kalau gitu nanti kami boleh ikut?" tanya Tina.

"Nggak... mending aku sendiri aja yang datang, nanti kalau ada apa-apa aku takut kalian kena imbasnya," sahut Randy. "Kita harus memikirkan kemungkinan terburuk, kan?"

* * *

Pukul empat sore keesokan harinya Randy memenuhi undangan Eri - kalau memang pembicaraan mereka malam kemarin di ruang makan bisa disebut undangan. Dia keluar dari kamarnya.

Lalu kesadaran pun menghantamnya (ceileh, bahasa saya euy) bahwa sebenarnya Eri tak perlu sampai memintanya turun dari asrama dan bicara di depan. Eri kan juga tinggal di asrama itu. Mereka bisa ketemu kapan saja.

Randy hafal letak kamar Eri. Diketuknya pintu kamar mantan pacar sahabatnya itu, lalu menunggu.

Ternyata tak ada yang membukakan pintu. Pintu kamar terkunci, ketika Randy berusaha membukanya dengan paksa. Kemudian diurungkannya niat untuk mendobrak, karena akan susah baginya untuk menjelaskan kepada orang-orang kenapa dia sampai bersusah payah ingin masuk kamar orang yang sebenarnya dibencinya. Randy menempelkan telinganya ke daun pintu.

Ia bisa merasakan tidak ada orang di kamar itu.

Akhirnya Randy menyerah. Dia bisa menebak satu hal, pertemuan ini pasti bukanlah pertemuannya dengan Eri sendiri.

Randy keluar ke depan asrama cowok, mencari Eri. Tapi yang dijumpainya bukanlah sosok yang selama ini ingin sekali ditinjunya.

Melainkan Airin.

Randy menghampiri gadis itu. "Mana Eri?" tanyanya langsung.

Anehnya Airin terlihat gugup. "Eh... Eri masih latihan."

"Kalau gitu kenapa dia nyuruh aku datang kesini? Dasar..." kecam Randy. "Akan kucari dia di tempat latihan."

"Eri tidak memintamu datang kesini untuk bicara dengannya," kata Airin sebelum Randy sempat pergi jauh.

Randy yang baru berjalan sepuluh langkah langsung berhenti dan berbalik. "Apa?" tanyanya.

"Eri memintamu kesini agar kamu bisa bicara denganku," terang Airin. Tampaknya wajahnya dipenuhi tekad membara.

Randy melangkah perlahan mendekati Airin. "Oke, mau bicara apa? Sebaiknya cepat, karena..."

Airin menyela. "Aku menyukaimu."

Randy tidak jadi meneruskan kalimatnya. "Hah?" tanyanya, memastikan dia tidak salah dengar.

"Tidak, lebih dari itu," ralat Airin. "Aku menyayangimu."

Sesaat Randy bengong. Entah karena otaknya lambat menyerap perkataan Airin barusan atau karena dia sedang mengulang-ulang perkataan Airin dalam benaknya. "Oh, emm... trims..."

"Aku cuma mau bilang itu saja..." ujar Airin, tampak malu. "Eh... tidak apa-apa kalau kamu... tidak menjawabnya."

"Yeah..." Randy bingung memikirkan jawabannya. "Sepertinya kamu udah tahu jawabannya?"

Airin mengangkat bahu. "Aku nggak mau memikirkannya."

"Oke, kalau begitu jawabannya... aku tidak bisa... maaf," sahut Randy sungguh-sungguh.

Airin tampak shock, tetapi hanya sebentar saja. "Oh... oke..." gumamnya, lalu tersenyum getir.

Sejenak hening.

"Kalau begitu... aku... ke tempat latihan dulu," sambung Randy.

Airin mengangguk.

Randy tersenyum singkat pada Airin, lalu beranjak pergi. Tetapi ketika mereka masih berjarak satu meter, Airin memanggilnya lagi.

"Randy?"

Randy berbalik. "Ya?"

"Boleh aku tahu alasannya?"

Sesungguhnya Randy benar-benar tak ingin menyakiti perasaan gadis itu. "Eh... aku benar-benar menganggapmu hanya teman."

"Ooh."

"Dan," lanjut Randy, "kurasa Sonya tak akan begitu senang kalau mendengar aku dan kamu jadian."

* * *

Hendra sedang menyetem gitarnya di kamar ketika Kido datang.

"Waaah, tampaknya cinta sedang bersemi disini," kata Kido.

"Maksudnya?" tanya Hendra bingung.

"Itu, barusan gue liat junior kita ngobrol di depan asrama..." Kido menggeleng-gelengkan kepalanya. "Siapa tuh, yang kemarin tanding ganda campuran."

"Sonya sama Randy?" tebak Hendra. "Mereka kan berteman."

"Si Randy-nya, sama pasangannya si Eri."

"Oh, Airin?"

"Ya... kayaknya serius banget ngobrolnya. Ckck," Kido berdecak. "Nah loe kapan mau loe tembak Butet?"

"Udah gue bilang gue sama Butet cuma temen," kata Hendra.

"Keliatannya Butet suka sama loe," kata Kido santai.

"Bukan sama Devin?"

"Mereka temenan."

Tiba-tiba Alvent masuk kamar tanpa izin, diikuti Simon. "Gue baru latihan," jawab Alvent, menjawab pandangan Kido yang mengawasi keringat Alvent bercucuran.

"Si Tina," kata Simon pada Hendra, "kayaknya habis nangis."

"Matanya merah," tambah Alvent mengangguk-angguk.

"Terus apa urusannya ama gue?" Hendra heran.

"Cuma sekedar informasi..." kata Simon, nyengir.

"Ada yang mau gue tanyain ama loe, Mon," sahut Kido serius. "Loe sebenarnya suka ama Maria atau ama anak baru itu?"

"Sonya?" sebut Alvent.

"Gue belum pasti," elak Simon, tak ingin membicarakan masalah ini.

"Soalnya, Pia cerita ama gue kalo loe sengaja ngedatengin Sonya pas dia nangis dan ngehibur dia. Loe juga nolongin Maria waktu dia keseleo pas latihan kemarin. Nah, loe jadi kayak ngasih harapan ke mereka berdua," jelas Kido.

"Gue nolongin Maria kan karena dia lagi kesakitan. Kalau kalian ada di posisi yang sama kayak gue waktu itu, pasti kalian juga nolongin Maria kan?" ujar Simon berargumen.

"Kalo kasus Sonya?" tanya Hendra.

Simon tidak bisa menjawab.

"Jelaslah sudah, loe suka sama Sonya kan Mon?" tebak Alvent iseng.

Simon akhirnya menjawab. "Oke. Gue nganggep Sonya kayak adik buat gue. Makanya gue mau nolongin dia waktu dia lagi kesusahan."

"Cuma sebatas adik?" tegas Kido.

Simon ragu sebelum mengangguk. Kido dan Alvent puas.

"Loe, Hen?" tanya Alvent. "Sama Tina?"

Semua kini memandang Hendra yang sedang sibuk dengan gitarnya, tampaknya sengaja membuat efek dramatis sebelum menjawab. Dibiarkannya suasana hening selama beberapa saat, kemudian,

"Gue mau nembak dia malam ini."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Ending yang singkat, padat, dan nggak jelas, ya? Apa saya bikin endingnya terlalu mendadak? Oh ya, ide tentang Airin sama Randy itu benar-benar timbul begitu saja, maafkan saya kalau jadi kayak sinetron, hahaha. XD

P.S.S. Jangan lupa dikomentarin, yaaa ^^

R.A.
24 Juli 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (VIII)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VII)

Salam, Pembaca!

Saya harap para pembaca yang ngikutin fanfiction ini dan rela ngabisin waktunya buka-buka blog ancur saya ini nggak kelelahan membaca fanfiction yang sudah masuk part 7 ini. Makasih banget buat yang udah setia ngikutin, baca-baca, dan komentar...
Waktu saya bikin fanfiction ini saya lagi dengerin satu album penuh Jessica Simpson jadul, A Public Affair. Percaya atau nggak, musik bikin saya jadi banyak inspirasi. Apalagi lagunya easy listening semua. Oh, dan saya paling suka lagu I Don't Want To Care. Peduli amat! Kyahahahaha. XD
Happy reading! :))


>>
Sonya kurang mempercayai pendengarannya saat itu. "Apa, Ran?" ini perintah untuk mengulang perkataan barusan.

Beda dengan Tina yang menjerit. "APA, RAN?" ini ekspresi shock dan tidak percaya.

Randy mengulang pernyataannya tadi, "Aku baru aja nembak Kak Greys..." tapi dengan lebih pelan dan jelas.

"Terus, terus?" desak Tina. "Kamu diterima? Kok tiba-tiba gitu sih?"

"Yaah, dia lewat di depanku dan aku tiba-tiba diberi keberanian untuk mengatakannya tepat di depannya langsung. Bodoh sekali aku, memintanya jadi pacarku padahal ada Kak Frans disitu..."

"Lho? Kak Frans bukannya sama Kak Pia?" tanya Sonya heran.

"Tidak, Kak Frans sama Kak Greys... Kak Pia cuma sahabatnya Kak Frans yang bantuin Kak Frans pedekate..."

Tina batuk-batuk untuk menghilangkan suara sengaunya. "Jadi Kak Greys bilang apa?"

Randy manyun. "Katanya... 'maaf, Randy, tapi aku punya orang lain yang aku cintai... tepat di samping aku...' hahaha, kalian nggak akan bisa bayangin gimana rasanya waktu Kak Greys bicara seperti itu..."

"Kapan mereka jadian?" tanya Sonya. "Kok kayaknya baru..."

"Waktu kalian pulang tadi," Randy mengangguk ke arah Tina. "Kak Greys kan ikut tanding?"

Tina mengangguk. "Jadi Kak Frans langsung nembak Kak Greys waktu Kak Greys pulang?"

"Iya... tepat setelah kami memisahkan diri dari kegembiraan senior kita karena Kak Ahsan... eh..." Randy melirik Tina.

"Aku tahu," sahut Tina singkat.

"Hari yang parah, ya," komentar Randy setelah hening lama. "Hari buat yang patah hati..."

"Ya," tambah Sonya muram.

"Eh? Kak Simon kan tidak jadian dengan siapa-siapa?" kata Tina.

Sonya sudah akan mengelak dia menyukai Simon, tapi dia menghela napas. "Dia deket sama Kak Maria..."

"Cuma deket doang kok, belum jadian."

"Akan, kalau kamu terus mengulur waktu," timpal Randy. "Cepatlah bilang duluan."

"Yeah, nanti jadinya kayak aku," kata Tina, tersenyum pahit.

Randy menepuk-nepuk bahu Tina, yang dibalas dengan tepukan Tina pada bahu Randy juga. Tina sudah kelihatan mau menangis.

"Jangan nangis lagi," gumam Randy.

"Tidak, kok," Tina mengusap matanya.

"Sudahlah, ayo kita senang-senang!" kata Sonya, berdiri dan melompat-lompat. "Masa sedih teruus."

"Hhhh...." desah Randy dan Tina berbarengan. Sonya hanya tertawa melihat kedua sahabatnya.

* * *

Di ruang makan para senior rupanya juga sedang berkumpul dan mengobrol seru. Apalagi kalau bukan membicarakan proses penembakan Ahsan. Bona bercerita dengan semangat tentang rekannya itu.

"Naah, jadi, waktu kita-kita udah pada keluar nih, baru si Ahsan menyelinap ke pintu keluar pendukung dan mencari-cari si dia..." kata Bona. "Gue sempet tuh ngeliatin prosesnya, kalian sih pada kabur duluan."

"Gue balik lagi buat ngeliat, kok," tawa Butet, diiyakan Devin.

"Terus si Ahsan ngajak ngobrol berdua," sambung Greysia. "Untung gue sempet foto."

Tawa pun terdengar dari kerumunan atlet itu.

"Nah, terus gue nggak sempet denger Ahsan bilang apa, soalnya waktu itu kita ngintipin ya," Bona memandang Greys, yang mengangguk.

"Pokoknya Ahsan nyerahin cincin, terus diterima sama ceweknya..." sambung Devin.

Siutan panjang pun membahana. Ahsan hanya pasrah kisah cintanya diceritakan ulang dengan penuh sindiran dan siutan bahagia dari teman-temannya.

"Akhirnya jadian, deh..."

Ahsan disenggol-senggol oleh Bona, disikut oleh Yunus, dan ditumbuk oleh Kido. Yang terakhir ini cukup sakit hingga ia meringis.

"Terus, Mon, loe kapan nyusul?" tanya Ahsan, sembari mengusap bahunya.

Simon terkesiap. "Nyusul kemana maksud loe?"

"Jiaaah pake nanya segala... ya nyusul jadian dong!" kata Greys, menggamit lengan Frans. "Kayak kita..."

Lagi, teriakan 'cie cie' meramaikan suasana.

"Aduh senangnya, ada yang jadian pas di tanggal yang sama, nanti kalau ulang tahun, kita dapet dobel traktiran nih..." ujar Pia senang.

"Iya, jangan lupa traktirannya nih, San, Frans..." timpal Butet.

"Jangan ngalihin pembicaraan juga, kawan... nah, Mon, loe ama Maria kapan?" tanya Kido.

Simon hanya nyengir. "Gue sama Maria nggak ada apa-apa kali."

"Akan ada apa-apa..." celetuk Devin.

"Ngomong-ngomong mana nih Maria?" tanya Butet. "Apa dia bareng Hendra...?"

Hendra juga tidak ada di ruang makan saat itu.

"Tenang aja, Hendra loe gak akan pindah ke lain hati..." kata Devin, lalu rambutnya diunyel-unyel Butet.

"Gue kan cuma nebak!"

"Lagian Hendra bareng Sony kok, lagi latihan..." Frans memberi penjelasan.

"Maria lagi ama Febe," kata Pia, setelah membuka hapenya yang ternyata ada pesan dari Maria. "Bentar lagi kesini katanya."

"Dobel Maria kalau begitu," celetuk Ahsan, setelah selama ini dia lebih banyak diam. Mereka tertawa.

"Jadi, Mon?" desak Yunus. "Loe beneran suka sama Maria?"

"Hahaha... nggak tahu gue... kayaknya sih..." ujar Simon.

"Waaah, kalau gitu cepetan nyatain dong... ntar keburu direbut Bona, hahahaha..." Kido menjahili adiknya.

"Eh gue nggak ada apa-apa loh ama Maria," protes Bona.

Pia manyun kepada kedua kakaknya, lalu ia memberi nasehat untuk Simon. "Mon, gue bilang ya, loe coba pastiin perasaan loe sama dia tuh kayak gimana, apa suka, naksir, sayang, terus ambil sikap berdasarkan perasaan loe. Kalau loe emang sayang, ya bilang aja. Nggak usah nunggu waktu lama. Bentar lagi dia turnamen di luar negeri, lho."

"Bener, Mon. Gue rasa mending sekarang loe bilang ke dia," Frans menyetujui.

Simon manggut-manggut mendengar berbagai saran dari teman-temannya. "Iya deh, nanti... gue pikirin lagi."

"Jangan kebanyakan mikir, ntar botak, loe gak ada yang suka lagi..." saran Greys.

Ruang makan kembali bergetar oleh tawa gara-gara celetukan Greysia.

* * *

Sonya terpaku tepat di depan pintu ruang makan. Dia baru saja akan masuk ketika telinganya mendengar percakapan senior-seniornya itu. Akhirnya diurungkannya niatnya untuk makan dan mendengarkan baik-baik pembicaraan mereka.

Jadi gosip itu memang benar, gumam Sonya. Kak Simon suka pada Kak Maria. Aku salah berharap lebih pada Kak Simon. Sama seperti Tina pada Kak Ahsan.

"Sonya?" sapa Randy. Dia dan Tina juga ikut mendengarkan dari tadi. "Kamu oke?"

Sonya hanya diam. Otaknya masih mencerna semua perkataan seniornya barusan. Tangan kirinya menggenggam erat sapu tangan pemberian Simon, yang rencananya akan dikembalikannya hari ini.

Randy dan Tina berpandangan, tak tahu harus berbuat apa.

Tetapi mereka dibebaskan dari kewajiban menghibur Sonya oleh kedatangan tiba-tiba Maria, Febe, Alvent, Hendra, dan Sony.

"Kalian sedang apa disitu? Kok nggak masuk?" celetuk Maria keras, hingga terdengar sampai ke dalam ruang makan. Lalu pintu ruang makan dibuka oleh Hendra, dan Simon - yang, tentu saja, mendengar suara Maria dengan jelas karena dia berada di sebelah pintu - ekspresinya tidak bisa ditebak, memandang bergantian, kepada Sonya dan Maria.

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Kenapa ceritanya jadi cinta segitiga begini ya? Kayaknya kemampuan berimajinasi saya benar-benar terasah gara-gara sering mengkhayal cerita ini, hahaha XD. By the way, fanfiction ini kayaknya lebih singkat dari fanfiction sebelumnya, karena disini saya ngebanyakin dialog... kalau sebelum-sebelumnya kan ada narasi juga, jadi agak panjang.

P.S.S. Jika Anda berkenan mohon ketikkan komentar Anda, berupa apa saja, boleh kritik, pujian, protes, dan yang terutama, saran... :))

R.A.
23 Juli 2010 --> HARI ANAK INDONESIA!!! HIDUP ANAK INDONESIA!!! HIDUP BULUTANGKIS INDONESIA!!
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (VII)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (VI)

Salam, Pembaca!

Sudah part enam... (mulai lelah) tapi ayooo berjuaaaaang! Selesaikan fanfiction asal-asalan ini!! UOOOH!
By the way, hahaha saya nggak nyangka ternyata cerita ini bikin penasaran teman-teman saya... mungkin karena saya bikinnya ada jedanya, jadi begitulah sifat manusia, nggak suka kalau mengerjakan sesuatu itu disela-sela, dipotong-potong. Buat yang udah baca, makasih, makasih banget udah mau baca, udah mau susah-susah buka blog saya cuma untuk nerusin baca kelanjutan fanfict dari note saya di facebook. ^^
Ehm, sebenarnya saya udah punya gambaran bagaimana bagusnya ending untuk fanfict ini... akan segera saya selesaikan secepatnya, lebih cepat lebih baik, kan. Tidak baik jadi proscratinator (penunda-nunda, red).
Kemarin ceritanya waktu Sonya dan Randy bicara sama Kak Maria, ya... sekarang kita lihat bagaimana Tina dan Kak Hendra. ^^
Happy reading! :))

>>
Di Istora suasana riuh rendah. Ahsan dan Bona berhasil mengalahkan lawannya, pasangan ganda putra dari negara lain (ehm, tidak berani menyebutkan nama negara, red). Mereka melaju ke semifinal. Kini mereka menyaksikan pertandingan Simon.

Tina yang hari itu beruntung karena diajak Hendra menonton pertandingannya, tak berhenti tersenyum dan tertawa. Tawanya yang renyah, dengan lelucon-lelucon yang dilontarkannya, membuat para seniornya ikut tertawa, melepas ketegangan sebelum bertanding. Devin sampai terpingkal-pingkal mendengar cerita Tina tentang seorang pilot Afrika.

"Tadinya saya mau ke Istora sendiri," kata Tina keras, mencoba mengalahkan keriuhan penonton yang bertepuk tangan atas smash keras dari Simon yang masuk ke daerah permainan lawan.

"Oh, ya?" tanya Hendra, yang ikut bertepuk tangan. "Kenapa dengan Randy dan Sonya?"

Tina mengangkat bahu. "Saya nggak bilang sama mereka kalau saya mau pergi."

"Hmmm," gumam Hendra. "Lalu?"

"Lalu Kakak datang dan mengajak saya, waah, Kakak nggak tahu gimana perasaan saya," cengir Tina.

Hendra tertawa. "Kebetulan yang mengerikan ya."

"Kebetulan yang menguntungkan, Kak," ralat Tina.

"Kenapa kamu mau ke Istora dan nggak latihan?" tanya Hendra heran.

"Saya mau lihat Kak Ahsan," ujar Tina, hatinya berdebar saat mengucapkan nama Ahsan.

Tina melirik ekspresi Hendra saat dia mengutarakan alasan itu.

Tapi Hendra tersenyum. "Oooh... untung sekali ya, Ahsan menang, mungkin karena didukung olehmu?"

"Kakak bisa saja," kata Tina, dalam hati dia membenarkan ucapan Hendra.

Lalu suasana kembali ramai oleh teriakan dan jeritan penonton yang terpesona melihat jumping smash spektakuler yang dilakukan Simon. Simon memang keren, gumam Tina. Pantas saja banyak yang suka padanya, termasuk Sonya.

"Kak," panggil Tina.

"Ya?"

"Kak Simon sama Kak Maria ada apa ya?"

Hendra nyengir. "Entahlah... saya juga nggak tahu, tapi mereka dijodoh-jodohin."

"Ooh... jadi nggak ada ikatan apa-apa?"

"Belum... kayaknya."

"Apa bakal ada?"

"Kayaknya."

Mereka berdua tertawa. Tapi tawa Tina cuma sebentar, karena dia memikirkan Sonya.

"Kalau Kak Ahsan, Kak?" tanya Tina lagi.

"Ahsan? Dia..."

"Ahsan kan mau nembak gebetannya hari ini!" kata Butet tiba-tiba, yang duduk di sebelah Hendra.

Tina serasa disambar petir. "Apa, Kak?" tanyanya memastikan.

"Iya, Ahsan mau nembak gebetannya hari ini..." ulang Butet, diiyakan Devin yang duduk di depan mereka. Bona yang datang duluan setelah berganti baju dan duduk di sebelah Devin nimbrung.

"Nggak nyangka gue dia bisa kayak gitu juga," kata Bona, tertawa. "Romantis banget."

"Hari ini, Kak?" ulang Tina. "Habis pertandingan ini?"

"Iya, Dik..." gumam Bona. "Tuh dia datang."

Ahsan mendekati mereka. Dia sudah berganti baju. Tina memandangnya lekat-lekat. Ahsan kelihatannya menghindari tatapan Tina - atau dia memang tidak sadar Tina memandanginya.

"Cieee yang lagi berbunga-bunga..." gurau Butet. "Eh, selamat ya, masuk semifinal..."

"Hahaha... thanks."

"Kapan, nih...?" tanya Devin penasaran. "Waktu pulang ke pelatnas?"

Ahsan nyengir. "Waktu pertandingan usai. Dia nonton hari ini..." Ahsan memandang penuh harap ke tribun penonton tepat di depan mereka.

"Cincinnya loe bawa?" tanya Bona.

"Iya dong, masa lupa?"

Sorakan 'cieee' pun terdengar.

"Udah ketemu dia?" tanya Butet.

"Belum..."

"Dapat telepon dari dia?" tanya Devin.

"Iya, katanya gue main bagus..." Ahsan tersenyum lagi.

Segera saja teman-temannya menyindirnya dengan sindiran penuh kebahagiaan. Tina hanya bisa memandangi dengan muram. Air matanya sudah akan turun, tetapi ditahannya. Dia tak ingin merusak kegembiraan para seniornya. Lalu dipusatkannya perhatiannya pada pertandingan Simon, berpura-pura ikut senang dengan rencana Ahsan. Tina ikut berdiri dan berteriak kegirangan saat Simon dipastikan menang dan masuk semifinal, melompat-lompat, berteriak 'Indonesia... Indonesia...'.

Tina tidak sadar bahwa sejak tadi ada seniornya yang tidak ikut nimbrung dalam percakapan tentang rencana Ahsan.

* * *

Sonya dan Randy keluar dari tempat latihan, lelah tapi gembira, karena saat itu mereka bertanding melawan Maria Kristin dan Sony. Sonya, yang kali itu bertanding tunggal melawan Maria, tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk melirik ke lapangan sebelah tempat Randy melawan Sony.

"Good job," kata Sony gembira, lalu menyalami Randy. Randy tertawa berterima kasih.

"Main kamu bagus," kata Maria pada Sonya, "tapi jangan terlalu sering menatap Sony, ya, lain kali."

Sony dan Randy tertawa, Sonya malu. "Iya, Kak..."

Padahal Sonya tak menatap Sony terus, dia juga memandang Eri yang melawan Alamsyah Yunus di lapangan sebelah kanannya. Sesekali pandangan mereka bertemu, tapi Sonya mengusahakan agar seolah pandangannya itu tak sengaja. Sonya juga tak tahan mendengar seruan Airin dari sisi lapangan, menyemangati Eri.

Lalu terdengar keributan di luar tempat latihan. Para pemain dari Istora sudah pulang.

"Ehem... Ahsan!" teriak Pia, yang juga baru selesai latihan.

Mereka yang berkumpul di tempat latihan, buru-buru menyerbu keluar.

"Ahsan diterima!" teriak Bona senang.

"Yang benar?" tanya Maria. "Waaah, selamat, selamat!!"

Senior-senior Randy dan Sonya bergantian menyalami Ahsan dan memberikan berbagai kata pujian.

"Loe kasih cincinnya?" tanya Sony.

Sorakan terdengar saat Ahsan mengangguk.

Randy dan Sonya memisahkan diri dari kerumunan itu.

"Tina nggak kelihatan," kata Sonya, memandang sekelilingnya. Tanpa sengaja dilihatnya Simon sedang tertawa bersama Maria, menyindir-nyindir Ahsan yang baru jadian. Sonya cuma bisa cemberut.

"Kak Hendra?" tanya Randy, celingukan. "Oh, itu dia disana."

Mereka menemukan Hendra dalam kerumunan yang mengerubungi Ahsan.

"Kak Hendra... Kakak sama Tina tadi?" tanya Sonya langsung.

Hendra mengangkat alisnya, mengeluarkan gaya cool-nya, yang membuat Sonya sedikit terpesona. "Dia langsung keluar dari mobil tadi... saya nggak tahu dia kemana," jelas Hendra mengangkat bahu.

"Terima kasih, Kak..."

Randy dan Sonya buru-buru berlari ke arah asrama cewek.

"Aku tunggu disini," Randy menunjuk ke sebuah bangku di taman depan asrama. Sonya mengangguk.

Sonya berlari cepat menuju kamarnya dan Tina. Pintunya tertutup. Ia mengetuk pintu. "Tina? Kamu ada di dalam?"

Pintunya ternyata tidak dikunci. Sonya masuk ke dalam, menutup pintu, menguncinya.

Dan ia menemukan Tina terduduk di sebelah kasur, kepalanya menelungkup di dalam lengannya di atas kasur.

"Tina?"

Tina menoleh, dan Sonya merasa miris melihatnya. Matanya merah, mukanya basah oleh air mata. Rambutnya acak-acakan.

"Sonya... Kak Ahsan jadian..." isak Tina.

"Ya, ampun..." ujar Sonya pedih. Dihampirinya sahabatnya dan mencoba menenangkannya. "Sudah, jangan nangis lagi..."

"Aku bodoh, Sonya..." kata Tina tersedu. "Bodoh aku mengharapkan Kak Ahsan duluan yang menembakku..."

Isakan Tina makin keras. Sonya cuma bisa mengelus bahunya.

"Padahal... dia sama sekali nggak kenal dekat dengan aku... dia cuma tahu aku... mana mungkin dia tertarik padaku..." tangis Tina. "Aku bodoh, kan, Sonya?"

"Kamu nggak bodoh," tegas Sonya. "Kamu cuma nggak berani ngungkapin sama Kak Ahsan..."

"Karena aku bodoh! Aku bodoh dengan mengharapkan dia..."

"Tina..."

"Kenapa setiap aku naksir seseorang selalu akhirnya gini?" tanya Tina di sela-sela tangisnya. "Kenapa selalu pada akhirnya aku yang sakit?"

"Jangan salahkan dirimu kalau kamu naksir seseorang, Tina..." ujar Sonya bijak. "Bersyukurlah kamu udah pernah ngerasain cinta itu. Bersyukurlah kamu udah diizinkan mempunyai perasaan berharga itu. Mungkin dia bukanlah orang yang tepat untuk kamu..."

Tina cegukan, lalu memeluk Sonya, membasahi bahu Sonya dengan air mata. "Iya... mungkin... kamu bener... aku harus bersyukur udah dikasih perasaan itu..."

Sonya membelai punggung Tina lembut. "Setiap orang pada akhirnya punya jalannya sendiri, kok... kamu juga begitu."

"Kalau gitu kalian berdua harus bantu aku nemuin jalanku," ujar Tina, wajahnya dipenuhi air mata, tapi dia tersenyum.

"Tenang saja, kami pasti bantu kok!" sahut Sonya bersemangat, setelah Tina melepasnya. "Dan aku yakin Kak Hendra juga akan bantu kamu."

Tina yang sibuk mengusap dan mengucek matanya buru-buru mendongak mendengar nama Hendra. Wajahnya terlihat tak yakin pada awalnya, namun kemudian dia tersenyum. "Ya... kuharap begitu..."

Sonya yang melihat mata Tina jadi merah akibat usaha Tina menguceknya, menyodorkan sapu tangan yang diambil dari sakunya. "Pakai aja."

"Sapu tangan Kak Simon?"

Sonya manyun. "Yeah... sudah kucuci... apa aku harus ngembaliin ke Kak Simon ya...?" tanya Sonya, lebih kepada dirinya sendiri, bukan Tina.

"Kak Simon bilang sesuatu nggak waktu nyerahinnya?" tanya Tina, yang ajaibnya, sudah terlihat lega.

"Cuma bilang 'pakai itu' gitu aja..." jawab Sonya.

"Coba aja kamu balikin ke Kak Simon, terus lihat reaksinya..." saran Tina.

Sonya mendongak memandang Tina. "Kamu udah nggak apa-apa?"

Tina nyengir pasrah. "Nggak... lega deh udah nangis tadi..."

Tina memang tegar.

"Ayo kita turun, Randy menunggu di depan asrama..." ajak Sonya.

"Aku cuci muka dulu," gumam Tina.

Saat mereka turun, mereka melihat Randy duduk di bangku tamannya, entah kenapa tampak frustasi. Randy mencengkram kepalanya seolah ingin mencabut rambutnya dari kulit kepala.

"Ran?" tegur Tina. Suaranya masih agak sengau.

"Oi, kenapa kamu?" tanya Sonya heran. "Kamu nggak..."

Randy menggeleng sebelum Sonya selesai menebak. Maka Sonya dan Tina menunggu. Randy mengangkat mukanya dan wajahnya menampakkan ekspresi kengerian.

"Kalian nggak akan ketawain aku kan?" tanya Randy, kedengaran cemas.

Sonya dan Tina menggeleng sekuatnya. "Kami nggak tahu masalahnya, tapi kami bisa pastikan kami nggak akan ketawa," tambah Tina.

Randy menghela napas, menguatkan diri untuk bicara. "Oke..." kata Randy.

Baik Sonya maupun Tina tak ada yang berniat menyela.

"Aku baru aja nembak Kak Greys."

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Kayaknya masalahnya tambah kompleks yaa... ==' alhasil membuat fanfiction ini makin puanjang... saya harap nggak ada yang keberatan dengan ini, tetep ikutin ya ff-nya... makasih banyaaak ^^

P.S.S. Saran, kritik, komentar... ditunggu lhooo :))

R.A.
23 Juli 2010 --> HARI ANAK NASIONAL!!! UYEAAAAH!!! :))))
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (VI)
, , , , ,

Rhapsody in Pelatnas (V)

Salam, Pembaca!

Apa kalian tidak berpikir kalau fanfiction yang saya buat agak kepanjangan? ==a
Ini sudah part kelima dan saya masih belum memikirkan ending yang bagus untuk semua orang - well, untuk sebagian besar orang, karena pasti akan ada yang kurang bahagia di akhir cerita saya. --' Silakan sebut saya kejam, tapi, itulah hidup, tidak ada 'happily ever after', yang ada adalah 'happily never after' (ini judul film...), Tuhan akan memberikan berbagai ujiannya di rangkaian kehidupan manusia. Doakan saja agar saya bisa menciptakan cerita yang memuaskan buat semua... amin.
Happy reading! :))


>>
Sehari setelah pertandingan, Sonya tak bisa berhenti tersenyum. Begitu juga Tina, meskipun Randy curiga kegembiraan Tina bukan hanya karena kemenangan dua sahabatnya, tetapi karena kejadian yang terjadi padanya waktu pertandingan. Tina sekarang memandangi Hendra dengan intensitas yang sama seperti waktu dia masih memuja Ahsan - bukannya Tina tidak memuja Ahsan lagi, sekarang Tina punya dua orang yang mesti dia pandangi tiap makan pagi, siang, dan malam, waktu latihan, waktu mengobrol dengan Randy dan Sonya di taman, kapanpun Ahsan atau Hendra melewati mereka. Biasanya Hendra melempar senyumnya pada mereka bertiga - tapi Tina menganggap senyuman itu ditujukan kepadanya saja, jadi dia sering senyum-senyum sendiri, bahkan waktu Hendra sudah berjarak sepuluh meter dari mereka. Tina agak dikecewakan oleh Ahsan, karena Ahsan jarang sekali melempar senyumnya (wah, apa senyum seperti bola yang bisa dilempar-lempar, red) pada mereka bertiga, tampaknya Ahsan sibuk dengan pikirannya sendiri, yang, baik Randy maupun Sonya, bahkan Tina, bisa menduganya, tetapi menolak mempercayainya.

Tetapi pukulan pertama terjadi waktu ada keributan di ruang makan, ketika jam makan siang dua hari setelah pertandingan. Bona menyindir-nyindir Ahsan tentang sesuatu.

"Hebat loe, San!" kata Bona nyengir.

Ahsan hanya tersenyum.

"Romantis banget, sih..." sindir Pia senang.

Ahsan menyambut sindiran teman-temannya dengan satu kalimat. "Doain gue, ya..."

Dan keriuhan pun terjadi. Randy, Sonya, dan Tina baru saja hendak masuk ke ruang makan, ketika Randy mendengar riuh-rendah kakak-kakak seniornya membicarakan sesuatu yang kemungkinan akan membuat Tina sedih. Untung Sonya dan Tina berjalan agak di belakang Randy, sehingga tidak mendengar apa yang dibicarakan seniornya. Randy buru-buru mengajak Sonya dan Tina untuk berjalan-jalan sebentar di taman. Tina bingung dengan perubahan sikap Randy yang begitu tiba-tiba, tapi menerimanya tanpa banyak protes.

Alhasil mereka tidak jadi makan, tetapi duduk di taman sebentar. Randy memutuskan bahwa saat terbaik mengajak Tina makan adalah saat mereka sudah melihat Ahsan keluar dari ruang makan - atau paling tidak menunggu semua seniornya keluar dari ruang makan. Randy tidak mau mengambil resiko mereka mendengar berita itu dari senior lain yang membicarakannya di ruang makan.

Tina mulai melihat gelagat aneh waktu Randy melongok dengan cemas ke arah ruang makan. "Ada apa sih, Ran?"

Sonya yang tidak tahu apa-apa juga ikut memandang Randy heran. "Iya, kamu kenapa dari tadi... ngajak kita kesini tiba-tiba..."

"Eh... itu..."

"Hayo, kamu nggak pengen dilihat seseorang ya... atau malu ketemu Kak Maria?" sindir Sonya.

"Iya," gumam Randy singkat, memutuskan bahwa alasan yang dikarang orang lain dan menyetujuinya adalah lebih baik dibandingkan diam dan tidak bisa mengutarakan alasan bohongan bisa membuat mereka makin curiga.

"Ya ampun Ran, justru kamu bisa ngeliatin Kak Maria di ruang makan, kan?" Tina berargumen.

"Itu Kak Maria keluar," kata Sonya. "Ayo kita makan, aku sudah lapar sekali nih, latihan hari ini benar-benar menguras tenaga."

Tetapi Randy belum melihat Ahsan.

"Randy...?" tegur Sonya, karena Randy masih bimbang memutuskan mau pergi saat itu juga atau tidak. Akhirnya ia menyerah, apa yang terjadi terjadilah.

* * *

"Kak Simon, Sonya," bisik Tina di telinga Sonya ketika mereka memasuki ruang makan. Simon duduk di meja dekat counter makanan, duduk bersama Febe dan Alvent.

Sebelum mereka mencapai counter makanan - yang berarti menghampiri meja Simon juga, Simon bangkit dan berjalan ke counter makanan. Febe saat itu berteriak, "Mon, saladnya yang banyak, aku minta nanti." Simon nyengir pada Febe yang mengacungkan jempolnya.

Sonya tiba di counter makanan lebih dulu, karena desakan Randy dan Tina. Sonya mengambil makanannya, lalu berpapasan dengan Simon - yang membawa salad porsi besar - yang hendak kembali ke meja. Seniornya tersenyum, lalu berkata, "Makanlah yang banyak."

Sonya hanya bisa memandangi Simon hingga dia duduk di meja, bahkan tidak memperhatikan ketika Febe terlihat berbisik pada Simon dan Alvent, lalu mereka bertiga menoleh ke arah Sonya. Gadis itu gelagapan, lalu mengangguk singkat, dan langsung mencari meja. Dia bahkan lupa mengambil minuman. Menghindari tatapan geli Febe dan Alvent, Sonya menunduk. Berharap Tina tidak lupa membawa minuman untuknya.

Randy dan Tina menghampiri meja Sonya dengan mengikik pelan.

"Ehem..." deham Randy iseng. Lalu meletakkan nampannya di meja. Ada dua gelas minuman disitu.

"Makasih," gumam Sonya, mengambil segelas es teh. (apa di pelatnas minuman para atlet ada esnya? es kan tidak baik untuk kesehatan, red)

"Hahaha, kamu lucu banget deh Sonya," kata Tina, tertawa kecil. "Sampe salah tingkah gitu..."

"Habis gimana? Kak Simon bilang padaku 'makan yang banyak' gitu, gimana nggak geer? Coba kamu yang dinasehatin kayak gitu sama Kak Hendra."

Tina mengangkat alis. "Oho? Belum pernah."

"Nanti pasti..."

"Amin..."

Randy mengaminkan perkataan Sonya, dan dia langsung ditimpuk dengan buku oleh Tina. Sonya tertawa, lalu matanya menangkap sosok Eri yang sedang memandangnya penuh perhatian. Sonya memandang lurus-lurus padanya, membalas tatapannya, dan, menang, karena Eri menyerah dan kembali menyuap makanannya.

Ketika mereka sedang menikmati makan siang, Greysia dan Pia melewati meja mereka sambil membicarakan sesuatu. Mereka bisa mendengar sepatah-dua patah kata dari pembicaraan mereka.

"...sudah kubilang dia harus mencobanya dulu..." kata Pia.

"Betul, kalau belum dicoba kan mana bisa tahu?" timpal Greys.

"Iya, makanya kubilang padanya kalau dia harus yakin sama perasaannya..."

"Terus kapan?" tanya Greys.

"Kayaknya pas selesai turnamen nasional."

"Ooh, ya ya ya... mudah-mudahan menang ya, jadi dobel happynya..."

"Hahaha, amiiin..."

Randy bertatapan dengan Tina. Dari ekspresi wajahnya terlihat bahwa Tina juga memikirkan hal yang sama.

"Kak Ahsan?"

Sonya yang mengutarakan pikiran itu.

* * *

"Sonya, bisa bicara?"

Sonya yang sedang sibuk membaca buku catatannya mendongak dan mendapati Randy di depannya.

"Apa?"

"Tentang Kak Ahsan... katanya dia mau nembak gebetannya..." kata Randy langsung.

Randy awalnya mengira Sonya akan shock atau kaget mendengar berita ini, tapi Sonya hanya manggut-manggut.

"Sudah kuduga. Dua hari ini aku memikirkan hal yang sama, tahu."

"Ya... aku takut Tina shock mendengarnya... ngomong-ngomong Tina kemana?"

"Ke Istora menonton Kak Ahsan bertanding."

"Sendirian?"

"Sama Kak Hendra."

"Hem," Randy manggut-manggut.

Sonya menutup buku catatannya. "Kamu tahu nggak gosip yang tersebar di kalangan senior?"

"Nggak, apa? Yang aku tahu cuma Kak Simon sama Kak Maria."

"Ada juga gosip kalau Kak Hendra suka sama Kak Butet... tapi Kak Hendra nggak pernah bilang, soalnya Kak Butet deket banget sama Kak Devin..."

"Hah? Masa?" tanya Randy kaget.

"Iya, jadi Kak Hendra ngira Kak Butet suka sama Kak Devin. Akhirnya Kak Hendra berhenti suka sama Kak Butet."

"Gitu?"

"Yup, dan gosipnya Kak Frans naksir Kak Pia..."

"Nah, lho, ini kemana nyambungnya?"

"Hahaha."

Sejenak hening.

"Ran."

"Hm."

"Kalau Kak Ahsan diterima sama gebetannya, gimana?"

Randy bingung. "Ya... mereka pacaran, dong?"

"Kamu pasti tahu maksudku," kata Sonya, memandang Randy sungguh-sungguh.

Randy tak menjawab.

"Pikiran kita sama, kan?" tanya Sonya.

"Kupikir Tina akan sangat kaget."

"Tapi kita nggak bisa nyembunyiin ini terus dari hadapannya. Ini kenyataan. Fakta. Bagaimanapun kita mencoba menyembunyikannya, pasti akan terungkap juga."

"Kayaknya Tina punya dugaan sama."

"Dia menolak mempercayainya."

"Kak Maria datang," gumam Randy tidak nyambung.

Sonya menoleh kearah kanan. Memang Maria Kristin sedang berjalan menuju mereka.

"Bagaimana kalau kita tanya langsung?" usul Sonya.

Randy tidak mengiyakan maupun menolak - dia terlalu sibuk mengamati Maria, jadi Sonya menghampiri Maria dan mengajaknya duduk sebentar.

"Kak Maria... ngobrol dulu yuk Kak," ajak Sonya ramah. Maria tersenyum padanya.

"Boleh," kata Maria mengangguk.

Sonya sengaja mengambil tempat di antara Randy dan Maria. "Kakak nggak ikut turnamen ya?"

"Iya, saya ikut turnamen lain... sebentar lagi, di luar negeri tapi..." jelas Maria. "Kenapa?"

"Nggak, Kak..." gumam Sonya. "Kak, saya dengar Kak Ahsan mau nembak seseorang ya?"

Maria mengernyitkan dahi. "Hmm... iya, kamu tahu darimana?"

"Aah, dengar gosip aja Kak, hehe. Banyak yang bicarain soalnya," cengir Sonya. "Kakak kenal orangnya?"

"Kenal. Dia baik sekali orangnya," kata Maria. "Kenapa kamu tanya itu? Hayooo, kamu naksir Ahsan ya..."

Sonya memutuskan untuk berbohong. "Eh... iya, Kak... bisa dibilang gitu... duh patah hati deh, hahaha."

Maria tertawa. "Kamu telat sih... coba kamu masuk pelatnas lebih awal."

"Jadi Kak Ahsan mau nembaknya kapan Kak?" Randy nimbrung, kesal karena selama ini dia diacuhkan oleh dua gadis di sebelahnya.

"Ng? Kayaknya hari ini," senyum Maria. "Kalian doakan supaya diterima, ya, soalnya udah lama banget Ahsan memendam perasaan ini, cuma bisa sebatas temenan, sahabat."

Sontak Randy dan Sonya kaget. Mereka tak menyangka akan secepat itu Ahsan menembak gebetannya.

"Hmm?" Maria merasa diacuhkan.

"Oh, eh... iya deh, Kak," Sonya berpura-pura sedih dan harus menerima kenyataan yang terjadi. "Saya doain semoga Kak Ahsan bahagia..."

"Amin," kata Randy mengaminkan, karena dia tak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Eh, sudah jam segini, saya mesti latihan dulu ya, Randy, Sonya," kata Maria, lalu bangkit berdiri. "Duluan... latihan yang bener juga ya!" pesannya sebelum pergi.

Maria beranjak menjauh sambil melambaikan tangannya. Sonya membalas dengan senyum dan lambaian tangan.

Sejenak hening.

"Lalu," kata Randy, "Tina bagaimana?"

* * *

to be continued...

Disclaimer: maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca, ini sekali lagi, hanya khayalan saya, tidak ada hubungannya dengan cerita, tempat, waktu, dan orang yang bersangkutan. :)) Murni untuk kepentingan hiburan saja.

P.S. Lagi-lagi saya mengulur-ngulur cerita... haduuuuh ==' tunggu part enamnya ya, saya masih ngarang-ngarang cerita nih...

P.S.S. Mohon komentar, kritik, sarannya... :))

R.A.
22 Juli 2010
Continue reading Rhapsody in Pelatnas (V)