Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Zabini Blaise
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER 5
Lucy membanting buku-bukunya di lantai kamarnya di Menara Ravenclaw. Kamar itu kosong, sebab seluruh anak kelas lima Ravenclaw sibuk belajar di perpustakaan. Ia menjatuhkan diri di kasur, memeluk bantal, dan menangis sejadi-jadinya.
Bahkan tampaknya ia sudah tidak peduli akan apapun terutama tentang ujian OWL-nya. Dia tidak peduli Dementor berkeliaran di luar sana, penjagaan Hogwarts yang sangat ketat untuk mencegah Pelahap Maut masuk, dia tidak peduli. Dia juga tidak peduli sedari tadi hujan lebat dengan kilat menyambar-nyambar di luar jendela, badai sedang terjadi. Dia tidak peduli bahaya perang yang bisa terjadi kapan saja.
Dia hanya memedulikan Draco Malfoy.
Draco, yang sudah dua kali menciumnya.
Draco, yang berkata dia menyukai Lucy.
Draco, yang adalah anak seorang Pelahap Maut.
Draco, yang ditugaskan Pangeran Kegelapan.
Draco, yang dicintainya.
Lucy bertanya-tanya apakah semua ini adalah hukuman baginya. Dia tidak memikirkan resiko berhubungan dengan anak Slytherin - yang notabene anak Pelahap Maut, yang semua orang tahu ia membenci Kelahiran-Muggle, yang semua orang tahu dia punya hubungan dengan Pansy Parkinson, yang semua orang tahu dia musuh bebuyutan Harry Potter.
Sementara Lucy kebalikannya: anak baik-baik, Ravenclaw, Darah-Campuran, anggota Laskar Dumbledore, teman Harry Potter.
Semestinya Lucy tidak menulis surat untuk Draco ketika ia di rumah sakit.
Seandainya Lucy tidak berharap Draco menemuinya.
Seharusnya Lucy tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.
Sekarang Lucy bingung siapa yang salah.
* * *
Draco meninju kaca di toilet laki-laki, tetapi kaca itu tidak pecah. Meski begitu tangan Draco berdarah, menetes-netes pelan di wastafel. Draco tidak berniat untuk mencucinya, bahkan hanya untuk mengurangi resiko infeksi. Madam Pomfrey bisa menyembuhkannya dalam waktu singkat, apalagi matron rumah sakit itu tidak pernah banyak bertanya.
Draco membenci dirinya sendiri.
Rasa-rasanya semua hal terjadi padanya.
Tugas yang tidak mungkin dilakukannya sendirian. Ia butuh bantuan, memang.
Tetapi dengan Crabbe dan Goyle? Mereka tidak berguna.
Draco menyadari bahwa mereka berdua tidak bisa diharapkan.
Dan dengan Harry Potter mengawasinya, penasaran dengan apa yang dilakukannya, Draco tidak bisa bergerak bebas.
Kemudian tentu saja datangnya Lucy Rothbelle yang tiba-tiba. Draco sering menertawai dirinya sendiri kenapa bisa begitu cepat menyukai orang lain yang sama sekali asing baginya. Dia juga bodoh tidak menyadarinya sampai pertemuan kemarin. Berhubungan dengan Lucy berarti menyeretnya dalam bahaya. Kalau sampai para Pelahap Maut yang lain tahu - tidak, kalau sampai ayahnya tahu bahwa Lucy mengetahui rencananya, entah apa yang akan terjadi pada anak Ravenclaw itu.
Semestinya Draco tidak perlu mengindahkan surat Lucy dan mencarinya.
Seandainya Draco tidak mencium Lucy dan mengatakan ia menyukai Lucy.
Seharusnya Draco tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.
Sekarang Draco juga bingung siapa yang salah.
* * *
Keesokan paginya Lucy terbangun pagi-pagi sekali, dengan mata sembap dan rambut berantakan. Dilihatnya Luna Lovegood, masih tertidur pulas, di bawah tempat tidurnya ada setumpuk buku tebal dengan perkamen panjang menjulur. Tinta pena-bulunya tumpah ke lantai. Lucy membersihkan tinta itu dan mengisi kembali botol tinta yang kosong sebelum keluar kamar untuk turun sarapan.
Seperti yang sudah diduganya, Aula Besar kosong. Hanya ada beberapa anak disana, dua anak kelas empat di meja Hufflepuff, tiga anak kelas dua di meja Gryffindor, dua anak kelas satu di meja Ravenclaw, dan satu anak kelas enam di meja Slytherin.
Lucy setengah berharap seorang cowok yang duduk di meja Slytherin itu Draco, tetapi separo hatinya lagi juga tidak ingin bertemu Draco.
Betapa leganya ia melihat cowok kelas enam Slytherin itu bukan Draco.
Ada roti bakar kesukaan Lucy di meja makan. Ia mengambil banyak-banyak. Rasanya tenaganya sudah habis setelah menangis semalam suntuk.
Ketika Lucy sedang menuang madu ke atas pancakenya, matanya menangkap seseorang yang baru saja masuk Aula Besar, beriringan dengan dua kroninya.
Draco Malfoy. Dan Crabbe, dan Goyle.
Untung Lucy duduk membelakangi meja Slytherin, jadi dia tidak perlu mengambil resiko terus memandangi Draco - atau punggungnya, kalau Draco duduk membelakangi meja Ravenclaw - selama ia menghabiskan pancakenya.
Lucy masih bertanya-tanya kenapa tangan Draco dibebat perban begitu.
Tetapi Lucy tidak begitu berharap.
Draco juga sudah melihat Lucy, dan melihat dengan matanya yang tajam, mata Lucy yang sembap. Draco mengira Lucy masih meneruskan tangisnya sejak kepergiannya yang dramatis di perpustakaan kemarin.
"Asyik, ayam!" kata Goyle senang, menuju meja Slytherin.
"Hei, Draco, cepat kemari," panggil Crabbe yang sudah duduk di sebelah cowok kelas enam Slytherin yang datang lebih awal, Zabini Blaise.
Draco masih terpaku di pintu Aula Besar memandangi meja Ravenclaw.
"Hei, Draco!" kata Goyle agak keras. "Kau tidak mau ayam?" tanyanya, mengigit sepotong besar paha ayam goreng.
Draco sadar dari lamunannya dan segera duduk di meja Slytherin. Diambilnya semangkuk besar sereal.
"Ambilkan susu itu," pintanya pada Zabini, yang sedang mengunyah sandwich. Zabini menyodorkan seteko susu ke dekat Draco, yang langsung menuangnya ke mangkuk serealnya.
Dan dia mulai makan dengan cepat.
"Woo, woo, Draco," kata Zabini. "Santai, man. Kau tidak makan kemarin malam?"
"Aku kelaparan," kata Draco tak acuh.
"Bukan kelaparan, tapi kelelahan," celetuk Crabbe.
Draco melempar pandang memperingatkan pada Crabbe, yang langsung diam. Tampaknya Zabini tidak mendengar sesuatu yang aneh menurutnya, karena dia tetap menyantap sandwichnya.
Karena semalam setelah diobati Madam Pomfrey, Draco kembali ke Kamar Kebutuhan untuk mengecek Lemari Pelenyap yang sudah setahun ini berusaha diperbaikinya. Tentu saja dengan Crabbe dan Goyle berjaga di koridor lantai tujuh dengan menyamar sebagai anak kelas satu, agar orang-orang tidak curiga, dan agar bisa memberi tanda kepada Draco jika sewaktu-waktu ada seseorang yang mencurigakan yang mendekati Kamar Kebutuhan. Dalam kasus Draco, Harry Potter dan kawan-kawannya.
Dan setelah menghabiskan sereal, Draco beralih ke paha ayam goreng yang berwarna coklat keemasan, yang seketika mengingatkannya pada sosok burung hantu berwarna coklat keemasan, Western, dan Kandang Burung Hantu, dan wajah Lucy yang semakin mendekat...
"Dracoooooooo!" jerit seseorang dari pintu Aula Besar.
Jeritan itu membangunkan Draco dari kenangannya.
Pansy Parkinson duduk di sebelah Draco dan mengecup pipinya.
"Hai," gumam Draco.
Terdengar denting perabotan yang jatuh dari arah meja Ravenclaw. Lucy Rothbelle menggebrak mejanya, menjatuhkan teko susu, piring perak kosong yang tadinya berisi roti bakar, dan sendok sereal. Ia membungkuk pada semua orang yang memandangnya karena kegaduhan yang ditimbulkannya sambil berkata minta maaf. Kemudian ia berjongkok di bawah meja untuk mengambil perabotan yang dijatuhkannya tadi. Profesor McGonagall sudah turun dari meja guru dan membantu membereskan kekacauan itu. Lucy membungkuk sekali lagi pada Profesor McGonagall yang sedang membersihkan genangan susu dari lantai dan menaruh tekonya di atas meja. Waktu Lucy duduk lagi di meja, teko susunya sudah penuh. Profesor McGonagall menepuk bahu Lucy pelan.
"Bikin kaget saja," kata Pansy yang memperhatikan selama beberapa saat, lalu kembali merepet Draco, yang masih berbalik dari duduknya untuk melihat Lucy.
"Anak Ravenclaw memang suka aneh-aneh," komentar Zabini lagi.
"Tidak heran, dia kan temannya si Loony Lovegood itu," kata Pansy menambahkan. "Draco?"
Draco menghadap mejanya lagi. Ia mengangkat bahu dan kemudian meneruskan menyantap ayam gorengnya.
"Hei, Draco," tegur Zabini. "Kau tidak tertarik pada anak Ravenclaw itu, kan?"
Pansy menghentikan suapan serealnya di udara. "Tidak mungkin," katanya tertawa, menganggap Zabini hanya bercanda.
Draco tidak menjawab Zabini ataupun mengomentari perkataan Pansy.
"Draco, ada apa dengan tanganmu?" pekik Pansy kaget, melihat perban yang membebat tangan Draco.
Draco urung untuk menjawab, tetapi ia tersenyum sinis sejenak, kemudian berkata,
"Pangeran Kegelapan menghukumku."
* * *
P.S.
Lagi-lagi cerita yang mengalir begitu saja dari benakku, sempat terbersit untuk menjadikan chapter ini chapter terakhir, tetapi ternyata lebih panjang dari yang saya perkirakan. Disini juga terlihat bagaimana egoisme seorang gadis yang sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa mengalahkan segala hal yang lebih penting - sesuatu yang SEMPAT terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu. Oh, dan saya menulis adegan sarapan di Aula Besar itu ketika saya sedang kelaparan, semua makanan itu: sereal, susu, sandwich, roti bakar, ayam goreng, semua saya tulis sambil membayangkan saya sedang memakannya, yummy. Ngomong-ngomong, sudah lama saya tidak makan ayam. Skip that last one. Dan, review, please :))
R.A.
5 Februari 2011
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Zabini Blaise
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER 5
Lucy membanting buku-bukunya di lantai kamarnya di Menara Ravenclaw. Kamar itu kosong, sebab seluruh anak kelas lima Ravenclaw sibuk belajar di perpustakaan. Ia menjatuhkan diri di kasur, memeluk bantal, dan menangis sejadi-jadinya.
Bahkan tampaknya ia sudah tidak peduli akan apapun terutama tentang ujian OWL-nya. Dia tidak peduli Dementor berkeliaran di luar sana, penjagaan Hogwarts yang sangat ketat untuk mencegah Pelahap Maut masuk, dia tidak peduli. Dia juga tidak peduli sedari tadi hujan lebat dengan kilat menyambar-nyambar di luar jendela, badai sedang terjadi. Dia tidak peduli bahaya perang yang bisa terjadi kapan saja.
Dia hanya memedulikan Draco Malfoy.
Draco, yang sudah dua kali menciumnya.
Draco, yang berkata dia menyukai Lucy.
Draco, yang adalah anak seorang Pelahap Maut.
Draco, yang ditugaskan Pangeran Kegelapan.
Draco, yang dicintainya.
Lucy bertanya-tanya apakah semua ini adalah hukuman baginya. Dia tidak memikirkan resiko berhubungan dengan anak Slytherin - yang notabene anak Pelahap Maut, yang semua orang tahu ia membenci Kelahiran-Muggle, yang semua orang tahu dia punya hubungan dengan Pansy Parkinson, yang semua orang tahu dia musuh bebuyutan Harry Potter.
Sementara Lucy kebalikannya: anak baik-baik, Ravenclaw, Darah-Campuran, anggota Laskar Dumbledore, teman Harry Potter.
Semestinya Lucy tidak menulis surat untuk Draco ketika ia di rumah sakit.
Seandainya Lucy tidak berharap Draco menemuinya.
Seharusnya Lucy tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.
Sekarang Lucy bingung siapa yang salah.
* * *
Draco meninju kaca di toilet laki-laki, tetapi kaca itu tidak pecah. Meski begitu tangan Draco berdarah, menetes-netes pelan di wastafel. Draco tidak berniat untuk mencucinya, bahkan hanya untuk mengurangi resiko infeksi. Madam Pomfrey bisa menyembuhkannya dalam waktu singkat, apalagi matron rumah sakit itu tidak pernah banyak bertanya.
Draco membenci dirinya sendiri.
Rasa-rasanya semua hal terjadi padanya.
Tugas yang tidak mungkin dilakukannya sendirian. Ia butuh bantuan, memang.
Tetapi dengan Crabbe dan Goyle? Mereka tidak berguna.
Draco menyadari bahwa mereka berdua tidak bisa diharapkan.
Dan dengan Harry Potter mengawasinya, penasaran dengan apa yang dilakukannya, Draco tidak bisa bergerak bebas.
Kemudian tentu saja datangnya Lucy Rothbelle yang tiba-tiba. Draco sering menertawai dirinya sendiri kenapa bisa begitu cepat menyukai orang lain yang sama sekali asing baginya. Dia juga bodoh tidak menyadarinya sampai pertemuan kemarin. Berhubungan dengan Lucy berarti menyeretnya dalam bahaya. Kalau sampai para Pelahap Maut yang lain tahu - tidak, kalau sampai ayahnya tahu bahwa Lucy mengetahui rencananya, entah apa yang akan terjadi pada anak Ravenclaw itu.
Semestinya Draco tidak perlu mengindahkan surat Lucy dan mencarinya.
Seandainya Draco tidak mencium Lucy dan mengatakan ia menyukai Lucy.
Seharusnya Draco tahu dari awal bahwa cinta mereka sudah gagal.
Sekarang Draco juga bingung siapa yang salah.
* * *
Keesokan paginya Lucy terbangun pagi-pagi sekali, dengan mata sembap dan rambut berantakan. Dilihatnya Luna Lovegood, masih tertidur pulas, di bawah tempat tidurnya ada setumpuk buku tebal dengan perkamen panjang menjulur. Tinta pena-bulunya tumpah ke lantai. Lucy membersihkan tinta itu dan mengisi kembali botol tinta yang kosong sebelum keluar kamar untuk turun sarapan.
Seperti yang sudah diduganya, Aula Besar kosong. Hanya ada beberapa anak disana, dua anak kelas empat di meja Hufflepuff, tiga anak kelas dua di meja Gryffindor, dua anak kelas satu di meja Ravenclaw, dan satu anak kelas enam di meja Slytherin.
Lucy setengah berharap seorang cowok yang duduk di meja Slytherin itu Draco, tetapi separo hatinya lagi juga tidak ingin bertemu Draco.
Betapa leganya ia melihat cowok kelas enam Slytherin itu bukan Draco.
Ada roti bakar kesukaan Lucy di meja makan. Ia mengambil banyak-banyak. Rasanya tenaganya sudah habis setelah menangis semalam suntuk.
Ketika Lucy sedang menuang madu ke atas pancakenya, matanya menangkap seseorang yang baru saja masuk Aula Besar, beriringan dengan dua kroninya.
Draco Malfoy. Dan Crabbe, dan Goyle.
Untung Lucy duduk membelakangi meja Slytherin, jadi dia tidak perlu mengambil resiko terus memandangi Draco - atau punggungnya, kalau Draco duduk membelakangi meja Ravenclaw - selama ia menghabiskan pancakenya.
Lucy masih bertanya-tanya kenapa tangan Draco dibebat perban begitu.
Tetapi Lucy tidak begitu berharap.
Draco juga sudah melihat Lucy, dan melihat dengan matanya yang tajam, mata Lucy yang sembap. Draco mengira Lucy masih meneruskan tangisnya sejak kepergiannya yang dramatis di perpustakaan kemarin.
"Asyik, ayam!" kata Goyle senang, menuju meja Slytherin.
"Hei, Draco, cepat kemari," panggil Crabbe yang sudah duduk di sebelah cowok kelas enam Slytherin yang datang lebih awal, Zabini Blaise.
Draco masih terpaku di pintu Aula Besar memandangi meja Ravenclaw.
"Hei, Draco!" kata Goyle agak keras. "Kau tidak mau ayam?" tanyanya, mengigit sepotong besar paha ayam goreng.
Draco sadar dari lamunannya dan segera duduk di meja Slytherin. Diambilnya semangkuk besar sereal.
"Ambilkan susu itu," pintanya pada Zabini, yang sedang mengunyah sandwich. Zabini menyodorkan seteko susu ke dekat Draco, yang langsung menuangnya ke mangkuk serealnya.
Dan dia mulai makan dengan cepat.
"Woo, woo, Draco," kata Zabini. "Santai, man. Kau tidak makan kemarin malam?"
"Aku kelaparan," kata Draco tak acuh.
"Bukan kelaparan, tapi kelelahan," celetuk Crabbe.
Draco melempar pandang memperingatkan pada Crabbe, yang langsung diam. Tampaknya Zabini tidak mendengar sesuatu yang aneh menurutnya, karena dia tetap menyantap sandwichnya.
Karena semalam setelah diobati Madam Pomfrey, Draco kembali ke Kamar Kebutuhan untuk mengecek Lemari Pelenyap yang sudah setahun ini berusaha diperbaikinya. Tentu saja dengan Crabbe dan Goyle berjaga di koridor lantai tujuh dengan menyamar sebagai anak kelas satu, agar orang-orang tidak curiga, dan agar bisa memberi tanda kepada Draco jika sewaktu-waktu ada seseorang yang mencurigakan yang mendekati Kamar Kebutuhan. Dalam kasus Draco, Harry Potter dan kawan-kawannya.
Dan setelah menghabiskan sereal, Draco beralih ke paha ayam goreng yang berwarna coklat keemasan, yang seketika mengingatkannya pada sosok burung hantu berwarna coklat keemasan, Western, dan Kandang Burung Hantu, dan wajah Lucy yang semakin mendekat...
"Dracoooooooo!" jerit seseorang dari pintu Aula Besar.
Jeritan itu membangunkan Draco dari kenangannya.
Pansy Parkinson duduk di sebelah Draco dan mengecup pipinya.
"Hai," gumam Draco.
Terdengar denting perabotan yang jatuh dari arah meja Ravenclaw. Lucy Rothbelle menggebrak mejanya, menjatuhkan teko susu, piring perak kosong yang tadinya berisi roti bakar, dan sendok sereal. Ia membungkuk pada semua orang yang memandangnya karena kegaduhan yang ditimbulkannya sambil berkata minta maaf. Kemudian ia berjongkok di bawah meja untuk mengambil perabotan yang dijatuhkannya tadi. Profesor McGonagall sudah turun dari meja guru dan membantu membereskan kekacauan itu. Lucy membungkuk sekali lagi pada Profesor McGonagall yang sedang membersihkan genangan susu dari lantai dan menaruh tekonya di atas meja. Waktu Lucy duduk lagi di meja, teko susunya sudah penuh. Profesor McGonagall menepuk bahu Lucy pelan.
"Bikin kaget saja," kata Pansy yang memperhatikan selama beberapa saat, lalu kembali merepet Draco, yang masih berbalik dari duduknya untuk melihat Lucy.
"Anak Ravenclaw memang suka aneh-aneh," komentar Zabini lagi.
"Tidak heran, dia kan temannya si Loony Lovegood itu," kata Pansy menambahkan. "Draco?"
Draco menghadap mejanya lagi. Ia mengangkat bahu dan kemudian meneruskan menyantap ayam gorengnya.
"Hei, Draco," tegur Zabini. "Kau tidak tertarik pada anak Ravenclaw itu, kan?"
Pansy menghentikan suapan serealnya di udara. "Tidak mungkin," katanya tertawa, menganggap Zabini hanya bercanda.
Draco tidak menjawab Zabini ataupun mengomentari perkataan Pansy.
"Draco, ada apa dengan tanganmu?" pekik Pansy kaget, melihat perban yang membebat tangan Draco.
Draco urung untuk menjawab, tetapi ia tersenyum sinis sejenak, kemudian berkata,
"Pangeran Kegelapan menghukumku."
* * *
P.S.
Lagi-lagi cerita yang mengalir begitu saja dari benakku, sempat terbersit untuk menjadikan chapter ini chapter terakhir, tetapi ternyata lebih panjang dari yang saya perkirakan. Disini juga terlihat bagaimana egoisme seorang gadis yang sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa mengalahkan segala hal yang lebih penting - sesuatu yang SEMPAT terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu. Oh, dan saya menulis adegan sarapan di Aula Besar itu ketika saya sedang kelaparan, semua makanan itu: sereal, susu, sandwich, roti bakar, ayam goreng, semua saya tulis sambil membayangkan saya sedang memakannya, yummy. Ngomong-ngomong, sudah lama saya tidak makan ayam. Skip that last one. Dan, review, please :))
R.A.
5 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar