Jumat, 28 Januari 2011

, ,

Black Dress and Red Rose - The Symphony of Death

Gaun hitam itu membungkus tubuhnya, indah. Kontras dengan wajahnya yang pucat tak berwarna. Matanya sembab, dan dirinya terlihat lelah. Digenggamnya setangkai bunga mawar merah, merekah. Tetapi ironis.


Gadis yang baru saja kehilangan seseorang yang sangat berharga baginya. Seseorang yang nyaris saja menjadi kekasihnya. Seseorang yang sudah berjanji untuk selalu menjaganya. Seseorang yang selama ini menemani dalam setiap kesendiriannya.


Sedetik, gadis itu pun berpikir. Untuk menyusul dirinya yang telah pergi. Agar bisa bersama, membagi cinta, di akhirat nanti.


Sebab hidup di dunia pun sudah tidak berarti lagi.


Apalah artinya hidup kalau bahkan mentari enggan bersinar untukmu. Pelangi enggan muncul untukmu. Seluruh dunia berbohong padamu. Seluruh dunia meninggalkanmu.


Dan satu-satunya orang yang pernah, dan mau, memberikan harapan untukmu, telah diambil darimu selamanya.


Dan meninggalkanmu sendirian di dunia.


Hidup memang kadang tidak adil.


Gadis itu menatap kosong ke arah peti mati. Memandang, tanpa melihat. Memandang, tetapi membayangkan wajahnya di benaknya. Memandang, dengan mata yang kering. Seakan air matanya sudah terkuras habis. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Menambah efek dramatis - meski tanpa dibuat-buat - dalam keseluruhan penampilannya.


Ia mendapat kehormatan menjadi orang pertama yang meletakkan bunga. Diletakkannya mawar merah itu di depan foto orang yang dicintainya setengah mati. Sesaat gadis itu mengira dirinya akan pingsan ketika melihat wajahnya lagi, meski hanya dalam foto, tetapi ternyata dia bisa menahannya.


Kemudian ia mundur perlahan. Pelan. Meniti langkah ke belakang sembari tetap memandang wajah orang terkasihnya. Tak ingin melepaskannya meski hanya sedetik saja. Matanya berair karena ia menolak berkedip - dia juga salah karena mengira air matanya sudah habis, ternyata tidak. Setitik air jatuh di pipinya. Bukan dirinya yang menangis. Tetapi langit yang menangis.


Sungguh sebuah ironi. Bahkan langit pun menangis untuk orang yang dicintainya - atau menangis untuknya? Ia tak bisa menafsirkan mana yang sesungguhnya sedang terjadi. Entah dirinya tak pernah terlalu berharga untuk dikasihani, atau alam terlalu lelah untuk menangisinya, ia tak tahu.


Tetapi kemudian seseorang berteriak.


"Lihat! Bahkan langit menangisi kepergiannya."


Kemudian dia menangis.


Seketika gadis itu sadar. Atas tangisan langit yang mendadak lebat. Makna hujan yang tiba-tiba itu. Itu menjelaskan segalanya - orang yang dicintainya, juga dicintai oleh semua orang. Bahkan alam.


Ia berharap bisa menghilang saat itu juga dan berada di tempat yang sama dengan orang tercintanya. Ia menghindari tatapan semua orang, bersembunyi di antara barisan orang-orang berbaju hitam. Menyamarkan dirinya. Dan bahkan tak berniat sedikitpun melindungi dirinya dari hujan yang semakin lebat, sementara puluhan orang di sekitarnya mulai membuka payung mereka.


Dan ia membiarkan dirinya terhanyut semakin dalam, mengikuti irama prosesi pemakaman itu. Mendengarkan dirinya membisu, membiarkan tenggorokannya rileks sejenak setelah tangisannya yang berlarut-larut selama dua hari. Dia tak yakin apakah dia masih bisa bersuara atau tidak. Membiarkan orang-orang pengganggu itu menyingkir dari sisinya. Membiarkan dirinya berdua dengan calon kekasihnya yang ada di dalam tanah. Membiarkan hujan membasahinya, gaun hitamnya, dan mawar merahnya.


Gadis itu berlutut. Dielusnya nisan calon kekasihnya.


"Sayang, biarkan aku menemanimu di dalam sana."


Gadis itu tersenyum dengan berat. Masih dielus-elusnya nisan calon kekasihnya.


"Sayang, kau bisa mendengarku? Jawablah jika kau mendengar."


Tidak ada jawaban. Gadis itu tersenyum lagi.


"Sayang, aku mencintaimu."


Sunyi senyap. Gadis itu sudah tidak tersenyum.


"Sayang, aku mencintaimu."


Suara gadis itu bergetar.


"Sayang, ayo pulang."


Hati gadis itu mencelos. Suara yang sama dengan yang didengarnya di rumah sakit sebelum ia melihat sendiri garis lurus pada alat aneh yang terpasang di tubuh calon kekasihnya. Dipalingkannya wajahnya ke arah suara itu.


Seseorang dengan wajah yang benar-benar mirip dengan orang itu.


"Kau tidak mau pulang?"


Gadis itu tidak menjawab.


"Kau tidak ingin pulang?"


"Aku tidak punya tempat untuk pulang."


"Kau bisa pulang ke tempatku."


"Aku bahkan tidak bisa mengingat siapa kau."


"Kau memang tidak mengenalku secara dalam."


"Kau mirip dengannya."


"Aku memang mirip dengannya."


"Kau bukan dirinya."


"Aku memang bukan dirinya."


Gadis itu memalingkan mukanya, kembali menatap batu nisan.


"Tinggalkan aku sendiri."


"Tidak bisa. Aku sudah berjanji padanya."


"Pada siapa? Tuhan? Alam? Dewa? Yang sedang marah padaku?"


"Padanya. Pada calon kekasihmu."


Gadis itu terdiam. Membisu. Mengutak-atik memorinya.


Kemudian ia ingat. Siapa orang ini sebenarnya.


"Mungkinkah... kau...?"


"Syukurlah kau masih bisa ingat."


Laki-laki berkemeja putih itu tersenyum, membantu gadis bergaun hitam itu berdiri, kemudian memeluknya di tengah hujan yang agak reda.


Kali itu, pelangi muncul malu-malu di balik awan.


* * *




Yogyakarta, 10 Januari 2011
R.A.
Continue reading Black Dress and Red Rose - The Symphony of Death
, , ,

Rain's Symphony

Oh, Sayang. Belum cukupkah aku meneteskan gerimis di pangkuanmu. Di bahumu. Di dadamu. Dan saat kau rengkuh aku, kau hanya berkata ‘semua akan baik-baik saja’.


Oh, Sayang. Tak sadarkah aku mengharapkan belaianmu. Tak pedulikah kau pada inginku mendapat pelukanmu. Dan saat kau menatapku, aku ingin kau berkata, ‘karena aku akan selalu ada di sampingmu’.


Haruskah aku meneteskan hujan air mata agar membasahi dunia? Agar dunia tahu bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk kutempuh sendiri?


Mestikah aku meneriakkan derita pada dunia? Agar dunia tahu bahwa kau telah meninggalkanku sendirian?


Dan apa kau masih bisa mengingat janjimu beberapa menit yang lalu?


Ini, jika kau melupakannya, ini, dengan senang hati kuulang, karena dia memang selalu kuulang berkali-kali dalam memoriku.


‘biarpun seluruh dunia meninggalkanmu, biarpun dunia berbohong padamu, biarpun langit menangis untukmu, biarpun pelangi tak pernah bersinar untukmu, biarpun malam selalu datang untukmu, ingatlah, bahwa kau selalu punya satu bintang. Bintang yang memberi harapan. Ingatlah, bahwa bintang itu adalah aku.’


Dan kata-kata itu berpendar-pendar muram sekarang. Dan sinar bintang itu redup sekarang. Dan harapan itu hilang sekarang.


Bahkan belum lima menit berlalu. Tetapi janjimu telah menguap. Seseorang tak bisa menepati janji suci itu lagi. Dan aku tak bisa menyalahkan siapapun.


Sama sekali tak bisa mengeluh bahwa malaikat telah merenggut sesuatu yang berharga bagimu. Bagiku.


Yang membuatmu hidup. Bernafas. Bicara padaku. 


Oh, Sayang, seandainya kau tahu begitu banyak waktu yang kubuang hanya untuk memikirkanmu. Membayangkanmu. 


Oh, Sayang, semestinya kau tahu bahwa aku tak pernah menyesali semua waktu yang kuhabiskan bersamamu. Menjagamu.


Oh, Sayang, seharusnya kau tahu mengapa aku rela menghabiskan malam-malam panjang berada disampingmu. Memandangmu.


Kita memang tidak sempat membagi kasih sayang, yeah. Dan kepedihan atas cintaku yang terlalu dalam itu sudah datang. Datang dan membabi buta.


Dan tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan, Sayang.


* * *


Ketika Yang Kuasa memisahkan dua manusia yang nyaris terikat oleh tali tak kasat mata, seolah mengiringi kepergian satu manusia dan menemani tangis satu manusia, Dia menurunkan tetes-tetes air berharga.


Nyanyian itu masih terdengar. Menetes. Dan terus menetes. Deras. Meski tak ada yang mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.


Nyanyian yang lebih keras juga masih terdengar. Menetes. Dan tetap menetes. Lebat. Tetapi semua mendengarkan. Karena semua terlalu sibuk terpesona.






Yogyakarta, 8 Januari 2011
R.A.
Continue reading Rain's Symphony

Minggu, 19 Desember 2010

, , , ,

Lucy's Love Story (Prologue + Chapter 1)

Title: Lucy's Love Story
Author: antiquelaras
Casts: Lucu Rothbelle (introducing), Draco Malfoy
Genre: Fantasy, Romance, Magic
Disclaimer: semua karakter dalam serial Harry Potter adalah ciptaan J.K. Rowling. As for Lucy Rothbelle, she is my imaginary character :)

>>
PROLOG

Lucy Rothbelle adalah seorang anak kelas lima Ravenclaw, berdarah-campuran. Lucy juga adalah anggota Laskar Dumbledore.

Tahun ini dia disibukkan dengan berbagai tugas yang dibebankan oleh nyaris semua guru di Hogwarts dengan dalih anak-anak kelas lima akan mengikuti tes OWL.

Tetapi masalah Lucy tidak hanya tugas-tugas yang menumpuk memenuhi pikirannya - dan memenuhi meja di samping tempat tidurnya di asrama. Tahun ini Lucy juga menyadari kenyataan bahwa ada yang lain yang menyita perhatiannya.

Draco Malfoy.

Lucy menyadari bahwa dia begitu memperhatikan Malfoy. Bagaimana tahun ini Malfoy terlihat begitu pucat dan cemas setiap saat. Puncaknya adalah saat Lucy menulis Surat dalam Secarik Perkamen ketika Malfoy dirawat di rumah sakit akibat mantra Sectumsempra yang diteriakkan Harry di toilet anak laki-laki.
<<

>>
CHAPTER 1

Lucy Rothbelle sedang sibuk mengerjakan tugas Herbologinya di perpustakaan, sendirian. Madam Pince di kantornya, menyeleksi buku-buku baru. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Tiba-tiba terdengar suara langkah cepat yang menyusuri koridor. Madam Pince, yang telinganya setajam kelinci, mendengarnya dan langsung berjalan cepat ke arah pintu perpustakaan.

"Hei, kau! Dilarang berlari di koridor!" teriaknya pada anak laki-laki yang berlari itu. Anak itu memelankan langkahnya ketika mendekati Madam Pince.

"Saya mencari Lucy Rothbelle," engah anak laki-laki itu. "Saya dengar dia ada di perpustakaan?"

"Miss Rothbelle?" tanya Madam Pince, mengangkat alisnya heran. "Untuk apa kau mencarinya?"

"Umm, hanya ingin bertemu," ujar anak itu ogah-ogahan.

"Dia ada di seksi Herbologi," jawab Madam Pince, masih mencurigai anak laki-laki itu.

"Terima kasih," kata anak itu, lalu menuju seksi Herbologi, tempat Lucy masih mengerjakan tugas dari Profesor Sprout.

Lucy manyun, melihat tugasnya masih sepuluh senti lagi dari batas minimal panjang perkamen yang ditugaskan Profesor Sprout. Dibaliknya buku tebal di hadapannya, mencari bab yang cocok, lalu menyalinnya ke perkamennya. Saking seriusnya hingga ia tak mendengar langkah yang mendekatinya.

"Kau Lucy Rothbelle?" tanya seseorang.

Lucy mendongak, lalu tanpa sadar mulutnya terbuka. Setetes tinta jatuh dari pena-bulunya yang terhenti, membuat bulatan hitam kecil di perkamen tugasnya.

Draco Malfoy berdiri di depannya sambil mengangkat alisnya.

* * *

"Apa kau Lucy Rothbelle?" tanya Draco lagi.

Lucy masih ternganga, tetapi dia segera menguasai dirinya. "Ya, aku Lucy..."

"Kau yang menulis ini?" tanya Draco, menarik kursi di depan Lucy dan menyodorkan secarik perkamen. Surat Lucy yang ditulisnya ketika dia menjenguk Draco di rumah sakit.

"Ya, aku yang menulisnya," jawab Lucy tegas. "Maafkan aku," katanya, menunduk malu. "Aku bodoh menulis itu, padahal aku tahu kau menyukai Pansy..."

"Apa kau bersungguh-sungguh?" sela Draco.

"Apa?" Lucy mendongak. "Tentang?"

"Tentang semua ini," gumam Draco, mengetuk-ngetuk perkamen berisi surat Lucy yang digelar di meja. "Tentang perasaanmu padaku."

Wajah Lucy memerah. Dipandanginya Draco dalam-dalam, dan mendadak debaran di jantungnya semakin cepat. Dia menarik napas panjang sambil tetap memandang Draco yang balas menatapnya.

"Ya," kata Lucy. "Ya, aku serius."

Draco terlihat kaget sejenak, tetapi lalu tersenyum. "Terima kasih."

"Sama-sama," balas Lucy, tetapi dia menunduk. Memandangi tugasnya yang tinggal lima senti lagi. Menghilangkan noda hitam di perkamennya dengan tongkat sihirnya. Tetapi yang dia lakukan malah membuat lubang kecil di perkamennya akibat salah mengucap mantra.

Draco memperhatikannya.

Lucy bergetar. "Reparo," dengan suara nyaris menangis. Tongkatnya bergetar.

Lalu Draco menangkap tangan Lucy yang bergetar. Perkamennya bolong lebih besar. Lucy menjatuhkan tongkatnya ketika menyadari Draco memandangnya.

"Biar kubantu," kata Draco, mencabut tongkatnya sendiri, lalu mengucapkan mantra perbaikan. Perkamennya kembali seperti semula, tanpa noda, tanpa lubang.

"Trims," gumam Lucy.

Draco masih memandangi Lucy dan suratnya, bergantian. "Kau tahu?"

Lucy menengadah.

"Aku bertanya pada Michael Corner tentang anak Ravenclaw yang berinisial L.R., dan dia menyebutkan namamu. Aku menghabiskan waktu seharian penuh mencarimu."

Lucy tergagap. "Mencariku seharian? Kau... sudah sembuh?"

"Seperti yang kau lihat."

Draco, sejujurnya, masih tampak pucat.

"Kau tampak pucat."

"Beginilah aku."

"Tidak, aku tahu kau. Kau tidak sepucat ini saat sehat."

"Sampai sebegitukah kau memperhatikanku?"

Lucy mendadak menutup mulutnya, menyadari bahwa dia salah bicara. "Errr."

"Aku sungguh-sungguh berterima kasih untuk itu."

Draco terdengar bersungguh-sungguh. Lucy memberanikan diri menatapnya lagi.

"Justru aku yang harus minta maaf," gumam Lucy.

"Untuk apa?"

"Untuk... semuanya."

"Untuk mencintaiku sepenuh hati?"

Lucy tidak menjawab, yang dianggap Draco sebagai jawaban 'ya'.

"Dengar, entah apa yang merasukiku saat itu hingga bisa menulis surat itu padamu. Aku... aku seharusnya sadar sejak awal. Kau mencintai Pansy. Pansy mencintaimu. Aku harusnya sadar bahwa aku tak punya kesempatan. Darah-Campuran. Kupikir bagimu itu sama saja dengan Kelahiran-Muggle. Karena kau Darah-Murni. Aku benar-benar bodoh."

Draco diam mendengarkan Lucy menangis.

"Sst," kata Draco kemudian,  ketika menyadari bahwa Lucy tidak meneruskan. "Kau mau tahu sesuatu?"

Lucy menengadah.

"Aku juga bingung, entah apa yang merasukiku hingga keinginan untuk mencari si penulis surat itu begitu besar."

Mata Lucy membesar.

"Kau tidak bodoh. Justru kau pemberani. Dan, aku salut padamu karena berhasil mengalihkan perhatian seorang Malfoy."

Lucy mengangkat alisnya.

Draco tertawa. "Belum pernah ada gadis yang menarik hatiku seperti penulis surat ini."

Wajah Lucy semakin merona. "Kau tidak perlu membuatku senang."

"Tidak, aku serius," jawab Draco jujur. "Aku benar-benar penasaran denganmu."

"Maaf kalau aku ternyata tidak sesuai dengan harapanmu," tambah Lucy.

"Aku suka suratmu, kau keberatan?" sela Draco. "Itu mengalahkan segalanya."

"Surat bisa berbohong."

"Kau tidak berbohong," kata Draco jelas, dan tegas.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Oh, hanya menelusuri kata-katamu dengan mendalam."

"Bagaimana bisa itu membuatmu tahu?"

"Semuanya begitu tulus. Mengalir apa adanya."

Lucy diam.

"Aku..."

"Kenapa kalian berdua masih mengobrol?" tegur Madam Pince. "Ini sudah larut, kembalilah ke asrama kalian... masing-masing," tambah Madam Pince, melihat perbedaan lambang asrama pada jubah Lucy dan Draco.

Draco bangkit dan keluar perpustakaan, sementara Lucy masih membereskan buku-bukunya. Lucy mengira Draco begitu jahat hingga meninggalkannya sendirian, sampai dia keluar dan mendapati Draco masih berdiri di lorong perpustakaan.

Lucy sekarang mengira Draco menunggunya.

"Ayo," Draco mengulurkan tangannya.

Lucy bingung, meremas-remas tangannya sendiri.

"Tanganku hangat," kata Draco, tersenyum. Dia kira Lucy kedinginan.

Lucy menyambut tangan Draco dengan salah tingkah. Tetapi Draco begitu cool. Dan mereka pun berjalan bergandengan tangan sepanjang koridor.

"Satu-satunya yang kukhawatirkan sekarang adalah Peeves," gumam Lucy pelan.

"Kenapa?"

"Bayangkan teriakannya kalau melihat kita bergandengan tangan seperti ini," kata Lucy meneruskan, wajahnya merona merah.

Draco tertawa. "Kudengar Peeves sedang dimarahi Bloody Baron karena menjatuhkan lukisan ksatria di koridor lantai lima," jelasnya, "jadi tidak mungkin Peeves kesini secepat itu."

Lucy ikut tertawa.

Kemudian mereka hening sampai tiba di persimpangan koridor.

"Kita berpisah disini," kata Draco. Tetapi ia belum melepaskan tangannya.

"Oh," gumam Lucy. "Baiklah."

Draco tersenyum. Lalu akhirnya melepas tangan Lucy.

"See you later," senyumnya, melambai dan berlari kecil ke kanan.

Lucy tersenyum dan bingung dengan perkataan Draco. Kemudian disadarinya Draco meninggalkan sobekan perkamen kecil di tangan Lucy yang sedari tadi digenggamnya. 

Besok, kandang burung hantu, jam tujuh pagi.

Lucy melompat-lompat dalam perjalanannya ke Menara Ravenclaw.

* * *



P.S.
Saya menulis fanfiction ini karena saya begitu menyukai Draco Malfoy :p
Orang bilang draft pertama adalah yang naskah yang paling kasar dan tanpa-editan. Masalahnya, naskah ini juga naskah yang pertama kali saya tulis. Jadi, memang belum ada editan sama sekali. Saya mohon komentar, saran, dan kritiknya :))
Continue reading Lucy's Love Story (Prologue + Chapter 1)

Senin, 06 Desember 2010

, ,

Come Back to Me - Utada Hikaru



The rain falls on my windows
and a coldness runs through my soul
and the rain falls, and the rain falls,
I don't want to be alone

I wish that I could photoshop all our bad memories
cause the flashback, oh the flashback, won't leave me alone 
Let me make up for what happened in the past

Don't know why I did it
But I do regret it
Nothing I can do or say can change the past

Baby, come back to me
I'll be everything you need
Boy, you're one in a million
Continue reading Come Back to Me - Utada Hikaru

Minggu, 05 Desember 2010

, , , ,

Love and Rain















Aku punya kenangan.

Kenangan tentang hujan, cinta, dan persahabatan.
Oh, dan tentang kejutan itu. 

Bukan kenangan yang indah, sebenarnya. 
Tetapi kenangan yang sulit untuk dilupakan.

Karena, ini tentang cinta. Cinta dirinya, cintaku, dan cintanya pada orang lain. 

That's why I hate rain. At first. 


R.A.
5 Desember 2010
18:15
*kebetulan hujan
Continue reading Love and Rain
,

Nyanyian Hujan - Kahlil Gibran

Aku ini percikan benang-benang perak yang dihamburkan dari syurga oleh dewa-dewa.
Alam raya kemudian meraupku, bagi menyirami ladang dan lembahnya.

Aku ini taburan mutiara, yang dipetik dari mahkota Raja Ishtar, oleh puteri Fajar,
untuk menghiasi taman-taman mayapada.

Pabila kuurai air mata, bukit-bukit tertawa;
Pabila aku meniup rendah, bunga-bunga gembira,
Dan bila aku menunduk, segalanya cerah-ceria.

Ladang dan awan mega berkasih-mesra,
Di antara mereka aku pembawa amanat setia,
Yang satu kulepas dari dahaga,
Yang lain kuubati dari luka.

Suara guruh mengkhabarkan kedatanganku
Pelangi di langit menghantar pemergianku,
Bagai kehidupan duniawi, diriku,
Dimulakan pada kaki kekuatan alam,
Dan diakhiri di bawah sayap kematian.

Aku muncul dari dalam jantung samudera,
Melayang tinggi bersama pawana,
Pabila kulihat ladang memerlukanku,
Aku turun, kubelai mesra bunga-bunga dan pepohonan
Dalam berjuta cara.

Jemariku lembut bermain pada jendela-jendela kaca
Dan berita yang kubawa membawa bahagia,
Semua orang dapat mendengarnya, namun hanya yang peka,
Dapat memahami maknanya.

Panas udara melahirkan aku,
Namun sebagai balasannya aku membunuhnya,
Laksana wanita yang mengungguli jejaka,
Dengan kekuatan yang dihisap daripadanya.

Diriku helaan nafas samudera
Gelak tertawa padang ladang,
Dan cucuran air mata dari syurga.

Maka, disertai cinta kasih -
dihela dari kedalaman laut kasih-sayang;
tertawa ria dari rona padang jiwa,
air mata dari kenangan syurga abadi. 
 
P.S. 
Iseng-iseng googling, saya dapet puisi ini. :) 
Saya selalu cinta Kahlil Gibran, eh maksud saya karya-karyanya, hahaha :D

R.A.
5 Desember 2010
17:46
Continue reading Nyanyian Hujan - Kahlil Gibran

Sabtu, 04 Desember 2010

,

Quotes from Jake

#1. Gak ada gunanya kita masuk ke dalam perang yang kita sendiri tahu kalo kita gak bakal bisa menang.

#2.
Ketika kita tidak bisa maju, ada baiknya kita berhenti sejenak. Saat kita tidak bisa berhenti di tempat, ada baiknya kita mundur dahulu. Dan saat mundur itu, janganlah terpaku pada rasa takut akan kalah, tapi gunakan untuk mencari cara, agar saat kita menyerang kelak, kita yakin kita bakal menang...

#3.
Gak berani berharap itu bagus :)

Ini quotes hasil chatting dengan sahabat saya di masa SMA :)
data chattingnya:
Sunday, October 31, 2010 at 10:11pm

R.A.
14 Desember 2010
17:55
Continue reading Quotes from Jake
, ,

Missing You

"Ini terdengar gila, memang, tapi aku merindukannya. Sangat-sangat merindukannya. Saat-saat bersamanya. Saat bicara padanya - dan tentangnya. Saat melihat senyumnya - dan melihatnya tersenyum padaku. Saat mendengar tawanya - dan tertawa dengannya. Saat menatap matanya - dan melihatnya membalas tatapanku. Bahkan saat-saat bertengkar dengannya."

"Ya. Cinta memang gila."



R.A.
14 Desember 2010
17.24
Continue reading Missing You

Jumat, 03 Desember 2010

, , , , ,

The Last Night's Muse

Tentang cinta yang gagal, harapan, dan egoisme.


Aku tahu, ada yang sedang mengalir lembut di dalam dirinya dan kekasihnya. Aku juga tahu, ada yang sedang mengalir pelan dalam diriku sendiri. Pelan, tapi pasti. Pasti menyakitkan.

Karena, cintanya padanya adalah cinta yang telah berlangsung lama. Sementara cintaku padanya adalah cinta yang gagal. Gagal sejak pertama kali bertemu. Kesalahan karena membiarkan cinta itu berkembang. Berkembang terlalu dalam, tapi indah. Sangat indah.

Meskipun berduri. Yang pada akhirnya akan menyakiti diri sendiri.

BERBALIK ARAH.

Yang menjadikan cinta itu salah.

sesungguhnya jatuh cinta bukanlah sesuatu yang salah.
mungkin waktunya belum tepat.


Mungkin aku memang terlambat bertemu dengannya.
Mungkin aku memang terlambat mengenalnya.
Mungkin aku memang terlambat mencintainya.


Mungkin saat ini dialah yang duluan bertemu dengannya.
Mungkin saat ini dialah yang duluan mengenalnya.
Mungkin saat ini dialah yang duluan mencintainya.

Atau, dicintai olehnya.


Tapi, mungkin saja nanti,
suatu saat!

Keadaan akan berbalik.


Oke. Mungkin aku EGOIS dengan mendoakan, meminta, dan mengharapkan hal ini.


Tapi, salahkah BERHARAP, MEMINTA, dan BERDOA?


R.A.
13 Desember 2010
18:58
Continue reading The Last Night's Muse