Semalam ada ibu peri turun dari langit, bawa-bawa tongkat yang dihinggapi bintang jatuh yang berkilau-kilau sampai saya silau.
Terus ada kucing bertopi pink, topinya mirip baret SMA saya yang dibuat dari beludru, tapi di atas topinya ada bunga matahari besar yang tumbuh ke arah sinar matahari.
Waktu saya liat ke langit ada yang meluncurkan kembang api berbentuk muka barbie warna-warni, tapi rambutnya agak kusut dan kepalanya agak miring.
Kemarin siang saya juga liat nenek sihir dibantu menyeberang jalan sama gadis bertudung merah. Saya cuma bisa liat dari jauh, nenek sihirnya menakutkan.
Terus saya lari ke arah pelabuhan, ada putri duyung yang lagi pacaran sama pangeran. Saya lihat pangerannya nggak seganteng yang digambarkan dalam buku cerita dongeng yang biasa dibacakan nenek sebelum saya tidur. Masih gantengan pangeran saya.
Malamnya saya ngitung kunang-kunang yang beterbangan di taman.
Di taman saya sendirian, ngeliatin mawar putih yang ditanam sahabat-sahabat saya. Mawarnya dingin dan basah, karena habis hujan deras. Payung pink saya taruh di dekat kursi taman warna hijau.
Ada peri-peri hujan yang turun dari pohon-pohon apel, warna-warni, ada yang warna biru. Saya suka yang warna ungu, rambutnya hitam legam dan matanya besar. Senyumnya ramah. Saya main-main sebentar dengan mereka.
Terus ada burung hantu-burung hantu di pohon besar, berbunyi nyaring. Saya agak takut, tapi saya ditemani peri-peri hujan. Sebenarnya saya berharap pangeran saya ada di sebelah saya.
Saya liat Menara Eiffel bersinar dari kejauhan, menjulang tinggiiiii sekali. Tapi nggak kepikiran buat kesana. Terlalu klasik.
Soalnya pangeran saya nggak pernah ngajak kesana. Makanya saya nggak tertarik.
Hujannya turun lagi, saya lari kembali ke kursi taman hijau, tapi saya nggak menemukan payung pink saya disana, saya malah menemukan pangeran saya.
Tapi dianya nggak sendirian.
Sama seorang putri yang pake gaun putih panjang sampai nyentuh tanah, dan rambutnya pirang panjang, tidak hitam seperti saya.
Mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka tersenyum bahagia.
Saya cuma bengong. Saya lihat ada cincin kembar di masing-masing tangan mereka.
Terus ada ibu peri yang menyihirkan selendang sutra pink yang kemudian nutupin mata saya.
Seseorang berbisik di telinga saya 'kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia'.
Selendang sutra itu basah karena air mata.
Gaun hitam saya juga basah karena air hujan.
Peri-peri hujan tidak pergi, mereka menemani. Seperti sahabat sejati.
Saya berharap jari gadis itu tertusuk mawar putih yang hendak ia ambil.
Saya melepas selendang sutra pink di bawah pohon apel, terus ada kembang api lagi. Bukan muka barbie, tapi muka pangeran saya sama si cewek pirang itu.
To make it worse, nenek sihirnya menyihir kembang api bentuk hati yang mengelilingi muka mereka berdua.
Saya kesal, saya marah, saya pengen ngancurin kembang apinya. Saya mengacungkan tongkat sihir saya ke langit, merapal mantra, tapi tak ada yang terjadi.
Tongkat sihir saya jatuh, saya jatuh, saya menangis keras-keras. Saya nggak bisa menyihir lagi. Saya bisa ngerasain peri-peri hujan terbang-terbang di sekitar saya, panik dan cemas.
Tiba-tiba hujannya mendadak berhenti, dan saya mendongak, dan ibu peri ngebawain payung pink saya dan ngelindungin saya dari air hujan. Pengen sekali peluk ibu peri tapi saya takut ibu peri nggak kuat nahan berat saya.
Akhirnya saya cuma bisa sesenggukan. Nahan nangis yang lama-lama bikin sakit.
Untungnya saya nggak sendiri.
* * *
Kemarin dulu, hati saya berantakan lagi. Saya lalu minta pada Tuhan untuk menurunkan seseorang untuk menatanya kembali.
Tapi sampai sekarang belum ada yang datang.
Jogja, 16 Juli 2011
14.09
0 komentar:
Posting Komentar