Hari yang melelahkan baru saja berlalu.
Tunggu sebentar, kalau gue nggak salah inget, ini hari pertama kuliah
semester 5. Iya, ini baru hari pertama. Baru hari pertama dan gue sudah merasa
lelah – semester macam apa lagi yang bakal gue jalanin enam bulan kedepan?
Masuk jam tujuh, pulang habis
maghrib. Sebenernya praktikum Orto II selesai jam empat, hanya saja gue
memutuskan untuk meneruskan praktikum yang belum selesai biar nantinya gue
nggak males-malesan doang di kosan. Mumpung masih rajin. Beberapa temen gue
juga memutuskan hal yang sama, jadi, disanalah kami rame-rame, meneruskan
praktikum.
Jam satu tadi praktikum Orto II (ya, kami langsung kerja bahkan di hari
pertama kuliah yang biasanya cuma diisi oleh pengenalan atau apalah namanya)
dan kami diharuskan mencetak rahang atas dan bawah partner kami. Kalau menyalin
dari buku petunjuk praktikum “melakukan
pencetakan antar teman”. Gue, temen gue Noni dan Bayu, saling
cetak-mencetak. Dan ini bukan perkara mudah.
Mencetak rahang nggak sekali langsung selesai, biasanya sih. Dan buat
pemula, mencetak satu rahang bisa sampai lima-enam kali cetak, meski, yah, ada
juga yang sekali langsung berhasil. Berhubung dulu kami pernah nyetak antar
temen juga, di Prosto I, jadi seharusnya pencetakan kali ini nggak terlalu
sulit.
Dan ternyata kami salah. Memang tidak terlalu sulit, tapi malah nyaris
sama dengan pencetakan waktu Prosto I. Hanya saja, yang harusnya 5-6 kali,
sekarang sudah direduksi menjadi 3-4 kali. Sekitar itulah.
Kenapa harus berulang kali, sih?
Ada bagian-bagian anatomis yang harus tercetak–kayak langit-langit
mulut, frenulum (itu semacam otot yang keliatan ketarik waktu lo narik bibir
bawah ke bawah atau bibir atas ke atas, kayak ada yang ketarik kan?), macem-macem
yang lain deh. Gue tidak akan menyebutkan nama-namanya, karena mungkin bisa
bikin pembaca gue ilfil baca sesuatu yang bukan bahasa awam. Intinya begitu. Semua
harus kecetak.
Belum lagi cara ngaduk juga pengaruh. Konsistensi adonan juga harus
tepat – biar nggak kelamaan di mulut dan nggak menyebabkan rasa nggak nyaman. Nggak
boleh keenceran, ntar malah ketelen, berabe. Nggak boleh terlalu kental juga,
ntar nggak kecetak giginya.
Dan, bahan cetak yang warna pink dan rasa mint itu – namanya alginat – cepet
banget mengeras (setting) jadi harus cepet-cepet dimasukin mulut dan ditekankan
ke gigi-gigi di rahang. Wuih... perlu kerja ekstrim deh kalau pemula. Kalau
yang udah biasa, ya gampang aja biasanya. Apalagi kalau yang dicetak juga
kooperatif. Biasanya anak KG mulutnya udah biasa dicetak-cetak, jadi anak koass
atau drg yang meriksa juga agak gampang nyetaknya, hahaha.
Satu hal lain yang sulit adalah biasanya pasien suka ngerasa pengen
muntah karena langit-langit mulutnya kesodok bahan cetak. Ya, bahan cetak yang kebanyakan
dan kedorong kesana bikin otot-otot disana ngerasa bakal ada yang masuk, dan
menolak memasukkannya. Jadilah refleks ingin muntah itu. Kalo udah gini
biasanya anak-anak udah pada paham – bernapaslah lewat hidung! Itu adalah kunci
sukses pencetakan. Bernapas lewat hidung. Relaksasi diri. Tarik napas... hembuskan...
Biasanya praktikum yang melibatkan bahan cetak seperti alginat dan gips
stone buat ngisi cetakan ini bakal bikin lab kotor banget. Nggak cuma lab, tapi
juga manusia-nya. Ngaduk alginat dan gips juga lumayan bikin baju kotor...
pemula biasanya ngaduk terlalu semangat sampai adonan tumpah-tumpah (yang,
mestinya gue tau dari awal, adonan tumpah-tumpah bukanlah tanda-tanda kecakapan
melainkan tanda ketidakcakapan) atau malah ngaduk terlalu pelan (dan tahu-tahu
adonannya udah keras. Waktu setting
alginat sekitar 1-2 menit...). Alginat di rambut, di jas lab, di sepatu, bukan
pemandangan yang luar biasa disini. Ketumpahan gips stone, becek gara-gara air
dari wastafel yang dipakai ngaduk alginat dan gips, juga adalah pemandangan
biasa. Sisa-sisa alginat yang udah mengeras, gips biru yang udah keras juga,
tumpahan-tumpahan di lantai, dianggap seperti sampah biasa. Serem memang. Tapi
mau gimana lagi.
kiri: cetakan gigi dari alginat yang sudah dikasih gips stone warna biru. kanan: cetakan gigi dari alginat yang belum diisi gips, ditempelin tisu basah biar dimensinya nggak berubah |
hasil cetakan gips stone. kiri rahang atas, kanan rahang bawah |
Oleh karena itu kami semua disuruh bawa koran – yang biasa beberapa
orang memutuskan untuk melupakannya, dan pada akhirnya semua berbagi koran. Koran
dibeli hanya untuk jadi alas praktikum... menyedihkan, ya.
Tadi gue berkali-kali nyetak (dan dicetak) temen gue si Bayu dan Noni. Lelah
banget rasanya. Ngaduk-ngaduk terus.
Gue sempet mikir, gue (dan temen-temen gue) tiap hari kayak gini
(lagi)? Setelah semester 4 yang lumayan santai (tapi dengan IP yang tidak bisa
bikin santai sama sekali)? Praktikum yang cukup padat? Dan belum dapet gigi
sampai sekarang??? DAN HARGA ALAT-ALAT YANG NGGAK MURAH???
Gue jelas harus segera melakukan sesuatu.
Gue mau makan dulu, ya. Laper banget dari tadi siang, rasanya energi
gue udah terkuras habis gara-gara ngaduk alginat-nyetak RA-ngaduk
alginat-nyetak RA-ngaduk alginat-nyetak RB-ngaduk alginat-nyetak RB-turun ke
lantai 4-temuin dosen-naik ke lantai 5-ngaduk gips-masukin gips ke
cetakan-nunggu setting-bantuin temen nyetak-ngisi gips-dicetak
temen-gagal-dicetak lagi-gagal-dicetak lagi-kelar-turun ke lantai 1-ke belakang IKGA-ngisi gips-bantuin temen
ngisi gips-ngambil cetakan dari alginat-kurang puas-ngisi gips lagi-nunggu
setting dan akhirnya, setelah jam lima, gue menyerah dan kabur ke mushola untuk
memanjatkan doa pada ALLAH SWT, kemudian memutuskan pulang. Pulang dengan
rambut sudah jadi keriting dan lepek, ketempelan alginat, dan sepatu ditaburi
gips.
ini sepatu item gue, ada bintik-bintiknya di bagian luar |
bagian tumit paling parah |
ini sih udah gue bersihin dikit-dikit |
Dinner gue hari ini lele goreng plus sayur wortel plus sambel. Yuk.
3 September 2012
0 komentar:
Posting Komentar