7:20 (jam di ruang I, kuliah ilmu bedah)
Halo?
Seseorang?
Siapa saja... (kecuali orang-orang tertentu)
Dosen ilmu bedah saya barusan bertanya: ‘enak nggak kalo nggak punya reseptor nyeri?’
Selintas muncul di pikiran saya: ‘enak juga kadang, jadi nggak perlu ngerasain sakit kayak gini.’
Terus saya ketawa-ketawa sendiri dalam hati.
Tapi waktu dosen saya mengajukan pertanyaan itu, saya otomatis menjawab ‘tidak’. Otomatis lho. Percaya deh, nggak punya reseptor nyeri itu nggak enak. Bukannya saya tahu rasanya. Tapi, coba saja bayangkan.
Ah, betapa saya ingin pulang sekarang dan menangis sekencang-kencangnya di pelukan Ibu.
Being heartless is hurt. Trust me.
Tapi saya nggak akan menyerah – satu-satunya cara untuk tidak merasa ditinggalkan adalah dengan tidak pernah sama sekali meninggalkan seseorang. Tidak punya seseorang. Jadi tidak ada resiko ditinggalkan. Tidak ada resiko kehilangan. Tidak ada resiko sakit lagi.
A feeling like this.
An ending like this.
What should I say?
What should I do?
I was told to leave them all alone. That makes me all alone.
It’s hurt.
But it’s the best for everyone.
It’s the best.
Jadi dosen saya barusan bercerita tentang proses inflamasi dan analoginya dengan rumah yang ditabrak mobil. Misalnya Anda punya rumah yang tusuk sate – tepat di ujung jalan dari pertigaan. Kemudian ada mobil yang melaju kencang dari jalan di depan dan langsung menabrak dinding rumah Anda. Apa yang akan Anda lakukan pertama kali?
Panik, marah, ya.
Kemudian?
Minta ganti rugi, ya.
Dosen bedah saya menganalogikan kemarahan dan kepanikan itu sebagai proses inflamasi ketika ada luka. Bengkak, kemudian merah.
Kemudian?
Tentu Anda akan membersihkan runtuhan-runtuhan yang terjadi. Lalu, Anda memanggil tukang. Kemudian Anda akan membeli barang-barang untuk memperbaiki dinding yang rusak. Semen, batu bata, dan lain-lain. Anggaplah barang-barang ini adalah sel-sel yang akan berperan menutup luka.
Kemudian?
Setelah dinding kembali seperti semula – atau bahkan lebih bagus dari yang semula – masih ada semen, batu-bata, dan yang lain yang tersisa kan? Kemana itu akan pergi? Ya, disimpan lagi, di tempat yang baik.
Sama dengan proses wound healing.
Bedanya tembok dengan kulit kita adalah: tembok yang rusak jika diperbaiki akan kembali seperti dulu, atau bahkan lebih baik, lebih bagus. Tetapi, kalau kulit kita luka, akan timbul bekas, yaitu jaringan parut. Tidak akan seperti semula.
Kalau luka di kulit saja akan meninggalkan bekas, ada satu luka yang akan menimbulkan bekas yang dalam, yaitu... di hati. Makanya, jangan bikin luka di hati.
“Pelajaran moral hari ini,” tutup Dosen Ilmu Bedah saya.
Ini serius lho, beliau memang benar-benar mengatakan itu.
Aigooo~~
Kadang kuliah ilmu bedah ini menampilkan gambar-gambar yang menyeramkan di slide-nya. Jenis-jenis disturbing picture, semacam itu. Tapi kadang – tidak, selalu – ada ilmu-ilmu baru yang penting. Misalnya tentang cara menjahit luka.
Meski saya tidak pernah sama sekali kepikiran untuk mengambil spesialis Bedah Mulut nantinya. Ah, saya takut darah, sebenarnya.
Kenapa ya saya selalu menulis tentang kelemahan-kelemahan saya?
Tentang saya yang sok rapuh, sok lemah, dan sok suci? Sok bertingkah seolah-olah orang paling malang sedunia.
I wanna keep this as my own problem.
I don’t mean to spread this **** things to anybody.
But I just~
I just can’t help it.
My hands keep forcing me to type something on my notebook. And the next thing I know, a new posting is published on my blog.
Sometimes I wonder.
Bagaimana ya dulu di SMA saya bisa bertahan? Tiga tahun. Yah, tiga tahun kurang.
Entah bagaimana. Saya sering sekali memikirkan ini. Sungguh, saya ingin kembali ke SMA.
Apa karena di SMA saya tinggal bersama keluarga, sementara di Jogja saya tinggal sendiri?
Jadi saya merasa tidak punya siapa-siapa. Dan itu membuat semua beban terasa lebih berat dua kali lipat.
Tuh kan, saya tidak sadar sudah menulis seperti ini.
Jogja, 20 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar