Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 November 2011

, , , , , ,

Something Stupid That Comes Out from My Mind

Annyeong,
 
So here's I got some things to think about...
I was think about enjoying me-time.
I'm so not into fashion so I'll talk about books.

Ew, yeah, I read, like, everything.
Semua yang menarik perhatian saya, tentu saja.
I love, to see some nice dress, nice blouse, nice shoes, but I don't think they will fit me well as seen as on the photographs
(when you browse some online shops) or on those mannequins in stores, so I'll just, like, yeah, whatever.
Maaf saya meracau.

Anyway,
I LLOOOVVEE BOOKS so much.
Novels. Comics. Poems. Whatever.
I need some me-time, going to the bookstore, or library, or some nice cafe where I can spend my extra money AND extra TIME...
But I know it's not gonna happen these days.
I'm like, I really love bookstores, those smell of new books... wow.
I really, really, really can't stand it!

Sometimes I really want to go travelling through this lovely city, alone... but the problem is...
I don't like travelling alone.
I already have some places-to-go IF ONLY I brave enough to go ALONE...
My lists are: BOOKSTORES, cafe to eat pancakes and drink latte, errr... Malioboro, perhaps... and also Keraton, some nice places to take pictures...
IF ONLY I have a camera.
Pasti asik mengelilingi kota Jogja dan berkunjung ke tempat-tempat yang bagus.

Yah, itu hanya semacam... apa ya... harapan? Impian? Mimpi? Hahaha.
Yang jelas, saya bukan tipe orang yang bisa berkeliling sendirian, naik bus atau apa, jalan kaki, bukannya saya manja atau apa, tapi
saya bengek, saudara-saudara. Saya cepat sekali sesak napas. Naik tangga tiga lantai saja saya langsung ngos-ngosan.
Gimana saya bisa bertahan menghabiskan seharian di luar, berkeliling kota?
Saya prefer pergi ke toko buku, membeli beberapa buku, kemudian pergi ke toko kaset, hanya untuk cuci mata, kemudian pergi ke cafe yang ada hotspotnya,
membeli cake atau cappuccino, atau latte, atau ke restoran Korea, mencicipi kimbab, atau ke angkringan, makan sebentar, lalu singgah ke perpustakaan,
tentu saja yang ada hotspotnya (lagi!), duduk, membaca buku, yeah this is what 'refreshing' means to me!

* * *

I was just thinking about them...
It's like, I wondered, if only they read my tweets, and they think about me...
Do they even care?
Dan waktu pikiran saya melayang, ke beberapa bulan lalu...
I wish I brave enough to say... "HE IS NOT VISITING ME AND YOU KNOW THAT!"
Not to say, but to scream. -.-
I was really really angry these days. This month.
Sorry. I was just...

Sini aku kasih tau.

When I was home, I mean, in MY HOUSE...
There was a problem...
About continuing my study HERE or not.
But then I decided to stay.
Why?
I stay because of them.
I stay because of him.
HE IS ONE OF THE REASON WHY I'M STILL HERE.
But now?
Someone took my reason away.
Someone I loved.
Ironic.

So now I have no reason.
Technically.

Honestly. I thought about him at that time.

Tapi sekarang, ini semua nggak berarti lagi.
It doesn't mean ANYTHING!

I HAVE TO CREATE MY OWN REASON.

Yeah.
That's what I'm supposed to do.

I'm sorry, if, someone out there, read this, and think, 'oh, is this story about me?' I'm really, really sorry...
I just don't know what to do.
I don't even know myself.
I mean, who AM I?
I lost myself.

Teman saya bilang saya nggak seceria dulu lagi, but who to blame?
No one but myself.
Saya yang membuat diri saya seperti ini.
Jadi, buat seseorang, atau orang-orang, di luar sana, tenanglah, saya tidak menggalaukan anda, kalian, kamu, atau mereka.
Saya menggalaukan diri saya sendiri, saya memarahi diri saya sendiri, saya menyalahkan diri saya sendiri.
And this has nothing to do with you... guys.

I just need time.
Just it.
Oh, do you even STILL CARE ABOUT IT?

Okay I'm so sorry for acting like this.
Really sorry.

Because this is about my heart. About my feelings.
So... what to do?

* * *

Well anyway, I got a great afternoon today, emm...
Okay I tweeted with my ex, so, what's so great about that?
Nothing but...
Ini seperti... kembali ke masa lalu.
Saya tidak bisa memungkiri, bahwa, saya senang, senang sekali bisa kembali kontak dengannya, bisa bicara seperti biasa.

Modern Minds and Pastimes.
I don't know, it's just come out from my mind.

Yeah, well, I'm happy :)

* * *

I stalked someone's profile this afternoon and found out that...
Oh GOD, why is HE soooo daammnn handsome after I left him? or... should I say... after he left me?
I just... felt... regretful -_____-"
Wajar. Cewek.
Hahahahaha.

Tapi seriusan loh, DIA, makin ganteng aja ><
I won't mention some names here, ever, hahahahahahaha!
Emang ya, yang namanya MANTAN, setelah putus hubungan, pasti jadi lebih menarik.
MANTAN APAPUN LOH.
Mantan pacar, mantan HTS-an, mantan sahabat...
Whatever.
Oh dan hari ini saya ketemu - ngeliat - si dongsaeng ganteng lewat. Yah, cuma lewat *nangis* bukan ketemu dan melihat matanya seperti biasa #halah 
Ya, saya akhir-akhir ini jaraaaanng banget ketemu sama beliau, yeah, BELIAU.


Anyway, hari ini hujan cukup lama dan cukup deras.
I LOVE IT!

I think... that's all that I can say tonight.
Have some slides to read (and learn).
Tomorrow will be a mid-term exam...
Dan UTS ini Ilmu THT :o
Dan bahannya banyak banget.


Gotta go, maybe make a cup of coffee, and make a chocolate-cheese sandwich for a midnight-snack-while-studying... kinda pathetic, you know, but, well... what else can I do? :)

So... see ya! :)

R.A.
Jogja, 2 November 2011
Continue reading Something Stupid That Comes Out from My Mind

Sabtu, 29 Oktober 2011

, , ,

SAYA PENGEN NULIS LAGI!

Kemarin, di Twitter, saya ngegalau berat tentang dunia tulis-menulis. 
Dimulai dari sini...

1. saatnya bergalau ria dengan naskah novel. mumpung belum UTS. mau cerita bentar...


2. dulu di SMA saya pernah nyelesain satu novel. judulnya Hime No Yume.


3. satu-satunya novel yang saya selesaikan pas SMA. padahal waktu SMP saya nyelesain 2-3 novel lho. hahahaha.


4. tapi novel jaman SMP itu karya perdana saya. maksud saya benar-benar perdana. tanpa editan, mengalir begitu saja dari otak.


5. jadilah isinya amburadul. bahasa yang nggak karuan, dialog yang terlalu banyak, dan cerita yang asal-asalan.


6. tapi saya dengan senangnya, menulis novel yang lain lagi. selain karena adanya waktu luang, juga karena ada banyak inspirasi.


7.  maklumlah, masa SMP. masa puber! ketika pertama kali merasakan suka pada lawan jenis. perasaan itu, saya ungkapkan ke novel saya


8. jadilah, tiga novel jaman SMP itu, semuanya tentang cinta dan persahabatan. sedikit banyak, dipengaruhi novel-novel teenlit yang saya baca. 


9. sekarang naskah novel itu ada di rumah saya di Pekanbaru. ah, jadi kangen rasanya... membaca ulang, dan menertawai karya saya itu... :'D


10. nah, waktu masuk SMA, bacaan saya mulai berubah. beberapa novel dengan bahasa yang 'berat' mulai saya baca.


11.  sehingga sedikit banyak, mempengaruhi gaya menulis saya. dulu, saya terpengaruh sekali sama J.K. Rowling.


12. ya, saya tahu novel J.K. Rowling bukan novel dengan bahasa yang 'berat'.


13. tapi saya memang ingin memunculkan dia dalam twit saya :)) 


14. oke. kembali ke topik. saya menyukai gaya tulisan Mrs. Rowling. tentang bagaimana dia mendeskripsikan sesuatu.


15. coba saja anda baca novel saya 'Hime No Yume'. teman-teman saya bilang ketika membacanya, seperti membaca novel terjemahan.


16. sebab gaya tulisan seperti itulah yang saya suka! :D


17. cukup tentang gaya tulisan dan bahasa penulisan novel saya. selanjutnya tentang kehidupan tulis-menulis saya pasca 'Hime No Yume'. 


18. pasca 'Hime No Yume', saya kembali menulis beberapa naskah novel. tapi, sayang sekali! tidak ada satu pun yang saya selesaikan.


19. tepatnya, tidak ada satupun yang bisa saya selesaikan! 'Hime No Yume' selesai pada waktu saya kelas 11 SMA.


20. dan setelah itu, saya kepikiran tentang kelanjutan pendidikan saya. ya, saat-saat galau dan labil memilih tempat kuliah.


21. sampailah kelas 12 SMA. disini saya juga tak sempat menulis. terlalu banyak try out, ujian masuk PT, dan persiapan UN. 


22. kemudian setelah lulus SMA, dan saya punya waktu libur 3-4 bulan. saya kembali menulis novel, tetapi lagi-lagi tidak selesai. 


23. tetapi saya mengisi blog. saya kembali aktif di blog, menyempatkan pergi ke warnet di dekat rumah setiap sore, dan mem-post sesuatu. 


24. ah... saya lupa sesuatu. hal paling krusial dalam hidup saya. ketika laptop saya rusak karena virus... dan semua data novel saya hilang. 


25. dan saya menangis nyaris meraung-raung ketika itu :'P


26. tetapi apa boleh buat, life must go on... saya memang agak sedikit kesal dan sedih waktu itu, sehingga tak bisa menulis dengan benar lagi.


27. mendadak saya kepikiran beberapa naskah novel yang ada di laptop saya... masih hidupkah? masih adakah tanda-tanda kehidupan disana?


28. masuk FKG UGM... seperti yang sudah saya duga sebelumnya: welcome to hari-hari padat dan sibuk! 


29. itu berarti tidak ada lagi berjam-jam di depan laptop meneruskan naskah novel sampai lupa makan dan tidur. 


30. dan itulah kenapa sampai sekarang tidak ada naskah novel yang bisa saya selesaikan. tidak ada waktu, tidak ada inspirasi. tidak ada melamun!


31. karena buat saya, untuk menulis itu dibutuhkan waktu luang yang panjang untuk melamun.


32. oh, dan juga catatan-catatan kecil inspirasi yang tiba-tiba muncul.


33. tetapi bahkan akhir-akhir ini tak ada lagi inspirasi yang muncul dalam sekejap seperti itu. saya rindu, wahai inspirasi. --"


34. tulisan-tulisan saya di blog pun malah kebanyakan tentang... curhat dan kegalauan. yah, biasa lah. :| 


35. sedikit banyak - tidak, BANYAK, saya rindu saat-saat menulis novel itu. ketika berimajinasi penuh khayal. aaaaaaa! #histerissendiri


36. kapan ya, saya bisa nulis-nulis lagi?


37. oh, pertanyaannya adalah: kapan ya, saya punya waktu luang, buat nulis-nulis lagi...? 


38. *dan kemudian cerita ini gantung*


Ah, cerita yang absurd. Saya bahkan tidak sadar saya sudah membuat 38 twit hanya untuk bercerita tentang ini!
Sungguh hal yang tidak penting... 


Baiklah, saatnya saya kembali ke catatan dan handout Patologi Anatomi saya...
sekian. 


SELAMAT UTS.


R.A.
Jogja, 28-30 Oktober 2011
Continue reading SAYA PENGEN NULIS LAGI!

Selasa, 20 Juli 2010

,

Pelangi Abu-Abu

Meira memandang tanpa melihat selembar foto yang ada di tangan kanannya. Ketiga wajah kecil di dalam foto itu balas memandangnya. Wajah ceria anak-anak yang lugu dan tanpa beban. Sungguh berbeda kenyataannya dengan keadaan Meira saat ini.

Sesaat gadis itu mengenang kembali masa lalunya dengan kedua sahabatnya.

Dan entah kenapa, mengingat semua ini justru membuat gadis berambut ikal panjang itu merasa sedih.

Sebab kini semuanya sudah bertolak belakang dengan dua bulan lalu. Sekarang sudah tak ada yang peduli lagi. Tak ada yang memberi perhatian lagi. Bahkan kedua sahabatnya sudah menjauh darinya. Rasa kehilangan yang teramat sangat itu telah mengalahkan kegembiraannya, dua bulan lalu.

Meira rela memberikan apa saja, untuk mendapatkan sahabatnya kembali. Termasuk untuk memutarbalikkan waktu. Ia ingin kembali ke dua bulan lalu. Kembali ke masa-masa yang penuh keceriaan antar-sahabat, bukan ke masa-masa yang penuh kesuraman antar-sahabat seperti sekarang ini.

* * *

Pagi tadi ia bertandang ke rumah salah satu sahabatnya, Akbar.

"Hai," gumam Meira di depan pintu rumah anak laki-laki itu.

"Mmm," adalah jawaban ogah-ogahan Akbar. "Masuklah."

Meira melangkahkan kakinya melewati kusen pintu rumah. Entah sudah berapa lama Meira tidak menginjakkan kakinya di rumah ini, sampai-sampai ia lupa jika ada jam kukuk besar terpasang di ruang keluarga Akbar.

"Akan kubuatkan teh," kata Akbar, seolah enggan berada satu ruangan dengan Meira.

"Kubantu," Meira beranjak dari duduknya.

"Tidak perlu, tak apa-apa," tolak Akbar.

Meira mendengar nada penolakan yang cukup keras dari suara itu meskipun Akbar mengatakannya dengan halus. Akhirnya ia mengalah, kembali jatuh ke sofa empuk berwarna putih itu.

Sesuatu menarik perhatian Meira dari sebuah ruangan yang terbuka pintunya. Meira kenal ruangan itu; ruang galeri milik Ayah Akbar yang senang melukis. Dari pintunya yang terbuka Meira dapat melihat dengan jelas sebuah lukisan yang tampaknya baru. Entah mengapa daya tarik lukisan itu bagaikan magnet yang mengundang Meira untuk melihatnya lebih jauh.

Bangkit dari duduknya, Meira berjalan menuju ruang galeri itu. Hanya tinggal berjalan melewati lemari kaca saja, kok; tidak terlalu susah. Yang membuatnya susah adalah perasaan Meira yang mengatakan, jangan masuk kesana. Bahkan ia sendiri bingung mengapa hati kecilnya menyerukan peringatan itu. Ini kan rumah sahabatnya sendiri; sudah puluhan kali Meira mengunjunginya dan masuk ke dalam ruang galeri ini, jadi mestinya tidak ada masalah jika Meira ingin melihat-lihat galeri itu lagi.

Rasa penasaran Meira mengalahkan peringatan hatinya. Pintu yang terbuka itu didorongnya sedikit. Menimbulkan bunyi yang tidak pelan, memang. Tetapi Meira tahu betul ruang galeri itu terletak jauh dari dapur tempat Akbar sedang membuat teh.

Dan itu dia, lukisan aneh itu, terpasang di kanvas, nampak sekali masih baru, sebab terlihat catnya masih ada yang basah.

Yang menarik perhatian Meira adalah, sesosok pemuda, dengan tetes-tetes gerimis hujan membasahi tubuhnya, memandang sendu ke arah seorang gadis yang memakai payung berwarna pink tua, yang melangkah menjauhi sang pemuda, menembus hujan yang turun rintik-rintik. Dalam lukisan itu tampaknya hujan baru saja berhenti turun, dan matahari baru muncul malu-malu dari balik awan.

Dan ada pelangi.

Pelangi itu, entah disengaja entah tidak, dilukis dengan menggunakan warna abu-abu yang berbeda kekentalannya, sehingga membentuk gradasi warna abu-abu gelap ke terang. Dan hanya pelangi itulah yang dilukis dengan warna abu-abu.

Meira memandang dalam ke lukisan si pemuda, yang pelukisnya patut diacungi jempol, sebab kesedihan yang terpancar dari wajah pemuda yang sepertinya tak ingin gadis berpayung pink itu pergi, sangat membuat hati Meira miris.

Ia mengalihkan pandangannya ke sosok sang gadis. Rambutnya coklat, bergelombang, dan panjang. Meira mengira gadis itu seperti...

"Kukira kau masih diluar."

Meira terlonjak kaget. "Ehm..."

Akbar tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, kok."

"Maafkan aku," ujar Meira pelan, beranjak keluar dari galeri.

"Tak apa-apa, duduklah," Akbar meletakkan nampan berisi dua cangkir tehnya di meja kayu didekatnya. Di sebelahnya ada sepasang kursi kayu yang sudah diberi bantal agar tak terlalu keras saat diduduki. Meira memilih kursi yang di sebelah kanan.

"Lukisan yang indah," gumam Meira, mencoba berbasa-basi.

Akbar tampak kebingungan.

Meira menunjuk ke arah lukisan yang baru saja diamatinya tadi.

"Oh," tiba-tiba saja nada suara Akbar berubah. Dengan gemetar ia mengangkat cangkirnya dan mencoba menyeruput tehnya, yang gagal karena rupanya wajahnya juga bergetar sehingga tehnya menetes-netes ke bagian depan bajunya.

Meira bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sapu tangannya, beranjak mendekati Akbar dan berlutut didepannya, mencoba membersihkan tetesan teh yang mulai membentuk pola seperti pulau di bagian depan kemejanya.

"Huuh, hati-hati dong, seperti anak kecil saja..." sahut Meira pura-pura kesal. Lalu ia menengadah. Dilihatnya Akbar sedang mengamatinya membersihkan kemeja. Pandangan mereka bertemu.

"Oh..." ujar mereka bersamaan. Meira langsung berdiri.

"Maaf..."

"Tak apa..."

"Kenapa kita seperti tak kenal begini ya?" ujar Meira mencoba bercanda.

Akbar tak tertawa. Meira sedikit kecewa, meskipun ia sudah mengira hal ini bahkan sebelum kata pertamanya keluar.

"Kamu tahu judul lukisan itu?" tanya Akbar.

Meira menggeleng.

"'Pelangi Abu-Abu'."

"Kamu yang melukisnya?" Meira balik bertanya.

Akbar mengangguk. "Lukisannya sendiri bercerita tentang seorang pemuda yang tak ingin gadis yang selama ini berada didekatnya pergi. Semenjak gadis itu pergi, hidup pemuda itu suram. Bahkan pelangi yang dilihatnya pun menjadi abu-abu."

Meira merasa Akbar meliriknya saat menjelaskan ini semua. "Biar kutebak."

Akbar memandangnya.

"Itu ceritamu, kan?"

Kali ini Akbar memandang lantai. "Kau selalu tepat dalam menebak segala hal."

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud meninggalkan kalian berdua dengan menerima Ryan sebagai kekasihku. Aku cuma..." Meira tertunduk, nyaris sesenggukan, namun ditahannya. TIDAK. Kali ini aku harus kuat. Kalau ingin persahabatan ini tetap bertahan, aku harus tegar.

Akbar menunggu.

"Aku hanya... senang, karena ternyata orang yang sudah kusukai selama berbulan-bulan juga menyayangiku dan... perasaan kami sama, jadi... yah... menurutku... ini sebuah kebetulan yang menyenangkan..." Meira mengakhiri dengan sedikit malu.

"Aku tahu," kini tampaknya Akbar merasa bersalah. "Seharusnya aku tidak begini dan membuatmu merasa bersalah. Semestinya aku mendukungmu untuk menjalin hubungan dengan Ryan. Bukan malah sedih melihatmu berdua dengan anak itu."

"Maafkan aku," lagi-lagi mereka berkata bersamaan. Lalu keduanya tersenyum.

"Temui Radel. Sekarang. Dia bermain buruk dalam pertandingan basketnya akhir-akhir ini. Dia pasti sangat kehilanganmu," saran Akbar.

Meira lega. Sekarang Akbar sudah menerima kenyataan bahwa Meira masih ada untuknya sebagai sahabat.

Setelah meneguk tehnya, Meira berpamitan pada Akbar dan mengucapkan terima kasih sebanyak mungkin pada anak laki-laki itu.

"Oh, omong-omong, aku tidak bohong soal lukisanmu," kata Meira. "Kamu berbakat melukis. Lukisan itu indah sekali."

"Ya, tetapi maknanya tidak indah," sahut Akbar dengan senyum sedih.

"Hei, sudahlah! Kan aku ada disini," senyum Meira.

"Aku akan selesaikan lukisan itu," gumam Akbar.

"Eh? Masih belum selesai?"

"Aku akan... eh... mengubah ini dan itu," kini senyum Akbar terlihat manis.

"Kamu manis," ujar Meira tulus. Akbar tersipu malu.

"Nah, pergilah menemui Radel, oke?"



Namun kenyataan yang dihadapi Meira ketika bertandang ke rumah Radel berbeda dengan saat menemui Akbar.

Memang raut wajah Radel lebih keras dibandingkan air muka Akbar tadi sewaktu melihat Meira muncul di pintu rumahnya.

"Aku sedang sibuk," gumam Radel, tidak memandang Meira. "Mmm. Berkunjunglah nanti."

"Aku ingin bicara," kata Meira berani. "Sekarang."

Radel tampak tak ingin. "Oke. Masuklah."

Terakhir kali Meira berkunjung ke rumah Radel, foto mereka bertiga-lah yang pertama kali bisa dilihat secara langsung ketika ia masuk dari pintu depan. Sangat strategis tempatnya, karena berada di dinding ruang tamu. Sekarang entah sejak kapan, foto itu berganti menjadi sebuah hasil desain grafis yang indah yang dicetak di kertas foto dan diletakkan dalam bingkai hitam dengan pinggiran garis emas.

Grafis itu menggambarkan sebuah siluet sosok belakang seorang pemuda yang duduk di bangku taman, menghadap matahari yang mulai tenggelam. Siluet sosok yang kesepian. Beberapa langkah ke kanan dari bangku itu berdirilah seorang gadis dengan rambut bergelombang dan rok yang melambai tertiup angin, menghadap ke arah si pemuda, seolah bingung memutuskan hendak meninggalkan pemuda itu atau tidak.

Sedangkan di sisi kiri grafis itu terdapat sebuah pohon rindang dan dibawahnya, bersandar sosok pemuda yang lain, memandang ke atas seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan ikatan ketiga manusia di grafis itu. Terserahlah, mungkin itu isi hati pemuda yang bersandar itu.

Meskipun itu hanyalah sebuah siluet, namun efek yang dihasilkannya nampak seperti lukisan karya Akbar tadi.

"Terpesona?" ujar Radel mengagetkan, nadanya sinis.

Meira terdiam. "Kenapa? Tidak boleh?"

"Boleh saja."

Radel meletakkan dua gelas es jeruk di meja tamu. Ia tidak menyilakan Meira duduk ataupun meminum minuman buatannya.

Meira memberanikan diri bertanya pada Radel. "Kamu marah ya?"

"Oh, kalau iya kenapa, dan kalau tidak kenapa?"

"Kalau tidak, aku…"

Radel tak pernah tahu apa yang akan dilakukan Meira jika ia tak marah padanya, sebab ketika itu, sayangnya, ponsel Meira berbunyi keras.
Melihat raut wajah Meira yang langsung berubah ketika melihat nama di layar ponsel itu, raut muka Radel juga langsung berubah lebih dingin.

"Halo? Eng… nanti saja, ya… aku sedang sibuk… oke? Daah…" Meira menutup pembicaraan. "Nah, jadi…"

"Ryan, kan?" ujar Radel dingin.

"Mmm. Iya," Meira menyesali mengapa Ryan meneleponnya di saat-saat seperti ini.

"Kalau kamu datang kesini hanya untuk menunjukkan itu padaku, nah, aku tak punya waktu, jadi mungkin sebaiknya…"

Meira sudah tahu apa yang akan dikatakan Radel, sehingga ia buru-buru menyela, sebelum hatinya sakit lagi mendengar keseluruhan kalimat itu. "Tidak! Aku kesini bukan untuk itu! Aku ingin kita kembali! Aku ingin kamu kembali! Aku ingin kita bersama lagi! Aku minta maaf!"

Radel terlihat bersalah, namun ia kembali mencari-cari kesalahan lain Meira. "Kenapa baru sekarang?"

"Aku… aku bingung! Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan! Kalian berdua bertingkah seperti anak kecil dan aku bingung menghadapi kalian!" Meira mulai meledak dan mencurahkan semua kekesalan, kesedihan, kemarahan, kekecewaannya pada Radel.

Muka Radel mulai memerah karena marah. "Aku tidak akan membentakmu karena sampai sekarang aku masih menganggapmu sahabatku. Sekarang… kalau kamu tidak keberatan…"

Sejenak, Radel terlihat bingung. Ada pertempuran hebat dalam benaknya. Akhirnya, ia mengambil keputusan dengan membuka pintu rumahnya tanpa berkata apa-apa.

Meira tak perlu mendengar kalimat-kalimat Radel yang akan dilontarkannya. Gadis itu langsung bangkit berdiri dan berlari dengan dramatis keluar rumah Radel. Hatinya sakit. Setibanya di rumah ia menelepon Akbar sambil menangis sesenggukan dan sahabatnya itu berkata ia akan segera meluncur ke rumah Meira.

* * *

Akbar terenyuh melihat Meira membuka pintu rumah dengan lemas sembari masih menggenggam foto yang merekam kebahagiaan masa kecil mereka bertiga. Meira menceritakan kejadian di rumah Radel dan menumpahkan seluruh kekecewaannya.

"Mei… kamu tahu? Aku menemukan kertas ini di laci meja Radel di sekolah," Akbar mengulurkan selembar kertas yang tampaknya berisi surat.
Meira meraih kertas itu dan membacanya. Rupanya bukan surat. Melainkan puisi. Judulnya Pelangi Abu-Abu…

"Radel membuatnya seminggu yang lalu. Mungkin kau mengira kami telah mencapai kesepakatan untuk membuat serangkaian karya yang berjudul sama, tetapi tidak. Aku mulai melukis lukisan itu kira-kira sepuluh hari yang lalu, dan idenya sudah muncul sejak sebulan yang lalu. Tak terpikirkan olehku untuk memberitahu Radel; biar aku saja yang menyimpan kesepian ini, namun betapa terkejutnya aku saat menemukan puisi ini di meja Radel. Kalau kau baca dengan baik, artinya sama dengan makna lukisanku," terang Akbar.

Air mata Meira mulai menitik lagi saat membaca puisi Radel.

"Mungkin kau bosan dengan perkataanku ini. Tapi, yah… kami memang merasa kehilangan semenjak kau berhubungan dengan Ryan… seolah-olah kau… melupakan kami…" ujar Akbar, terlihat malu.

Sekilas pikiran Meira melayang ke foto siluet ketiga sahabat yang terpajang di ruang tamu Radel.

Meira tersentak. Dirinyalah gadis dengan rambut bergelombang melambai dalam siluet Radel. Dirinyalah gadis berambut coklat memakai payung pink dalam lukisan Akbar.

Lalu semuanya menjadi jelas. Pemuda yang bersandar di pohon, menatap langit dalam siluet, adalah Akbar. Sementara pemuda yang duduk kesepian di bangku taman, adalah Radel. Pemuda yang memandang sendu gadis berpayung pink dalam lukisan Akbar, adalah sang pelukis sendiri.

"Bodohnya aku," ujar Meira, kesal pada dirinya sendiri. "Selama ini akulah yang mengabaikan kalian. Akulah yang terlalu senang karena hubunganku dengan Ryan. Aku tidak sadar akan perasaan kalian berdua. Selama ini memang hanya aku yang salah."

Suara guntur tiba-tiba menggelegar, memecah langit. Akbar dan Meira tersentak sedikit. Hujan turun dengan tiba-tiba. Suasana ini dinikmati keduanya untuk merenungi masalah mereka.

Setelah beberapa saat,
"Tidak," kata Akbar bijaksana. "Kami berdua juga egois karena kami tak ingin kamu direbut orang lain. Kami berdua tak ingin orang lain memilikimu. Dan, aku juga salah pada Radel karena aku hanya bisa pasrah tanpa usaha."

Meira teringat lagi pada siluet pemuda yang bersandar di pohon.

"Apakah kalian…"

Suara Meira teredam oleh bunyi gedoran pintu rumah Meira yang cukup keras.

"Apa kau punya janji dengan orang lain…?" tanya Akbar ragu.

"Tidak, rasanya tidak…" ucap Meira mencoba mengingat.

Kini suara gedoran pintu itu terdengar bersahut-sahutan dengan suara keras memanggil-manggil Meira.
"MEEII!! MEIRAA!"

Akbar dan Meira berpandangan.

"Radel," gumam Akbar, mengutarakan isi pikiran mereka berdua.

Meira membuka pintu rumahnya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan; pintu rumahnya rusak didobrak Radel, misalnya.

Benar saja, Radel basah kuyup karena hujan yang turun semakin deras di luar.

"Radel?"

Radel terengah-engah. Jelas ia berlari cukup kencang dari rumahnya ke rumah Meira. "Maafkan aku," katanya, "telah mengusirmu dari rumahku."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa - masuklah, di luar dingin sekali," ujar Meira cemas, mengigil saat ada angin bertiup pelan.

Akbar ternyata sudah lari ke dapur membuatkan teh panas untuk sahabatnya. Meira berlari ke kamar terdekat, mengambilkan selimut tebal untuk teman terbaiknya. Radel tertunduk menatap lantai.

"Padahal kan kau tak perlu lari-lari," gumam Meira iba melihat Radel menggigil. "Hujannya deras sekali."

"Maafkan aku," kata Radel pada lantai. "Hujan itu turun tiba-tiba saat aku sedang berjalan kesini."

"Kamu bodoh," sahut Meira, nyaris terisak. "Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Kamu tidak memikirkan perasaanku, ya!"

Akbar yang baru tiba dari dapur terkejut melihat Meira menangis. Radel menyadari kedatangan sahabatnya, dan buru-buru menjelaskan.
"Eh... karena itulah aku datang," kata Radel. "Demi perasaanmu. Perasaan kita semua."

"Teh," gumam Akbar, masih mengawasi Meira yang mengusap-usap matanya. "Biar hangat."

"Terima kasih," ujar Radel, hendak mengambil secangkir teh dengan tangannya yang gemetar, tetapi sudah keduluan Meira.

"Minumlah," gumam Meira tersenyum, menyodorkan secangkir teh untuk Radel. Mendadak hatinya diliputi perasaan lega. "Akan membuatmu lega."

"Ya, tapi akan menelan apa yang aku katakan ke tenggorokan," kata Radel, baru teringat akan alasan yang membawanya ke rumah Meira. "Aku minta maaf atas semuanya. Aku - kami memang egois karena hanya ingin memilikimu. Setelah kupikir-pikir... aku salah. Kami tak seharusnya mengekang sahabat kami untuk... menjalin hubungan dengan orang lain. Kami seperti anak kecil yang tak ingin mainan kami direbut tangan orang lain."

Meira menyodorkan tehnya. "Sudahlah. Aku juga salah. Aku yang terlalu senang karena Ryan. Tapi... jangan berpikir kalau aku melupakan kalian... kalian sahabat terbaik yang pernah aku miliki seumur hidupku."

Radel menerima tehnya dengan gembira dan segera menyeruputnya.

Akbar tersenyum. "Aku akan menyelesaikan lukisanku."

Meira menoleh. "Eh? Belum selesai?"

"Harus ada yang berubah, kan?"

"Apanya?" tanya Meira penasaran.

Akbar bangkit dari duduknya, lalu ia membuka jendela. Hujan sudah mereda, dan matahari berusaha muncul dari balik awan gelap. Seberkas sinar memancarkan warna-warna indah. Akbar tersenyum.

"Pelangi."

* * *

R.A.

n.b. ini cerpen orisinal yang saya buat untuk sebuah lomba cerpen tingkat nasional, yang saya bikin dari puisi 'Pelangi Abu-Abu'. Alur ceritanya berbeda dengan yang di prosa, dan di cerpen ini, Radel membuat puisi, bukan prosa. Menurut saya (dan beberapa teman saya juga yang sudah membaca print out cerpen ini) cerita ini kurang 'greget'. Tapi, paling tidak, masih bisa dibaca.
Continue reading Pelangi Abu-Abu

For Alice

Salam, Pembaca!
Saya bongkar-bongkar arsip lama dan ketemu file ini.
Happy reading! :))


>>
Denting piano terdengar merdu keluar dari rumah mewah itu. Für Elisè, sonata Beethoven yang terkenal itu. Di film-film Barat, sering dipakai untuk soundtrack film hantu. Biasanya dalam kisah piano kutukan. Katanya, orang yang berinisial E tidak boleh memainkan sonata ini karena ia akan mengalami kesialan. Bahkan, orang yang kurang kerjaan sama sekali mengatakan bahwa saudaranya yang berinisial E pernah jatuh sakit setelah memainkan sonata Beethoven ini. Ah, sudahlah.

Jari-jari Alice yang lentik dengan kuku tumpul karena sering bermain piano itu, menekan tuts dengan irama yang indah. Setidaknya bagi orang awam. Tante Alia, yang adalah saudara kandung ayah Alice sekaligus guru pembimbing Alice memainkan piano, menganggap itu masih terdengar biasa-biasa saja.

Alice sering mengeluh keras-keras tentang hidupnya yang membosankan: anak dari keluarga paling kaya di kota, anak yang harus sekolah di sekolah internasional, anak yang dilahirkan di keluarga pemusik sehingga ayah dan ibunya mengharuskannya pandai bermain salah satu alat musik elit (biola dan piano), anak yang harus latihan piano setidaknya dua jam sehari, anak yang harus bersikap anggun dan pendiam di sekolah, dan sebagainya.
Padahal, seandainya ayah dan ibu Alice tahu apa yang dilakukan anaknya itu setiap berada di kamar bersama teman dekatnya, Tyas, mungkin mereka tidak akan begitu senang.

MP3 player Alice, bukan berisi sonata-sonata Beethoven atau Mozart, tetapi kebanyakan berisi: "Girlfriend"-nya Avril Lavigne, "What I’ve Done"-nya Linkin Park, "Welcome to The Black Parade" punya My Chemical Romance, lagu-lagunya Yellowcard, "Grace Kelly", "Lollipop" dua-duanya milik Mika, dan lagu lain sebangsa itu.

Tepat seusai latihan piano, Tyas datang. Langsung menuju ruang musik tempat Alice latihan piano. Alice menyambutnya dengan gembira.

"Hari ini cukup," ujar Tante Alia sengit melihat Tyas yang nyengir. "Walaupun masih ada nada yang salah. Perbaiki terus kalau kamu mau membanggakan orang tuamu."

"Iya, Tante."

Lalu Tante Alia pun keluar dari ruang musik.

"Ayo," Alice mengajak Tyas menuju kamarnya.

Alice menjatuhkan diri di kasurnya yang dilapisi bedcover warna pink. Nah, satu lagi yang dia sering keluhkan, orang tuanya menyuruhnya menyukai warna pink. Padahal kan Alice suka warna hitam. Tapi tak apalah, katanya waktu itu. "Pink dan hitam, jadi aku tuh 'Princess Goth'," kata Alice nyengir.

"Hem, sebulan lagi kan lomba piano klasik," kata Tyas sambil mendengarkan "Valentine’s Day" punya Linkin Park di MP3 player.

"Terus kenapa?" ujar Alice tak peduli.

"Kamu ikut kan?"

"Mungkin…"

"Lho, bukannya kamu pasti ikut? Ayah dan Bundamu pasti akan menyuruhmu ikut."

"Iya sih…"

"Kamu harus bersyukur dong, Alice. Kamu diberi banyak kenikmatan yang orang lain nggak punya."

"Aku bersyukur, kok. Aku memang menyukai piano sejak kecil, jadi latihan Tante Alia pun aku anggap biasa saja."

"Berarti kamu pasti ikut lomba itu kan?"

"Ya."

Handphone Alice berdering.

"Dari Tom," ujar Tyas, menyodorkan handphone itu pada Alice.

"Yaa."

"Alice! Pinjem buku Fisika…" teriak Tom.

"Kenapa sih?"

"Kamu tadi pasti perhatiin nenek sihir itu ngoceh di depan kelas kan?"

"Beliau bukan nenek sihir," Alice tersinggung.

"Ya… gitu deh! Pokoknya, aku akan ke rumahmu sekarang. Kamu nggak lagi di ruang musik kan?"

"Nggak. Emangnya kenapa?"

"Apa kamu lupa? Aku kan alergi sama yang namanya piano."

"Ooh, iya ya."

"Ya udah…"

Alice menutup handphone-nya.

Tom adalah cowok-paling-tidak-punya-malu yang pernah Alice kenal. Satu lagi yang sering Alice keluhkan keras-keras kalau Tom ada disampingnya: "Nasibku sial banget deh. Udah ditimpa berbagai kesulitan di keluarga, eh… malah dapet sahabat sejak kecil yang kayak gini."

Yah, meskipun begitu, Tom adalah teman kecil Alice. Makanya ia tahu segalanya tentang Alice. Dan Alice pun tahu semua tentang Tom: cowok bandel, usil, berantakan, dan satu lagi: benci sekali piano. Ini sih katanya. Dia lebih suka bolos dari kelas musik daripada diam di kelas, mendengarkan guru berbicara tentang not balok, kunci G, garis paranada, Wolfgang Amadeus Mozart, dan lainnya. Alice maklum sih.

Ternyata di sebuah sekolah internasional pun, masih ada murid seperti Tom, yang sering bolos di kelas musik bersama keempat temannya, yang sering tidur di kelas Fisika, yang bengong di kelas Biologi, yang ngobrol di kelas Kimia, tetapi sangat pintar di Bahasa Inggris. Kata Tom, biar jadi sejarah di sekolah ini.

Masalahnya adalah, Tom cukup keren. Sepertiga anak cewek di kelas matematika-nya mendaulat dia sebagai "most wanted" untuk jadi pacar mereka. Alice geleng-geleng kepala saja melihat cewek-cewek itu.

Alice tersenyum sedikit hari itu, saat mengenang betapa cewek-cewek itu begitu ingin mendekati Tom, sampai mengikutinya sepanjang hari.

"Jangan melamun," ujar Tante Alia. Alice tersentak. Tapi jarinya masih bergerak sesuai irama lagu.

"Nah, seminggu lagi kamu tampil di gedung pertunjukan. Tante sudah suruh tetangga Tante mendaftarkan kamu di lomba itu, karena Tante setiap hari harus membimbingmu bermain piano, belum lagi les privat anak-anak lain, sehingga Tante tidak mempunyai banyak waktu," Tante Alia berkata seolah Alice-lah yang membuatnya tidak memiliki waktu luang.

Alice manyun.

"Apa? Lomba lagi? Tapi piala kamu kan udah banyak banget…" Tom melayangkan pandangan ke lemari kaca berisi piala-piala kejuaraan yang pernah Alice dapat. Mungkin ada sekitar seratus piala disitu.

"Kamu tahu kan Tante Alia, Ayah, dan Bundaku? Mereka pasti bakal kecewa kalau aku nggak ikut lomba itu. Lagipula aku udah latihan berbulan-bulan, percuma dong."

"Tapi, Alice…" Tom kelihatannya ingin sekali mencegah Alice mengikuti lomba itu.

"Nggak apa-apa kan, Tom?"

"Iya sih. Ya udah deh, selamat ya."

Alice tersenyum.

* * *

Hari perlombaan, Alice terlambat bangun.

"Bunda udah suruh Tante Alia ke gedung duluan. Ntar kamu nyusul aja sama Tyas," sahut Bunda.

"Hooh…." desah Alice lega.

Mobil Tyas melaju agak kencang menuju gedung pertunjukan. Semoga Tante Alia udah daftar ulang… gumam Alice.

Tante Alia terlihat agak suram hari ini, menunggu Alice di depan pintu aula tempat lomba itu.

"Tante… maaf, Alice tadi telat bangun… tapi belum sampai giliran Alice kan? Tante?" tanya Alice takut.

Anehnya, Tante Alia tidak marah, bahkan tidak menunjukkan sinar mata tajam yang biasanya.

"Memang belum sampai… dan tidak akan sampai…" kata Tante Alia.

"Hah? Apa mak…"

"Kamu tidak terdaftar sebagai peserta, Alice."

Alice kaget setengah mati.

"Nggak… terdaftar… jadi… peserta?"

Dia langsung berlari ke tempat pendaftaran. Tyas buru-buru mengejarnya.

"Permisi, Mbak… bisa tolong cek nama saya di daftar peserta lomba?"

"Ya… siapa nama Adik?" tanya panitia itu, sembari melihat daftarnya.

"Alice Tyara Putri."

"Alice Tyara Putri… hmmm. Aneh. Disini tidak ada nama itu. Apa Adik sudah mendaftar?"

"Coba cek lagi, Mbak…"

"Tidak ada sama sekali. Maaf…"

Alice merasa sekelilingnya menjadi hitam. Tyas menghiburnya.

"Alice… Tante yang salah. Anak tetangga Tante tidak pernah mendaftarkan kamu di lomba ini…" Tante Alia memeluk Alice erat.

Alice tidak bisa berbicara.

"Sekarang kita terpaksa hanya bisa menonton."

Alice, Tyas, dan Tante Alia menuju ke deretan tempat duduk penonton paling belakang.

Anehnya, Alice merasa ia rindu pada Tom. Kenapa dia tidak datang? Mestinya kalau dia tahu aku ikut lomba ini, dia datang kan?

Saat itu, Tom memang sudah datang. Tetapi, tidak sebagai penikmat musik klasik yang dimainkan di aula gedung.

Tom hadir sebagai peserta dengan nomor 16. Dia memainkan sonata Beethoven, Moonlight. Dengan sangat indah. Bahkan Tante Alia terhanyut.

Alice dan Tyas kaget berat melihat Tom. Apalagi Alice. Ketika Tom selesai memainkan pianonya, dia bangkit dari duduknya dan memberi hormat pada penonton, yang melakukan standing applause. Alice bertepuk tangan paling keras, berharap Tom mendengarnya, tetapi tempat duduk mereka memang terlalu di belakang, hingga Tom tidak melihat tiga orang yang dikenalnya disana, dan cowok itu langsung pergi ke belakang panggung.

"Pengumumannya besok," kata Tante Alia, menjawab pertanyaan Alice yang tak-terkatakan. Alice mengangguk cepat, matanya masih menatap pintu yang baru saja dilewati Tom.

Untuk mendapat jawaban yang memuaskan atas penampilan Tom di lomba itu, Alice pergi ke rumah Tom sore harinya. Entah sudah berapa lama dia tidak pergi ke rumah Tom, sampai dia lupa akan keadaan rumahnya. Sekarang sudah ada tanaman anggrek yang indah di halaman rumahnya.

Tom mendatangi Alice dengan senyuman.

"Hai."

"Hm."

"Jadi… gimana?"

"Lombanya? Aku nggak ikut, ternyata nggak didaftarkan."

"Bukan, maksudku anggreknya."

"Anggrek? Jadi itu kamu yang tanam?"

"Buat kamu."

"Buat aku?"

"Ya udah deh, ayo masuk."

Sekali lagi Alice melirik ke arah bunga-bunga anggrek indah itu.

"Kenapa kamu nggak bilang?" tanya Alice.

"Bilang apa?"

"Kalau kamu ikut lomba piano itu."

"Buat kamu."

"Apaan sih, buat aku-buat aku terus? Trus kok ada piano di ruang keluarga?"

Tom duduk di depan piano itu.

"Katanya kamu benci piano," kata Alice.

Tom tidak menjawab. Ia malah memainkan Für Elisè.

"Tom!"

"Kamu tahu lagu ini?" tanya Tom.

"'Für Elisè' kan?"

"Bukan. For Alice."

"For… for Alice? For me?"

"Ya, buat kamu… biar jadi kejutan aja."

"Ya ampuun, Tom."

"Kamu suka?"

Alice berhenti sejenak mengeluh.

"Suka."

Tom berhenti memainkan piano.

"Sukaaaaa banget."

Mereka tersenyum bersama.


R.A.

n.b. ini cerpen yang saya bikin waktu kelas dua SMA, kalau tidak salah, jadi harap maklum kalau lagu-lagu yang saya sebutkan dalam cerpen ini tergolong 'jadul', haha. Menurut saya, cerpen ini: kebanyakan dialog, klimaksnya kurang greget, dan begitu banyak kekurangan pada cerpen ini. ==' Well, at least, masih bisa dibaca. :))
Continue reading For Alice