Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Minerva McGonagall
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER III
Lucy tidak bisa mempercayai pendengarannya. "Apa?"
Draco mengulangi kalimatnya. "Iya, akan kujelaskan semuanya."
"Baiklah," Lucy melipat kedua tangannya di depan dada. "Dari awal."
"Berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapapun," ujar Draco, dia terlihat sungguh-sungguh.
Lucy mengangkat alisnya. "Oke, aku berjanji."
Draco menghela napas panjang. "Semuanya berawal sejak malam itu..."
Dan dari mulut Draco mengalirlah semua cerita itu; mulai dari pertemuan Pelahap Maut dengan Pangeran Kegelapan, rencana mereka, tugas yang diberikan Pangeran Kegelapan kepada dirinya, tugas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh siapapun.
Tanpa sadar Lucy telah melepaskan lipatan tangannya. "Apa?"
Draco telah selesai bercerita. "Yeah. Begitulah. Apa ini sudah menjelaskan segalanya?"
Lucy masih ternganga. "Kau... ditugaskan untuk..."
Dia tidak meneruskannya. Draco juga tidak berminat meneruskannya.
"Aku yakin kali ini akan berhasil," gumam Draco, lebih kepada dirinya sendiri daripada Lucy yang serius mendengarkan. "Aku yakin, pasti akan berhasil. Tinggal sedikit lagi... dan aku akan menyelamatkan keluargaku... Ayah dan Ibu..."
"Tidak sadarkah kau?" ujar Lucy getir. Air matanya menggenang. "Apa yang kau lakukan, menyanggupi tugas mustahil seperti itu?"
"Ayah dan Ibuku juga dalam bahaya kalau aku tidak melakukannya!" bantah Draco. "Dengan melakukan tugas dari Pangeran Kegelapan, Ayah dan Ibuku bisa bebas dari ancaman Pangeran Kegelapan."
"Tapi, Draco..." kali ini Lucy benar-benar menangis. "Orang yang kau bicarakan ini, orang yang kita bicarakan ini, bukan orang sembarangan! Penyihir besar! Bahkan aku pun tak yakin Pangeran Kegelapan berani melawannya! Sedangkan kau, Draco? Kau baru saja kelas 6 di Hogwarts! Kau bukan tandingannya... apa yang akan kau rencanakan untuk melakukan tugas itu? Hal-hal berbahaya lagi? Sudah cukup aku melihatmu pucat sepanjang tahun ini, Draco, bahkan kekhawatiranmu karena rencanamu gagal, dan banyak orang-orang tak bersalah yang salah sasaran..."
"Itu karena aku kurang teliti! Dan itu hanya sebagian kecil dari rencanaku, ada satu rencana besar yang sedang kususun, dan pasti kali ini akan berhasil..."
Lucy terisak kecil. "Oh, Draco," gumamnya miris, "aku, aku..."
"Jangan menangis," ujar Draco geram. "Aku tak pernah cukup berharga untuk ditangisi."
Lucy menghambur ke pelukan Draco, yang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.
"Ngng," gumam Draco. "Sudahlah."
Dan Draco, yang sebenarnya sudah terbiasa dengan sikap manja Pansy, kali ini bingung bagaimana cara menghadapi seorang gadis yang terisak di pelukannya.
"Aku, aku, aku..." isak Lucy, "aku mencemaskanmu, Draco..."
"Aku tahu," kata Draco, meski dia tidak benar-benar tahu. "Aku tahu."
Lucy tidak bicara, dia hanya terus menangis tak terkendali.
"Hei," kata Draco bimbang. "Aku... minta maaf karena sudah menceritakannya padamu."
"Aku sendiri pun bingung kenapa aku menangis mendengarnya," kata Lucy. "Aku terus-terusan melihatmu pucat, cemas, terlihat putus asa, bingung, dan melihatmu begitu aku juga jadi cemas... belum lagi dengan tugas-tugas OWL-ku yang semakin banyak... aku bingung..."
Draco membalas pelukan Lucy setelah selama ini Lucy yang merangkulnya, membasahi jubahnya dengan air mata. Lucy tersentak dan nyaris meleleh. Ia akhirnya melepaskan Draco, setelah Draco mengusap rambutnya sekilas.
"Maaf telah membuatmu bingung," gumam Draco, menunduk menatap lantai.
Lucy mengusap matanya. Lalu tertawa dengan mata dan hidung merah. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya memendam perasaan ini," kata Lucy.
"Maafkan aku," kata Draco lagi.
"Tidak, aku yang minta maaf," ujar Lucy serius. "Aku yang telah begitu bodoh memintamu menceritakannya padaku, padahal kau sudah bersumpah tidak akan menceritakannya pada siapapun, bahkan Profesor Snape..."
Draco mengangkat bahunya. "Kau sudah tahu terlalu banyak," senyumnya.
"Kau tidak akan terkena masalah hanya karena menceritakannya padaku, kan? Bahkan Crabbe dan Goyle tampaknya tak tahu apa yang kau lakukan..." kata Lucy tak yakin.
"Tidak, tenang saja," ujar Draco tak acuh. "Sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kalau aku tidak bisa melakukan tugas ini."
"Memangnya apa... hukuman yang akan dia berikan?" tanya Lucy, mengira-ngira.
Draco, yang entah kenapa dalam hatinya terbersit keinginan untuk tidak membuat Lucy menangis dan cemas lagi, hanya menggeleng singkat dan tersenyum misterius. Ia suka efek dramatis yang ditimbulkannya ketika dirinya memandang ke langit di luar Kandang Burung Hantu dan membiarkan Lucy menebak-nebak sendiri, meskipun Draco tahu bahwa tak ada satu pun dari tebakan Lucy yang benar-benar tepat.
* * *
"Kau tidak ditanyai Pansy?" tanya Lucy. "Tentang kepergianmu kesini malam-malam begini?"
Mereka bertemu lagi malam harinya, kali ini di Kamar Kebutuhan. Draco memang sudah mengabari Lucy tentang benda yang sedang berusaha diperbaikinya di ruangan besar itu. Lucy datang terlebih dahulu, menghindari kemungkinan Draco datang bersama dua kroninya yang tinggi gede itu. Tetapi rupanya Draco datang sendiri.
"Dia sedang ada pelajaran tambahan dengan Profesor Sprout," jawab Draco asal, tak bisa memikirkan alasan lain yang lebih logis. Tetapi tampaknya Lucy tidak mengindahkannya. Lucy sudah senang sekali bisa berdua saja dengan Draco hingga tak bisa memikirkan apapun.
Tentu saja, jiwa Ravenclaw-nya masih tersentak jika ingat akan OWL yang akan datang sebentar lagi. Oleh karena itu ia membawa serta buku-buku miliknya.
"Kau tidak berniat belajar disini kan," kata Draco, merapalkan mantra-mantra tertentu di depan sebuah lemari besar.
"Ya," kata Lucy serius. Dia sudah menyalakan beberapa lilin untuk membantunya membaca buku setebal lima senti di hadapannya. Tak lupa dengan perkamen panjang menjuntai ke lantai. "Aku harus mulai mengerjakan tugas Sejarah Sihir-nya Profesor Binns. Panjangnya minimal satu setengah meter, ya ampun..."
Draco mengangkat alis. "Kau mengingatkanku pada masa-masa itu," cengirnya, masih sibuk dengan lemarinya.
"Kau pasti santai menghadapinya," gumam Lucy sengau.
"Tidak juga," kata Draco, tetapi tidak bercerita lebih jauh.
Kemudian suasana hening. Lucy menguap. Ia mengucek matanya, lalu mendongak. Baru sadar bahwa sedari tadi Draco mengawasinya bekerja dengan duduk di kursi di depannya.
Jantung Lucy mendadak berdebar kencang. "Ada apa?" tanyanya.
"Kau tahu, kurasa aku juga melihatmu sekilas ketika aku dibawa ke rumah sakit..." kata Draco.
"Hah?"
Lagi-lagi Lucy berusaha mengutak-atik memorinya.
"Oh, waktu itu... yeah, kau tidak tahu bagaimana cemasnya aku ketika kau dibawa keluar toilet oleh Profesor Snape..."
"Kau mendengar pertempuran waktu itu, ya?"
"Well, em," kata Lucy gugup. "Ya. Waktu Katie Bell kembali dari rumah sakit. Kau tampak gelisah dan segera keluar dari Aula Besar... diikuti Harry... dan seperti kejadian di pesta Profesor Slughorn, aku mengikutinya dan dirimu..."
Draco menunggu, memandang mata Lucy.
"Karena kau terlihat... takut..." tambah Lucy kemudian, tak berani menatap mata Draco. "Maaf, aku telah begitu banyak merepotkanmu."
"Waktu itu kau menangis, kan?" tanya Draco.
"Menurutmu bagaimana perasaanku melihatmu dipapah Profesor Snape keluar toilet dengan tubuh bersimbah darah begitu? Kau yang pucat, lemas..." sahut Lucy miris, seketika pikirannya terbawa ke memori mengerikan itu. "Dan sebelumnya aku mendengar Mrytle Merana berteriak ada pembunuhan di toilet..."
Draco mencerna seluruh kalimat Lucy, mengimajinasikannya. Dia memang benar-benar ingat sosok gadis yang diusir keluar dari rumah sakit oleh Madam Pomfrey. Gadis berambut merah kecoklatan yang berlinangan air mata.
Gadis yang ternyata dia sukai.
Kenapa baru sekarang dia sadar? Draco menertawakan dirinya, dalam hati, lagi. Bahkan sejak melihat Lucy Rothbelle di pesta Slughorn, Draco sudah tahu bahwa Lucy berbeda. Entah apa yang membedakan Lucy dengan gadis lain, Draco tidak tahu. Draco hanya tahu bahwa dia agak sedikit perhatian pada Lucy.
Hanya saja Draco tidak tahu bahwa sedikit perhatian yang dia maksud itu berpengaruh sangat besar pada Lucy.
Lucy menyadari bahwa sedari tadi Draco memandangnya. "Ada apa lagi?" tanya Lucy tersenyum. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"
"Tidak ada apa-apa," kata Draco, tersenyum.
Tetapi dalam temaramnya cahaya lilin, bunyi goresan pena-bulu Lucy diatas perkamennya, dan gumaman-gumaman Draco merapalkan mantra, mereka berdua tahu bahwa mereka sedang saling memikirkan satu sama lain.
* * *
R.A.
17 Januari 2011
Author: antiquelaras
Casts: Lucy Rothbelle, Draco Malfoy, Crabbe, Goyle, Pansy Parkinson, Minerva McGonagall
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua tokoh dan karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. Lucy Rothbelle is just my imaginary character :)
>>
CHAPTER III
Lucy tidak bisa mempercayai pendengarannya. "Apa?"
Draco mengulangi kalimatnya. "Iya, akan kujelaskan semuanya."
"Baiklah," Lucy melipat kedua tangannya di depan dada. "Dari awal."
"Berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapapun," ujar Draco, dia terlihat sungguh-sungguh.
Lucy mengangkat alisnya. "Oke, aku berjanji."
Draco menghela napas panjang. "Semuanya berawal sejak malam itu..."
Dan dari mulut Draco mengalirlah semua cerita itu; mulai dari pertemuan Pelahap Maut dengan Pangeran Kegelapan, rencana mereka, tugas yang diberikan Pangeran Kegelapan kepada dirinya, tugas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh siapapun.
Tanpa sadar Lucy telah melepaskan lipatan tangannya. "Apa?"
Draco telah selesai bercerita. "Yeah. Begitulah. Apa ini sudah menjelaskan segalanya?"
Lucy masih ternganga. "Kau... ditugaskan untuk..."
Dia tidak meneruskannya. Draco juga tidak berminat meneruskannya.
"Aku yakin kali ini akan berhasil," gumam Draco, lebih kepada dirinya sendiri daripada Lucy yang serius mendengarkan. "Aku yakin, pasti akan berhasil. Tinggal sedikit lagi... dan aku akan menyelamatkan keluargaku... Ayah dan Ibu..."
"Tidak sadarkah kau?" ujar Lucy getir. Air matanya menggenang. "Apa yang kau lakukan, menyanggupi tugas mustahil seperti itu?"
"Ayah dan Ibuku juga dalam bahaya kalau aku tidak melakukannya!" bantah Draco. "Dengan melakukan tugas dari Pangeran Kegelapan, Ayah dan Ibuku bisa bebas dari ancaman Pangeran Kegelapan."
"Tapi, Draco..." kali ini Lucy benar-benar menangis. "Orang yang kau bicarakan ini, orang yang kita bicarakan ini, bukan orang sembarangan! Penyihir besar! Bahkan aku pun tak yakin Pangeran Kegelapan berani melawannya! Sedangkan kau, Draco? Kau baru saja kelas 6 di Hogwarts! Kau bukan tandingannya... apa yang akan kau rencanakan untuk melakukan tugas itu? Hal-hal berbahaya lagi? Sudah cukup aku melihatmu pucat sepanjang tahun ini, Draco, bahkan kekhawatiranmu karena rencanamu gagal, dan banyak orang-orang tak bersalah yang salah sasaran..."
"Itu karena aku kurang teliti! Dan itu hanya sebagian kecil dari rencanaku, ada satu rencana besar yang sedang kususun, dan pasti kali ini akan berhasil..."
Lucy terisak kecil. "Oh, Draco," gumamnya miris, "aku, aku..."
"Jangan menangis," ujar Draco geram. "Aku tak pernah cukup berharga untuk ditangisi."
Lucy menghambur ke pelukan Draco, yang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.
"Ngng," gumam Draco. "Sudahlah."
Dan Draco, yang sebenarnya sudah terbiasa dengan sikap manja Pansy, kali ini bingung bagaimana cara menghadapi seorang gadis yang terisak di pelukannya.
"Aku, aku, aku..." isak Lucy, "aku mencemaskanmu, Draco..."
"Aku tahu," kata Draco, meski dia tidak benar-benar tahu. "Aku tahu."
Lucy tidak bicara, dia hanya terus menangis tak terkendali.
"Hei," kata Draco bimbang. "Aku... minta maaf karena sudah menceritakannya padamu."
"Aku sendiri pun bingung kenapa aku menangis mendengarnya," kata Lucy. "Aku terus-terusan melihatmu pucat, cemas, terlihat putus asa, bingung, dan melihatmu begitu aku juga jadi cemas... belum lagi dengan tugas-tugas OWL-ku yang semakin banyak... aku bingung..."
Draco membalas pelukan Lucy setelah selama ini Lucy yang merangkulnya, membasahi jubahnya dengan air mata. Lucy tersentak dan nyaris meleleh. Ia akhirnya melepaskan Draco, setelah Draco mengusap rambutnya sekilas.
"Maaf telah membuatmu bingung," gumam Draco, menunduk menatap lantai.
Lucy mengusap matanya. Lalu tertawa dengan mata dan hidung merah. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya memendam perasaan ini," kata Lucy.
"Maafkan aku," kata Draco lagi.
"Tidak, aku yang minta maaf," ujar Lucy serius. "Aku yang telah begitu bodoh memintamu menceritakannya padaku, padahal kau sudah bersumpah tidak akan menceritakannya pada siapapun, bahkan Profesor Snape..."
Draco mengangkat bahunya. "Kau sudah tahu terlalu banyak," senyumnya.
"Kau tidak akan terkena masalah hanya karena menceritakannya padaku, kan? Bahkan Crabbe dan Goyle tampaknya tak tahu apa yang kau lakukan..." kata Lucy tak yakin.
"Tidak, tenang saja," ujar Draco tak acuh. "Sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kalau aku tidak bisa melakukan tugas ini."
"Memangnya apa... hukuman yang akan dia berikan?" tanya Lucy, mengira-ngira.
Draco, yang entah kenapa dalam hatinya terbersit keinginan untuk tidak membuat Lucy menangis dan cemas lagi, hanya menggeleng singkat dan tersenyum misterius. Ia suka efek dramatis yang ditimbulkannya ketika dirinya memandang ke langit di luar Kandang Burung Hantu dan membiarkan Lucy menebak-nebak sendiri, meskipun Draco tahu bahwa tak ada satu pun dari tebakan Lucy yang benar-benar tepat.
* * *
"Kau tidak ditanyai Pansy?" tanya Lucy. "Tentang kepergianmu kesini malam-malam begini?"
Mereka bertemu lagi malam harinya, kali ini di Kamar Kebutuhan. Draco memang sudah mengabari Lucy tentang benda yang sedang berusaha diperbaikinya di ruangan besar itu. Lucy datang terlebih dahulu, menghindari kemungkinan Draco datang bersama dua kroninya yang tinggi gede itu. Tetapi rupanya Draco datang sendiri.
"Dia sedang ada pelajaran tambahan dengan Profesor Sprout," jawab Draco asal, tak bisa memikirkan alasan lain yang lebih logis. Tetapi tampaknya Lucy tidak mengindahkannya. Lucy sudah senang sekali bisa berdua saja dengan Draco hingga tak bisa memikirkan apapun.
Tentu saja, jiwa Ravenclaw-nya masih tersentak jika ingat akan OWL yang akan datang sebentar lagi. Oleh karena itu ia membawa serta buku-buku miliknya.
"Kau tidak berniat belajar disini kan," kata Draco, merapalkan mantra-mantra tertentu di depan sebuah lemari besar.
"Ya," kata Lucy serius. Dia sudah menyalakan beberapa lilin untuk membantunya membaca buku setebal lima senti di hadapannya. Tak lupa dengan perkamen panjang menjuntai ke lantai. "Aku harus mulai mengerjakan tugas Sejarah Sihir-nya Profesor Binns. Panjangnya minimal satu setengah meter, ya ampun..."
Draco mengangkat alis. "Kau mengingatkanku pada masa-masa itu," cengirnya, masih sibuk dengan lemarinya.
"Kau pasti santai menghadapinya," gumam Lucy sengau.
"Tidak juga," kata Draco, tetapi tidak bercerita lebih jauh.
Kemudian suasana hening. Lucy menguap. Ia mengucek matanya, lalu mendongak. Baru sadar bahwa sedari tadi Draco mengawasinya bekerja dengan duduk di kursi di depannya.
Jantung Lucy mendadak berdebar kencang. "Ada apa?" tanyanya.
"Kau tahu, kurasa aku juga melihatmu sekilas ketika aku dibawa ke rumah sakit..." kata Draco.
"Hah?"
Lagi-lagi Lucy berusaha mengutak-atik memorinya.
"Oh, waktu itu... yeah, kau tidak tahu bagaimana cemasnya aku ketika kau dibawa keluar toilet oleh Profesor Snape..."
"Kau mendengar pertempuran waktu itu, ya?"
"Well, em," kata Lucy gugup. "Ya. Waktu Katie Bell kembali dari rumah sakit. Kau tampak gelisah dan segera keluar dari Aula Besar... diikuti Harry... dan seperti kejadian di pesta Profesor Slughorn, aku mengikutinya dan dirimu..."
Draco menunggu, memandang mata Lucy.
"Karena kau terlihat... takut..." tambah Lucy kemudian, tak berani menatap mata Draco. "Maaf, aku telah begitu banyak merepotkanmu."
"Waktu itu kau menangis, kan?" tanya Draco.
"Menurutmu bagaimana perasaanku melihatmu dipapah Profesor Snape keluar toilet dengan tubuh bersimbah darah begitu? Kau yang pucat, lemas..." sahut Lucy miris, seketika pikirannya terbawa ke memori mengerikan itu. "Dan sebelumnya aku mendengar Mrytle Merana berteriak ada pembunuhan di toilet..."
Draco mencerna seluruh kalimat Lucy, mengimajinasikannya. Dia memang benar-benar ingat sosok gadis yang diusir keluar dari rumah sakit oleh Madam Pomfrey. Gadis berambut merah kecoklatan yang berlinangan air mata.
Gadis yang ternyata dia sukai.
Kenapa baru sekarang dia sadar? Draco menertawakan dirinya, dalam hati, lagi. Bahkan sejak melihat Lucy Rothbelle di pesta Slughorn, Draco sudah tahu bahwa Lucy berbeda. Entah apa yang membedakan Lucy dengan gadis lain, Draco tidak tahu. Draco hanya tahu bahwa dia agak sedikit perhatian pada Lucy.
Hanya saja Draco tidak tahu bahwa sedikit perhatian yang dia maksud itu berpengaruh sangat besar pada Lucy.
Lucy menyadari bahwa sedari tadi Draco memandangnya. "Ada apa lagi?" tanya Lucy tersenyum. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"
"Tidak ada apa-apa," kata Draco, tersenyum.
Tetapi dalam temaramnya cahaya lilin, bunyi goresan pena-bulu Lucy diatas perkamennya, dan gumaman-gumaman Draco merapalkan mantra, mereka berdua tahu bahwa mereka sedang saling memikirkan satu sama lain.
* * *
R.A.
17 Januari 2011
0 komentar:
Posting Komentar