Senin, 03 September 2012

, , , , , ,

First Day


Hari yang melelahkan baru saja berlalu.

Tunggu sebentar, kalau gue nggak salah inget, ini hari pertama kuliah semester 5. Iya, ini baru hari pertama. Baru hari pertama dan gue sudah merasa lelah – semester macam apa lagi yang bakal gue jalanin enam bulan kedepan?

Masuk  jam tujuh, pulang habis maghrib. Sebenernya praktikum Orto II selesai jam empat, hanya saja gue memutuskan untuk meneruskan praktikum yang belum selesai biar nantinya gue nggak males-malesan doang di kosan. Mumpung masih rajin. Beberapa temen gue juga memutuskan hal yang sama, jadi, disanalah kami rame-rame, meneruskan praktikum.


Jam satu tadi praktikum Orto II (ya, kami langsung kerja bahkan di hari pertama kuliah yang biasanya cuma diisi oleh pengenalan atau apalah namanya) dan kami diharuskan mencetak rahang atas dan bawah partner kami. Kalau menyalin dari buku petunjuk praktikum “melakukan pencetakan antar teman”. Gue, temen gue Noni dan Bayu, saling cetak-mencetak. Dan ini bukan perkara mudah.

Mencetak rahang nggak sekali langsung selesai, biasanya sih. Dan buat pemula, mencetak satu rahang bisa sampai lima-enam kali cetak, meski, yah, ada juga yang sekali langsung berhasil. Berhubung dulu kami pernah nyetak antar temen juga, di Prosto I, jadi seharusnya pencetakan kali ini nggak terlalu sulit.

Dan ternyata kami salah. Memang tidak terlalu sulit, tapi malah nyaris sama dengan pencetakan waktu Prosto I. Hanya saja, yang harusnya 5-6 kali, sekarang sudah direduksi menjadi 3-4 kali. Sekitar itulah.

Kenapa harus berulang kali, sih?

Ada bagian-bagian anatomis yang harus tercetak–kayak langit-langit mulut, frenulum (itu semacam otot yang keliatan ketarik waktu lo narik bibir bawah ke bawah atau bibir atas ke atas, kayak ada yang ketarik kan?), macem-macem yang lain deh. Gue tidak akan menyebutkan nama-namanya, karena mungkin bisa bikin pembaca gue ilfil baca sesuatu yang bukan bahasa awam. Intinya begitu. Semua harus kecetak.

Belum lagi cara ngaduk juga pengaruh. Konsistensi adonan juga harus tepat – biar nggak kelamaan di mulut dan nggak menyebabkan rasa nggak nyaman. Nggak boleh keenceran, ntar malah ketelen, berabe. Nggak boleh terlalu kental juga, ntar nggak kecetak giginya.

Dan, bahan cetak yang warna pink dan rasa mint itu – namanya alginat – cepet banget mengeras (setting) jadi harus cepet-cepet dimasukin mulut dan ditekankan ke gigi-gigi di rahang. Wuih... perlu kerja ekstrim deh kalau pemula. Kalau yang udah biasa, ya gampang aja biasanya. Apalagi kalau yang dicetak juga kooperatif. Biasanya anak KG mulutnya udah biasa dicetak-cetak, jadi anak koass atau drg yang meriksa juga agak gampang nyetaknya, hahaha.

Satu hal lain yang sulit adalah biasanya pasien suka ngerasa pengen muntah karena langit-langit mulutnya kesodok bahan cetak. Ya, bahan cetak yang kebanyakan dan kedorong kesana bikin otot-otot disana ngerasa bakal ada yang masuk, dan menolak memasukkannya. Jadilah refleks ingin muntah itu. Kalo udah gini biasanya anak-anak udah pada paham – bernapaslah lewat hidung! Itu adalah kunci sukses pencetakan. Bernapas lewat hidung. Relaksasi diri. Tarik napas... hembuskan...

Biasanya praktikum yang melibatkan bahan cetak seperti alginat dan gips stone buat ngisi cetakan ini bakal bikin lab kotor banget. Nggak cuma lab, tapi juga manusia-nya. Ngaduk alginat dan gips juga lumayan bikin baju kotor... pemula biasanya ngaduk terlalu semangat sampai adonan tumpah-tumpah (yang, mestinya gue tau dari awal, adonan tumpah-tumpah bukanlah tanda-tanda kecakapan melainkan tanda ketidakcakapan) atau malah ngaduk terlalu pelan (dan tahu-tahu adonannya udah keras. Waktu setting alginat sekitar 1-2 menit...). Alginat di rambut, di jas lab, di sepatu, bukan pemandangan yang luar biasa disini. Ketumpahan gips stone, becek gara-gara air dari wastafel yang dipakai ngaduk alginat dan gips, juga adalah pemandangan biasa. Sisa-sisa alginat yang udah mengeras, gips biru yang udah keras juga, tumpahan-tumpahan di lantai, dianggap seperti sampah biasa. Serem memang. Tapi mau gimana lagi.

kiri: cetakan gigi dari alginat yang sudah dikasih gips stone warna biru.
kanan: cetakan gigi dari alginat yang belum diisi gips, ditempelin tisu basah biar dimensinya nggak berubah

hasil cetakan gips stone. kiri rahang atas, kanan rahang bawah

Oleh karena itu kami semua disuruh bawa koran – yang biasa beberapa orang memutuskan untuk melupakannya, dan pada akhirnya semua berbagi koran. Koran dibeli hanya untuk jadi alas praktikum... menyedihkan, ya.

Tadi gue berkali-kali nyetak (dan dicetak) temen gue si Bayu dan Noni. Lelah banget rasanya. Ngaduk-ngaduk terus.

Gue sempet mikir, gue (dan temen-temen gue) tiap hari kayak gini (lagi)? Setelah semester 4 yang lumayan santai (tapi dengan IP yang tidak bisa bikin santai sama sekali)? Praktikum yang cukup padat? Dan belum dapet gigi sampai sekarang??? DAN HARGA ALAT-ALAT YANG NGGAK MURAH???

Gue jelas harus segera melakukan sesuatu.

Gue mau makan dulu, ya. Laper banget dari tadi siang, rasanya energi gue udah terkuras habis gara-gara ngaduk alginat-nyetak RA-ngaduk alginat-nyetak RA-ngaduk alginat-nyetak RB-ngaduk alginat-nyetak RB-turun ke lantai 4-temuin dosen-naik ke lantai 5-ngaduk gips-masukin gips ke cetakan-nunggu setting-bantuin temen nyetak-ngisi gips-dicetak temen-gagal-dicetak lagi-gagal-dicetak lagi-kelar-turun ke lantai  1-ke belakang IKGA-ngisi gips-bantuin temen ngisi gips-ngambil cetakan dari alginat-kurang puas-ngisi gips lagi-nunggu setting dan akhirnya, setelah jam lima, gue menyerah dan kabur ke mushola untuk memanjatkan doa pada ALLAH SWT, kemudian memutuskan pulang. Pulang dengan rambut sudah jadi keriting dan lepek, ketempelan alginat, dan sepatu ditaburi gips.

ini sepatu item gue, ada bintik-bintiknya di bagian luar
 Nggak keliatan? Ini di-zoom.

bagian tumit paling parah

ini sih udah gue bersihin dikit-dikit


Dinner gue hari ini lele goreng plus sayur wortel plus sambel. Yuk.



3 September 2012

0 komentar:

Posting Komentar